Desa Kaliwedi
dikelelingi oleh ladang yang luas, sawah menguning dengan tanaman padi, dan
deretan pohon kelapa serta pohon aren yang tumbuh di pinggir-pinggir desa.
Sebuah jalan besar membelah tengah-tengah desa, meliuk-liuk sepertu ular, naik
menanjaki punggung pegunungan di sebelah utara, kemudian lenyap di balik bukit
yang menghijau. Di balik bukit, orang harus melalui jalan terbentang menuju ke
arah utara, lalu belok ke barat jika dia ingin menuju Kadipaten Pasirluhur.
“Hanya diperlukan waktu
sekitar seperempat hari jalan kaki dari sini, jika Raden ingin mengunjungi
Kadipaten Pasirluhur,“ ujar Rekajaya sambil berjalan berdua menuju rumah Nyai
Kertisara. Mega-mega putih tampak berarak-arak di langit biru, menutupi
matahari yang pelan-pelan turun menuju kaki langit sebelah barat.
“Kalau itu perbukitan
yang puncaknya rata, bukit apa, Kakang?” tanya Kamandaka menunjuk bukit yang
ada di depannya.
“Penduduk di sini menyebutnya
Gunung Tugel, Raden.”
“Siapa yang telah
memotong puncak bukit itu?”
“Hehehe…, penduduk tak
ada yang tahu. Bisa jadi dahulu gunung itu adalah sebuah anak gunung berapi
yang meletus, sehingga sebagian puncaknya terpotong, lalu gunung itu pun padam.
Kenyataannya di sekitarnya banyak pasir bertebaran. Bisa jadi pasir itu berasal
dari puncak gunung yang putus itu. Mungkin karena itu, desa ini diberi nama
Kaliwedi,” jelas Rekajaya.
Mereka masih terus menyusuri
jalan di pinggir desa itu. Dan sore itu Kamandaka bertemu Nyai Kertisara. Dia
disambut dengan gembira oleh wanita yang masih menyimpan sisa-sisa gurat
kecantikan di wajahnya. Hanya karena kemiskinan
yang menderanya, menyebabkan tubuhnya cepat berangkat tua. Nyai Kertisara
adalah seorang janda miskin tanpa anak yang tinggal di pinggir desa. Dia
tinggal di gubuknya yang reyot itu ditemani adik lelakinya, Rekajaya. Sehari-harinya
Nyai Kertisara menyambung hidup dengan berjualan daun pisang di pasar Desa
Pangebatan. Desa Pangebatan merupakan desa paling ramai dan makmur di Kadipaten
Pasirluhur. Di sana ada pasar yang setiap harinya ramai. Apalagi setiap hari
pasaran. Hampir segala aneka macam barang bisa ditemukan di Pasar Pangebatan.
Salah satu pusat
kegiatan yang terkenal di Desa Pangebatan adalah gelanggang sabung ayam yang sengaja
dibangun di pinggir lapangan desa. Hampir setiap hari pasaran, ada saja para
botoh yang mengadu untung di situ. Nilai taruhan pun tidak tanggung-tanggung.
Rekor taruhan tertinggi di arena permainan judi sabung ayam Desa Pangebatan
pernah mencapai angka 2 bau, atau
setara dengan tiga perempat hektar sawah, dan seorang istri lurah yang
dijadikan taruhan. Ke sanalah tiap pagi Nyai Kertisara menjual daun pisangnya.
Gubuk reyot Nyai
Kertisara itu berlantai tanah, beratap rumbia. Dinding rumah itu terbuat dari anyaman
bambu tua yang sudah banyak lubangnya, sehingga angin dari luar leluasa
menerobos masuk. Di belakang rumah, terdapat kandang ayam dari bambu tua dan
kotor. Tidak banyak ayam berteduh di dalamnya.
Di dalam ruangan yang
tak ada kamarnya itu, Kamandaka melihat dua buah dipan bambu beralas tikar dan
sebuah rak dari bambu. Dipan yang berada di sudut belakang ruangan adalah tempat tidur Nyai Kertisara. Dan yang
berada di sudut depan adalah tempat tidur Rekajaya. Ya, pasti di situlah nanti
malam Kamandaka akan tidur, di atas dipan bambu beralas tikar pandan, berdua
bersama Rekajaya.
Sore itu mereka bertiga
makan dengan teman nasi ikan baceman Sungai Ciserayu yang digoreng, sambal,
lalab daun kenikir, jengkol, dan petai rebus. Nyai Kertisara rupanya pandai
membuat sambal dan memasak ikan sungai. Mereka bertiga duduk mengelilingi meja kayu di tengah ruangan,
makan dengan lahapnya. Selesai makan, di situ pula mereka berbincang-bincang
sambil saling menjelaskan diri mereka masing-masing. Ternyata Nyai Kertisara
gemar berceritera tentang dirinya.
Nyai Kertisara sebelum
jatuh miskin, sebenarnya pernah menjadi istri seorang lurah kaya raya dari Desa
Karangjati. Nyai Kertisara dulunya adalah seorang gadis cantik kembang desa
Karangjati, anak seorang petani miskin yang merasa beruntung karena diambil
menjadi istri seorang lurah. Dia menjadi istri yang keempat Lurah Desa
Karangjati. Sayang sekali, lurah itu seorang pecandu sabung ayam kelas berat. Wanita
itu hanya merasakan hidup berkecukupan selama dua tahun, sampai pada suatu
malam suaminya mendatangi kamar tidurnya ditemani seorang laki-laki yang gagah
perkasa. Tetapi lelaki yang baru dilihatnya itu, penampilannya terkesan agak
kasar.
“Nyai, dengarlah aku,”
kata lurah yang wajahnya nampak pucat, lusuh, matanya merah, dan mulutnya agak
berbau tuak. Dia berkata tapi tak berani menatap wajah istrinya yang tengah
kebingungan diamuk sejumlah pertanyaan.
”Siang tadi aku kalah
dalam taruhan sabung ayam di Pangebatan. Jago andalanku yang perkasa dan tak
pernah kalah, takluk oleh jago lelaki ini. Maka aku ceraikan kamu malam ini
juga. Sekarang, engkau milik lelaki ini. Namanya Kertisara dari Desa Kaliwedi.
Aku mengijinkan dia malam ini tidur di kamarmu. Layanilah dia. Besok pagi dia
baru akan memboyongmu ke Kaliwedi,” kata suaminya lagi. Lurah itu berbicara
singkat dan seperlunya saja lalu keluar meninggalkan wanita malang itu di dalam
kamarnya bersama lelaki yang baru dilihatnya malam itu.
Tentu saja dia sangat
terkejut mendengar kata-kata suaminya yang sungguh tidak senonoh itu. Tiba-tiba
dia merasa sangat terpukul. Harga dirinya seperti diinjak-injak oleh suaminya
sendiri yang sungguh menjijikkan dan tidak punya perasaan itu. Dia merasa
dirinya adalah sebuah barang yang dengan mudahnya dipertaruhkan di tempat perjudian
sabung ayam tanpa sepengetahuan dirinya. Kemudian dengan mudahnya diserahkan
begitu saja kepada orang lain, tanpa ditanya lebih dahulu. Istri muda lurah itu
pun menangis sejadi-jadinya. Dia lari menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur.
Dan di sana dia mulai menguras air matanya. Sempat terlintas dalam pikirannya,
lebih baik mati menggantungkan diri, daripada dijamah oleh lelaki tukang judi
sabung ayam yang kasar itu. Tetapi kemudian muncul pikiran lain lagi.
Walaupun dia menangis
dan air matanya terkuras habis, ataupun dia menjerit sekeras-kerasnya, semuanya
tak akan ada yang bisa menolongnya. Dia
merasa tak akan dapat melawan takdir yang menimpa dirinya. Haruskah malam itu
dia melayani seorang lelaki yang bukan
suaminya? Jika suaminya saja sudah tidak mau menolongnya, lalu kepada siapa dia
harus berlindung?
Lelaki pemenang taruhan
sabung ayam itu duduk dengan sabar di tepi ranjang. Dibiarkannya wanita itu menangis
sampai kering air matanya. Tetapi di tengah isak tangisnya, wanita itu
mendengar lelaki itu berkata pelan, suaranya halus, sabar, dan terdengar lembut
masuk ke telinganya. Kata-kata itu adalah kata-kata seorang pria penyabar dan
penuh kasih sayang kepada dirinya. Sungguh beda dan jauh sekali dengan
penampilan pertamanya yang terkesan kasar. Bahkan dia menilai lelaki yang duduk
di tepi ranjang itu, lebih penyayang daripada suaminya.
“Nyai, apakah kamu lupa
kepadaku? Aku Kertisara dari Kaliwedi. Aku pernah melamar kamu kepada ayahmu,
lupakah Nyai? Tetapi ayahmu lebih memilih menantu seorang lurah dari pada aku.
Janji palsu ayahmu mau diberi satu bau,
atau setara dengan tiga ratus lima puluh meter persegi, sawah dari lurah itu,
lebih berharga di mata ayahmu. Aku memang hanya seorang botoh ayam aduan.
Tetapi sejak kemarin dan siang tadi, dua hari berurut-turut, dua bau sawah suamimu sudah jatuh ke
tanganku di gelanggang adu ayam Pangebatan. Hampir dua tahun aku menunggu
kesempatan ini. Suamimu memang penjudi berat. Bahkan kamu pun dipertaruhkan.
Aku berhasil mengalahkannya di gelanggang sabung ayam Pangebatan. Malam ini
kamu jadi milikku. Ambilah dua bau
sawah bekas milik suamimu itu. Kuserahkan untuk kamu semua. Aku sudah lama
merindukanmu.”
Seketika wanita malang
itu menghentikan isak tangisnya. Dia sama sekali tidak menduga, lelaki yang
terkesan berpenampilan kasar itu, ternyata masih menyimpan benih cinta yang
mendalam kepada dirinya. Bahkan sekalipun sudah jadi istri seorang lurah, toh
lelaki itu masih berusaha mengejarnya. Tampaknya lelaki itu mencintai dirinya
dengan tulus. Wanita manapun sebenarnya akan bangga bila dikejar-kejar oleh
seorang lelaki yang mencintainya. Karena dengan itu, dia merasa berharga dan
dibutuhkan.
“Aku sudah lupa lagi.
Kapan Kakang Kertisara bertemu aku?” tanyanya sambil bangkit dan duduk di tepi
ranjang berdampingan dengan lelaki itu. Kini dia merasa tidak takut lagi.
“Tentu kamu sudah lupa.
Suatu ketika aku melihat kamu pulang dari mandi bersama temanmu di belik yang ada
di sudut desamu, Karangjati. Kulihat saat itu kamulah gadis paling cantik. Aku
sudah mengenal banyak wanita. Tetapi belum pernah aku merasakan, betapa aku
sangat tertarik kepadamu. Tetapi ketika aku tanyakan kepada ayahmu, dia
memandangku dengan sebelah mata. Kata ayahmu saat itu, aku terlambat, karena
Lurah Desa Karangjati telah melamar kamu lebih dulu.”
Wanita itu diam sejenak.
Air matanya tiba-tiba cepat mengering. Ia merasakan sebuah perubahan dalam
dirinya. Sebuah perasaan damai dan senang tiba-tiba muncul. Lelaki itu memang
lebih melindungi dirinya dari pada suaminya. Ketika itu suaminya dengan mudah
dan tanpa beban menyerahkan dirinya kepada lelaki itu. Dirinya dianggap seakan-akan
hanyalah kembang layu yang dengan mudah bisa dibuang ke comberan. Ternyata
lelaki itu memungut bunga itu hendak merawat dan menjaganya. Bagi lelaki itu,
dirinya seakan-akan adalah sekuntum bunga yang tidak pernah layu. Akhirnya dia memutuskan
untuk menyerahkan jiwa raganya, pasrah kepada kehendak takdir dan bertekad
untuk setia kepada lelaki itu. Dia pun dalam hatinya berjanji akan mengikuti
kemana pun lelaki itu pergi.
“Baiklah, Kakang
Kertisara. Kakang boleh berbuat sekehendak Kakang sejak malam ini kepadaku,” kata
wanita itu pasrah sambil menyandarkan dirinya ke lengan Kertisara. ”Haruskah
aku melayani Kakang malam ini?”
Kertisara memeluk dan
mencium kening wanita itu. Wanita yang dua atau tiga tahun lalu dilihatnya
pertama kali dari bawah pohon waru di desa Karangjati.
“Aku malam ini hanya
ingin tidur di sampingmu. Aku tak akan mengganggumu. Malam ini kamu belum resmi
menjadi istriku, bukan?”
Wanita itu mengangguk.
Tetapi muncul dalam dirinya perasaan heran dan gembira bercampur jadi satu. ”Bagaimana mungkin seorang lelaki yang berpenampilan rada kasar itu, dan yang
dalam kehidupannya sehari-hari tidak pernah jauh dari gelanggang adu ayam,
tetapi masih memegang norma adat dan agama?” tanya wanita itu di dalam hati.
Malam itu dilewatinya
dengan impian-impian indah. Wanita itu tidur di samping Kertisara yang tidur
pulas dan memegang teguh janjinya. Sedikitpun Kertisara tak berani menggangu
wanita yang dirindukannya itu. Hal ini akhirnya membuat wanita itu sama sekali
tidak pernah menyesal diceraikan oleh lurah yang hanya mencintai tubuhnya,
tetapi tidak pernah mencintai segenap jiwa dan raganya. Paginya dengan perasaan
riang ditinggalkannya rumah itu. Dia bertekad mengikuti Ki Kertisara ke Desa
Kaliwedi, menjadi istri setia, sebagai bentuk pengabdian kepada seorang lelaki
yang memang tulus mencintainya.
“Demikian Raden,
perjalanan hidup hamba,” kata Nyai Kertisara kepada Kamandaka, mengungkapkan riwayatnya mendapatkan suami
seorang botoh adu jago.
“Sayang sekali,
cita-cita Kakang Kertisara untuk memperoleh keturunan dari hamba tidak terlaksaana.
Bahkan beberapa bulan kemudian, Kakang Kertisara ditemukan orang telah
meninggal. Mayatnya ditemukan di pertemuan Sungai Cingcinggoling dan Sungai
Ciserayu. Sawah dua bau milik hamba hadiah perkawinan dari Kakang Kertisara
diambil kembali secara paksa oleh pemiliknya, lurah mantan suami hamba,” ujar
Nyai Kertisara mengakhiri ceriteranya.
Nyai Kertisara menarik
napas dalam-dalam, sehingga dadanya yang kini datar itu, samar-samar nampak
bergelombang. Dia tak akan pernah lupa pada masa lalunya. Matanya tampak
berbinar-binar saat wanita malang itu bisa menceriterakan suka dukanya kepada
Kamandaka. Dia merasakan ada kebahagiaan dalam dirinya, karena dia bisa
mengadukan sepenggal perjalanan hidupnya yang
berakhir dengan menyedihkan itu.
Matahari sudah lenyap
ke bawah kaki langit, malam hari mendatangi Desa Kaliwedi, ketika Nyai
Kertisara bangkit membereskan meja makan dan pergi ke dapur di belakang rumah. Malam
itu Kamandaka tidur pulas di atas dipan bambu bersama Rekajaya. Sebelum tidur
Kamandaka memantapkan niatnya di dalam hati untuk membantu meringankan beban
kakak-adik yang miskin dan malang itu. Rekajaya berjanji besok pagi akan
mencarikan Kamandaka seekor bakalan ayam aduan.
Pagi harinya, katika
fajar baru muncul di kaki langit sebelah timur, dan embun pagi masih
bergelantungan di pucuk daun-daun pisang yang banyak tumbuh di pinggir-pinggir
desa, mereka bertiga sudah berjalan menuju Pasar Pangebatan. Nyai Kertisara
seperti biasa akan menjual daun pisang, sedangkan Kamandaka dan Rekajaya akan
pergi ke pasar hewan yang ada di sebelah selatan pasar.
“Kita cari ayam aduan
yang masih bakalan saja. Nanti kita latih jadi ayam aduan hebat, seperti ayam
aduan milik Cindelaras, Raden,” kata Rekajaya.
Cindelaras adalah putra
Raja Kediri yang dibuang di tengah hutan dan menemukan seekor telur ayam
jantan. Setelah dierami dan menetas, anak ayam itu tumbuh jadi ayam jantan
milik Cindelaras yang tak terkalahkan. Bahkan ayam aduan Sang Raja pun berhasil
dikalahkan oleh ayam jago Cindelaras. Sang Raja pun akhirnya bertemu dengan
putranya yang bertahun-tahun hidup di tengah hutan. Sejak itu nama Cindelaras
menjadi nama kesayangan para pecandu judi sabung ayam. Demikian Rekajaya
menceriterakan dongeng Cindelaras pada Kamandaka yang berjalan di sampingnya.
Akhirnya mereka berdua
sudah sampai di pasar hewan. Kebetulan hari itu hari pasaran, sehingga pasar
hewan ramai didatangi pengunjung. Mereka berdua lama berputar-putar dari satu
pedagang ayam ke pedagang ayam yang lain. Sebagai seorang bekas pembantu botoh
Ki Kertisara, tentu saja Rekajaya pandai memilih ayam jantan calon ayam aduan yang
berkualitas.
Dengan uang hasil
menjual cincin emas milik Kamandaka, Rekajaya akhirnya menemukan seekor ayam
masih muda, bulunya merah, diselingi bulu-bulu berwarna hitam mengkilap.
Matanya jernih, paruhnya melengkung, pialnya tegak bagaikan mahkota sedang bertengger
di kepalanya. Tajinya belum begitu panjang, menandakan ayam jago itu masih
muda.
“Bagus sekali ayam ini,
Raden. Dua bulan kita latih, akan jadi ayam jagoan hebat, siap turun ke
gelanggang. Lihatlah Raden, kakinya panjang, bulat seperti pohon jati. Pasti
sangat kuat untuk menghajar lawannya,“ kata Rekajaya dalam perjalanan pulang
kembali ke rumahnya, sambil menenteng ayam jago yang baru dibelinya.
Sisa uang penjualan
cincin emas Kamandaka masih cukup banyak. Kelak bisa jadi modal taruhan melawan
para punggawa Kadipaten Pasirluhur dan para lurah yang gemar bermain judi adu
ayam di Pangebatan.[Bersambung]
https://sabungayamlive.site/
BalasHapusLink alternatif merupakan tempat proses tempat deposit dan whitdraw
Silakan Kunjungi Artikel tajenonline.com
BalasHapusOVO S128
Jadwal Bank S128
Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995
https://pemainayam.net/fakta-penyebab-ayam-bangkok-selalu-takut-dengan-ayam-kampung
BalasHapusFakta Penyebab Ayam Bangkok Selalu Takut Dengan Ayam Kampung, Ayam Bangkok merupakan salah satu ayam petarung yang paling banyak ditakuti oleh beberapa penggemar adu ayam di indonesia dan internasional.
WA : 0812-2222-995
Line: cs_bolavita
Telegram : @bolavitacc