“Cucuku, sebaiknya kamu
tidak usah mampir Ke Kadipaten Galuh di Kawali, agar penyamaranmu kelak tidak
terbongkar. Selamat jalan, semoga apa yang menjadi cita-cita Cucuku akan
menjadi kenyataan dan semua usaha Cucuku dimudahkan oleh para dewa,” ujar Ki
Ajar Wirangrong, ketika esok paginya Banyakcatra mohon doa restu hendak
meneruskan perjalanannya.
Banyakcatra segera memacu
kudanya menembus kabut putih pekat yang masih menyelimuti jalan menurun menuju
Tatar Ukur. Semakin lama Padepokan Ki Ajar Wirangrong semakin jauh tertinggal
di belakang, akhirnya lenyap ditelan halimun. Lima hari terus menerus
Banyakcatra memacu kudanya menuju arah tenggara dari Tatar Ukur. Jika sore tiba
dan malam menjelang, barulah Banyakcatra beserta kudanya bergegas mencari
tempat untuk istirahat. Hari kelima Kadipaten Galuh telah dilewati. Sesuai
saran Ki Ajar Wirangrong, Banyakcatra sengaja membatalkan rencana semula hendak
singgah di Galuh. Hubungan Galuh dengan Pasir, memang dekat. Sangat masuk akal
saran dari Ki Ajar Wirangrong agar Banyakcatra menghindari Kadipaten Galuh.
Tentu maksudnya supaya penyamaran Banyakcatra tidak mengalami kegagalan.
Tepat pada hari keenam,
Banyakcatra telah berada di tepi Sungai Citanduy. Malam itu, Banyakcatra
mencari rumah salah seorang penduduk untuk bermalam, sekaligus mencari orang yang
bisa dititipi kudanya dalam jangka waktu cukup lama. Pada masa itu bukan hal
sulit untuk mencari penduduk yang bisa menjaga dan merawat kuda dengan
memberikan imbalan tertentu. Penyamaran dimulai dari tepi Citanduy.
***
Esok paginya saat
Banyakcatra menyeberangi Citanduy namanya telah diubah menjadi Kamandaka, nama
samaran pemberian Ki Ajar Wirangrong. Kamandaka tampil sebagai orang biasa saja.
Kudanya telah ditinggalkan di rumah seorang penduduk tempat dia bermalam. Dia
melanjutkan perjalannya menuju Kadipaten Pasir dengan berjalan kaki, kadang
ikut menumpang jika kebetulan ada kereta kuda. Pada kali lain, ikut seorang
penunggang kuda yang kebetulan lewat dan menuju arah yang sama. Tepat pada hari
ke delapan Kamandaka sudah tiba di halaman rumah Ki Patih Reksanata, Patih
Kadipaten Pasirluhur.
Patih Reksanata sangat
terkejut ketika melihat seorang pemuda tampan, kulit kuning, tinggi semampai,
tubuh perkasa, tetapi penampilannya sangat sederhana dan wajahnya seperti
mengharapkan suatu pertolongan. Sebagai seorang patih, sering kali dia
kedatangan tamu dari berbagai kalangan dan dengan berbagai macam kepentingan. Karena
itu, ketika salah seorang pembantunya memberitahu bahwa ada pemuda tampan ingin
menghadap kepadanya, Ki Patih pun mempersilahkan tamunya itu untuk menemuinya
di beranda belakang, tempat Ki Patih sering duduk-duduk melepaskan lelah dari
kepenatan akibat beban berat pekerjaan sehari-hari yang menjadi tanggung
jawabnya sebagai Patih Kadipaten Pasirluhur.
“Siapakah sebenarnya
kamu ini? Dan ada keperluan apa gerangan bersusah payah menemui aku?” tanya
Patih Reksanata kepada pemuda yang tiba-tiba saja membuat Ki Patih menjadi
tertarik dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang pemuda tampan itu.
“Ampunilah hamba bila
hamba kurang sopan, Kanjeng Patih. Hamba hanyalah seorang anak dusun dari
lereng Tangkuban Perahu. Hamba berkelana kian kemari ingin mencari tempat untuk
berteduh dan menitipkan diri hamba, Kanjeng Patih. Hamba juga seorang yang
bodoh, tidak banyak pengetahuan yang hamba miliki. Hamba berharap Kanjeng Patih
bersedia menerima diri hamba untuk mengabdi menyerahkan hidup dan mati hamba
kepada Kanjeng Patih. Nama hamba Kamandaka, Kanjeng Patih.”
Dalem Kepatihan memang
sering menjadi salah satu tempat bergantung dari penduduk sekitar yang ingin
mencari penghasilan dengan menjual tenaganya sebagai pembantu rumah tangga. Ada
yang menjadi petugas kebersihan, petugas ronda, perawat taman, tukang cuci,
tukang mengisi bak air, tukang merawat kuda, dan aneka macam tetek bengek rumah
tangga kepatihan lainnya. Jika Ki Patih berkenan, ada juga mereka yang telah
lama bekerja sebagai seorang abdi di dalem kepatihan itu, diangkat sebagai juru
magang untuk mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah tulis
menulis, kegiatan acara-acara seremonial maupun tugas-tugas pemerintahan yang
sering dilaksanakan di bangsal kepatihan.
Sekalipun mengaku
sebagai orang bodoh dan kurang pendidikan, Ki Patih Reksanata memiliki kesan
tersendiri pada Kamandaka. Cara bertutur kata dan sikapnya mengesankan bahwa pemuda
di depannya itu menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Ki Patih diam-diam
menilainya ada potensi luar biasa dalam diri pemuda itu. Bagi Ki Patih
Reksanata, Kamandaka lebih pas menjadi anak seorang priyayi, ketimbang anak
orang desa yang kurang tersentuh pendidikan dan kurang paham adat sopan santun
di kalangan priyayi. Dalam hati Ki Patih terbesit niat untuk mengambilnya
sebagai anak angkat, kemudian akan dididiknya agar kelak bisa menjadi kepala
rumah tangga Dalem Kepatihan.
Kebetulan semua anak Ki
Patih Reksanata perempuan dan semuanya sudah menikah. Mereka ikut suaminya
masing-masing sehingga Ki Patih hanya bersama Nyi Patih setiap harinya. Semua
orang yang tinggal di Dalem Kepatihan hanyalah saudara jauh dan orang lain yang
bertugas membantu urusan rumah tangga kepatihan. Kepala rumah tangga kepatihan
pun hanyalah orang kepercayaan yang telah lama mengabdi kepadanya. Kebetulan
Nyi Patih juga ingin punya anak laki-laki, tetapi tidak pernah kesampaian.
Namun demikian keinginannya itu, disimpan saja di dalam benaknya. Ki Patih
perlu waktu untuk melakukan penilaian, benarkah Kamandaka itu tulus ingin
mengabdi kepadanya ataukah hanya pura-pura saja. Paling tidak Ki Patih
memerlukan waktu beberapa minggu untuk memperoleh kesan cukup meyakinkan.
“Baiklah, Kamandaka
bila engkau benar-benar ingin mengabdi dan berbakti kepadaku, aku menerimanya.
Nanti salah seorang bujangku akan memberitahu di mana kamarmu dan apa saja
tugas-tugasmu.”
“Hamba menghaturkan
terima kasih tiada terhingga, Kanjeng Patih,” ujar Kamandaka setelah Ki Patih
Reksanata menerimanya menjadi salah seorang abdinya yang akan ikut dipekerjakan
di Dalem Kepatihan.
Seorang bujang membawa
Kamandaka ke gandok belakang. Dia ditempatkan di sebuah kamar yang berdampingan
dengan kamar para bujang petugas kebersihan taman dan halaman Dalem Kepatihan yang
luas. Kamandaka segera mengerti bahwa Ki Patih telah menugaskan dirinya sebagai
salah seorang juru taman Dalem Kepatihan. Sebagai salah seorang calon putra
mahkota yang hidup di lingkungan Keraton Pajajaran di Pakuan, tentu saja
Kamandaka sangat paham seluk beluk mengelola rumah tangga keraton.
Dibandingkan dengan Keraton
Pakuan, Dalem Kepatihan Kadipaten Pasirluhur tentu bukan tandingannya. Maka
dalam waktu singkat Kamandaka mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada dalam
urusan mengelolala Dalem Kepatihan. Kamandaka pun bertekad untuk merubah wajah
Dalem Kepatihan agar nampak lebih berwibawa, enak dipandang, bersih, dan
nyaman.
Kamandaka mulai
melaksanakan gagasannya dengan meningkatkan kebersihan halaman, memotong
ranting-ranting pohon pelindung yang tidak perlu, mengatur komposisi tanaman
bunga penghias taman, mengecat ulang tiang-tiang bangsal kepatihan, mengubah
komposisi cat pagar Dalem Kepatihan, dan kegiatan penataan lainnya yang
dipandang perlu. Demikian pula bangunan Dalem Kepatihan, mulai dari bangsal,
rumah induk tempat Ki Patih Reksanata tinggal, bangunan sayap kanan, bangunan
sayap kiri, gandok, sumur dan kamar mandi, sampai kandang kuda, tidak lepas
dari sentuhan Kamandaka. Tentu saja semua itu membuat Ki Patih Reksanata
geleng-geleng kepala.
Dalem Kepatihan kini
berubah menjadi sejuk, indah, bersih, menyedapkan mata siapa saja yang
memandangnya. Bahkan lantai bangsal kepatihan yang dulunya berdebu kini selalu
mengkilap, tiang-tiangnya pun bebas dari debu. Dalem Kepatihan dalam waktu
singkat telah menjelma menjadi istana yang indah hampir mengalahkan Dalem
Kadipaten Pasirluhur. Dalem Kepatihan hanyalah kalah luas. Tetapi tidak kalah
dalam penataan keindahan.
Karya Kamandaka bukan
hanya itu saja. Dia juga memperhatikan faktor keamanan Dalem Kepatihan. Tidak
jarang dia ikut berjaga pada malam hari dengan petugas ronda malam. Kamandaka
melatih mereka seni ilmu beladiri dan cara-cara mengamankan bangunan Dalem
Kepatihan dari kemungkinan masuknya pencuri atau orang yang tidak
dikehendakinya. Tentu saja apa yang dilakukan Kamandaka itu diketahui dengan
pasti oleh Ki Patih Reksanata. Apalagi Kamandaka ternyata sangat relijius,
menguasai tata cara berdoa, juga gemar membaca kitab suci. Akhirnya Ki Patih
Reksanata bersama istrinya, sepakat mengangkat Kamandaka sebagai anak
angkatnya. Bahkan Ki Patih Reksanata langsung mengangkatnya sebagai Kepala
Rumah Tangga Dalem Kepatihan. Selama ini jabatan itu tidak berfungi karena
petugas lama sudah tua dan sering sakit.
Sejak itu, seluruh bujang
dan petugas Dalem Kepatihan secara resmi memanggil Kamandaka dengan sebutan
Raden. Ya, Raden Kamandaka, putra angkat Ki Patih Reksanata. Kamandaka kini
menempati rumah khusus yang dulu ditinggali oleh putri Ki Patih Reksanata yang
sudah meninggalkan Dalem Kepatihan karena ikut suami. Ki Patih Reksanata mulai
sering membelikan pakaian yang indah-indah, sehingga penampilan Kamandaka
sekarang benar-benar bagaikan seorang Ksatria Kadipaten Pasirluhur.
Ki Patih Reksanata kini
merasa sangat bahagia. Lebih-lebih karena Kamandaka tahu banyak soal pemerintahan.
Karena itu Ki Patih Reksanata banyak meminta Kamandaka membantunya
menyelesaikan sejumlah masalah yang bersifat teknis, sehingga volume pekerjaan
yang selalu menumpuk dan menjadi beban Ki Patih Reksanata dapat dikurangi.
Walapun begitu, Ki Patih Reksanata tidak pernah membawa Kamandaka ke kadipaten.
Bahkan Sang Adipati Pasirluhur pun tidak pernah tahu bahwa Ki Patih Reksanata
baru saja mengangkat seorang pemuda sebagai anak angkatnya.
Tak terasa sudah hampir
tujuh bulan Kamandaka tinggal di Dalem Kepatihan. Dia sudah mulai hapal
daerah-daerah sekitar Kadipaten Pasirluhur. Bagaimana dengan Dyah Ayu Dewi
Ciptarasa? Kamandaka sudah mendengar nama gadis itu sering disebut oleh
penduduk. Tetapi bagaimana gerangan wajahnya? Benarkah apa yang dikatakan Ki
Ajar Wirangrong bahwa Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa mirip Ibundanya? Bagaimana
kalau tidak?
Demikian sejumlah
pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya. Betapa ingin Kamandaka melihat gadis pujaan hatinya itu, sekalipun hanya sekedipan mata. Dyah Ayu
Dewi Ciptarasa putri Kanjeng Adipati itu belum bersuami, maka sesuai dengan
adat dan tradisi yang berlaku, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa dipingit dengan ketat di
Dalem Kadipaten. Ingat akan hal itu, membuat hati Kamandaka seperti
dicabik-cabik. Sampai suatu ketika Kamandaka mendengar kabar menggembirakan.
Pada suatu pertemuan di
pendapa Kadipaten, Kanjeng Adipati Kandhadaha mengemukakan maksudnya untuk
menyelenggarkan pesta tahunan menangkap ikan di Sungai Logawa yang dikenal
dengan pesta marak. Pesta marak atau pesta menangkap ikan di sungai merupakan
tradisi yang banyak dilakukan oleh kadipaten-kadipaten yang berada dalam
wilayah Kerajaan Galuh.
Kerajaan Galuh sendiri
biasa menyelenggarakan pesta marak di Sungai Cimanuk. Pesta itu tujuannya
melestarikan habitat ikan di sungai sebagai sumber protein yang murah dan
menanamkan budaya mencintai sungai sebagai karunia alam semesta yang harus tetap
dijaga, dipelihara, dan dilestarikan. Dengan pesta marak silaturahmi antara
raja dengan para adipati, maupun antar adipati dari suatu kadipaten akan tetap
terjaga dan terpelihara. Pesta marak juga merupakan pesta yang memberikan
hiburan pada rakyat, sekaligus juga mendekatkan rakyat dengan rajanya ataupun
rakyat dengan adipatinya. Acara pesta marak biasanya berlangsung meriah,
dimulai pada pagi hari dan berakhir pada tengah hari.
“Ki Patih, terserah
bagaimana cara penyelenggaraan pesta marak di Sungai Logawa itu. Usahakan bisa
semeriah mungkin. Jangan lupa melakukan kerjasama dengan petugas kadipaten yang
lain. Undanglah para adipati tetangga Kadipaten Pasirluhur untuk menjadi tamu
kita menghadiri pesta rakyat marak,” ujar Kanjeng Adipati memberikan tugas
kepada Ki Patih Reksanata dalam pertemuan tersebut.
“Semua perintah Kanjeng
Adipati akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kebetulan puncak musim kemarau
masih tiga bulan lagi, Kanjeng Adipati. Sekarang baru masuk awal musim kemarau.
Jadi cukup waktu agar pesta marak yang dikehendaki Kanjeng Adipati bisa
berlangsung lebih meriah dari tahun lalu.”
“Ya, betul Ki Patih,
masih ada cukup waktu. Tetapi persiapan harus segera dimulai supaya ikan yang
bisa ditangkap besar-besar. Pasanglah rumpon dari ranting-ranting bambu di
sejumlah kedung agar semakin banyak ikan yang akan bertelur. Nanti pada puncak
musim kemarau, saat pesta marak dimulai, telur-telur yang menetas di rumpon
bambu itu pastilah sudah besar-besar dan sudah enak untuk diolah. Jangan
terlambat memasang rumpon bambu.”
“Baik Kanjeng Adipati.
Siang ini juga akan diusahakan agar rumpon-rumpon bambu sudah dipasang di
sejumlah kedung di Sungai Logawa, terutama di kedung-kedung yang tidak jauh dari
tempat panggung kehormatan akan didirikan.”
Kanjeng Adipati
Pasirluhur tampak puas memimpin rapat pada hari itu. Keamanan di Kadipaten
cukup terkendali, tidak terdengar adanya wabah penyakit, dan hasil panen
melimpah, pencurian, perampokan, dan gangguan keamanan lainnya sudah sangat
berkurang. Dengan sendirinya Ki Patih Reksanata memperoleh pujian dari Kanjeng
Adipati karena prestasi dan kemampuannya dalam menjalankan roda pemerintahan
kadipaten sehari-hari. Usai rapat dengan Kanjeng Adipati, Ki Patih Reksanata
masih melanjutkan pertemuaan dengan para mantri, lurah, dan punggawa kadipaten
lainnya. Tugas pun segera dibagi, agar amanat Sang Adipati melaksanakan pesta
marak di Sungai Logawa bersama rakyat Kadipaten Pasirluhur dapat dilaksanakan
dengan memuaskan.
Hari itu Ki Patih
Reksanata baru bisa pulang menjelang sore. Sekalipun lelah, Ki Patih Reksanata
merasa puas. Semua beban pekerjaan persiapan penyelenggaraan pesta untuk
menghibur rakyat melalui acara penangkapan ikan secara masal di Sungai Logawa
sudah dibagi-bagi. Tugas Ki Patih Reksanata tinggal menerima laporan dan
mengawasi semua persiapan yang dilakukan para bawahannya.
Malam hari usai santap
malam Kamandaka dipanggilnya untuk diajak berbincang soal rencana Kanjeng
Adipati yang akan menyelenggaran pesta marak. Tentu saja Kamandaka sangat
bergembira mendengar berita itu.
“Pernah menyaksikan
pesta marak, anakku
Kamandaka?” tanya Ki Patih Reksanata ingin tahu, setelah Kamandaka datang
menghadap.
“Tentu saja sudah,
Kanjeng Rama. Hamba pernah menyaksikan pesta marak di Sungai Cimanuk yang
diselenggarkan Kanjeng Adipati Galuh. Hamba malah sempat menjadi Paleka.”
“Apakah Paleka itu?” Ki
Patih Reksanata bertanya.
“Paleka adalah penyelam
ahli. Tugasnya menangkap ikan yang bersembunyi di ceruk-ceruk dinding sungai dengan
tangan kosong. Ikan yang bersembunyi di ceruk-ceruk dinding sungai sulit
ditangkap dengan jala besar atau seser.”
“Oh, aku tahu. Paleka
itu penyelam tanggguh. Di sini rasanya juga ada beberapa orang. Ikan apa yang berhasil kamu tangkap dengan
tangan kosong?”
“Tidak mudah menangkap
ikan dengan tangan kosong, Kanjeng Rama. Karena tubuh ikan sangat licin. Tugas paleka
yang lain ialah menggiring ikan-ikan yang bersembunyi di ceruk-ceruk itu agar
mau keluar, sehingga mudah ditangkap.”
“Berarti kamu bukan
paleka yang terampil,” ujar Ki Patih Reksanata sambil tertawa. Kamandaka ikut
tertawa.
“Ananda pernah
menangkap ikan kancra sebesar bantal dengan tangan kosong, Kanjeng Rama.”
“Sebesar bantal?” tanya
Ki Patih Reksanata heran.
“Benar, Kanjeng Rama.
Ikan yang sudah kena tuba, pasti mabuk. Ikan mabuk mudah ditangkap dengan
tangan kosong.”
“Engkau boleh menjadi
paleka dalam pesta marak di Sungai Logawa kelak. Tunjukkan keterampilanmu pada
Kanjeng Adipati,” ujar Ki Patih Reksanata mengakhiri perbincangan malam itu.
Malamnya Kamandaka
tidak bisa tidur. Dia membayangkan dalam pesta marak itu, dirinya terjun ke
Sungai Logawa disaksikan Dyah Ayu Dewi Ciptarasa yang pasti hadir di atas
panggung kehormatan. Dia pun mampu menangkap ikan kancra sebesar bantal yang
diambilnya dari sebuah ceruk dengan tangan kosong. Begitu dirinya muncul ke
permukaan sungai, pastilah akan disambut dengan sorak-sorai dan bunyi gong
dipukul, kemudian diiringi suara gamelan bertalu-talu yang sengaja disiapkan
untuk memeriahkan pesta marak. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar