Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 03 Desember 2019

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijaya Kusuma (24)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijaya Kusuma (24): Santap siang dengan aneka macam makanan, minuman, dan buah-buahan telah disajikan di ruang tamu padepokan yang telah di sulap jadi tem...

Novel : Pusaka Kembang Wijaya Kusuma (24)



Santap siang dengan aneka macam makanan, minuman, dan buah-buahan telah disajikan di ruang tamu padepokan yang telah di sulap jadi tempat makan bersama dengan duduk melingkar di atas tikar halus yang digelar di lantai. Sejumlah endang siswi padepokan hilir mudik melayani para tamu. Resi Batu Putih segera mempersilahkan Sang Dewi mengawali hidangan santap siang dengan didampingi Kamandaka.
“Silahkan, Ananda Kanjeng Ayu Adipati. Masakan tidak selezat juru masak Kadipaten Pasirluhur. Hanya olahan para endang siswi padepokan. Ayo, Ananda Kanjeng Adipati! ” kata Resi Batu Putih merendah mempersilahkan Sang Dewi dan Kamandaka beserta rombongan menikmati hidangan santap siang.
“Terima kasih, Yang Suci Bapa Resi, kami telah merepotkan keluarga Padepokan Batu Putih,” kata Sang Dewi seraya mengambilkan nasi untuk suaminya, Kamandaka. Dyah Ayu Sekar Menur, Dyah Ayu Mayang Sari, dan Dyah Ayu Ratna Pemekas ikut-ikutan mengambilkan nasi untuk kekasihnya masing-masing. Khandegwilis tidak kalah sigapnya. Dia mengambilkan untuk Nyai Kertisara, Rekajaya, dan Tumenggung Maresi. Sayur lodeh, lalaban, dan aneka macam ikan laut yang dibakar, menjadi menu utama santap siang di Padepokan Batu Putih.
“Kami atas nama seluruh keluarga Padepokan Batu Putih yang seharusnya menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati beserta rombongan yang telah berkenan singgah di padepokan yang sederhana ini,” kata Resi Batu Putih sambil menemani tamunya menikmati hidangan santap siang.
Lurah Karangjati dengan anak buahnya, prajurit pengawal dari Kadipaten Pasirluhur, menikmati santap siang di tempat terpisah. Mereka makan dengan berkumpul bersama di serambi padepokan ditemani para cantrik sambil saling berkenalan dan mengakrabkan persahabatan. Sejumlah endang juga melayani keperluan makan dan minum para prajurit pengawal yang berada dibawah pimpinan Lurah Karangjati.
Tentu para endang siswi padepokan yang paling sibuk. Sebab merekalah yang ditugaskan untuk memasak makanan dan menyajikannya kepada para tamu. Semua bahan mentah dan aneka buah-buahan sengaja didatangkan jauh-jauh hari dari Nusakambangan atas perintah Dyah Ayu Sekarmenur. Para siswi padepokan itu tinggal mengolahnya. Tentu saja para cantrik padepokan juga sibuk memberikan bantuan dalam hajatan menyambut rombongan tamu dari Kadipaten Pasirluhur.
Kepala cantrik Janggan Nilasakti, juga tidak kalah sibuk mengatur anak buahnya agar semua tamu termasuk para prajurit pengiring dari Kadipaten Pasirluhur tidak ada yang tidak kebagian menu makan siang. Siang itu bagi para cantrik dan endang Padepokan Batu Putih menjadi semacam pesta menyambut tamu yang amat menyenangkan, karena melimpahnya bahan makanan, buah-buahan, dan minuman yang jarang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka, para cantrik dan warga Padepokan Batu Putih sama sekali tidak menyadari, bahwa kegiatan mereka menyambut tamu itu akan segera disusul dengan kejadian yang sama sekali tidak mereka duga.
Usai santap siang rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera berpamitan kepada Resi Batu Putih dan Janggan Nilasakti, seraya menyampaikan ucapan terimakasih atas segala penyambutan yang begitu ramah yang telah diberikan oleh keluarga besar Padepokan Batu Putih. Rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera bergegas meninggalkan Padepokan Batu Putih dan meneruskan perjalanan menuju Nusakambangan.
Sebuah perahu berukuran besar membawa seluruh rombongan Sang Dewi yang hanya berjumlah 27 orang dengan satu kali angkut. Dengan mudah perahu itu melayari laut Segara Anakan menuju Pulau Nusakambangan. Perahu-perahu yang hilir mudik di muara Sungai Ciserayu itu, semakin lama tampak semakin mengecil, ketika perahu yang membawa rombongan Sang Dewi semakin jauh meninggalkan Teluk Penyu.
Matahari sudah condong ke arah barat, langit berwarna biru cerah dengan hanya sedikit awan putih yang tipis. Akibatnya permukaan laut tampak berkilau-kilauan memantulkan warna langit yang terkadang menyilaukan mata. Sang Dewi memandang tak berkedip permukaan air laut yang membiru. Di permukaannya terbentuk gelombang-gelombang kecil berbaris memanjang memenuhi seluruh permukaan laut yang dilayari perahu, sehingga Sang Dewi merasa dia bukan sedang melayari sebuah selat.
“Apa yang sedang Diajeng pikirkan?” tanya Kamandaka ketika melihat istrinya yang duduk disampingnya itu lebih banyak diam.
“Hanya merasa sedikit heran. Ternyata melayari laut tidak berbeda dengan mengarungi sungai. Rasanya permukaan laut ini seperti permukaan sungai yang jauh lebih luas. Lihat saja gelombangnya yang membentuk barisan memanjang di seluruh permukaannya. Semuanya nyaris seragam bentuknya,” kata Sang Dewi sambil terus memandang ke permukaan laut yang bergerak ke belakang, karena perahu melaju ke depan.
“Kalau Kanda, apa yang sedang dipikirkan?” tanya Sang Dewi.
“Kalau aku selalu terpikirkan, kapan segera punya anak dari Diajeng,” jawab Kamandaka sambil tersenyum. Sang Dewi diam saja. Dia sedang mencari-cari kalimat yang tepat untuk mengalihkan pembicaraan.
“Selain itu, apa lagi yang sedang Kanda pikirkan?” Sang Dewi bertanya lagi dengan cerdiknya.
“Yang juga sedang aku pikirkan, aku kagum kepada Raja Pulebahas. Sebenarnya menurutku, dia itu penguasa kerajaan lautan yang hebat. Dia bukan hanya mampu membangun angkatan perang yang tangguh. Tetapi juga mampu membangun armada lautan yang kuat. Lihat saja perahu-perahu yang hilir mudik di selat ini. Selat ini praktis seluruhnya dikuasai perahu-perahu warisan Kerajaan Nusakambangan. Demikian pula perahu-perahu yang beroperasi di muara Sungai Citanduy dan muara Sungai Ciserayu. Baik perahu-perahu angkutan sungai, angkutan laut maupun perahu penangkap ikan, sebagian besar dulunya milik Kerajaan Nusakambangan,” kata Kamandaka.
“Ya, karya yang baik perlu kita tiru. Yang jelek dan buruk, kita tinggalkan. Aku setuju, dia Raja hebat. Mampu membangun kerajaan lautan terbesar di pantai selatan Pulau Jawa,” kata Sang Dewi.
“Sebenarnya dulu pada masa Kerajaan Galuh, Maha Patih Bunisora sudah mempunyai gagasan untuk mengembangkan muara Sungai Ciserayu dan muara Sungai Citanduy menjadi bandar yang besar di Lautan Selatan. Sayang cita-cita Mahapatih Bunisora kandas, karena Sang Raja Niskala Wastukencana lebih suka memindahkan Kerajaan Galuh ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka.
“Leluhur Kanjeng Rama sebenarnya kan memiliki kekerabatan juga dengan Mahapatih Bunisora,” kata Sang Dewi menyambung pembicaraan Kamandaka.
“Hampir semua adipati di sekitar lembah Ciserayu dan Citanduy memiliki ikatan kekerabatan dengan Maha Patih Bunisora,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Itu menurut Kanjeng Rama. Dan Kanjeng Rama sepenuhnya benar. Mereka antara lain adalah Adipati Kalipucang, Adipati Cukangleles, Adipati Pasirluhur, Adipati Banakeling Arjabinangun, Adipati Ayah dan Adipati Nusakambangan. Makanya dulu Dinda Wirapati hendak dijodohkan dengan Dyah Ayu Niken Gambirarum, putri Adipati Kalipucang, karena antara Adipati Dayeuhluhur dan Adipati Kalipucang ada ikatan keluarga,” jelas Sang Dewi kepada Kamandaka.
“Lho, bukankah Adipati Dayeuhluhur itu adik Kanjeng Ibu?” tanya Kamandaka.
“Betul. Tetapi istrinya punya hubungan kekerabatan dengan Mahapatih Bunisora dan Adipati Kalipucang,” jawab Sang Dewi.
Di atas perahu yang istimewa itu Sang Dewi dan Kamandaka ditempatkan oleh Sekarmenur di tempat duduk khusus untuk mereka berdua. Di belakang Sang Dewi dan Kamandaka duduk para pengawal pribadi berjumlah 10 orang untuk menjaga keselamatan Sang Dewi dan Kamandaka. Sekarmenur memang tak mau mengambil risiko dengan keamanan Sang Dewi dan Kamandaka. Sebab bagaimanapun juga Kamandaka adalah bekas Panglima Tertinggi dalam perang yang berhasil menaklukan Kerajaan Nusakambangan dan menewaskan Raja Pulebahas beserta anak buahnya beberapa waktu yang lalu. Sekarmenur yang mendapat tugas mengendalikan pemerintahan Nusakambangan itu, sebenarnya sama sekali tidak khawatir dengan keselamatan Kamandaka. Yang dikhawatirkan justru keselamatan Sang Dewi.
Di belakang pasukan pengawal Sang Dewi itu barulah duduk berderet Wirapati, Sekarmenur, Mayangsari dan Silihwarna. Di belakangnya lagi, Arya Baribin, Ratna Pamekas, Sekarmelati, dan Dyah Ayu Sekar Cempaka dalam satu deret. Kemudian di belakangnya lagi, duduk pula berderet Pendeta Muda, Nyai Kertisara, Khandegwilis dan Rekajaya. Lalu duduk di deretan terakhir Tumenggung Maresi, Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan para prajurit pengawal.
Perahu yang digunakan untuk menyeberangkan rombongan Sang Dewi itu, sebenarnya perahu istimewa milik Sang Raja Pulebahas yang dirancang sebagai perahu pesiar. Karena itu lambung perahu cukup lebar, mampu membawa 30 orang penumpang, dilengkapi dengan tempat duduk yang nyaman, dan memiliki sepasang tiang layar. Jika angin mati, perahu yang sebagian besar dibuat dari kayu kruing itu, digerakkan oleh delapan tukang sauh di haluan perahu dan delapan tukang sauh di buritan perahu.
Bagi Wirapati, Sekarmenur, dan kedua adiknya menyeberangi laut Segara Anakan tentu sudah puluhan kali. Tetapi bagi Sang Dewi dan Kamandaka beserta adik-adiknya, perjalanan melayari laut itu merupakan pengalaman baru pertama kali. Karena itu mereka lebih banyak menikmati panorama indah dari alam di sekitarnya.
Sementara itu, Sang Dewi dan Kamandaka masih asyik membicarakan Raja Pulebahas. “Kalau begitu leluhur Raja Pulebahas adalah trah Kerajaan Galuh lewat Mahapatih Bunisora?” tanya Kamandaka.
“Ya, benar. Setidaknya itulah penjelasan Kanjeng Rama. Makanya dulu Kanjeng Rama hampir saja menerima pinangan Raja Pulebahas,”
“Kenapa Diajeng menolak?” tanya Kamandaka, mulai menggoda.
“Cemburu!!!” kata Sang Dewi sambil mencubit paha Kamandaka. Kamandaka tertawa sambil menahan rasa sakit. Sayang di belakangnya ada sejumlah pasukan pengawal. Kalau tidak dirinya pasti akan membalas cubitan istrinya itu.
“Pertanyaan aku sungguh-sungguh, nih. Menurut Diajeng, apa sebabnya Raja Pulebahas yang leluhurnya masih ada hubungan kekerabatan dengan para adipati di sekitar lembah Citanduy dan Ciserayu, berubah menjadi seorang Raja penakluk yang dengan wajah dingin membumi hanguskan begitu saja Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling?”
“Yang tahu banyak soal ini kan Dinda Sekarmenur dan Dinda Wirapati. Tetapi menurut aku penyebabnya adalah karena Raja Pulebahas menjadi pengikut aliran sesat, mempunyai ilmu hitam, dan mempunyai pula pusaka Kembang Wijayakususma. Akibatnya ambisi Raja Pulebahas akan kekuasaan tak terkendali. Dia menjadi seorang raja dan penguasa yang gila kekuasaan. Seorang Raja yang adigang, adigung, dan adiguna. Demi ambisi akan kekuasaan, Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling-Arjabinangun, dihancurleburkan dan ditumpas kelor habis-habisan.
“Semua anak laki-laki keturunan Adipati Kalicupang dan Banakeling dibunuhnya. Sekarmenur dengan kedua adiknya dan Niken Gambirarum putri Adipati Kalipucang, tidak dihabisi karena dipersiapkan menjadi gadis penghuni Tamanbidadari. Toh pada akhirnya rencanya mereka akan dihabisi juga. Caranya saja yang berbeda. Dinda Sekarmenur dengan ke dua adiknya itu melewati jalan yang unik, sehingga ketiga-tiganya selamat. Yang bernasib malang, padahal jasanya besar sebenarnya adalah Dyah Ayu Niken Gambiarum,” kata Sang Dewi sambil sekali-kali memperhatikan laju perahu yang semakin lama semakin mendekati pulau yang ada di selatan Pulau Jawa itu.
“Ya, itu yang aku belum terlalu paham. Dia tewas pada malam ritual?” tanya Kamandaka.
“Sebelum tewas sebenarnya keduanya sudah melakukan pernikahan secara mandiri. Niken Gambirarum jelas seorang gadis cerdas, pemberani, cantik, dan rela mengorbankan dirinya. Dia berhasil menyadarkan Raja Pulebahas untuk mengakhiri ritual persembahan darah perawan suci yang telah mengorbankan banyak gadis tidak berdosa. Dia pun berhasil mengajak Sang Raja meninggalkan agama sesat yang dipeluk Sang Raja. Sayang sekali nyawanya tidak terselamatkan. Raja Pulebahas dan Niken Gambirarum yang telah menjadi sepasang suami istri itu, melanjutkan malam pengantinnya di atas ranjang ritual yang memang telah banyak mengorbankan nyawa.”
“Barangkali di sinilah kesalahan Dyah Ayu Niken Gambirarum yang berakibat fatal. Padahal pada saat dia sudah mampu menguasai Sang Raja. Seharusnya dia menolak ajakan Sang Raja untuk menikmati malam pengantin di atas ranjang ritual. Mestinya dia meminta kepada Sang Raja agar melewatkan malam pengantin di ranjang peraduan Sang Raja di Istana pribadinya yang tidak jauh dari situ. Jika itu dilakukan, bukan saja Sang Permaisuri akan selamat dari maut, tetapi sejarah Kerajaan Nusakambangan mungkin akan lain. Bisa jadi Kerajaan Nusakambangan akan terus berkibar menjadi kerajaan lautan yang besar dan kuat di Pantai Selatan Pulau Jawa,” kata Sang Dewi pula.
“Oh, begitu kisahnya. Aku baru tahu.”
“Ya, itulah yang namanya garis nasib. Sang Raja dan Dyah Ayu Niken Gambirarum melewati malam pengantin, sampai kedua-duanya tertidur. Pada saat keduanya sedang terlelap tidur itulah, Nyai Gede Wulansari dibantu Sekarmenur dan kedua adiknya menuangkan cairan racun ke mulut Dyah Ayu Niken Gambirarum, sampai tewas. Dalam hal ini Sekarmenur dan adiknya berada dalam posisi sulit. Dia sekedar menjalankan perintah atasannya. Melawan komandannya, Nyai Gede Wulansari, tentu bisa membahayakan nyawa mereka bertiga.”
“Bagaimana nasib Nyai Gede Wulansari, komandan Dinda Sekarmenur itu?” tanya Kamandaka penasaran.
“Dihukum mati Raja Pulebahas bareng-bareng dengan Pendeta Raga Pitar yang mengajarkan aliran sesat,” kata Sang Dewi. “Aku pun harus memuji pengorbanan yang besar dari Dinda Sekarmenur. Sebenarnya kalau dia mau enak, dia bisa saja dengan mudah meraihnya. Tiga gadis kakak beradik yang perkasa itu, sebenarnya adalah gadis-gadis Tamanbidadari kesayangan Raja Pulebahas. Dinda Sekarmenur hampir jadi isri Patih Puletembini, adik Raja. Dinda Sekarmelati hampir jadi istri Tumenggung Surajaladri. Dan Dinda Sekarcempaka hampir jadi istri Rangga Singalaut.”
“Hanya karena perasaan berdosa yang selalu menghantui mereka bertiga, menyebabkan mereka bertiga selalu berusaha ingin keluar dari Kerajaan Nusakambangan,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Ya, memang terkadang kebebasan dan kemerdekaan bagi seseorang merupakan sesuatu yang mahal dan berharga. Sangat wajar jika gadis cerdas dan perkasa seperti Dinda Sekarmenur itu berusaha mendapatkan kemerdakaan dan kebebasannya yang hilang. Rupanya, Yang Maha Kuasa mengabulkan keinginan Dinda Sekarmenur. Secara tidak sengaja Sekarmenur berkenalan dengan Dinda Wirapati yang terus berusaha mencari kekasihnya yang hilang itu. Kanda pasti belum tahu, bukan?”
“Soal apa?”
“Ternyata Dinda Sekarmenurlah yang telah menyarankan Raja Pulebahas untuk melamar aku. Saat itu Sang Raja terus menerus dirundung duka karena kehilangan permaisuri tercintanya,”
“Lho, Iya?”
“Iya. Dinda Sekarmenur pula yang membuatkan surat lamaran yang ditujukan kepada Kanjeng Rama.”
“Masih ada suratnya?”
“Masih, aku simpan. Dinda Sekarmenur pernah tertawa ketika aku beritahu bahwa surat lamaran Sang Raja yang dibuat Dinda Sekarmenur masih aku simpan.”
“Bagus sekali, Diajeng. Bisa dijadikan bukti sejarah bagi anak cucu kita kelak dikemudian hari,” kata Kamandaka sambil tangan kirinya secara tidak sadar kembali diletakkan di atas perut istrinya. Merasa perutnya diraba-raba Sang Dewi tersenyum sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Kamandaka.
“Kanda harus sabar. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih kan bilang, kita harus sabar,” bisik Sang Dewi yang tahu apa maksud Kamandaka ketika tangannya meraba-raba perutnya. Suaminya itu ingin cepat-cepat menimang seorang anak.Tiba-tiba Sang Dewi terkejut ketika tahu-tahu Sekarmenur sudah berdiri di samping kirinya dan memberitahu dengan berkata.
“Ayunda Dewi Kanjeng Ayu, sebentar lagi perahu akan berlabuh. Tumenggung Surengpati telah menyediakan jemputan di halaman luar pelabuhan.”
“Terimakasi Dinda Sekarmenur. Pelayaran yang mengasyikkan dan menyenangkan,” kata Sang Dewi sambil bangkit dari tempat duduknya, karena perahu sudah merapat ke pangkalan. Rombongan Sang Dewi segera turun dari perahu. Mereka kini telah tiba di bandar pelabuhan Nusakambangan.
Sekarmenur segera melambaikan tangan ketika melihat Tumenggung Surengpati berdiri di antara anak buahnya yang melakukan penjemputan rombongan Sang Dewi. Tumenggung Surengpati merupakan anak buah Sekarmenur yang ditugasi untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari di Nusakambangan, selama Sekarmenur dan Wirapati tidak ada di tempat.
Sang Dewi dan Kamandaka serta anggota rombongan lainnya yang belum pernah menginjakkan kakinya di Pulau Nusakambangan sering salah membayangkan. Ternyata pulau Nusakambangan itu, bukanlah sebuah pulau karang yang gersang tanpa tumbuh-tumbuhan. Pulau itu sebenarnya tidak banyak bedanya dengan daratan, lembah, hutan dan pantai yang ada di Pulau Jawa. Di tengahnya dari timur ke barat memanjang hutan dan ladang dengan aneka macam tumbuh-tumbuhan mulai dari kelapa, bambu, sawo, mangga, pucung, nangka, siwalan, sengon, mahoni, ketapang, waru, rotan, wuni dan banyak yang lainnya lagi. Bedanya hutan di Nusakambangan dengan hutan di Pulau Jawa, hutan di Nusakambangan dikelilingi laut di sebelah utaranya dan sebuah lautan dengan ombak yang besar di sebelah selatannya.
“Binatang apa saja yang ada di hutan Nusakambangan?” tanya Kamandaka pada Tumenggung Surengpati yang mengantarkan Kamandaka dan Sang Dewi naik kereta kuda empat roda yang ditarik dua ekor kuda. Duduk di belakang sais adalah Sang Dewi yang berdampiangan dengan Kamandaka. Di belakangnya lagi duduk Sekarmenur berdampingan dengan Wirapati. Tumenggung Surengpati duduk di depan berdampingan dengan sais kereta kuda. Dari atas kereta kuda, Kamandaka dan Sang Dewi menyaksikan pohon-pohon raksasa yang berderet di sebelah kanan jalan.
“Banyak jenisnya Kanjeng Adipati. Harimau loreng, harimau tutul, harimau kumbang, rusa, kijang, serigala, babi rusa, lutung, monyet, ular, kalong, aneka macam jenis ular dan burung,” jawab Tumenggung Surengpati yang membuat Kamandaka berdecak kagum.
Kereta kuda yang membawa rombongan Sang Dewi terus bergerak ke arah timur melintasi jalan yang cukup lebar yang telah dipadatkan dengan campuran batu kerikil, pasir dan kapur sehingga cukup keras untuk dilintasi kereta kuda. Semuanya ada empat kereta kuda. Satu kereta kuda dengan dua pasang roda dan tiga kereta kuda dengan sepasang roda yang ditarik seekor kuda. Tiap-tiap kereta kuda bisa dimuati enam penumpang termasuk sais. (bersambung)

Senin, 02 Desember 2019

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (23)


Dengan dipandu Sekarmenur dan Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju Padepokan Batu Putih, tidak jauh dari tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang Dewi dan Kamandaka beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh Janggan Nilasakti dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada Resi Batu Putih.
“Salam bakti Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula salam hormat dari Pendeta Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa berkenan melindungi Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta segenap rombongan. Ananda Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda Kanjeng Adipati besera istri dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu Putih yang sangat sederhana ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan dan terimakasih tak terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami dengan rombongan,” kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang dulu membantu melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih Puletembini, Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah diperabukan,” kata Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua, Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma.
Tak berapa lama Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi, sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari belakang.
Sesudah melewati tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi, Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang. Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra. Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke dalam goa sanggar pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu, Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan Selatan dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang kemilau sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan cermin raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan Pulau Jawa.
“Banyak kisah yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai, pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang Wijayakusuma, Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh dilarung lewat muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan Nusantara. Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat bagi manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna.
“Alkisah Sri Kresna saat itu sedang berkelana. Dalam pengembaraannya Sri Kresna tiba di muara Sungai Ciserayu. Sri Kresna segera mengeluarkan bunga Wijayakusuma yang tersimpan di dalam cupu. Bunga Wijayakusuma lengkap dengan wadah dan tutupnya itu segera dilarung melalui muara Sungai Ciserayu ke Lautan Selatan. Setelah selesai melarung, Sri Kresna melanjutkan pengembaraannya untuk mencari moksa. Tak lama kemudian setelah berhasil melarung bunga Wijayakusuma, Sri Kresna memang berhasil mencapai moksa. Dan tak lama kemudian, bunga Wijayakusuma itu tumbuh di Pulau Bandung. Konon di Pulau Bandung itu ada sepasang burung bayan yang setia menunggunya dan tak pernah mau pergi dari sana. Konon sepasang burung bayan itu adalah penjelmaan wadah dan tutup bunga Wijayakusuma yang ikut dilarung Sri Kresna. Tetapi entah mengapa para penyembah Wisnu yang datang kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Majeti. ”
“Milik siapakah bunga Wijayakusuma itu sebelum menjadi pusaka Sri Kresna?” tanya Sang Dewi
“Milik bersama para dewa yang disimpan oleh Dewi Supraba, satu dari tujuh bidadari tercantik di Kahyangan. Dulu namanya Wijayamala yang berarti bunga penyembuh aneka macam penyakit. Bahkan orang yang meninggal bila belum waktunya, bisa dihidupkan kembali oleh bunga Wijayamala itu. Sri Kresnalah yang merubah namanya menjadi bunga Wijayakusuma,” jelas Resi Batu Putih.
“Marilah kita berdoa dulu, Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Ananda Kanjeng Adipati. Nanti perbincangan bisa kita lanjutkan lagi,” ajak Resi Batu Putih yang segera mendahului masuk ke dalam sanggar. Menyusul di belakangnya Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran. Janggan Nilasakti berjaga-jaga di depan pintu gua.
Di dalam sanggar pamujan Sang Dewi duduk di samping kiri Kamandaka. Mereka diapit Pendeta Muda Amenglayaran di sebelah kanan, dan Resi Batu Putih di sebelah kiri.
“Silahkan Ananda berdua berdoa agar secepatnya dikarunia putra-putri yang cakap-cantik-cerdas, berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tua, para leluhur, dan berbakti kepada penduduk Kadipaten Pasirluhur pada khususnya, serta Kerajaan Pajajaran pada umumnya. Silahkan dimulai, Bapa dan Dinda Pendeta Muda akan membantunya memanjatkan japa dan membacakan mantra,” kata Resi Batu Putih yang segera mulai memasuki samadhi.
Dalam menjalankan samadhi itu, Resi Batu Putih dan Pendeta Amenglayaran mengambil posisi duduk sikap asanas bunga teratai, sedangkan Sang Dewi dan Kamandaka duduk bersila secara biasa.
Sang Dewi segera membentuk cipta dan angan-angan dalam benaknya. Ditariknya nafas pelan-pelan sebanyak 20 hitungan, kemudian menahan nafas sebanyak 20 hitungan. Pada saat menahan hitungan itu Sang Dewi mulai mempertajam dan menyatukan cipta dan rasanya menjadi satu energi kehendak dan keinginan yang kuat yang dipanjatkannya menembus batas langit agar sampai ke hadapan Yang Maha Kuasa. Sesudah menahan nafas selama 20 hitungan, pelan-pelan dengan tetap mempertahankan citranya, Sang Dewi menghembuskan nafasnya pelan-pelan juga selama 20 hitungan.
Demikian Sang Dewi mengulangi lagi sampai beberapa kali siklus irama prana dalam melakukan samadhi. Kemampuan Sang Dewi dalam samadhi sesungguhnya sudah mencapai gatra yang cukup tinggi untuk ukuran wanita. Hal yang sama juga dilakukan oleh Resi Batu Putih, Kamandaka, dan Pendeta Muda. Mereka semua asyik tenggelam dalam samadhi membentuk citra berdasarkan kekuatan budhi.
Tiba-tiba saat sedang asyik-asyiknya melakukan samadhi, Resi Batu Putih melihat sebuah sinar putih masuk ke dalam sanggar pamujan, lalu masuk ke dalam tubuh Sang Dewi. Sang Dewi langsung terjatuh ke arah kanan dan pingsan di atas pangkuan Kamandaka. Kamandaka, Pendeta Muda dan Resi Batu Putih segera mengakhiri samadhinya.
“Tenang saja Ananda, sebentar lagi juga siuman. Dia mendapat anugerah dewa yakni sinar daya penyembuhan. Ananda Kanjeng Ayu Adipati akan memiliki kemampuan gaib, bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit,” kata Resi Batu Putih yang membuat Kamandaka tenang.
Tiba-tiba ingatan Kamandaka melayang-layang pada selendang sutra kuning berisi ramuan buatan Sang Dewi yang telah menyelamatkan dirinya dari maut yang hampir saja merenggut nyawanya. Kamandaka percaya pada kata-kata Resi Batu Putih. Istrinya memang memiliki bakat membuat ramuan penyembuh yang diwarisi dari Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati Sepuh.
Sementara itu keringat dingin keluar dari dahi Sang Dewi. Kamandaka bertambah cemas dan gelisah. Sang Dewi belum siuman juga. Lebih-lebih saat Kamandaka melihat irama nafas istri tercintanya pelan sekali. Untunglah Resi Batu Putih dan Pendeta Muda terus memberikan dukungan kepada Kamandaka dengan kekuatan mantra dan japa. Resi Batu Putih juga berpesan setelah Sang Dewi siuman, agar tidak mengajukan macam-macam pertanyaan. Biarkan Sang Dewi menceriterakan pengalaman spiritualitas yang dialaminya itu.
Akhirnya Sang Dewi memang segera siuman. Dia kembali duduk dengan wajah ceria, senyum tersungging di bibirnya, dan sinar matanya berkilat-kilat bak bintang malam. Kamandaka menggunakan sapu tangan untuk membantu Sang Dewi mengeringkan keringat yang membasahi dahi, pipi, dan lehernya.
“Yang Suci Bapa Resi, ananda Dewi mengalami perjalanan spiritualitas yang mengherankan. Ananda Dewi bertemu dengan seorang wanita cantik jelita sambil menyerahkan sebuah wadah berisi bunga Wijayakusuma. Sayang sebelum sempat berbincang-bincang, wanita cantik tadi keburu pergi. Dan, ananda segera sadarkan diri,” kata Sang Dewi menceriterakan sekeping pengalaman spiritualnya saat dia tidak sadarkan diri. Resi Batu Putih tersenyum mendengar penuturan Sang Dewi.
“Apakah Ananda Sekarmenur belum pernah berceritera kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati soal dua pusaka Raja Nusakambangan?” tanya Resi Batu Putih. Sang Dewi hanya mengangguk pelan.
“Pernah, Yang Suci Bapa Resi,” jawab Sang Dewi.
“Baiklah kalau begitu, segera saja siang hari ini berangkat ke Nusakambangan. Di sana nanti Ananda Sekarmenur akan menyerahkan dua pusaka Raja Pulebahas. Satu adalah guci porselin. Dan satunya lagi, stoples berisi kembang Wijayakusuma yang telah diawetkan. Hanya Ananda Kanjeng Ayu Adipati yang akan mampu merawat pusaka kembang Wijayakusuma milik Raja Pulebahas. Simpan dan rawatlah dengan baik. Manfaatkan untuk keperluan kemanusiaan dan memberikan pertolongan mereka yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan. Adapun guci porselin itu berisi darah perawan suci Permaisuri Sang Raja Pulebahas yang jadi korban ritual dan telah tewas. Dia meminta tolong Ananda Kanjeng Ayu Adipati agar membantunya, kalau perlu memberikan fasilitas bantuan, agar supaya guci porselin beserta isinya itu dikubur di tempat kelahirannya. Menurut Ananda Sekarmenur, tempat kelahiran gadis yang tewas itu di Kalipucang. Kasihan ruh mereka berdua, belum bisa mencapai moksa selama ke dua pusaka itu belum ada yang mengurusnya,” kata Resi Batu Putih memberikan saran dan nasihat.
“Terimakasih Yang Suci Bapa Resi. Ananda Dewi akan laksanakan semua pesan-pesan Yang Suci Bapa Resi. Kalau begitu mohon ijin siang ini juga untuk meninggalkan Padepokan Batu Putih. Mohon juga selalu didoakan agar ananda Dewi dan Kanda Kamandaka segera dianugerahi momongan dari Yang Maha Menguasai Jagad,” kata Sang Dewi sambil mencium tangan Yang Suci Resi Batu Putih. Kamandaka dan Pendeta Muda juga melakukan hal yang sama. Mereka segera keluar dari gua, menuruni tangga menuju ruang tamu Padepokan Batu Putih. Di situ para tamu rombongan Sang Dewi dan Kamandaka, terlebih dahulu harus menikmati jamuan santap siang sebelum meninggalkan Padepokan Batu Putih. Mereka akan melanjutkan perjalanan menyeberang Segara Anakan menuju Nusakambangan. (bersambung)


Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (22)



Akhirnya setelah perempuan itu reda dari kesedihannya yang mendalam, dia meminta kepada kepala kampung agar penduduk mau menguburkan buaya itu sebagaimana layaknya mengubur manusia. Itu semua adalah syarat yang harus dilakukan jika penduduk kampung itu ingin terhindar dari musibah besar.
Tentu saja kepala kampung dan orang-orang yang hadir di situ langsung menyanggupinya. Tubuh buaya lalu dibungkus dengan kain putih. Perempuan istri Sang Ksatria Tampan memberi petunjuk agar buaya itu diberi pemberat batu dan dikuburkan dengan cara ditenggelamkan ke dalam sebuah kedung di tepi Sungai Ciserayu yang tidak jauh dari kampung mereka. Semua permintaan perempuan itu dilaksanakan dengan patuh oleh penduduk kampung dengan harapan mereka terhindar dari malapetaka akibat kekerasan yang telah mereka lakukan.

Tak lama kemudian perempuan itu hamil. Ketika tiba saatnya perempuan itu melahirkan, lahirlah anaknya yang cakap dan tampan mirip Sang Ksatria Tampan, ayah bayi itu. Sayang perempuan itu meninggal dengan bayinya tak lama setelah melahirkan. Sejak kejadian itu, penduduk kampung itu tidak pernah lagi mau membunuh seekor buaya pun. Mereka baru membunuh buaya yang nakal yang benar-benar telah memangsa penduduk. Sebab penduduk sudah memuliakan buaya dengan cara tidak pernah menganggu buaya itu. Bahkan pada bulan-bulan tertentu penduduk telah memberikan korban binatang ternak kepada buaya yang ada di kedung tidak jauh dari kampung itu. Sejak itu berlaku pantangan seorang gadis dilarang mandi di Sungai Ciserayu jika senjakala hampir tiba.
*
Sang Dewi dan rombongan tertegun mendengar kisah dari tukang sauh yang menarik itu. “Jadi kalau ada buaya nakal yang memangsa salah seorang penduduk, baru buaya itu dicari dan boleh dibunuhnya?” tanya Sang Dewi.
“Betul sekali, Ndara Kanjeng Ayu,” jawab tukang sauh yang satunya lagi.“ Penduduk akan meminta bantuan tukang gendam untuk menangkap buaya yang nakal itu. Biasanya tidak sampai tujuh hari buaya yang nakal tadi akan menampakkan diri di tepi sungai. Tukang gendam dan penduduk sudah siap menunggu dengan alat-alat pembunuh buaya. Begitu buaya tadi muncul, langsung dihujani dengan tombak, parang, linggis, bambu runcing, dan alat-alat pembunuh lainnya.”
“Jarang ada buaya yang nakal karena memangsa penduduk dan tidak tertangkap,” kata tukang sauh. “Itu sebabnya, penduduk tidak pernah kapok mandi ke Sungai Ciserayu, meskipun ada risiko dimangsa buaya.Tentu saja sepanjang tidak melanggar pantangan yang telah ditetapkan oleh adat.”
“Sebenarnya makanan buaya bukanlah manusia. Makanannya aneka binatang hutan yang turun ke air untuk mencari air minum, seperti kijang, kambing hutan, babi hutan, kera, bahkan burung-burung rawa yang sering mendatangi muara sungai karena di sana banyak ikannya. Itu sebabnya di muara sungai biasanya banyak buayanya,” kata tukang sauh yang pandai berceritera itu.
“Jadi kalau tidak diganggu, buaya sebenarnya tidak memangsa manusia?” tanya Sang Dewi.
“Benar, Ndara Kanjeng Ayu Adipati. Hanya kalau lapar memang buaya mau memangsa manusia,” kata tukang sauh.
“Diajeng, seperti juga manusia. Buaya itu ada yang baik dan ada pula yang jahat,” kata Kamandaka kepada istrinya. ”Penduduk yang tinggal di sekitar sungai yang banyak buayanya ada juga yang mempunyai kepercayaan seperti penduduk di kampung pinggir Sungai Ciserayu seperti yang diceriterakan tadi. Mereka mempunya kepercayaan, adanya penduduk yang jadi korban mangsa buaya itu karena memang dia telah dipilih menjadi tumbal oleh Sang Raja Buaya yang berkuasa di sungai. Untuk menghindari agar tidak ada lagi manusia yang jadi tumbal, secara rutin penduduk biasanya memberikan korban kepada Sang Raja Buaya berupa ternak sebagai ganti tumbal manusia. Dari sinilah muncul tradisi penduduk memuja buaya. Buaya tidak boleh dibunuh. Yang dibunuh hanyalah buaya-buaya yang nakal tadi. Yaitu buaya yang sudah diberi korban ternak, tetapi masih juga memangsa penduduk.”
“Apakah ada tradisi memuja buaya di sepanjang Sungai Ciserayu, Kanda?” tanya Sang Dewi.
“Sepengetahuanku tidak ada. Paling di kampung yang diceriterakan itu tadi yang hanya dilakukan penduduk kampung yang jumlahnya terbatas. Tidak adanya totemisme atau ritual pemujaan kepada binatang di Lembah Ciserayu, karena penganut agama Syiwa di Lembah Ciserayu cukup kuat. Aku tidak tahu kalau di daerah muara. Karena memang agama Wisnu di pulau Jawa banyak bermunculan di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Tetapi agama Wisnu juga cepat sekali terpecah-pecah menjadi sekte yang menyimpang, seperti sekte penyembah Ditya Kala Rembuculung yang dulu pernah dianut Raja Nusakambangan. Pemujaan kepada buaya biasanya juga merupakan salah satu bentuk penyimpangan dari sekte agama Wisnu,” kata Kamandaka.
“Ya, tetapi menurut Dinda Sekarmenur, Raja Pulebahas telah kembali menyembah agama Syiwa,” kata Sang Dewi pula.
Tak terasa perjalanan rombongan Sang Dewi yang sedang melayari Sungai Ciserayu itu telah melewati wilayah Arjabinangun. Perbincangan soal buaya segera berakhir. Sebentar lagi perahu akan tiba di muara Sungai Ciserayu. Memang mengarungi sungai ke arah hilir lebih mudah dan tentu saja lebih cepat dari pada bergerak ke arah hulu. Tak lama kemudian perahu-perahu yang membawa rombongan Sang Dewi telah mencapai muara. Ketika perahu merapat, Kamandaka segera melangkah turun diikuti Sang Dewi. “Terima kasih ya, sebuah perjalanan mengarungi Sungai Ciserayu yang mengasyikkan,” kata Sang Dewi kepada keempat tukang sauh sambil menyalami mereka.
Dengan dipandu Sekarmenur yang didampingi Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju Padepokan Batu Putih yang berada di tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang Dewi dan Kamandaka beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh Janggan Nilasakti dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada Resi Batu Putih.
“Salam bakti Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula salam hormat dari Pendeta Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa berkenan melindungi Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta segenap rombongan. Ananda Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda Kanjeng Adipati besera istri dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu Putih yang sangat sederhana ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan dan terimakasih tak terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami dengan rombongan,” kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang dulu membantu dinda melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih Puletembini, Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah diperabukan,” kata Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua, Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma. Tak berapa lama Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi, sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari belakang.
Sesudah melewati tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi, Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang. Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra. Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke dalam goa sanggar pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu, Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan Selatan dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang kemilau sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan cermin raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan Pulau Jawa.
“Banyak kisah yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai, pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang Wijayakusuma, Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh dilarung lewat muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan Nusantara. Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat bagi manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna (bersambung )

Minggu, 01 Desember 2019

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (21)



Ternyata waktu untuk persiapan keberangkatan ke Nusakambangan, tertunda sampai tiga minggu. Sang Dewi dan Kamandaka memperpanjang bulan madunya di Puri Permatabiru. Perahu dari Nusakambangan, ternyata juga perlu waktu dua minggu baru bisa tiba di Kaliwedi. Tetapi pagi itu, Sang Dewi dan Kamandaka sudah siap memulai perjalannya menikmati bulan madu ke Nusakambangan. Setelah sarapan di rumah Nyai Kertisara, rombongan yang akan menemani bulan madu Sang Dewi dan Kamandaka berkumpul di Pangkalan Perahu Nyai Kertisara di tepi Sungai Ciserayu. Mereka semua sudah siap-siap akan berangkat melayari Sungai Ciserayu menuju muaranya di Teluk Penyu, Segara Anakan, Nusakambangan.
Air Sungai Ciserayu tampak bening memantulkan wajah langit pagi hari, mengalir tenang tak beriak. Angin lembut dan segar pagi hari bertiup pelan seakan ingin menyapa rombongan dari Kadipaten Pasirluhur yang mulai naik satu persatu ke atas perahu. Dua buah perahu sungai berukuran sedang yang dikirim dari Nusakambangan telah tiba sejak kemarin siang. Setiap perahu bisa memuat 10 penumpang, dilayani juru sauh yang berjumlah empat orang. Lambung perahu diberi warna merah, kuning, biru. Tapi warna biru merajai keseluruhan lambung perahu. Di atas tempat duduk dipasang atap dari kajang yang di atur melengkung, ditopang enam buah tiang. Sejumlah tiang untuk memasang bendera dan umbul-umbul juga didirikan di sisi kanan dan kiri lambung perahu.
Sang Dewi naik ke atas perahu yang berada di barisan paling depan, menyusul Kamandaka yang naik lebih dulu. Kamandaka membantu Sang Dewi naik ke atas perahu. Adanya tangga trap turun ke sungai yang dibangun di tebing sungai pada Pangkalan Perahu milik Nyai Kertisara itu sangat memudahkan penumpang yang akan naik perahu.
Sang Dewi dan Kamandaka duduk di bangku paling depan. Menyusul duduk di belakangnya berturut-turut adalah Mayangsari dengan Silihwarna, Ratna Pamekas dengan Arya Baribin, Nyai Kertisara dengan Khandegwilis. Tukang sauh yang mengemudikan perahu, ada empat orang. Dua orang di depan dan dua orang di bagian lambung perahu belakang.
Di belakang perahu yang dinaiki Sang Dewi,  berlabuh perahu yang dinaiki Sekar Menur dengan Wirapati. Duduk di belakangnya, kedua adiknya Sekarmelati dan Sekarcempaka. Duduk di belakangnya lagi, Pendeta Muda dengan Tumenggung Maresi. Dan paling belakang Jigjayuda berdampingan dengan Rekajaya. Sama dengan perahu pertama, perahu kedua dilayani empat orang tukang sauh.
Perahu ketiga dan keempat adalah perahu kecil membawa prajurit pengawal yang terdiri dari 6 penumpang dan 5 penumpang. Lurah Karangjati yang ditunjuk Tumenggung Maresi menjadi komandan pasukan pengawal, duduk di perahu ke tiga. Masing-masing perahu kecil dikemudikan oleh 2 orang pesauh.
Sebelum berangkat, Pendeta Muda, diminta oleh Kamandaka supaya memimpin japa mantra. Usai berjapa, keempat perahu itu pelan-pelan meninggalkan Pangkalan Perahu milik Nyai Kertisara di Kaliwedi. Perjalanannya mengarungi Sungai Ciserayu pun dimulai. Perahu mulai melaju pelan-pelan ketika sauh mulai digerakkan. Semua anggota rombongan melihat lambaian tangan dan tatapan ratusan pasang mata penduduk yang menyemut di tepi sungai. Penduduk ingin menyaksikan wajah cantik Kanjeng Ayu Adipati Pasirluhur yang dikenal penyabar, penyayang, dan penuh kepedulian kepada penduduknya, khususnya penduduk dari rakyat sudra dan weisya.
Penduduk yang datang berbondong-bondong itu, baru meninggalkan tepi Sungai Ciserayu setelah ke empat perahu yang umbul-umbulnya berkibar-kibar dengan gagahnya, menghilang di hilir sungai yang menikung ke kiri.
Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Ciserayu itu, Sang Dewi dan anggota rombongan takjub bukan main menyaksikan keindahan panorama alam di kiri dan kanan sungai. Dinding tebing sungai ada yang terjal, ada pula yang landai, sebagian besar berwarna coklat, di sana sini ditumbuhi sulur perdu yang merambat. Lumut hijau sering juga ditemui di sepanjang tebing.
Di kiri-kanan tebing pohon-pohon raksasa saling berdesak-desakan tampak menjulang ke arah langit. Sejumlah pohon dibeliti benalu yang melilit batang pohonnya. Mungkin sudah puluhan tahun mencekiknya, sehingga pohon raksasa itu ada yang mulai meranggas. Entah sudah berapa ribu lembar daun-daun tua yang jatuh ke tanah tempat pohon-pohon itu tumbuh. Tentu sudah lama membusuk, menyebabkan tanah di kaki-kaki pohon hutan itu lembab, sehingga terbentuk humus yang pada gilirannya membuat subur pohon-pohon raksasasa itu.
Sejumlah binatang hutan seperti monyet, tupai, dan lutung diam saja bergelantungan di atas pohon seakan-akan sedang menonton arak-arakan rombongan manusia yang sedang melintasi sungai dan sedang terpana oleh keindahan alam ciptaan Tuhan.
Sang Dewi merasakan laju perahu yang mengikuti aliran sungai, cukup nyaman dan tidak banyak goncangan. Laju perahu pun tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat. Keempat tukang sauh dengan otot-ototnya yang kekar sangat terampil menggerak-gerakkan sauhnya secara bersamaan. Kadang-kadang terdengar pula kecipak air. Lunas perahu dengan lancar melaju ke depan menyibakkan air sungai yang menyisih ke kiri dan ke kanan, membentuk gelombang kecil yang cepat lenyap diterjang perahu yang ada dibelakangnya.
“Diajeng, lihat apa itu?” kata Kamandaka menunjukkan dua ekor buaya yang cukup besar sedang berjemur di sisi timur sungai di atas kaki tebing yang melandai ke arah sungai. Semua rombongan ternganga melihat sepasang buaya yang cukup besar.
“Ngeri juga! Apakah Sungai Ciserayu banyak buayanya?” tanya Sang Dewi kepada tukang sauh yang ada di depannya.
“Kalau di muara banyak juga, Ndara Kanjeng Ayu Adipati,” jawab tukang sauh. ”Kalau sepasang buaya tadi, bisa jadi berasal dari muara yang sedang main ke hulu. Mungkin ingin menyambut rombongan Ndara Kanjeng Ayu Adipati,” kata tukang sauh berseloroh yang membuat senang rombongan Sang Dewi. Sang Dewi dan Kamandaka langsung tertawa. Mana ada buaya mau menyambut kedatangannya? kata Sang Dewi dalam hati. Sekalipun begitu Sang Dewi senang juga.
“Adakah penduduk di sekitar sungai yang pernah dimangsa buaya?” tanya Sang Dewi.
“Kalau di sekitar sini hamba tidak tahu. Tapi kalau di sekitar muara sering. Belum lama ini, ada seorang penduduk yang sedang mandi di sungai, karena kurang hati-hati dan tidak berpengalaman, tewas dimangsa buaya.”
“Dimangsa buaya?” tanya Sang Dewi. ”Kenapa penduduk tidak dilarang mandi di Sungai Ciserayu yang ada buayanya?”
“Namanya penduduk, tidak pernah jera, Ndara Kanjeng Ayu Adipati. Ibaratnya sekarang ada yang dimangsa buaya, besok masih ada saja yang datang mau mandi. Anehnya ada yang merasa bangga jika bisa mandi di Sungai Ciserayu, tetapi tidak dimangsa buaya.”
“Memang ada larangan yang berupa adat setempat,” kata tukang sauh melanjutkan. “Larangan yang bersifat adat setempat itu, misalnya pasangan pengantin baru baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang mandi di sungai. Konon mereka berdua rawan jadi mangsa buaya. Memang sering kejadian, pengantin baru yang sedang mandi, tahu-tahu hilang karena dimangsa buaya Sungai Ciserayu,” kata tukang sauh sambil masih menggerak-gerakkan sahuhnya agar perahu melaju agak cepat.
Mendengar penuturan tukang sauh itu Sang Dewi dan Kamandaka langsung saling berpandang-pandangan. Lalu keduanya tersenyum karena merasa mereka berdua adalah pasangan pengantin baru. “Tenang, Diajeng. Kita kan tidak sedang mandi di Sungai Ciserayu,” bisik Kamandaka sambil tersenyum.
“Padahal kalau airnya sejernih ini, mandi menjelang sore hari, pasti segar sekali, Kanda!” kata Sang Dewi sambil menatap air Sungai Ciserayu yang saat itu memang sangat jernih.
“Ada lagi larangan lain, Mang Sauh?” tanya Kamandaka.
“Leres, aya deui, Kanjeng Gusti,” kata tukang sauh yang satunya lagi dalam logat bahasa Sunda yang masih kental.
“Apa larangannya?” tanya Kamandaka.
“Seorang anak gadis yang masih perawan, dilarang mandi di Sungai Ciserayu, pada waktu menjelang senja,” kata tukang sauh masih dalam bahasa Sunda.”Tetapi kalau pagi atau siang hari boleh.” 

Konon, demikian tukang sauh tadi berceritera, dulu pernah ada seorang gadis cantik yang gemar mandi di Sungai Ciserayu menjelang senja hari. Tiba-tiba gadis tadi menghilang. Tentu saja orang tua dan penduduk seluruh kampung yang berada di tepi timur Sungai Ciserayu tadi ribut. Mereka menduga gadis cantik tadi pastilah telah dimangsa buaya saat sedang mandi. Kepala kampung cepat bertindak. Dia segera mengerahkan sejumlah tukang gendam untuk menangkap buaya yang nakal tadi. Tetapi usahanya tetap sia-sia. Sampai suatu saat, ayah gadis tadi mimpi didatangi anak gadisnya yang berpesan, agar orang tuanya itu tidak usah mencemaskan dirinya. Sebab suatu saat gadis itu akan pulang juga ke rumah ke dua orang tuanya. Walaupun entah kapan.
Sejak ayah gadis tadi mimpi didatangi anak gadisnya, maka sejak itu usaha pencarian anak gadis yang diduga dimangsa buaya Sungai Ciserayu itu dihentikan. Sampai beberapa bulan kemudian, pada malam hari pulanglah gadis tadi didampingi seorang pemuda tampan yang mengaku telah menikahi gadis itu. Betapa gembiranya ke dua orang tuanya kedatangan anak gadisnya yang dulu menghilang. Lebih-lebih anak gadisnya itu telah pulang kembali dengan membawa seorang suami yang berwajah tampan, sehingga membikin iri gadis-gadis yang lain di kampung itu.
Orang tua gadis itu pun bermaksud mengadakan pesta syukuran dalam rangka menyambut anak gadisnya yang telah pulang kembali, sekaligus juga syukuran karena anak gadisnya itu sudah memiliki suami. Apalagi menantunya itu cakap dan tampan. Undangan pun segera disebar kepada penduduk seluruh kampung itu.
Tetapi sebelum pesta itu diselenggarakan anak gadisnya itu mohon agar pesta itu diadakan pada malam hari. Anak gadisnya itu juga berkata bahwa mereka hanya bisa menemui tamunya pada malam hari saja. Anak gadisnya itu berpesan kepada ayahnya agar pada siang hari, mereka berdua jangan diganggu jika mereka tetap berada di dalam kamar pengantin. Sang ayah dengan ringan menyanggupi pesan anak gadisnya itu.
Demikianlah saat pesta digelar pada malam hari, para tetangga, kenalan, dan kerabat dekat penduduk desa itu berduyun-duyun datang menghadiri pesta syukuran perkawinan. Mereka menyampaikan ucapan selamat kepada kedua pasangan yang mengaku sudah lama nikah sambil menyaksikan pagelaran lengger sampai jauh malam. Usai pesta syukuran, kedua pasangan itu tinggal di rumah orang tua gadis. Kedua mempelai hidup rukun sebagaimana layaknya pasangan yang baru.
Seminggu telah berlalu, orang tua gadis itu lama-lama heran juga. Orang tua gadis itu tak pernah melihat menantunya ke luar kamar pada siang hari. Dia selalu keluar kamar pada malam hari. Ketika tiba masanya mencari nafkah karena masa istirahat menikmati hari-hari pengantin baru telah lewat, Sang Pemuda tadi, selalu berangkat meninggalkan rumah pada pagi hari. Dia pergi menjelang fajar dan pulang kembali setelah matahari terbenam. Demikianlah sang waktu terus berlalu, sampai pada suatu ketika Sang Ksatria Tampan tadi bangun kesiangan. Akibatnya Sang Ksatria Tampan seharian tidur terus di dalam kamarnya. Tetapi istrinya tetap melakukan aktivitas seperti biasa, keluar kamar untuk membatu ibunya memasak dan melakukan aktivitasnya sehari-hari lainnya.
Saat itu istri ksatria tampan lupa mengunci kamarnya. Ditambah pula dia masih yakin ayahnya tidak mungkin masuk ke dalam kamarnya selagi ada suaminya. Karena dia ingat, dia pernah berpesan kepada ayahnya dan semua keluarganya supaya jangan masuk kamarnya pada siang hari.
Ketika ayah perempuan itu mengetahui anaknya keluar kamar tanpa menguncinya, tiba-tiba dalam dirinya timbul rasa penasaran untuk melihat menantunya yang sedang tidur di kamar anaknya. Tetapi alangkah terkejutnya saat dia masuk ke dalam kamar anaknya. Dilihatnya seekor buaya yang cukup besar sedang tidur pulas di atas tempat tidur. Bagian leher ke bawah tertutup selimut yang rupanya telah dibentangkan oleh anaknya. Hanya kepalanya yang kelihatan.
Ayah perempuan tadi, segera lari ke rumah kepala kampung, melaporkan ada buaya masuk ke dalam kamar tidur anak perempuannya yang beberapa waktu yang lalu baru saja dirayakan acara syukuran. Dengan membawa peralatan pembunuh buaya seperti parang, tombak, linggis, dan yang lainnya lagi, kepala kampung itu memimpin sejumlah penduduk mendatangi rumah ayah perempuan yang baru saja melapor.
Mungkin karena mendengar suaru ribut-ribut yang ada di depan pintu kamar, buaya itu langsung meloncat ke atas lantai. Saat pintu terbuka buaya itu membuka mulutnya lebar-lebar, dan ekornya bergerak-gerak siap untuk dipukulkan kepada siapa saja. Kepala kampung segera memberi komando agar buaya itu segera diserang. Puluhan tombak segera dilemparkan, masuk ke dalam mulut buaya dan bersarang di sana. Buaya yang sedang marah itu menggelepar seketika. Ekornya dipukulkan mengenai daun pintu yang langsung jebol dan jatuh meninggalkan tempatnya. Buaya itu membuat loncatan yang memutar sambil mengibaskan ekornya. Seorang laki-laki yang tidak waspada langsung terlempar kena pukulan ekor buaya yang sedang mengamuk. Kembali penduduk menghujani buaya yang malang itu dengan linggis, parang, dan bambu runcing sampai buaya itu diam tak berkutik. Hanya matanya yang berkedip-kedip seperti mohon dikasihani.

Tiba-tiba perempuan istri Sang Ksatria Tampan yang sedang di dapur lari masuk ke dalam rumahnya ketika mendengar suara ribut-ribut. Betapa terkejutnya dia saat melihat seekor buaya yang terluka, badan buaya dan mulutnya dipenuhi aneka macam senjata tajam. Perempuan itu menjerit seketika. Dipeluknya buaya yang sedang sekarat itu. Diciuminya beberapa kali bagaikan menciumi seorang suami. Akhirnya buaya yang malang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah dipeluk dan diciumi berkali-kali oleh perempuan yang telah menjadi istrinya itu.

Melihat kejadian itu penduduk langsung menduga buaya itu adalah buaya siluman. Dalam diri mereka muncul rasa takut kepada akibat yang akan ditimbulkan karena mereka telah membunuh seekor buaya siluman. Kemudian secara serentak mereka beramai-ramai sujud di depan buaya yang sudah tidak bernafas. Lebih takut lagi adalah penduduk yang telah melemparkan pelbagai jenis senjata yang telah menyebabkan buaya itu mati. Mereka beberapa kali mengggigil dan merintih meminta ampun.(bersambung)