Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 25 Juni 2016

Sejarah HJ Kab.Banyumas :Kanjeng Purwokerto, Teka Teki Tahun 1570 M, dan Dosa Sejarah



Kanjeng Purwokerto adalah penulis Babad Banyumas versi Kranji Kedungwoeloeh, berdasarkan telaah dan penelitian Prof.Dr.Sugeng Priyadi, penulis buku, ”Hari Jadi Kabupaten Banyumas 22 Pebruari 1571M”.

Siapakah Kanjeng Purwokerto? Sugeng Priyadi menduga, Kanjeng Purwokerto adalah Raden Mas Tumenggung Cakrakesuma.  Sebenarnya, tanpa harus menduga-duga, dapat dipastikan Kanjeng Purwokerto adalah nama kehormatan yang diberikan kepadanya oleh para pengikut setianya. Dia adalah Raden Mas Tumenggung Cakrakesuma,  yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Bupati Purwokerto pada tahun 1885 M

  
Sebelum menduduki kursi Bupati, dia adalah asisten wedana Banteran. Para leluhur Tumenggung Cakrakesuma memang  tidak jauh dari kursi bupati, sehingga dari segi keturunan dan konsep kekuasaan tradisonal, Tumenggung Cakrakusuma punya hak untuk menduduki kursi bupati. Apalagi ayahnya adalah Bupati Banyumas Cakranegara II (1864 – 1879 M).


Tetapi sejak tahun 1831, wilayah Lembah Serayu jatuh dibawah kendali Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan tidak lagi dikendalikan penguasa tradisonal Kesunanan Surakarta. Karena itu konsep pewarisan tahta kekuasaan tradisional tidak otomatis berjalan begitu saja. Pertimbangan Pemerintah Hindia Belanda lebih dominan. Salah satu pertimbangan yang penting dalam pengangkatan bupati, disamping faktor keturunan adalah  kesetiaan dan loyalitas. Bupati yang dipilih, tentu saja bupati yang loyal dan mampu menjabarkan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda sebagai  penjajah.


Itulah sebabnya, ketika Bupati Banyumas Cakranegara II, pada tahun 1879 mengajukan permohonan pensiun dini alias mengundurkan diri,  putranya Tumenggung Cakrakusuma tidak otomatis menggantikan ayahnya  sebagai Bupati Banyumas. Pemerintah Hindia Belanda memilih memindahkan Tumenggung Mertadireja III ke Banyumas, yang saat itu sedang menduduki kursi  bupati Kabupaten Purwokerto ( 1860 – 1879 M).


Tumenggung Cakrakesuma baru mendapatkan haknya menduduki kursi bupati tujuh tahun setelah ayahnya lengser. Itupun bukan menduduki kursi bupati Banyumas yang ditinggalkan ayahnya. Tumenggung Cakrakesuma baru diberi jatah kursi bupati, sebagai Bupati Purwokerto pada tahu 1885 M, setelah kursi bupati  vakum selama 3 tahun( 1883- 1885 ). Dan selama kursi Bupati Purwokerto vakum, kendali pemerintahan ada ditangan orang kuat Purwokerto Patih Raden Arya Wiryaatmaja.


Dapat dimengerti Tumenggung Cakrakesuma sangat kecewa dengan kebijakan pemerintah. Tapi apa yang bisa dilakukan?  Sudah jelas Tumenggung Cakrakesuma lebih suka menduduki kursi kabupaten Banyumas  yang ditinggalkan ayahnya dari pada kursi bupati kabupaten Purwokerto yang sengaja dibiarkan kosong selama 3 tahun oleh Pemerintah Hindia Belanda.


Tetapi Pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengambil risiko. Sebab saat ayahnya, Bupati Cakranegara II menduduki kursi Bupati Banyumas, selalu terlibat cekcok dan konflik dengan atasannya, Residen Belanda C. De Moolenburg. Apa penyebab konflik? Dengan mudah dapat diduga, Bupati Cakranegara II lebih banyak membela kepentingan rakyat Banyumas dari pada kebijakan pemerintah yang tentu saja menguntungkan penjajah. Itu sebabnya Bupati Cakranegara II sangat populer di mata kawulanya. Akibatnya tentu saja Sang Bupati tidak disukai majikannya, Pemerintah Hindia Belanda. Namun Bupati Cakranegara II, juga  menyadari posisinya yang lemah jika harus melawan pemerintah. Akhirnya dari pada terus-menerus terlibat konflik antara membela kepentingan rakyat dengan membela kepentingan pemerintah penjajah, Bupati Cakranegara II memilih mengundurkan dirinya. Rakyat Banyumas yang gemar simbol-simbol dan ramal meramal, melukiskan pertentangan Bupati Banyumas Cakranegara II dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Tuan Residen Banyumas C de Moolenborgh sebagai” kudi tarung karo karahe”. Artinya kudi, senjata golok khas Banyumas berperang dengan leher kudi. Kudi menggambarkan Tuan Residen, sedang karah melambangkan Sang Bupati. Tentu saja karah yang kalah. Setelah pensiun Tumenggung Cakranegara II tinggal di dukuh Gendayaka, desa Pasinggangan. Rakyat Banyumas yang tetap mencintainya menyebutnya dengan panggilan kehormatan, Bendara Kanjeng Gendayakan. Dukuh Gendayakan tidak terlalu jauh dengan makam Adipati Mrapat Joko Kahiman, di makam Dawuhan.


Belanda yang tidak mau kehilangan kewibawaannya di mata rakyat Banyumas, menunjuk pengganti Bendara Kanjeng Gendayakan, seorang tokoh yang memiliki karakter kuat dan pas sebagai wong Banyumas, yakni Bupati Martadireja III yang saat itu sedang menduduki kursi Kabupaten Purwokerto ( 1860 – 1879 M). Bupati Martadireja III merupakan bupati yang cakap, trampil, cekatan dan mampu menjembatani antara kepentingan Pemerintah Hindia Belanda sebagai penjajah dengan kepentingan rakyat Banyumas sebagai kawula yang terjajah. Tentu saja merupakan peran yang tidak mudah dilakukan. Tetapi Bupati Martadireja III mampu memainkan peranan yang sulit itu. Semboyan wong Banyumas, cablaka pengabdi setia- jujur dalam mengabdi- sangat cocok disematkan dipundak Adipati Martadireja III. Dan juga Patih Kabupaten Purwokerto, Arya Wiryaatmaja.


Rakyat Banyumas dengan cepat menerima dan menyambut dengan hangat kehadiran Adipati Martadireja III. Adipati Matadireja III pun memegang jabatan Bupati Banyumas paling lama, 34 tahun ( 1879 – 1913 M). Sebelumnya memegang jabatan Bupati Purwokerto selama 19 tahun ( 1860 – 1879 ). Total masa pengabdian Bupati Martadireja III  adalah 53 tahun. Atas jasa-jasanya dan pengabdiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, Bupati Martadireja III mendapat bintang jasa emas, “ Ridder en Officer van Oranye Nassau”


Berdeda dengan Bupati Cakranegara II yang bukan keturunan orang Banyumas, karena leluhurnya dari Surakarta, leluhur Bupati Martadireja III adalah Adipati Yudanegara III, Bupati Banyumas (1749 – 1755 ) yang punya garis keturunan langsung kepada Adipati Mrapat, Jaka Kahiman, Pendiri Kabupaten Banyumas.

Karena itu rakyat Banyumas menilai penunjukkan Martadireja III sebagai Bupati Banyumas menggantikan Bupati Cakranegara II sangat tepat. Sebab Martadireja III dianggap lebih berhak menduduki kursi bupati Banyumas dari pada Cakranegara II. Itulah sebabnya tukang ramal di Banyumas menciptakan kalimat ungkapan dengan nada ramalan, : “Kelak kalau ada kudhi bertengkar dengan karahnya, kursi bupati Banyumas akan kembali kepada pemiliknya”. Jelas yang dimaksud dengan kalimat ramalan diatas, - ramalan tetapi dibuat setelah peristiwanya terjadi-, bertujuan untuk memberikan legitimasi yang kuat kepada Martadireja III, sebagai pemilik yang sah kursi bupati Banyumas. Tetapi sekaligus bertujuan mengurangi pengaruh Cakranegara II alias Kanjeng Gendayakan.


Pemerintah Belanda sukses menempatkan Martadireja III untuk meredam gejolak di Banyumas akibat lengsernya Bupati Cakranegara II. Bagaimana dengan nasib putranya Tumenggung Cakrakesuma? Tentu saja Pemerintah Hindia Belanda harus mengembalikan wibawanya di mata rakyat Banyumas. Tumenggung Cakranegara tidak dibiarkan bebas kesana-kemari  dan kasak-kusuk karena sakit hati. Untuk menghibur putra Cakranegara II itu, diangkatlah Tumenggung Cakrakesuma sebagai Bupati Purwokerto. Tetapi di kursi bupati, Cakrakesuma sangat menderita, sebab dia duduk sebagai bupati tetapi hanya simbolis.


Pemerintah Belanda telah menempatkan orang kuat kedua yang setia kepada Pemerintah Hindia Belanda, yakni Patih Aria Wiryaatmaja. Aria Wiryaatmaja sendiri bintangnya cepat naik ketika Bupati Purwokerto pengganti Martadireja III, Cakraseputra( 1879 – 1882 M), sakit-sakitan, akhirnya lumpuh, sehingga kembali ke tanah leluhurnya, Surakarta. Dia tinggal di kampung Baron, dan terkenal sebagai Bendoro Kanjeng Baron. Bupati Cakrasaputra adalah adik Bupati Banyumas Cakranegara II (1864 – 1879 M). Dengan demikian Cakrasaputra adalah paman Tumengung Cakrakesuma, yang kemudian menjadi Bupati Purwokerto ( 1885 – 1905 ).


Ketika Bupati Cakrasaputra dalam kondisi sakit-sakitan itulah, Patih Arya Wiryaatmaja menjadi pengendali utama pemerintahan Kabupaten Purwokerto. Patih Arya Wiryaatmaja sendiri memang tokoh yang cerdas dengan macam-macam keahlian. Sekaligus juga sangat setia kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ide-ide dan gagasan pembaharuannya untuk mensejahterakan rakyat sangat banyak. Namun begitu, Patih Arya Wiryaatmaja tetap setia kepada pemerintah.


Karena itu ketika Tumenggung Cakrakesuma menduduki kursi bupati, Sang Patih Arya Wiryatamaja memang sedang menikmati ketenarannya. Sang Patih  memiliki posisi kuat sebagai pengendali pemerintahan.

Akhirnya Bupati Cakrakesuma yang oleh pengikut setianya dijuluki Kanjeng Purwokerto itu lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah yang bersifat mistik. Dari tangannyalah lahir karya Babad Banyumas versi Cakarkesuman yang salinannya ditemukan oleh Sugeng Priyadi. Dan Sugeng Priyadi memberi nama salinan Babad Banyumas versi Cakrakesuman yang disalin Wirjasendjaja pada tahun 1940 itu sebagai Babad Kranji-Kedungwoeloeh. Dalam buku Babadnya itu, Kanjeng Purwokerto alias Tumenggung Cakrakesuma, putra Bendoro Kanjeng Gendayakan alias Raden Mas Tumenggung Cakranegara II, menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI, merttua Adipati Mrapat, wafat pada tahun 1570 M. Padahal tidak ada fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570 M. Sebab berdasarkan fakta sejarah, tahun 1570 M, adalah tahun wafatnya Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Banten dan Cirebon.

Inilah alinae hal 15 dari naskah andalan Sugeng Priyadi, naskah Kranji Kedungwoeloeh salinan Wijasendjaja tahun 1940 yang dikutip Sugeng Priyadi, berisi tahun wafat Adipati Wirasaba VI  sebagai berikut:


"Rr.Srini krama Adipati Warga Oetama Wirasaba ping VI seda ing doesoen Bener 1570" ( hal 15) 
"R.Warga/ R.H. Warga Oetomo I/ seda ing desa Bener/ Lowano(Ngambal) taoen 1570...." (hal 15) 
 "R. Sukartimah/R.H.Warga Oetama II/R.H. Boepati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banjoemas I taoen 1571" ( halaman 15)

Menemukan dua angka tahun 1570 dan 1571, tanpa pikir panjang, Sugeng Priyadi langsung mengambil kesimpulan, "Informasi di atas menjadi penting karena memberi dua keterangan sekaligus, yaitu tahun 1570 sebagai waktu wafatnya Adipati Warga Utama I dan tahun 1571 sebagai kepindahan Adipati Mrapat ke Banyumas."

Sudah jelas kesimpulan yang diambil Sugeng Priyadi, merupakan kesimpulan ceroboh. Bisa jadi karena beliau Sarjana Strata Satunya dari jurusan pendidikan Sejarah IKIP  dan bukan dari Sarjana jurusan murni ilmu sejarah, sehingga bisa langsung mengambil kesimpulan dari data sejarah yang hanya dari satu-satunya dokumen sumber, yaitu kitab babad salinan Wirjasandjaja yang dikoleksi dr.Sudarmadji. Sebagai peneliti, mestinya Pak Profesor sangat tahu bahwa data sejarah yang hanya berasal dari satu-satunya sumber saja tidak kuat untuk dijadikan fakta sejarah. Karena itu sebenarnya Sugeng Pryadi masih punya hutang kewajiban, menemukan sumber lain yang bisa memperkuat data sejarah dalam naskah salinan Wirjasandjaja, agar data sejarah 1570 dan 1571 bisa menjadi fakta sejarah. Ternyata sampai dicabutnya Perda No.2/1990 pada tanggal 8 Juni 2015, Sugeng Priyadi gagal melaksanakan kewajiban ilmiyahnya sebagai seorang peneliti profesional. Disadari atau tidak, sebagai penganut teologi kematian, kesimpulan Sugeng Priyadi yang mendukung anggapan Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570, telah ikut melakukan dosa sejarah, karena telah ikut memotong usia hidup Adipati Wirasaba selama 8 tahun. Tentu saja yang paling bertanggung jawab dalam melakukan dosa sejarah adalah Kanjeng Purwokerto. Tetapi bisa jadi  menjadi tanggung jawab Wirjasendjaja jika Wirjasendjajalah yang ternyata punya inisiatip memasukkan angka 1570 dan 1571 ke dalam naskah yang disalinnya. Menurut pengakuan Sugeng Priyadi, naskah asli Kanjeng Purwokerto yang dijadikan babon salinan, tidak ditemukan. Wafatnya Adipati Wirasaba VI pada tahun 1578 M, lebih mendekati fakta sejarah dari pada tahun 1570 M, menurut kitab Kranji Kedungwoeloeh.

Dr.HJ De Graaf, ahli Sejarah Jawa, dalam telaahnya terhadap sejumlah kitab Babad Banyumas, dengan jelas menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI, Mertua Adipati Mrapat Joko Kahiman, baru wafat pada tahun 1578 M. Karena itu Babad Kranji Kedungwoeloeh, sebagai sumber penelitian yang menyebutkan wafatnya Adipati Wirasaba VI tahun 1570 M, tidak sahih sebagai sumber penelitian. Sebab tidak ada sumber lain yang dapat memperkuat data tersebut. Dengan demikian, Babad Kranji Kedungwoeloen, hanya merupakan satu-satunya sumber yang menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570 M. Dan sebagai satu-satunya sumber, kurang sahih sebagai sumber penelitian maupun sumber sejarah.


Demikianlah teka-teki angka 1570 M dalam kitab Babad Banyumas Cakrakesuman atau Naskah Kranji-Kedungwoeloeh. Tahun 1570 M yang sesungguhnya merupakan tahun wafatnya salah satu tokoh Walisongo, Sunan Gunungjati, telah ditafsirkan secara diakronis oleh Kanjeng Purwokerto sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI. Padahal menurut telaah Sarjana Belanda, De Graaf, Adipati Wirasaba VI, mertua Adipati Mrapat Joka Kahiman, baru wafat pada tahun 1578 M. Disadari atau tidak, Kanjeng Purwokerto yang -leluhurnya dari Surakarta-, juga telah memotong usia hidup Adipati Wirasaba VI- Mertua Adipati Mrapat Jaka Kahiman yang hendak dipujanya melalui naskah babad yang ditulisnya-, delapan tahun dari usia yang sebenarnya!.Sebuah Dosa Sejarah yang tak termaafkan.Wallahualam.(05-12-2015).

Baca Artikel yang berkaitan :
https://tamanrafflesia.blogspot.co.id/2016/07/tanggal-27-ramadhan-wahyu-lailatul.html 

9 komentar:

  1. Apakah ada yang mengetahui sejarah lengkap Raden Mas Tumemggung Cokrokusumo beserta keturunannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. @ andre,,
      Mas klo sdh dapat.bagi info nya ya, kebetulan itu adalah masih ada hub dengan eyang buyut kami.
      Hizkia soebyanto,
      081329092279

      Hapus
    2. Di Poerwokerto kemudian diangkat saudara dari Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II dari Banjoemas yang diberhentikan. bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosepoetro, yang pensiun pada tahun 1895 karena lumpuh di kaki dan saat ini menetap di Solo.
      Penggantinya adalah Raden Mas Toemenggoeng Tjokrokoesoemo, putra Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II, tetapi ia dipecat pada tahun 1905 karena tersedak (Knevelarij = Korupsi ?) dan saat ini tinggal di Tjilatjap dengan dukungan dari Pemerintah.
      Ia digantikan oleh pamannya, putra Raden Adipati Tjokronegoro I dari Banjoemas, bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosoebroto, yang tak lama kemudian berganti nama menjadi Tjokronegoro III, pemegang tituler (Titularis) ini masih menjabat.


      Dari koran De Sumatra post tertanggal 17-05-1905 di beritakan :
      " .... bahwa Bupati Tjokrokesoemo yang diberhentikan dengan tidak hormat, dari semua orang mengira dia tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi dari kas negara, beberapa hari setelah pemecatannya, tunjangan f 200 sebulan diberikan, dengan syarat bertempat tinggal di luar Poerwokerto.
      Kemudian Koran De Preanger-bode 24-05-1905 :
      "Mantan Bupati Poerwokerto R.M. Toemenggoeng Tjokro Kesoemo, sudah melapor ke "Mat", agar semua harta bergeraknya dijual, dengan harapan dapat melunasi utangnya dengan hasil penjualannya.
      Namun hal itu tidak membuatnya senang, penjualan telah menghasilkan begitu sedikit sehingga kreditur tidak dibayar lebih dari 34 persen dari klaim mereka. Pejabat dan kepala desa tidak berani membeli karena Bupati sedang dalam suasana hati yang buruk di pemerintahan, mereka takut bahwa mereka akan masuk ke sudut juga (maksude ikut terbawa masalah).
      R.M.T. Tjokro Kesoemo, tinggal di Tjilatjap di sebuah rumah primitif dengan perabotan sewaan dan memiliki 12 anak, sehingga ia sendiri tidak mampu lagi membayar apa pun kepada para krediturnya."

      Hapus
  2. Admin, kebetulan saya sdg menelusur keturunan dari KRT Cakranegara, beliau memilik istri yg bernama Retna Diwati, putri dari Kyai Djaya Permea ( permeha,permeo)
    Kemudian ada KRT Cakradiwirya di Banyumas.
    Bagi pembaca yg kebetulan .emili informasi tentang keturunan beliau,baik generasi du bawah atauoun generasi diatasnya,mohon utk berbagi dgn saya.
    Kami sedang menyysyn sarasilah kekuarga besar kami,yang kebanyakan berada disekitar Patikraja, Kalirajut,Kedungwringin,Kedungrandu, Banyumas,Purbalingga,kec Karanganyar,purbalingga.
    Saya tinggal di Ungaran,kab.Semarang.Tetapi kebanyakan saudara kami tinggal diPurbalingga,tepatnya di desa Krangean, kec.Karanganyar ,Purbalingga.Dari ceitera turun temurun daerah tsb merupakan base nya prajurit Dipanegara yg ikut petang Bithing,di Kec. Kaligondang, krn disitu juga dulu banyak ditemukan makam prajurit Dipanegara.
    Silahkan hubungi saya di wa 081329092279
    Hizkia soebyanto

    BalasHapus
  3. Selamat malam mas...maaf saya baru baca balasannya.

    Saya adalah cucu RM Iman Soetadji putra RMT Cokrokusumo..saya akan WA mas nanti, karena saya beserta sepupu sedang menyusun silsilah juga.

    Terima kasih dan salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pak Andre, apakah putra2 dari RMT Cokrokusumo memakai nama Iman di depannya? Saya kebetulan sedang melacak silsilah Eyang saya, RM Iman Soekarto, almarhum terakhir menjabat sebagai Patih Tegal

      Hapus
  4. Membaca sejarah leluhur tumenggung cakranegara II (kanjeng gendayakan) sampai saat ini makamnya masih di jaga hanya keturunanya yg bisa masuk entah kenapa , beliau adalah leluhur buyut saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf apakah ini masih dengan mas hizkia atau orang lain? Maaf karena namanya tidak tercatat

      Hapus
  5. apa bukan akan lebih mendekati kalau sosok Kanjeng Purwokerto itu dan sekaligus penulis Babon Babad Banyumas di tahun 1889 tersebut adalah Cakraseputra, pengganti Cakranegara II, ini ada kutipan dari Laporan Residen Banyumas waktu itu :

    Di Poerwokerto kemudian diangkat saudara dari Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II dari Banjoemas yang diberhentikan. bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosepoetro, yang pensiun pada tahun 1895 karena lumpuh di kaki dan saat ini menetap di Solo.
    Penggantinya adalah Raden Mas Toemenggoeng Tjokrokoesoemo, putra Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II, tetapi ia dipecat pada tahun 1905 karena tersedak (Knevelarij = Korupsi ?) dan saat ini tinggal di Tjilatjap dengan dukungan dari Pemerintah.
    Ia digantikan oleh pamannya, putra Raden Adipati Tjokronegoro I dari Banjoemas, bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosoebroto, yang tak lama kemudian berganti nama menjadi Tjokronegoro III, pemegang tituler (Titularis) ini masih menjabat.

    BalasHapus