Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 25 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (22)





“Ya, aku ijinkan kembali ke kepatihan,” kata Kanjeng Adipati setelah diam agak lama. “Tetapi ingatlah tugas Ki Patih paling mendesak sekarang ini. Tangkap anak angkatmu itu. Terserah Ki Patih, bagaimana caranya. Tangkap Kamandaka hidup atau mati. Jika memang mati, aku tidak mau tertipu lagi. Buktikan dengan jantung, hati, dan darah Kamandaka, jika memang prajurit yang ditugaskan berhasil menewaskan Kamandaka.”

“Baiklah Kanjeng Adipati. Semua perintah Kanjeng Adipati akan ditindaklanjuti,” ujar Ki Patih. Siang itu dia cepat-cepat meninggalkan Kadipaten dengan perasaan galau tidak menentu. Bingung, sedih, malu, dan sakit hati campur aduk jadi satu. 

“Benarkah Kamandaka turunan penjahat? Bagaimana kalau ternyata dia seorang ksatria turunan bangsawan tinggi entah dari kerajaan mana? Kecerdasannya, gagasan kreatifnya, wawasannya, tutur katanya, mustahil dia turunan penjahat. Tetapi memang aneh. Bila Kamandaka memang jatuh cinta pada Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, kenapa tidak berterus terang kepadaku? Kenapa dia lebih suka menempuh jalan yang memalukan? Yaitu jalan yang hina dan terkutuk. Jalan yang tak akan dilakukan oleh seorang ksatria yang berwatak mulia.” kata Ki Patih dalam hati di tengah-tengah perjalanan pulang ke Dalem Kepatihan.

Jalan yang dilaluinya dipenuhi debu-debu yang berterbangan ditiup angin musim kemarau. Sepanjang jalan wajah Ki Patih nampak murung, bagaikan kembang yang sudah layu. Dia masih belum menemukan cara menangkap Kamandaka. 

“Dikepung oleh ratusan prajurit saja bisa lolos, tentu juga tidak mudah menangkap Kamandaka jika hanya dengan mengirimkan ratusan prajurit ke Kaliwedi,” kata Ki Patih dalam benaknya. “Pastilah cara seperti itu akan sia-sia saja. Apa lagi, kini banyak pengikutnya yang pasti akan membelanya. Mereka, para penyadap dan petani itu pastilah akan membelanya sekuat tenaga, atau paling tidak akan menyembunyikannya, atau membantunya melarikan diri.” 

“Duh, Dewa Yang Agung, andai kata di kadipaten ini ada ksatria perkasa yang mampu menandingi Kamandaka, tentulah menangkap Kamandaka bukan pekerjaan sulit. Tugasku tentu tidak akan seberat sekarang ini,” Ki Patih merintih dalam hati di sepanjang jalan menuju Dalem Kepatihan.

Tetapi tiba-tiba, ketika baru menginjakkan kakinya di halaman kepatihan, Ki Patih melihat seorang ksatria gagah perkasa meloncat turun dari kudanya. Dilihat pakaiannya, tampak bahwa ksatria itu baru saja menempuh perjalanan jauh. Ki Patih menduga ksatria itu dari Kadipaten Galuh. Ki Patih pun buru-buru menyambutnya dengan perasaan gembira bercampur cemas. Sebab jangan-jangan ada kabar buruk yang menimpa Kadipaten Galuh, Kadipaten tetangga yang sangat bersahabat. Sebab pada masa lalu Kadipaten Galuh pernah menjadi pusat Kerajaan sebelum pindah ke Pakuan Pajajaran.

“Ki Patih Reksanata menyampaikan selamat datang. Siapakah dan dari manakah Raden ini?” tanya Ki Patih pada ksatria yang baru tiba itu.

“Selamat siang, Paman Patih. Ananda adalah putra Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Keraton Pajajaran, Banyakngampar. Salam dari Ayahanda untuk Paman Patih dan juga salam untuk Kanjeng Adipati Pasirluhur,” kata Banyakngampar.

“Oh, dari Keraton Pajajaran? Aduh, Raden, betapa gembira Paman Patih. Raden telah berkenan datang ke Pasirluhur dari tempat yang begitu jauh,” kata Ki Patih sambil membawa Banyakngampar ke ruang tamu Dalem Kepatihan. ”Salam Sri Baginda Prabu Siliwangi Paman terima dengan senang sekali.” 

Ki Patih Reksanata menduga Keraton Pakuan Pajajaran memerlukan tambahan pasokan senjata alat-alat perang ataupun alat-alat pertanian yang diperlukan pusat kerajaan. Sejak jaman Kerajaan Galuh Kadipaten Pasirluhur menjadi salah satu Kadipaten yang diandalkan dalam pembuatan alat-alat perang maupun alat-alat pertanian. Misalnya saja pedang, tombak, golok, sabit, dan alat-alat lainnya lagi yang terbuat dari logam.

Di Kadipaten Pasirluhur banyak empu pandai besi yang cakap dan terampil dalam membuat alat-alat dari besi. Di samping Kadipaten Pasirluhur sebagai kadipaten pemasok alat-alat senjata perang, kadipaten lain yang juga memiliki banyak pandai besi adalah Cibatu, Kadipaten Limbangan. Tetapi pasokan dari Cibatu, Limbangan, tidak akan cukup memenuhi kebutuhan peralatan perang Kerajaan Pajajaran. Kekurangan pasokan itu dipenuhi dari para pengrajin Kadipaten Pasirluhur. Apalagi kualitas pandai besi Kadipaten Pasirluhur tidak kalah dengan kualitas pengrajin dari Cibatu, Limbangan.

Akhir-akhir ini pesanan alat-alat perang dari Keraton Pajajaran terus meningkat. Ki Patih Reksanata mendengar sejumlah bandar pelabuhan di pantai utara sudah jatuh ke tangan Kerajaan Islam Demak yang baru muncul setelah jatuhnya Majapahit. Pekalongan, Pemalang, Brebes, dan Cirebon adalah daerah pesisir yang telah jatuh ke tangan Kerajaan Islam Demak. Bandar muara Sungai Cimanuk yang merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran, dalam posisi terancam oleh gerakan ekspansi Kerajaan Islam Demak. Wajar jika akhir-akhir ini Kerajaan Pajajaran berusaha meningkatkan kewaspadaannya dengan mengangkat prajurit-prajurit baru.

Tentu saja itu berarti memerlukan tambahan pasokan senjata. Ternyata dugaan Ki Patih meleset. Kedatangan Ksatria Pajajaran itu bukanlah urusan pesanan senjata untuk keperluan perang. Tetapi untuk urusan keluarga, mencari kakak Sang Ksatria yang sudah setahun lebih menghilang dari Keraton Pajajaran.

Seorang bujang laki-laki muncul di ruang tamu, membawa minuman dan makanan kecil. Ki Patih segera mempersilahkan tamunya minum air nira yang masih segar untuk mengusir haus.

“Paman Patih, ananda jauh-jauh dari Keraton Pajajaran berkunjung ke Kadipaten Pasirluhur ini bukan dalam urusan soal-soal pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Tetapi ini masalah  keluarga.”

“Masalah keluarga? Boleh Paman tahu? Barangkali Paman bisa membantunya?”

“Benar sekali, Paman Patih. Ananda sangat membutuhkan bantuan Paman Patih,” kata Banyakngampar. ”Ananda punya kakak kandung yang namanya Kanda Banyakcatra.”

Banyakngampar pun menceriterakan masalah yang tengah menimpa keluarga Kerajaan Pajajaran. Semua hal yang menjadi penyebab pengembaraan kakaknya yang sedang dicarinya itu, dikisahkan semuanya. Ki Patih Reksanata mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian.

“Kanda Banyakcatra diberi waktu satu tahun untuk berkelana mencari wanita calon istri yang didambakannya itu. Tetapi tenggang waktu yang dijanjikan Kanda Banyakcatra sudah lewat. Satu tahun lebih Kanda Banyakcatra menghilang dari Keraton Pajajaran tanpa ada kabar beritanya. Tentu saja hal itu membuat Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi gelisah, karena khawatir akan keselamatan Kanda Banyakcatra,” kata Banyakngampar.

“Saat itu ananda sudah lima tahun meninggalkan Keraton Pajajaran, karena ananda sedang mendalami ilmu Ketuhanan di Padepokan Megamendung. Sudah lima tahun pula ananda tidak pernah berjumpa dengan Kanda Banyakcatra,” kata Banyakngampar melanjutkan ceriteranya.

“Akhirnya ananda disusul agar pulang ke Keraton Pajajaran. Sri Baginda menugaskan kepada ananda agar mencari Kanda Banyakcatra. Itulah Paman Patih yang menyebabkan ananda jauh-jauh datang dari Keraton Pajajaran. Barangkali saja Paman Patih mengetahui keberadaan Kanda Banyakcatra.”

Ki Patih mengerutkan keningnya sebentar, seakan-akan sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu. Tapi Ki Patih lalu mengajak tamunya menikmati pisang kepok rebus yang disajikannya. Angin dari halaman kepatihan bertiup masuk ke dalam serambi ruang tamu, menghalau udara panas musim kemarau.

“Banyakcatra?” tanya Ki Patih, ketika kembali ingat kepada nama yang baru disebut Banyakngampar yang sedang menikmati pisang kepok rebus manis itu.

Ki Patih diam lagi, keningnya berkerut lagi mencoba mengingat-ingat nama itu. Tetapi dia merasa belum pernah mendengar nama itu. Hanya saja kalau dilihat sepintas kilas wajah dan penampilan ksatria Pajajaran yang ada di depannya itu, mirip sekali dengan Kamandaka.

“Apakah Kamandaka itu Banyakcatra? Tetapi jika Kamandaka putra Kerajaan Pajajaran yang sedang dicari-cari, tidak mungkin dia melakukan perbuatan yang memalukan itu. Sebab buat apa?” Ki Patih bertanya-tanya dalam hati.

Akhirnya Ki Patih menyimpulkan dari  informasi yang diperoleh dari Kanjeng Adipati,  Kamandaka bukanlah Banyakcatra. Sebab menurut hasil penyelidikan Kanjeng Adipati, Kamandaka itu keponakan seorang penjudi botoh sabung ayam dengan reputasi buruk, Ki Kertisara Pangebatan.

“Kira-kira seperti apakah wajah mendiang Ibunda Raden?” tanya Ki Patih.

“Ayahanda Sri Banginda Prabu Siliwangi pernah menyebutkan bahwa wajah mendiang Ibu mirip wajah Dyah Ayu Pitaloka yang gugur di medan Bubat,” jawab Banyakngampar.

Kembali Ki Patih diam sejenak. Tentu saja Ki Patih tahu, siapa Pitaloka, Mawar Galuh yang telah membuat Raja Hayam Wuruk mabuk kepayang. Sayang sekali kisah cinta Raja Hayam Wuruk dengan Pitaloka itu berakhir di medan Bubat yang menyebabkan kematian Pitaloka.

“Sepengetahuan Paman, Dyah Ayu Pitaloka dipusarakan di makam keluarga raja-raja Galuh di Sanghiyang Linggahiyyang, di Kawali. Karena itu jika sukma Dyah Ayu Pitaloka akan berinkarnasi, pastilah pilihannya akan jatuh pada gadis-gadis di Kadipaten Galuh. Karena itu, seharusnya Raden mencari Kakak Raden bukan di Pasirluhur, tetapi di Kadipaten Galuh. Paman yakin, Raden Banyakcatra ada di Kadipaten Galuh.”

“Ya, itulah Paman kesalahan ananda, tidak mampir lebih dulu ke Kadipaten Galuh. Karena menurut Ayahanda Sri Baginda, Kanda Banyakcatra pernah berceritera bahwa semua kadipaten di sebelah barat Sungai Citanduy sudah pernah didatangi. Tetapi jerih payahnya tidak berhasil. Menurut pengakuan Kanda Banyakcatra kepada Ayahanda, hanya kadipaten-kadipaten di sebelah timur Sungai Citanduy yang belum pernah didatangi. Karena itu, menurut Ayahanda, Kanda Banyakcatra kemungkinan besar ada di Kadipaten Pasirluhur,” Banyakngampar menjelaskan kepada Ki Patih.

Seorang bujang yang dipanggil Ki Patih datang menghadap, ”Hamba siap menerima perintah, Ndara Patih,” kata bujang laki-laki itu dengan takzim.

“Kuda tamuku ini bawalah ke tempat penambatan kuda di belakang. Besok mandikan bersama-sama dengan kuda kepatihan. Siapkan dan aturlah dengan baik kamar khusus untuk menerima tamu, dan siapkan pula santap siang,” Ki Patih memberikan perintah kepada bujang lelaki itu yang segera mundur setelah menerima perintah.

“Marilah kita bicarakan satu-satu, untuk memudahkan dalam pencariaan keberadaan Raden Banyakcatra yang sedang menghilang itu. Pertama soal inkarnasi. Soal inkarnasi itu memang tidak mudah diketahui. Hanya para dewa yang tahu. Hanya saja Paman berpendapat inkarnasi itu mestinya terjadi pada lingkungan keluarga terdekat dulu. Pertanyaan Paman, apakah Sri Baginda Raja Siliwangi punya anak seorang putri?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, tiba-tiba Banyakngampar ingat adik tirinya yang cantik jelita Ratna Pamekas. “Bisa jadi Paman Patih benar, inkarnasi sukma Dyah Ayu Pitaloka itu kemungkinan besar terjadi di lingkungan keluarga terdekat lebih dahulu,” kata Banyakngampar.

“Ananda punya dua adik tiri dari Ibu Kumudaningrum, istri selir Ayahanda yang kemudian menjadi permaisuri menggantikan Ibu ananda. Banyakbelabur adalah putra sulung, lalu adiknya, Dyah Ayu Ratna Pamekas.”

Banyakngampar menjawab dengan agak malu-malu dan tersipu-sipu. Sebab diam-diam Banyakngampar mencintai adik tirinya itu.

“Paman menduga, bisa saja salah,” kata Ki Patih. ”Adik tiri Raden itu pastilah cantik jelita. Dia lebih mirip Ibunda Raden Banyakcatra dan Raden Banyakngampar, ketimbang Ibunya sendiri. Sebab apa? Sebab Dyah Ayu Ratna Pamekas sama dengan Ibunda Raden, keduanya adalah inkarnasi Dyah Ayu Pitaloka! Tapi itu hanya dugaan Paman saja yang bisa jadi keliru. Karena itu jika bukan kehendak dewa, mestinya Raden Banyakcatra masih berada di sisi barat Cintanduy dan tidak mungkin menyeberang ke timur, sebab makam Dyah Ayu Pitaloka itu ada di Galuh Kawali.”

“Masalahnya Kanda Banyakcatra pernah berkata akan mencari gadis idamannya di kadipaten yang ada di sebelah timur Sungai Citanduy yang belum pernah didatanginya, Paman Patih,” kata Banyakngampar menyanggah pendapat Ki Patih Reksanata.

“Ya, bisa jadi benar, Raden Banyakcatra telah menyeberangi Sungai Citanduy untuk mencari gadis idamannya, Raden,” kata Ki Patih pada akhirnya. “Tetapi sebenarnya apa yang dilakukan Raden Banyakcatra, yang telah menempuh perjalanan begitu jauh dan tak kenal lelah itu, tidak lain hanyalah sebuah pelarian saja. Kalau sudah lelah, pada akhirnya akan kembali juga. Namanya saja pelarian untuk menghindari kenyataan. Sekalipun begitu, langkah yang sudah ditempuh kakak kandung Raden itu sudah benar. Kakak Raden itu sedang menghindari cinta rumit terhadap adik tiri Raden yang wajahnya mirip Ibunda Raden itu,” kata Ki Patih menarik kesimpulan.

Siang itu udara di ruang tamu Dalem Kepatihan cukup panas, untunglah angin berulang kali bertiup mendatangi beranda ruang tamu. Bahkan seekor kupu-kupu coklat ikut-ikutan terbang masuk dan hinggap sebentar di dinding ruang tamu.

“Itu namanya kupu dayoh, Raden,” kata Ki Patih saat melihat Banyakngampar memperhatikan kupu-kupu coklat yang kesasar masuk ruang tamu Dalem Kepatihan. “Kupu itu memberi tanda, Raden akan tinggal cukup lama di Kadipaten Pasirluhur,” kata Ki Patih menjelaskan salah satu tanda-tanda alam yang banyak dipercaya penduduk Pasirluhur. 

Banyakngampar tersenyum senang mendapat tambahan penjelasan perihal kupu dayoh yang tiba-tiba ikut menjadi tamu itu. Ki Patih Reksanata memang memiliki kegemaran mengamati masalah-masalah yang berkaitan dengan firasat, kejiwaan, watak seseorang, dan soal ramal meramal. Termasuk yang menjadi perhatian Ki Patih adalah soal-soal yang berkaitan dengan masalah inkarnasi, moksa, cinta, dan masalah kejiwaan lainnya.

“Sejak Ibunda Raden berdua meninggal,” Ki Patih melanjutkan, “Kakak Raden itu telah kehilangan sosok seorang ibu yang dicintainya. Dia lalu berusaha mencarinya dan menemukan sosok ibu yang telah hilang itu pada diri adik tirinya, Dyah Ayu Ratna Pamekas yang wajahnya mirip Ibu Raden berdua itu.”

“Tentu saja Raden Banyakcatra takut jatuh cinta pada Dyah Ayu Ratna Pamekas,” kata Ki Patih menyimpulkan. ”Sebab tidak mungkin seorang kakak menikahi adiknya sendiri, sekalipun hanya adik tiri. Itulah sebabnya Raden Banyakcatra meninggalkan Keraton Pajajaran untuk mencari sosok pengganti ibunya pada gadis lain di luar keluarganya. Jika Raden Banyakcatra tetap di Keraton Pajajaran, dia akan terus gelisah dan tersiksa, karena akan berada dalam bayang-bayang jatuh cinta pada adik tirinya. Lain halnya bila Raden Banyakcatra sudah menemukan sosok gadis lain di luar keraton.”

“Maaf pula kepada Raden,” kata Ki Patih masih meneruskan, ”Hal yang sama sebenarnya terjadi pada Raden. Raden pun sebenarnya berada dalam bayang-bayang jatuh cinta pada adik tiri Raden itu. Hanya jalan yang Raden tempuh berbeda. Raden memilih berguru ke Megamendung untuk menekan hasrat cinta kepada wanita dengan mengalihkannya menjadi cinta pada Sang Maha Pencipta. Itulah sebabnya Raden jarang pulang ke Keraton Pajajaran, bukan? Itu karena, seperti halnya Kakak Raden, sesungguhnya Raden pun takut jatuh cinta pada adik tiri Raden.”

Mendengar penjelasan Ki Patih Reksanata wajah Banyakngampar langsung pucat. Apa yang dikatakan Patih Reksanata sepenuhnya benar. Memang, saat Banyakngampar tiba kembali di Keraton Pajajaran setelah lima tahun tidak pernah pulang, betapa dia sangat terkejut. Dia bertemu dengan Ratna Pamekas dan menjumpai kenyataan bahwa adik tirinya itu telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik luar biasa yang sedang beranjak dewasa. 

Dan yang paling mengherankan, tatapan sinar mata adik tirinya itu menembus jantung hatinya, sehingga dia bahkan tak berani menatap wajah cantik adik tirinya itu. Lima tahun berguru di Padepokan Megamendung, ternyata tidak mampu menindas bayang-bayang cinta kepada Ratna Pamekas. Diam-diam dia kesal sekaligus cemas karena gagal menumpas benih-benih cinta yang tumbuh dalam benaknya yang sesungguhnya sangat memalukan itu.[Bersambung]

Minggu, 23 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (20)





“Apa nama ayam jago ini, Raden? Bagaimana kalau Cindelaras? Itu nama ayam aduan kesayangan Kakang Kertisara yang selalu unggul di gelanggang. Bagaimana Raden?”

“Aku lebih suka nama Mercu! Kuberi nama Mercu! Bukankah nama Mercu juga bagus, Kakang Rekajaya?”

“Oh, bagus sekali Raden, nama yang belum pernah hamba dengar. Kalau Cindelaras,  Kumbang, Guntur, Gambir Putih, Ketawang, dan lainnya lagi sudah sering hamba dengar.”

“Tentu saja Kakang Rekajaya belum pernah dengar. Mercu itu artinya peringatan. Si Mercu ini, kelak akan mengalahkan ayam jago aduan mana pun di seluruh Kadipaten Pasirluhur, sekaligus sebagai peringatan kepada mereka yang gemar adu jago, bahwa permainan judi adu jago itu, seperti juga permainan judi lainnya sebenarnya permainan yang sangat terkutuk. Tak ada orang menjadi kaya karena judi. Mereka hanyalah orang-orang dungu yang tertipu mimpi-mimpi palsu meraih kekayaan dengan cara mudah, sambil bermalas-malasan. Sebagian besar para penjudi, akan jatuh miskin, dan rumah tangganya berantakan,” kata Kamandaka.

“Aku akan berusaha membantu Kakang Rekajaya mengembalikan harta Kakang Kertisara yang sempat dirampas itu. Tetapi setelah itu, Kakang Rekajaya harus berjanji menghentikan kebiasaan buruk ini. Ingat janji Kakang semalam?”

Rekajaya mengangguk, ketika diingatkan perjanjianya tadi malam menjelang tidur. Dia membenarkan sepenuhnya apa yang dikatakan Kamandaka. Kakak iparnya, Kertisara pernah memiliki kekayaan yang melimpah dari permainan judi di gelanggang adu ayam. Sebagai seorang botoh berpengalaman, memang dia mampu menumpuk kekayaan. Tetapi orang yang benci dan memusuhinya pun banyak. 

Nyai Kertisara sebenarnya sudah meminta agar suaminya itu, jika memang ingin punya anak dari dirinya, hendaknya menghentikan secara total kegiatannya sebagai seorang botoh adu ayam. Sebenarnya Ki Ketisara sudah berniat akan menghentikan seluruh kegiatannya yang menyengsarakan orang lain itu. Tapi terlambat. Maut keburu datang dan menjemputnya. Konon ketika mayatnya ditemukan, mulutnya mengeluarkan busa bercampur warna biru. Suatu tanda Ki Kertisara terkena racun arsenik yang bisa jadi adalah hasil jebakan musuh-musuhnya yang sakit hati kepadanya karena kalah di gelanggang sabung ayam. 

Setelah itu kemalangan beturut-turut datang menimpa Nyai Kertisara. Ladang dan sawah Ki Kertisara dirampas punggawa Kadipaten, dengan alasan tanah para bangsawan di wilayah Kadipaten Pasirluhur tidak bisa dipindahkan kepemilikannya kepada rakyat biasa. Paling banter hanya bisa digadaikan, sampai si pemilik gadai itu meninggal. 

Memang dalam struktur masyarakat berdasarkan kasta, hanya para brahmana dan ksatria yang diperbolehkan memilki tanah. Sedang para pedagang, petani, dan rakyat kebanyakan lainnya, tidak diperkenankan memiliki tanah. Mereka hanya boleh menyewa atau memilikinya dari hasil gadai para ksatria. Jadi tanah hanya terdistribusi dan berputar-putar di kalangan para bangsawan saja.

Demikianlah nasib tragis yang menimpa keluarga Kertisara. Sepeninggal Ki Kertisara bukan hanya sawah dan ladangnya yang habis, tetapi tanah tempat rumah Ki Kertisara yang ditempati Nyai Kertisara dan adik yang mengikutinya juga ikut dirampas oleh para punggawa Kadipaten Pasirluhur. Itulah sebabnya Nyai Kertisara dan adiknya langsung jatuh miskin, beberapa tahun setelah kematian suaminya. Diam-diam Kamandaka membenci struktur masyarakat yang membeda-bedakan manusia ke dalam kelas-kelas yang dianggapnya mengistimewakan kelas yang satu, tetapi menghinakan kelas yang lain.

“Permainan judi itu awalnya adalah permainan hiburan para ksatria. Di Lembah Sungai Gangga, permainan judi para ksatria adalah permainan dadu. Dalam Mahabharata Pandawa dikalahkan Kurawa dalam permainan dadu yang menimbulkan kesengsaraan luar biasa bagi para Pandawa. Bukan hanya Kerajaannya hilang, tetapi Pandawa juga diharuskan menjalani pembuangan di hutan selama tiga belas tahun. Bahkan Drupadi, putri cantik istri Pandawa itu, dipertaruhkan dalam permainan dadu dan jatuhlah martabat Drupadi jadi budak Kurawa. Ungtunglah Resi Bisma turun tangan membantu dan menyelamatkan nasib malang Drupadi,” kata Kamandaka dalam hati, ingat kisah dalam rontal Mahabharata yang sempat dibacanya di perpustakaan milik ayahnya di Keraton Pajajaran. 

Jika permainan dadu adalah kegemaran para ksatria di Lembah Sungai Gangga, maka permainan judi sabung ayam adalah tradisi dan kebiasaan buruk para bangsawan dan ksatria Lembah Sungai Sutra yang terbawa oleh Bangsa Galuh dalam perantauannya mencari tanah harapan di seberang lautan. Kedua permainan judi itu sesunguhnya sangat dibenci oleh Kamandaka.

Dua bulan sudah berlalu, si Mercu ayam jago aduan Kamandaka sudah tumbuh jadi ayam aduan yang gagah, kuat, dan perkasa. Tajinya tumbuh menghiasi kakinya yang kuning gading. Tiap saat kokoknya menggema ke angkasa, seolah menantang lawan-lawannya dan menunjukkan keperkasaannya. Rekajaya merawat dengan baik ayam aduannya itu. Kandang yang bagus dan khusus disediakan buat si Mercu. Makanan dan minumannya pun dipilih jenis yang berkualitas. Tiap hari dimandikannya, agar bulunya selalu bercahaya. Kamandaka hanya tersenyum melihat ketekunan Rekajaya merawat si Mercu.

“Bawa ke sini si Mercu, Kakang Rekajaya. Akan kuberi mantra supaya jadi ayam aduan hebat,” kata Kamandaka pada suatu pagi. Rekajaya menyerahkan si Mercu sambil tertawa, karena mengira Kamandaka hanya berolok-olok.

Sim Salabim. Mercu, kau harus menang melawan musuh-musuhmu. Jangan pernah takut. Jangan pernah menyerah, kau harus berani! Mercu, kau harus membuat senang majikanmu Rekajaya, ya. Puh…, puh…, puh….“  

Kamandaka meniup kepala si Mercu tiga kali. Kemudian dipijat-pijatnya jengger dan pial ayam si Mercu. Rekajaya melihat Kamandaka diam sambil bibirnya komat-kamit sebentar, lalu diciumnya kepala si Mercu. Diam-diam tanpa sepengetahuan Rekajaya, Kamandaka  memasukkan mantra Ciung Wanara ke dalam badan si Mercu. Rekajaya yang melihat kelakuan majikannya itu kembali tertawa karena mengira Kamandaka sedang bermain-main.

“Seperti sebuah permainan sulap, Raden?” tanya Rekajaya.

“Hehe.he…, iya betul. Aku telah menyulap agar si Mercu menjadi jawara tak terkalahkan di gelanggang sabung ayam. Karena itu, rahasiakan namaku kepada mereka. Katakan pada mereka, bahwa namaku adalah si Sulap, botoh pendatang baru dari desa Kaliwedi,” kata Kamandaka.

“Nama samaran yang bagus, Raden. Ki Sulap Pangebatan! Hehehe….” 

“Kenapa Pangebatan, tidak Ki Sulap Kaliwedi saja?” tanya Kamandaka heran.

“Kakang Kertisara dulu setelah membuat heboh di gelanggang sabung ayam Desa Pangebatan langsung dinobatkan dengan nama Ki Kertisara Pangebatan. Prestasi terbesar Kakang Kertisara adalah memenangkan nilai taruhan terbesar dalam sejarah taruhan di Kadipaten Pasirluhur. Dua bau sawah dan seorang istri lurah Karangjati, hari itu langsung menjadi milik Kakang Kertisara.”

“Ya, aku setuju. Sebuah nama bagus. Pintar juga Kakang Rekajaya. Ki Sulap Pangebatan bisa diartikan Ki Sulap keponakan Ki Kertisara Pangebatan,” kata Kamandaka. Rekajaya hanya tertawa mendengar pujian itu.

Sementara itu, si Mercu segera menunjukkan kemampuan-kemampuannya yang aneh. Misalnya, begitu dilepaskan dari tangan Kamandaka, si Mercu langsung berkokok dengan suaranya yang panjang. Lagi pula tingkah-laku si Mercu seakan-akan tahu apa yang diperintahkan Kamandaka. Jika Kamandaka memerintahkan dengan kata-kata loncat, tendang, putar, menunduk, dan lain-lainnya lagi, si Mercu akan melakukannya. 

“Hebat, Raden. Ilmu apakah yang Raden miliki?” tanya Rekajaya mulai takjub. Sudah lama dia mengikuti Kertisara dulu, tetapi belum pernah melihat ayam jago sepintar si Mercu.

“Ah, tidak ada ilmu apa-apa. Kelak Kakang pun bisa melakukannya. Syaratnya, sayangilah si Mercu dan perlakukan dengan baik, penuhi kebutuhannya. Hanya itu ilmu untuk menaklukan binatang,” jawab Kamandaka.

Si Mercu sudah puluhan kali berlaga di arena sabung ayam Desa Pangebatan. Tiap hari dengan rajin, tekun, dan tak kenal lelah Ki Sulap Pangebatan mendatangi arena sabung ayam terbesar di Desa Pangebatan itu. Rekajaya mengikutinya dengan membawa Si Mercu. Sebagai pendatang baru, nama Si Mercu cepat melejit. Para botoh dari hampir semua desa di Kadipaten Pasirluhur berhasil ditaklukan. Desa yang memiliki botoh kelas atas antara lain Karangjati, Kaliwedi, Karangnanas, Kalikidang, Teluk, Maresi, Karanglewas, Karangdadap, dan lain-lainnya lagi. Bahkan semua botoh dari desa di sepanjanjang Sungai Logawa telah ditantang dan ditaklukkannya. Setiap kali mendatangi arena sabung ayam Desa Pangebatan, selalu Ki Sulap Pangebatan menantang lawannya, dengan sesumbar lebih dahulu. 

“Lawanlah si Mercu, jawara dari langit. Kalian tak bakal menang. Maka hentikanlah kegiatan sabung ayam yang akan membuat kalian menderita. Tetapi jika kalian tak percaya, ayo lawan si Mercu. Hanya kalau harta kalian habis, jangan menyesal!”

Berita si Mercu, jawara dari langit milik botoh Ki Sulap Pangebatan, dengan cepat menyebar ke seluruh Kadipaten Pasirluhur. Jika si Mercu bertanding, berduyun-duyun penduduk mengalir ke tempat arena sabung ayam Desa Pangebatan. Mereka penasaran ingin menyaksikan cara si Mercu dengan tajinya yang tajam menaklukan lawan-lawannya. Mereka yang ikut taruhan dan menang bersorak gembira. Sebaliknya yang kalah, menyesal bukan main, kenapa tidak menjagoi si Mercu. Setiap selesai pertandingan, senyum Rekajaya selalu mengembang, karena selalu pulang membawa pundi-pundi penuh uang. Nama Ki Sulap Pangebatan sebagai botoh pendatang baru juga langsung melambung. Ki Sulap Pangebatan dipercaya sebagai inkarnasi Ki Kertisara Pangebatan, seorang botoh yang legendaris itu. 

Ki Sulap sebuah nama yang lucu, kata Kamandaka dalam hati pada suatu siang. “Yah, aku memang ingin menyulap penduduk Desa Kaliwedi ini agar bisa lebih kreatif memperbaiki keadaan ekonominya yang morat-marit. Mereka harus secara bertahap dibimbing agar mau  meninggalkan kebiasaan ikut-ikutan bertaruh di gelanggang sabung ayam yang hanya membeli mimpi itu. Hanya dengan mendorong mereka melakukan kegiatan produktif dan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, maka kebiasaan berjudi yang menimbulkan rasa malas berusaha itu dapat diberantas. Desa Kaliwedi harus bisa berubah menjadi desa percontohan dan teladan desa-desa lainnya di Kadipaten Pasirluhur,” kata Kamandaka di dalam hati.

Sementara itu, pelan-pelan uang pun terus mengalir ke kantong Nyai Kertisara. Kamandaka tidak mengambilnya sedikit pun. Dia hanya mengarahkan penggunaannya. Uang yang terkumpul digunakan untuk membangun rumah yang layak huni. Nyai Kertisara tidak lagi berjualan daun pisang ke pasar. Hasil dari gelanggang adu ayam sudah bisa untuk menyewa sawah di sekitar hilir Sungai Logawa secara gadai kepada pemilik sawah yang rata-rata adalah para punggawa Kadipaten Pasirluhur.

Kamandaka yang kini memakai nama samaran Ki Sulap Pangebatan itu, dikenal oleh penduduk Desa Kaliwedi sebagai seorang botoh yang peduli dan baik hati kepada penduduk. Dia mendorong penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Ciserayu meningkatkan kualitas pembuatan gula kelapa dan gula aren. Ratusan pohon kelapa dan pohon aren yang ada disewa Nyai Kertisara. Nyai Kertisara menyediakan pongkor, sabit, dan lancingan secara gratis kepada penduduk yang mau menyadap nira dan mengolahnya menjadi gula. Nyai Kertisara membeli semua gula kelapa dan gula aren yang dibuat para penyadap itu. Bila sedang tidak pergi mengadu si Mercu, Ki Sulap Pangebatan dan Rekajaya ikut memasarkan gula yang terkumpul di rumah Nyai Kertisara. Ternyata Nyai Kertisara lincah juga. 

Dia pandai berdagang, berkat bimbingan Ki Sulap Pangebatan. Nyai Kertisara tidak lagi membawa barang dagangannya ke pasar. Tetapi para pedagang di Pasar Pangebatan dan pasar-pasar desa lainnya di luar Pangebatan, sering datang sendiri ke kediaman Nyai Kertisara untuk mengambil gula aren dan gula kelapa. Semua gula itu adalah buatan keluarga para penyadap yang tersebar di sepanjang Sungai Ciserayu. Ki Sulap Pangebatan gembira melihat kemajuan ekonomi Nyai Kertisara dan para penyadap. Dia jadi ingat, cara yang dilakukan ayahandanya Sri Baginda Prabu Siliwangi dan kakeknya, pada waktu mendorong petani Pajajaran supaya giat menanam lada dan pala sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan penduduk.

Pada suatu siang, entah mengapa tiba-tiba Kamandaka ingat kembali kepada Sang Dewi. Sudah empat bulan lebih Kamandaka tinggal di Kaliwedi bersama Nyai Kertisara. Kesibukannya menolong kondisi ekonomi Nyai Kertisara dan adiknya Rekajaya, menyebabkan rencana pulang ke Kerajaan Pajajaran tertunda.

“Aduh, pastilah Dinda Dewi menunggu-nunggu lamaran Ayahandaku. Dinda Dewi pastilah mengira aku telah kembali ke Pakuan Pajajaran. Hem, aku sudah meninggalkan Keraton Pajajaran lebih dari satu tahun. Pastilah Ayahandaku sangat cemas dan menunggu-nunggu kabar dari diriku,” kata Kamandaka dalam benaknya.

Ketika sedang melamun di beranda depan rumah Nyai Kertisara itulah, dilihatnya Rekajaya datang agak tergesa-gesa dan berkata, ”Raden, seorang punggawa yang tinggal di Karanglewas menantang si Mercu besok siang, dengan nilai taruhan satu bau sawah, bagaimana Raden?”

“Hem, kebetulan sekali, Kakang Rekajaya! Kenapa tidak? Kakang masih butuh sawah. Desa Karanglewas tidak jauh dari Pangebatan, bukan? Kakang Rekajaya, besok pagi kita berangkat ke Pangebatan. Persiapkan perbekalan yang cukup. Bukankah kita harus berangkat pagi-pagi benar besok?” 

“Betul, Raden. Rupanya si Mercu dapat lawan tanding kelas kakap!”

“Aku berharap besok adalah pertandingan terakhir bagi si Mercu. Kakang Rekajaya harus secepatnya meninggalkan arena sabung ayam. Bantu Nyai Kertisara dalam menangani usaha barunya. Kekayaan yang diperoleh dengan memeras keringat lebih mulia dari kekayaan yang diperoleh dari gelanggang perjudian.”

“Baik, Raden. Memang si Mercu sudah harus istirahat. Kasihan kalau harus terus-menerus berlaga. Hamba pun ingin punya penghasilan tetap.”

“Kakang Rekajaya tidak ingin membangun rumah tangga dan punya istri?”

“Tentu saja ingin, Raden,” jawab Rekajaya agak malu-malu,” Tetapi hamba tahu diri. Usia hamba sekarang tiga puluh lima tahun. Hidup miskin pula. Mana ada gadis Desa Kaliwedi yang mau dengan hamba, Raden?”

“Kakang jangan merasa rendah diri. Usaha Nyai Kertisara, adalah usahamu juga. Tekuni saja, lama-lama akan berkembang. Kalau tidak mau sama gadis, kalau ada janda cantik, mau tidak?”

“Janda cantik?  Kalau ada yang bersedia menemani hamba, kenapa tidak?”

Ki Sulap Pangebatan tersenyum sambil berkata, ”Emban Dinda Dewi, namanya Khandegwilis, cekatan, janda tanpa anak, dan cantik. Usianya tidak jauh dari Kakang Rekajaya. Banyak punggawa yang berminat lho. Kakang Rekajaya berminat?”

Rekajaya hanya tersenyum malu-malu. Tetapi Ki Sulap Pangebatan tahu, Rekajaya tidak menolak, asal Ki Sulap Pangebatan yang kelak melamarkannya. “Kapan-kapan temui dia di Kadipaten.Tetapi hati-hati, namaku jangan sampai bocor ke tangan prajurit jaga.”

Bibir Rekajaya mengembang, sebuah senyum bahagia menghiasi wajahnya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk membangun mahligai sebuah rumah tangga.[]

Sabtu, 22 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (19)





Desa Kaliwedi dikelelingi oleh ladang yang luas, sawah menguning dengan tanaman padi, dan deretan pohon kelapa serta pohon aren yang tumbuh di pinggir-pinggir desa. Sebuah jalan besar membelah tengah-tengah desa, meliuk-liuk sepertu ular, naik menanjaki punggung pegunungan di sebelah utara, kemudian lenyap di balik bukit yang menghijau. Di balik bukit, orang harus melalui jalan terbentang menuju ke arah utara, lalu belok ke barat jika dia ingin menuju Kadipaten Pasirluhur. 

“Hanya diperlukan waktu sekitar seperempat hari jalan kaki dari sini, jika Raden ingin mengunjungi Kadipaten Pasirluhur,“ ujar Rekajaya sambil berjalan berdua menuju rumah Nyai Kertisara. Mega-mega putih tampak berarak-arak di langit biru, menutupi matahari yang pelan-pelan turun menuju kaki langit sebelah barat.

“Kalau itu perbukitan yang puncaknya rata, bukit apa, Kakang?” tanya Kamandaka menunjuk bukit yang ada di depannya.

“Penduduk di sini menyebutnya Gunung Tugel, Raden.”

“Siapa yang telah memotong puncak bukit itu?”

“Hehehe…, penduduk tak ada yang tahu. Bisa jadi dahulu gunung itu adalah sebuah anak gunung berapi yang meletus, sehingga sebagian puncaknya terpotong, lalu gunung itu pun padam. Kenyataannya di sekitarnya banyak pasir bertebaran. Bisa jadi pasir itu berasal dari puncak gunung yang putus itu. Mungkin karena itu, desa ini diberi nama Kaliwedi,” jelas Rekajaya.

Mereka masih terus menyusuri jalan di pinggir desa itu. Dan sore itu Kamandaka bertemu Nyai Kertisara. Dia disambut dengan gembira oleh wanita yang masih menyimpan sisa-sisa gurat kecantikan di wajahnya. Hanya karena kemiskinan yang menderanya, menyebabkan tubuhnya cepat berangkat tua. Nyai Kertisara adalah seorang janda miskin tanpa anak yang tinggal di pinggir desa. Dia tinggal di gubuknya yang reyot itu ditemani adik lelakinya, Rekajaya. Sehari-harinya Nyai Kertisara menyambung hidup dengan berjualan daun pisang di pasar Desa Pangebatan. Desa Pangebatan merupakan desa paling ramai dan makmur di Kadipaten Pasirluhur. Di sana ada pasar yang setiap harinya ramai. Apalagi setiap hari pasaran. Hampir segala aneka macam barang bisa ditemukan di Pasar Pangebatan. 

Salah satu pusat kegiatan yang terkenal di Desa Pangebatan adalah gelanggang sabung ayam yang sengaja dibangun di pinggir lapangan desa. Hampir setiap hari pasaran, ada saja para botoh yang mengadu untung di situ. Nilai taruhan pun tidak tanggung-tanggung. Rekor taruhan tertinggi di arena permainan judi sabung ayam Desa Pangebatan pernah mencapai angka 2 bau, atau setara dengan tiga perempat hektar sawah, dan seorang istri lurah yang dijadikan taruhan. Ke sanalah tiap pagi Nyai Kertisara menjual daun pisangnya.

Gubuk reyot Nyai Kertisara itu berlantai tanah, beratap rumbia. Dinding rumah itu terbuat dari anyaman bambu tua yang sudah banyak lubangnya, sehingga angin dari luar leluasa menerobos masuk. Di belakang rumah, terdapat kandang ayam dari bambu tua dan kotor. Tidak banyak ayam berteduh di dalamnya.

Di dalam ruangan yang tak ada kamarnya itu, Kamandaka melihat dua buah dipan bambu beralas tikar dan sebuah rak dari bambu. Dipan yang berada di sudut belakang ruangan  adalah tempat tidur Nyai Kertisara. Dan yang berada di sudut depan adalah tempat tidur Rekajaya. Ya, pasti di situlah nanti malam Kamandaka akan tidur, di atas dipan bambu beralas tikar pandan, berdua bersama Rekajaya. 

Sore itu mereka bertiga makan dengan teman nasi ikan baceman Sungai Ciserayu yang digoreng, sambal, lalab daun kenikir, jengkol, dan petai rebus. Nyai Kertisara rupanya pandai membuat sambal dan memasak ikan sungai. Mereka bertiga duduk  mengelilingi meja kayu di tengah ruangan, makan dengan lahapnya. Selesai makan, di situ pula mereka berbincang-bincang sambil saling menjelaskan diri mereka masing-masing. Ternyata Nyai Kertisara gemar berceritera tentang dirinya.

Nyai Kertisara sebelum jatuh miskin, sebenarnya pernah menjadi istri seorang lurah kaya raya dari Desa Karangjati. Nyai Kertisara dulunya adalah seorang gadis cantik kembang desa Karangjati, anak seorang petani miskin yang merasa beruntung karena diambil menjadi istri seorang lurah. Dia menjadi istri yang keempat Lurah Desa Karangjati. Sayang sekali, lurah itu seorang pecandu sabung ayam kelas berat. Wanita itu hanya merasakan hidup berkecukupan selama dua tahun, sampai pada suatu malam suaminya mendatangi kamar tidurnya ditemani seorang laki-laki yang gagah perkasa. Tetapi lelaki yang baru dilihatnya itu, penampilannya terkesan agak kasar. 

“Nyai, dengarlah aku,” kata lurah yang wajahnya nampak pucat, lusuh, matanya merah, dan mulutnya agak berbau tuak. Dia berkata tapi tak berani menatap wajah istrinya yang tengah kebingungan diamuk sejumlah pertanyaan.

”Siang tadi aku kalah dalam taruhan sabung ayam di Pangebatan. Jago andalanku yang perkasa dan tak pernah kalah, takluk oleh jago lelaki ini. Maka aku ceraikan kamu malam ini juga. Sekarang, engkau milik lelaki ini. Namanya Kertisara dari Desa Kaliwedi. Aku mengijinkan dia malam ini tidur di kamarmu. Layanilah dia. Besok pagi dia baru akan memboyongmu ke Kaliwedi,” kata suaminya lagi. Lurah itu berbicara singkat dan seperlunya saja lalu keluar meninggalkan wanita malang itu di dalam kamarnya bersama lelaki yang baru dilihatnya malam itu.

Tentu saja dia sangat terkejut mendengar kata-kata suaminya yang sungguh tidak senonoh itu. Tiba-tiba dia merasa sangat terpukul. Harga dirinya seperti diinjak-injak oleh suaminya sendiri yang sungguh menjijikkan dan tidak punya perasaan itu. Dia merasa dirinya adalah sebuah barang yang dengan mudahnya dipertaruhkan di tempat perjudian sabung ayam tanpa sepengetahuan dirinya. Kemudian dengan mudahnya diserahkan begitu saja kepada orang lain, tanpa ditanya lebih dahulu. Istri muda lurah itu pun menangis sejadi-jadinya. Dia lari menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur. Dan di sana dia mulai menguras air matanya. Sempat terlintas dalam pikirannya, lebih baik mati menggantungkan diri, daripada dijamah oleh lelaki tukang judi sabung ayam yang kasar itu. Tetapi kemudian muncul pikiran lain lagi. 

Walaupun dia menangis dan air matanya terkuras habis, ataupun dia menjerit sekeras-kerasnya, semuanya tak akan ada yang  bisa menolongnya. Dia merasa tak akan dapat melawan takdir yang menimpa dirinya. Haruskah malam itu dia melayani  seorang lelaki yang bukan suaminya? Jika suaminya saja sudah tidak mau menolongnya, lalu kepada siapa dia harus berlindung? 

Lelaki pemenang taruhan sabung ayam itu duduk dengan sabar di tepi ranjang. Dibiarkannya wanita itu menangis sampai kering air matanya. Tetapi di tengah isak tangisnya, wanita itu mendengar lelaki itu berkata pelan, suaranya halus, sabar, dan terdengar lembut masuk ke telinganya. Kata-kata itu adalah kata-kata seorang pria penyabar dan penuh kasih sayang kepada dirinya. Sungguh beda dan jauh sekali dengan penampilan pertamanya yang terkesan kasar. Bahkan dia menilai lelaki yang duduk di tepi ranjang itu, lebih penyayang daripada suaminya.

“Nyai, apakah kamu lupa kepadaku? Aku Kertisara dari Kaliwedi. Aku pernah melamar kamu kepada ayahmu, lupakah Nyai? Tetapi ayahmu lebih memilih menantu seorang lurah dari pada aku. Janji palsu ayahmu mau diberi satu bau, atau setara dengan tiga ratus lima puluh meter persegi, sawah dari lurah itu, lebih berharga di mata ayahmu. Aku memang hanya seorang botoh ayam aduan. Tetapi sejak kemarin dan siang tadi, dua hari berurut-turut, dua bau sawah suamimu sudah jatuh ke tanganku di gelanggang adu ayam Pangebatan. Hampir dua tahun aku menunggu kesempatan ini. Suamimu memang penjudi berat. Bahkan kamu pun dipertaruhkan. Aku berhasil mengalahkannya di gelanggang sabung ayam Pangebatan. Malam ini kamu jadi milikku. Ambilah dua bau sawah bekas milik suamimu itu. Kuserahkan untuk kamu semua. Aku sudah lama merindukanmu.”

Seketika wanita malang itu menghentikan isak tangisnya. Dia sama sekali tidak menduga, lelaki yang terkesan berpenampilan kasar itu, ternyata masih menyimpan benih cinta yang mendalam kepada dirinya. Bahkan sekalipun sudah jadi istri seorang lurah, toh lelaki itu masih berusaha mengejarnya. Tampaknya lelaki itu mencintai dirinya dengan tulus. Wanita manapun sebenarnya akan bangga bila dikejar-kejar oleh seorang lelaki yang mencintainya. Karena dengan itu, dia merasa berharga dan dibutuhkan.

“Aku sudah lupa lagi. Kapan Kakang Kertisara bertemu aku?” tanyanya sambil bangkit dan duduk di tepi ranjang berdampingan dengan lelaki itu. Kini dia merasa tidak takut lagi.

“Tentu kamu sudah lupa. Suatu ketika aku melihat kamu pulang dari mandi bersama temanmu di belik yang ada di sudut desamu, Karangjati. Kulihat saat itu kamulah gadis paling cantik. Aku sudah mengenal banyak wanita. Tetapi belum pernah aku merasakan, betapa aku sangat tertarik kepadamu. Tetapi ketika aku tanyakan kepada ayahmu, dia memandangku dengan sebelah mata. Kata ayahmu saat itu, aku terlambat, karena Lurah Desa Karangjati telah melamar kamu lebih dulu.”

Wanita itu diam sejenak. Air matanya tiba-tiba cepat mengering. Ia merasakan sebuah perubahan dalam dirinya. Sebuah perasaan damai dan senang tiba-tiba muncul. Lelaki itu memang lebih melindungi dirinya dari pada suaminya. Ketika itu suaminya dengan mudah dan tanpa beban menyerahkan dirinya kepada lelaki itu. Dirinya dianggap seakan-akan hanyalah kembang layu yang dengan mudah bisa dibuang ke comberan. Ternyata lelaki itu memungut bunga itu hendak merawat dan menjaganya. Bagi lelaki itu, dirinya seakan-akan adalah sekuntum bunga yang tidak pernah layu. Akhirnya dia memutuskan untuk menyerahkan jiwa raganya, pasrah kepada kehendak takdir dan bertekad untuk setia kepada lelaki itu. Dia pun dalam hatinya berjanji akan mengikuti kemana pun lelaki itu pergi.

“Baiklah, Kakang Kertisara. Kakang boleh berbuat sekehendak Kakang sejak malam ini kepadaku,” kata wanita itu pasrah sambil menyandarkan dirinya ke lengan Kertisara. ”Haruskah aku melayani Kakang malam ini?”

Kertisara memeluk dan mencium kening wanita itu. Wanita yang dua atau tiga tahun lalu dilihatnya pertama kali dari bawah pohon waru di desa Karangjati.

“Aku malam ini hanya ingin tidur di sampingmu. Aku tak akan mengganggumu. Malam ini kamu belum resmi menjadi istriku, bukan?”

Wanita itu mengangguk. Tetapi muncul dalam dirinya perasaan heran dan gembira bercampur jadi satu. ”Bagaimana mungkin seorang lelaki yang berpenampilan rada kasar itu, dan yang dalam kehidupannya sehari-hari tidak pernah jauh dari gelanggang adu ayam, tetapi masih memegang norma adat dan agama?” tanya wanita itu di dalam hati.

Malam itu dilewatinya dengan impian-impian indah. Wanita itu tidur di samping Kertisara yang tidur pulas dan memegang teguh janjinya. Sedikitpun Kertisara tak berani menggangu wanita yang dirindukannya itu. Hal ini akhirnya membuat wanita itu sama sekali tidak pernah menyesal diceraikan oleh lurah yang hanya mencintai tubuhnya, tetapi tidak pernah mencintai segenap jiwa dan raganya. Paginya dengan perasaan riang ditinggalkannya rumah itu. Dia bertekad mengikuti Ki Kertisara ke Desa Kaliwedi, menjadi istri setia, sebagai bentuk pengabdian kepada seorang lelaki yang memang tulus mencintainya.

“Demikian Raden, perjalanan hidup hamba,” kata Nyai Kertisara kepada Kamandaka,  mengungkapkan riwayatnya mendapatkan suami seorang botoh adu jago.

“Sayang sekali, cita-cita Kakang Kertisara untuk memperoleh keturunan dari hamba tidak terlaksaana. Bahkan beberapa bulan kemudian, Kakang Kertisara ditemukan orang telah meninggal. Mayatnya ditemukan di pertemuan Sungai Cingcinggoling dan Sungai Ciserayu. Sawah dua bau milik hamba hadiah perkawinan dari Kakang Kertisara diambil kembali secara paksa oleh pemiliknya, lurah mantan suami hamba,” ujar Nyai Kertisara mengakhiri ceriteranya.

Nyai Kertisara menarik napas dalam-dalam, sehingga dadanya yang kini datar itu, samar-samar nampak bergelombang. Dia tak akan pernah lupa pada masa lalunya. Matanya tampak berbinar-binar saat wanita malang itu bisa menceriterakan suka dukanya kepada Kamandaka. Dia merasakan ada kebahagiaan dalam dirinya, karena dia bisa mengadukan sepenggal perjalanan hidupnya yang  berakhir dengan menyedihkan itu.
Matahari sudah lenyap ke bawah kaki langit, malam hari mendatangi Desa Kaliwedi, ketika Nyai Kertisara bangkit membereskan meja makan dan pergi ke dapur di belakang rumah. Malam itu Kamandaka tidur pulas di atas dipan bambu bersama Rekajaya. Sebelum tidur Kamandaka memantapkan niatnya di dalam hati untuk membantu meringankan beban kakak-adik yang miskin dan malang itu. Rekajaya berjanji besok pagi akan mencarikan Kamandaka seekor bakalan ayam aduan.

Pagi harinya, katika fajar baru muncul di kaki langit sebelah timur, dan embun pagi masih bergelantungan di pucuk daun-daun pisang yang banyak tumbuh di pinggir-pinggir desa, mereka bertiga sudah berjalan menuju Pasar Pangebatan. Nyai Kertisara seperti biasa akan menjual daun pisang, sedangkan Kamandaka dan Rekajaya akan pergi ke pasar hewan yang ada di sebelah selatan pasar. 

“Kita cari ayam aduan yang masih bakalan saja. Nanti kita latih jadi ayam aduan hebat, seperti ayam aduan milik Cindelaras, Raden,” kata Rekajaya.

Cindelaras adalah putra Raja Kediri yang dibuang di tengah hutan dan menemukan seekor telur ayam jantan. Setelah dierami dan menetas, anak ayam itu tumbuh jadi ayam jantan milik Cindelaras yang tak terkalahkan. Bahkan ayam aduan Sang Raja pun berhasil dikalahkan oleh ayam jago Cindelaras. Sang Raja pun akhirnya bertemu dengan putranya yang bertahun-tahun hidup di tengah hutan. Sejak itu nama Cindelaras menjadi nama kesayangan para pecandu judi sabung ayam. Demikian Rekajaya menceriterakan dongeng Cindelaras pada Kamandaka yang berjalan di sampingnya.

Akhirnya mereka berdua sudah sampai di pasar hewan. Kebetulan hari itu hari pasaran, sehingga pasar hewan ramai didatangi pengunjung. Mereka berdua lama berputar-putar dari satu pedagang ayam ke pedagang ayam yang lain. Sebagai seorang bekas pembantu botoh Ki Kertisara, tentu saja Rekajaya pandai memilih ayam jantan calon ayam aduan yang berkualitas.

Dengan uang hasil menjual cincin emas milik Kamandaka, Rekajaya akhirnya menemukan seekor ayam masih muda, bulunya merah, diselingi bulu-bulu berwarna hitam mengkilap. Matanya jernih, paruhnya melengkung, pialnya tegak bagaikan mahkota sedang bertengger di kepalanya. Tajinya belum begitu panjang, menandakan ayam jago itu masih muda. 

“Bagus sekali ayam ini, Raden. Dua bulan kita latih, akan jadi ayam jagoan hebat, siap turun ke gelanggang. Lihatlah Raden, kakinya panjang, bulat seperti pohon jati. Pasti sangat kuat untuk menghajar lawannya,“ kata Rekajaya dalam perjalanan pulang kembali ke rumahnya, sambil menenteng ayam jago yang baru dibelinya.
Sisa uang penjualan cincin emas Kamandaka masih cukup banyak. Kelak bisa jadi modal taruhan melawan para punggawa Kadipaten Pasirluhur dan para lurah yang gemar bermain judi adu ayam di Pangebatan.[Bersambung]