Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 06 April 2017

Novel :Melati Kadipaten Pasirluhur (05)





“Cucuku, sebaiknya kamu tidak usah mampir Ke Kadipaten Galuh di Kawali, agar penyamaranmu kelak tidak terbongkar. Selamat jalan, semoga apa yang menjadi cita-cita Cucuku akan menjadi kenyataan dan semua usaha Cucuku dimudahkan oleh para dewa,” ujar Ki Ajar Wirangrong, ketika esok paginya Banyakcatra mohon doa restu hendak meneruskan perjalanannya. 


Banyakcatra segera memacu kudanya menembus kabut putih pekat yang masih menyelimuti jalan menurun menuju Tatar Ukur. Semakin lama Padepokan Ki Ajar Wirangrong semakin jauh tertinggal di belakang, akhirnya lenyap ditelan halimun. Lima hari terus menerus Banyakcatra memacu kudanya menuju arah tenggara dari Tatar Ukur. Jika sore tiba dan malam menjelang, barulah Banyakcatra beserta kudanya bergegas mencari tempat untuk istirahat. Hari kelima Kadipaten Galuh telah dilewati. Sesuai saran Ki Ajar Wirangrong, Banyakcatra sengaja membatalkan rencana semula hendak singgah di Galuh. Hubungan Galuh dengan Pasir, memang dekat. Sangat masuk akal saran dari Ki Ajar Wirangrong agar Banyakcatra menghindari Kadipaten Galuh. Tentu maksudnya supaya penyamaran Banyakcatra tidak mengalami kegagalan. 


Tepat pada hari keenam, Banyakcatra telah berada di tepi Sungai Citanduy. Malam itu, Banyakcatra mencari rumah salah seorang penduduk untuk bermalam, sekaligus mencari orang yang bisa dititipi kudanya dalam jangka waktu cukup lama. Pada masa itu bukan hal sulit untuk mencari penduduk yang bisa menjaga dan merawat kuda dengan memberikan imbalan tertentu. Penyamaran dimulai dari tepi  Citanduy.

***

Esok paginya saat Banyakcatra menyeberangi Citanduy namanya telah diubah menjadi Kamandaka, nama samaran pemberian Ki Ajar Wirangrong. Kamandaka tampil sebagai orang biasa saja. Kudanya telah ditinggalkan di rumah seorang penduduk tempat dia bermalam. Dia melanjutkan perjalannya menuju Kadipaten Pasir dengan berjalan kaki, kadang ikut menumpang jika kebetulan ada kereta kuda. Pada kali lain, ikut seorang penunggang kuda yang kebetulan lewat dan menuju arah yang sama. Tepat pada hari ke delapan Kamandaka sudah tiba di halaman rumah Ki Patih Reksanata, Patih Kadipaten Pasirluhur.


Patih Reksanata sangat terkejut ketika melihat seorang pemuda tampan, kulit kuning, tinggi semampai, tubuh perkasa, tetapi penampilannya sangat sederhana dan wajahnya seperti mengharapkan suatu pertolongan. Sebagai seorang patih, sering kali dia kedatangan tamu dari berbagai kalangan dan dengan berbagai macam kepentingan. Karena itu, ketika salah seorang pembantunya memberitahu bahwa ada pemuda tampan ingin menghadap kepadanya, Ki Patih pun mempersilahkan tamunya itu untuk menemuinya di beranda belakang, tempat Ki Patih sering duduk-duduk melepaskan lelah dari kepenatan akibat beban berat pekerjaan sehari-hari yang menjadi tanggung jawabnya sebagai Patih Kadipaten Pasirluhur.


“Siapakah sebenarnya kamu ini? Dan ada keperluan apa gerangan bersusah payah menemui aku?” tanya Patih Reksanata kepada pemuda yang tiba-tiba saja membuat Ki Patih menjadi tertarik dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang pemuda tampan itu.


“Ampunilah hamba bila hamba kurang sopan, Kanjeng Patih. Hamba hanyalah seorang anak dusun dari lereng Tangkuban Perahu. Hamba berkelana kian kemari ingin mencari tempat untuk berteduh dan menitipkan diri hamba, Kanjeng Patih. Hamba juga seorang yang bodoh, tidak banyak pengetahuan yang hamba miliki. Hamba berharap Kanjeng Patih bersedia menerima diri hamba untuk mengabdi menyerahkan hidup dan mati hamba kepada Kanjeng Patih. Nama hamba Kamandaka, Kanjeng Patih.”


Dalem Kepatihan memang sering menjadi salah satu tempat bergantung dari penduduk sekitar yang ingin mencari penghasilan dengan menjual tenaganya sebagai pembantu rumah tangga. Ada yang menjadi petugas kebersihan, petugas ronda, perawat taman, tukang cuci, tukang mengisi bak air, tukang merawat kuda, dan aneka macam tetek bengek rumah tangga kepatihan lainnya. Jika Ki Patih berkenan, ada juga mereka yang telah lama bekerja sebagai seorang abdi di dalem kepatihan itu, diangkat sebagai juru magang untuk mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah tulis menulis, kegiatan acara-acara seremonial maupun tugas-tugas pemerintahan yang sering dilaksanakan di bangsal kepatihan.


Sekalipun mengaku sebagai orang bodoh dan kurang pendidikan, Ki Patih Reksanata memiliki kesan tersendiri pada Kamandaka. Cara bertutur kata dan sikapnya mengesankan bahwa pemuda di depannya itu menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Ki Patih diam-diam menilainya ada potensi luar biasa dalam diri pemuda itu. Bagi Ki Patih Reksanata, Kamandaka lebih pas menjadi anak seorang priyayi, ketimbang anak orang desa yang kurang tersentuh pendidikan dan kurang paham adat sopan santun di kalangan priyayi. Dalam hati Ki Patih terbesit niat untuk mengambilnya sebagai anak angkat, kemudian akan dididiknya agar kelak bisa menjadi kepala rumah tangga Dalem Kepatihan. 


Kebetulan semua anak Ki Patih Reksanata perempuan dan semuanya sudah menikah. Mereka ikut suaminya masing-masing sehingga Ki Patih hanya bersama Nyi Patih setiap harinya. Semua orang yang tinggal di Dalem Kepatihan hanyalah saudara jauh dan orang lain yang bertugas membantu urusan rumah tangga kepatihan. Kepala rumah tangga kepatihan pun hanyalah orang kepercayaan yang telah lama mengabdi kepadanya. Kebetulan Nyi Patih juga ingin punya anak laki-laki, tetapi tidak pernah kesampaian. Namun demikian keinginannya itu, disimpan saja di dalam benaknya. Ki Patih perlu waktu untuk melakukan penilaian, benarkah Kamandaka itu tulus ingin mengabdi kepadanya ataukah hanya pura-pura saja. Paling tidak Ki Patih memerlukan waktu beberapa minggu untuk memperoleh kesan cukup meyakinkan.


“Baiklah, Kamandaka bila engkau benar-benar ingin mengabdi dan berbakti kepadaku, aku menerimanya. Nanti salah seorang bujangku akan memberitahu di mana kamarmu dan apa saja tugas-tugasmu.”


“Hamba menghaturkan terima kasih tiada terhingga, Kanjeng Patih,” ujar Kamandaka setelah Ki Patih Reksanata menerimanya menjadi salah seorang abdinya yang akan ikut dipekerjakan di Dalem Kepatihan.

Seorang bujang membawa Kamandaka ke gandok belakang. Dia ditempatkan di sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar para bujang petugas kebersihan taman dan halaman Dalem Kepatihan yang luas. Kamandaka segera mengerti bahwa Ki Patih telah menugaskan dirinya sebagai salah seorang juru taman Dalem Kepatihan. Sebagai salah seorang calon putra mahkota yang hidup di lingkungan Keraton Pajajaran di Pakuan, tentu saja Kamandaka sangat paham seluk beluk mengelola rumah tangga keraton.


Dibandingkan dengan Keraton Pakuan, Dalem Kepatihan Kadipaten Pasirluhur tentu bukan tandingannya. Maka dalam waktu singkat Kamandaka mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada dalam urusan mengelolala Dalem Kepatihan. Kamandaka pun bertekad untuk merubah wajah Dalem Kepatihan agar nampak lebih berwibawa, enak dipandang, bersih, dan nyaman. 


Kamandaka mulai melaksanakan gagasannya dengan meningkatkan kebersihan halaman, memotong ranting-ranting pohon pelindung yang tidak perlu, mengatur komposisi tanaman bunga penghias taman, mengecat ulang tiang-tiang bangsal kepatihan, mengubah komposisi cat pagar Dalem Kepatihan, dan kegiatan penataan lainnya yang dipandang perlu. Demikian pula bangunan Dalem Kepatihan, mulai dari bangsal, rumah induk tempat Ki Patih Reksanata tinggal, bangunan sayap kanan, bangunan sayap kiri, gandok, sumur dan kamar mandi, sampai kandang kuda, tidak lepas dari sentuhan Kamandaka. Tentu saja semua itu membuat Ki Patih Reksanata geleng-geleng kepala.  


Dalem Kepatihan kini berubah menjadi sejuk, indah, bersih, menyedapkan mata siapa saja yang memandangnya. Bahkan lantai bangsal kepatihan yang dulunya berdebu kini selalu mengkilap, tiang-tiangnya pun bebas dari debu. Dalem Kepatihan dalam waktu singkat telah menjelma menjadi istana yang indah hampir mengalahkan Dalem Kadipaten Pasirluhur. Dalem Kepatihan hanyalah kalah luas. Tetapi tidak kalah dalam penataan keindahan.


Karya Kamandaka bukan hanya itu saja. Dia juga memperhatikan faktor keamanan Dalem Kepatihan. Tidak jarang dia ikut berjaga pada malam hari dengan petugas ronda malam. Kamandaka melatih mereka seni ilmu beladiri dan cara-cara mengamankan bangunan Dalem Kepatihan dari kemungkinan masuknya pencuri atau orang yang tidak dikehendakinya. Tentu saja apa yang dilakukan Kamandaka itu diketahui dengan pasti oleh Ki Patih Reksanata. Apalagi Kamandaka ternyata sangat relijius, menguasai tata cara berdoa, juga gemar membaca kitab suci. Akhirnya Ki Patih Reksanata bersama istrinya, sepakat mengangkat Kamandaka sebagai anak angkatnya. Bahkan Ki Patih Reksanata langsung mengangkatnya sebagai Kepala Rumah Tangga Dalem Kepatihan. Selama ini jabatan itu tidak berfungi karena petugas lama sudah tua dan sering sakit. 


Sejak itu, seluruh bujang dan petugas Dalem Kepatihan secara resmi memanggil Kamandaka dengan sebutan Raden. Ya, Raden Kamandaka, putra angkat Ki Patih Reksanata. Kamandaka kini menempati rumah khusus yang dulu ditinggali oleh putri Ki Patih Reksanata yang sudah meninggalkan Dalem Kepatihan karena ikut suami. Ki Patih Reksanata mulai sering membelikan pakaian yang indah-indah, sehingga penampilan Kamandaka sekarang benar-benar bagaikan seorang Ksatria Kadipaten Pasirluhur.


Ki Patih Reksanata kini merasa sangat bahagia. Lebih-lebih karena Kamandaka tahu banyak soal pemerintahan. Karena itu Ki Patih Reksanata banyak meminta Kamandaka membantunya menyelesaikan sejumlah masalah yang bersifat teknis, sehingga volume pekerjaan yang selalu menumpuk dan menjadi beban Ki Patih Reksanata dapat dikurangi. Walapun begitu, Ki Patih Reksanata tidak pernah membawa Kamandaka ke kadipaten. Bahkan Sang Adipati Pasirluhur pun tidak pernah tahu bahwa Ki Patih Reksanata baru saja mengangkat seorang pemuda sebagai anak angkatnya.


Tak terasa sudah hampir tujuh bulan Kamandaka tinggal di Dalem Kepatihan. Dia sudah mulai hapal daerah-daerah sekitar Kadipaten Pasirluhur. Bagaimana dengan Dyah Ayu Dewi Ciptarasa? Kamandaka sudah mendengar nama gadis itu sering disebut oleh penduduk. Tetapi bagaimana gerangan wajahnya? Benarkah apa yang dikatakan Ki Ajar Wirangrong bahwa Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa mirip Ibundanya? Bagaimana kalau tidak?


Demikian sejumlah pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya. Betapa ingin  Kamandaka melihat gadis pujaan hatinya  itu, sekalipun hanya sekedipan mata. Dyah Ayu Dewi Ciptarasa putri Kanjeng Adipati itu belum bersuami, maka sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa dipingit dengan ketat di Dalem Kadipaten. Ingat akan hal itu, membuat hati Kamandaka seperti dicabik-cabik. Sampai suatu ketika Kamandaka mendengar kabar  menggembirakan.


Pada suatu pertemuan di pendapa Kadipaten, Kanjeng Adipati Kandhadaha mengemukakan maksudnya untuk menyelenggarkan pesta tahunan menangkap ikan di Sungai Logawa yang dikenal dengan pesta marak. Pesta marak atau pesta menangkap ikan di sungai merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh kadipaten-kadipaten yang berada dalam wilayah Kerajaan Galuh. 


Kerajaan Galuh sendiri biasa menyelenggarakan pesta marak di Sungai Cimanuk. Pesta itu tujuannya melestarikan habitat ikan di sungai sebagai sumber protein yang murah dan menanamkan budaya mencintai sungai sebagai karunia alam semesta yang harus tetap dijaga, dipelihara, dan dilestarikan. Dengan pesta marak silaturahmi antara raja dengan para adipati, maupun antar adipati dari suatu kadipaten akan tetap terjaga dan terpelihara. Pesta marak juga merupakan pesta yang memberikan hiburan pada rakyat, sekaligus juga mendekatkan rakyat dengan rajanya ataupun rakyat dengan adipatinya. Acara pesta marak biasanya berlangsung meriah, dimulai pada pagi hari dan berakhir pada tengah hari. 


“Ki Patih, terserah bagaimana cara penyelenggaraan pesta marak di Sungai Logawa itu. Usahakan bisa semeriah mungkin. Jangan lupa melakukan kerjasama dengan petugas kadipaten yang lain. Undanglah para adipati tetangga Kadipaten Pasirluhur untuk menjadi tamu kita menghadiri pesta rakyat marak,” ujar Kanjeng Adipati memberikan tugas kepada Ki Patih Reksanata dalam pertemuan tersebut.


“Semua perintah Kanjeng Adipati akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kebetulan puncak musim kemarau masih tiga bulan lagi, Kanjeng Adipati. Sekarang baru masuk awal musim kemarau. Jadi cukup waktu agar pesta marak yang dikehendaki Kanjeng Adipati bisa berlangsung lebih meriah dari tahun lalu.”


“Ya, betul Ki Patih, masih ada cukup waktu. Tetapi persiapan harus segera dimulai supaya ikan yang bisa ditangkap besar-besar. Pasanglah rumpon dari ranting-ranting bambu di sejumlah kedung agar semakin banyak ikan yang akan bertelur. Nanti pada puncak musim kemarau, saat pesta marak dimulai, telur-telur yang menetas di rumpon bambu itu pastilah sudah besar-besar dan sudah enak untuk diolah. Jangan terlambat memasang rumpon bambu.”


“Baik Kanjeng Adipati. Siang ini juga akan diusahakan agar rumpon-rumpon bambu sudah dipasang di sejumlah kedung di Sungai Logawa, terutama di kedung-kedung yang tidak jauh dari tempat panggung kehormatan akan didirikan.”


Kanjeng Adipati Pasirluhur tampak puas memimpin rapat pada hari itu. Keamanan di Kadipaten cukup terkendali, tidak terdengar adanya wabah penyakit, dan hasil panen melimpah, pencurian, perampokan, dan gangguan keamanan lainnya sudah sangat berkurang. Dengan sendirinya Ki Patih Reksanata memperoleh pujian dari Kanjeng Adipati karena prestasi dan kemampuannya dalam menjalankan roda pemerintahan kadipaten sehari-hari. Usai rapat dengan Kanjeng Adipati, Ki Patih Reksanata masih melanjutkan pertemuaan dengan para mantri, lurah, dan punggawa kadipaten lainnya. Tugas pun segera dibagi, agar amanat Sang Adipati melaksanakan pesta marak di Sungai Logawa bersama rakyat Kadipaten Pasirluhur dapat dilaksanakan dengan memuaskan.


Hari itu Ki Patih Reksanata baru bisa pulang menjelang sore. Sekalipun lelah, Ki Patih Reksanata merasa puas. Semua beban pekerjaan persiapan penyelenggaraan pesta untuk menghibur rakyat melalui acara penangkapan ikan secara masal di Sungai Logawa sudah dibagi-bagi. Tugas Ki Patih Reksanata tinggal menerima laporan dan mengawasi semua persiapan yang dilakukan para bawahannya. 


Malam hari usai santap malam Kamandaka dipanggilnya untuk diajak berbincang soal rencana Kanjeng Adipati yang akan menyelenggaran pesta marak. Tentu saja Kamandaka sangat bergembira mendengar berita itu. 


“Pernah menyaksikan pesta marak, anakku Kamandaka?” tanya Ki Patih Reksanata ingin tahu, setelah Kamandaka datang menghadap.


“Tentu saja sudah, Kanjeng Rama. Hamba pernah menyaksikan pesta marak di Sungai Cimanuk yang diselenggarkan Kanjeng Adipati Galuh. Hamba malah sempat menjadi Paleka.”


“Apakah Paleka itu?” Ki Patih Reksanata bertanya.


“Paleka adalah penyelam ahli. Tugasnya menangkap ikan yang bersembunyi di ceruk-ceruk dinding sungai dengan tangan kosong. Ikan yang bersembunyi di ceruk-ceruk dinding sungai sulit ditangkap dengan jala besar atau seser.” 


“Oh, aku tahu. Paleka itu penyelam tanggguh. Di sini rasanya juga ada beberapa orang.  Ikan apa yang berhasil kamu tangkap dengan tangan kosong?”


“Tidak mudah menangkap ikan dengan tangan kosong, Kanjeng Rama. Karena tubuh ikan sangat licin. Tugas paleka yang lain ialah menggiring ikan-ikan yang bersembunyi di ceruk-ceruk itu agar mau keluar, sehingga mudah ditangkap.”


“Berarti kamu bukan paleka yang terampil,” ujar Ki Patih Reksanata sambil tertawa. Kamandaka ikut tertawa.


“Ananda pernah menangkap ikan kancra sebesar bantal dengan tangan kosong, Kanjeng Rama.”

“Sebesar bantal?” tanya Ki Patih Reksanata heran.


“Benar, Kanjeng Rama. Ikan yang sudah kena tuba, pasti mabuk. Ikan mabuk mudah ditangkap dengan tangan kosong.”


“Engkau boleh menjadi paleka dalam pesta marak di Sungai Logawa kelak. Tunjukkan keterampilanmu pada Kanjeng Adipati,” ujar Ki Patih Reksanata mengakhiri perbincangan malam itu.


Malamnya Kamandaka tidak bisa tidur. Dia membayangkan dalam pesta marak itu, dirinya terjun ke Sungai Logawa disaksikan Dyah Ayu Dewi Ciptarasa yang pasti hadir di atas panggung kehormatan. Dia pun mampu menangkap ikan kancra sebesar bantal yang diambilnya dari sebuah ceruk dengan tangan kosong. Begitu dirinya muncul ke permukaan sungai, pastilah akan disambut dengan sorak-sorai dan bunyi gong dipukul, kemudian diiringi suara gamelan bertalu-talu yang sengaja disiapkan untuk memeriahkan pesta marak. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar