Kanjeng
Purwokerto adalah penulis Babad Banyumas versi Kranji Kedungwoeloeh,
berdasarkan telaah dan penelitian Prof.Dr.Sugeng Priyadi, penulis buku, ”Hari
Jadi Kabupaten Banyumas 22 Pebruari 1571M”.
Siapakah
Kanjeng Purwokerto? Sugeng Priyadi menduga, Kanjeng Purwokerto adalah Raden Mas
Tumenggung Cakrakesuma. Sebenarnya,
tanpa harus menduga-duga, dapat dipastikan Kanjeng Purwokerto adalah nama
kehormatan yang diberikan kepadanya oleh para pengikut setianya. Dia adalah
Raden Mas Tumenggung Cakrakesuma, yang
diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Bupati Purwokerto pada tahun 1885 M
Sebelum menduduki kursi Bupati, dia adalah
asisten wedana Banteran. Para leluhur Tumenggung Cakrakesuma memang tidak jauh dari kursi bupati, sehingga dari
segi keturunan dan konsep kekuasaan tradisonal, Tumenggung Cakrakusuma punya
hak untuk menduduki kursi bupati. Apalagi ayahnya adalah Bupati Banyumas
Cakranegara II (1864 – 1879 M).
Tetapi
sejak tahun 1831, wilayah Lembah Serayu jatuh dibawah kendali Pemerintah Hindia
Belanda di Batavia dan tidak lagi dikendalikan penguasa tradisonal Kesunanan
Surakarta. Karena itu konsep pewarisan tahta kekuasaan tradisional tidak
otomatis berjalan begitu saja. Pertimbangan Pemerintah Hindia Belanda lebih
dominan. Salah satu pertimbangan yang penting dalam pengangkatan bupati,
disamping faktor keturunan adalah
kesetiaan dan loyalitas. Bupati yang dipilih, tentu saja bupati yang loyal
dan mampu menjabarkan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda sebagai penjajah.
Itulah
sebabnya, ketika Bupati Banyumas Cakranegara II, pada tahun 1879 mengajukan
permohonan pensiun dini alias mengundurkan diri, putranya Tumenggung Cakrakusuma tidak otomatis
menggantikan ayahnya sebagai Bupati
Banyumas. Pemerintah Hindia Belanda memilih memindahkan Tumenggung Mertadireja
III ke Banyumas, yang saat itu sedang menduduki kursi bupati Kabupaten Purwokerto ( 1860 – 1879 M).
Tumenggung
Cakrakesuma baru mendapatkan haknya menduduki kursi bupati tujuh tahun setelah
ayahnya lengser. Itupun bukan menduduki kursi bupati Banyumas yang ditinggalkan
ayahnya. Tumenggung Cakrakesuma baru diberi jatah kursi bupati, sebagai Bupati
Purwokerto pada tahu 1885 M, setelah kursi bupati vakum selama 3 tahun( 1883- 1885 ). Dan selama
kursi Bupati Purwokerto vakum, kendali pemerintahan ada ditangan orang kuat
Purwokerto Patih Raden Arya Wiryaatmaja.
Dapat
dimengerti Tumenggung Cakrakesuma sangat kecewa dengan kebijakan pemerintah.
Tapi apa yang bisa dilakukan? Sudah
jelas Tumenggung Cakrakesuma lebih suka menduduki kursi kabupaten Banyumas yang ditinggalkan ayahnya dari pada kursi
bupati kabupaten Purwokerto yang sengaja dibiarkan kosong selama 3 tahun oleh
Pemerintah Hindia Belanda.
Tetapi
Pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengambil risiko. Sebab saat ayahnya,
Bupati Cakranegara II menduduki kursi Bupati Banyumas, selalu terlibat cekcok
dan konflik dengan atasannya, Residen Belanda C. De Moolenburg. Apa penyebab
konflik? Dengan
mudah dapat diduga, Bupati Cakranegara II lebih banyak membela kepentingan
rakyat Banyumas dari pada kebijakan pemerintah yang tentu saja menguntungkan
penjajah. Itu sebabnya Bupati Cakranegara II sangat populer di mata kawulanya.
Akibatnya tentu saja Sang Bupati tidak disukai majikannya, Pemerintah Hindia
Belanda. Namun Bupati Cakranegara II, juga menyadari
posisinya yang lemah jika harus melawan pemerintah. Akhirnya dari pada
terus-menerus terlibat konflik antara membela kepentingan rakyat dengan membela
kepentingan pemerintah penjajah, Bupati Cakranegara II memilih mengundurkan
dirinya. Rakyat Banyumas yang gemar simbol-simbol dan ramal meramal, melukiskan
pertentangan Bupati Banyumas Cakranegara II dengan Pemerintah Hindia Belanda
yang diwakili Tuan Residen Banyumas C de Moolenborgh sebagai” kudi tarung karo
karahe”. Artinya kudi, senjata golok khas Banyumas berperang dengan leher kudi.
Kudi menggambarkan Tuan Residen, sedang karah melambangkan Sang Bupati. Tentu
saja karah yang kalah. Setelah
pensiun Tumenggung Cakranegara II tinggal di dukuh Gendayaka, desa
Pasinggangan. Rakyat Banyumas yang tetap mencintainya menyebutnya dengan
panggilan kehormatan, Bendara Kanjeng Gendayakan. Dukuh Gendayakan tidak
terlalu jauh dengan makam Adipati Mrapat Joko Kahiman, di makam Dawuhan.
Belanda
yang tidak mau kehilangan kewibawaannya di mata rakyat Banyumas, menunjuk
pengganti Bendara Kanjeng Gendayakan, seorang tokoh yang memiliki karakter kuat
dan pas sebagai wong Banyumas, yakni Bupati Martadireja III yang saat itu
sedang menduduki kursi Kabupaten Purwokerto ( 1860 – 1879 M). Bupati
Martadireja III merupakan bupati yang cakap, trampil, cekatan dan mampu
menjembatani antara kepentingan Pemerintah Hindia Belanda sebagai penjajah
dengan kepentingan rakyat Banyumas sebagai kawula yang terjajah. Tentu saja
merupakan peran yang tidak mudah dilakukan. Tetapi Bupati Martadireja III mampu
memainkan peranan yang sulit itu. Semboyan wong Banyumas, cablaka pengabdi
setia- jujur dalam mengabdi- sangat cocok disematkan dipundak Adipati
Martadireja III. Dan juga Patih Kabupaten Purwokerto, Arya Wiryaatmaja.
Rakyat
Banyumas dengan cepat menerima dan menyambut dengan hangat kehadiran Adipati
Martadireja III. Adipati Matadireja III pun memegang jabatan Bupati Banyumas
paling lama, 34 tahun ( 1879 – 1913 M). Sebelumnya memegang jabatan Bupati
Purwokerto selama 19 tahun ( 1860 – 1879 ). Total masa pengabdian Bupati
Martadireja III adalah 53 tahun. Atas
jasa-jasanya dan pengabdiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, Bupati
Martadireja III mendapat bintang jasa emas, “ Ridder en Officer van Oranye
Nassau”
Berdeda dengan Bupati Cakranegara II yang bukan keturunan orang Banyumas, karena leluhurnya dari Surakarta, leluhur Bupati Martadireja III adalah Adipati Yudanegara III, Bupati Banyumas (1749 – 1755 ) yang punya garis keturunan langsung kepada Adipati Mrapat, Jaka Kahiman, Pendiri Kabupaten Banyumas.
Karena
itu rakyat Banyumas menilai penunjukkan Martadireja III sebagai Bupati Banyumas
menggantikan Bupati Cakranegara II sangat tepat. Sebab Martadireja III dianggap
lebih berhak menduduki kursi bupati Banyumas dari pada Cakranegara II. Itulah
sebabnya tukang ramal di Banyumas menciptakan kalimat ungkapan dengan nada
ramalan, : “Kelak kalau ada kudhi bertengkar dengan karahnya, kursi bupati
Banyumas akan kembali kepada pemiliknya”. Jelas
yang dimaksud dengan kalimat ramalan diatas, - ramalan tetapi dibuat setelah
peristiwanya terjadi-, bertujuan untuk memberikan legitimasi yang kuat kepada
Martadireja III, sebagai pemilik yang sah kursi bupati Banyumas. Tetapi
sekaligus bertujuan mengurangi pengaruh Cakranegara II alias Kanjeng
Gendayakan.
Pemerintah
Belanda sukses menempatkan Martadireja III untuk meredam gejolak di Banyumas
akibat lengsernya Bupati Cakranegara II. Bagaimana dengan nasib putranya
Tumenggung Cakrakesuma? Tentu
saja Pemerintah Hindia Belanda harus mengembalikan wibawanya di mata rakyat
Banyumas. Tumenggung Cakranegara tidak dibiarkan bebas kesana-kemari dan kasak-kusuk karena sakit hati. Untuk
menghibur putra Cakranegara II itu, diangkatlah Tumenggung Cakrakesuma sebagai
Bupati Purwokerto. Tetapi di kursi bupati, Cakrakesuma sangat menderita, sebab dia
duduk sebagai bupati tetapi hanya simbolis.
Pemerintah
Belanda telah menempatkan orang kuat kedua yang setia kepada Pemerintah Hindia
Belanda, yakni Patih Aria Wiryaatmaja. Aria Wiryaatmaja sendiri bintangnya
cepat naik ketika Bupati Purwokerto pengganti Martadireja III, Cakraseputra(
1879 – 1882 M), sakit-sakitan, akhirnya lumpuh, sehingga kembali ke tanah
leluhurnya, Surakarta. Dia tinggal di kampung Baron, dan terkenal sebagai
Bendoro Kanjeng Baron. Bupati Cakrasaputra adalah adik Bupati Banyumas
Cakranegara II (1864 – 1879 M). Dengan demikian Cakrasaputra adalah paman
Tumengung Cakrakesuma, yang kemudian menjadi Bupati Purwokerto ( 1885 – 1905 ).
Ketika Bupati Cakrasaputra dalam kondisi sakit-sakitan itulah, Patih Arya Wiryaatmaja menjadi pengendali utama pemerintahan Kabupaten Purwokerto. Patih Arya Wiryaatmaja sendiri memang tokoh yang cerdas dengan macam-macam keahlian. Sekaligus juga sangat setia kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ide-ide dan gagasan pembaharuannya untuk mensejahterakan rakyat sangat banyak. Namun begitu, Patih Arya Wiryaatmaja tetap setia kepada pemerintah.
Karena
itu ketika Tumenggung Cakrakesuma menduduki kursi bupati, Sang Patih Arya
Wiryatamaja memang sedang menikmati ketenarannya. Sang Patih memiliki posisi kuat sebagai pengendali
pemerintahan.
Akhirnya
Bupati Cakrakesuma yang oleh pengikut setianya dijuluki Kanjeng Purwokerto itu lebih
banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah yang bersifat mistik. Dari
tangannyalah lahir karya Babad Banyumas versi Cakarkesuman yang salinannya
ditemukan oleh Sugeng Priyadi. Dan Sugeng Priyadi memberi nama salinan Babad
Banyumas versi Cakrakesuman yang disalin Wirjasendjaja pada tahun 1940 itu sebagai Babad Kranji-Kedungwoeloeh. Dalam
buku Babadnya itu, Kanjeng Purwokerto alias Tumenggung Cakrakesuma, putra
Bendoro Kanjeng Gendayakan alias Raden Mas Tumenggung Cakranegara II,
menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI, merttua Adipati Mrapat, wafat pada tahun
1570 M. Padahal tidak ada fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba
VI wafat tahun 1570 M. Sebab berdasarkan fakta sejarah, tahun 1570 M, adalah
tahun wafatnya Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Banten dan Cirebon.
Inilah alinae hal 15 dari naskah andalan Sugeng Priyadi, naskah Kranji Kedungwoeloeh salinan Wijasendjaja tahun 1940 yang dikutip Sugeng Priyadi, berisi tahun wafat Adipati Wirasaba VI sebagai berikut:
"Rr.Srini krama Adipati Warga Oetama Wirasaba ping VI seda ing doesoen Bener 1570" ( hal 15)
"R.Warga/ R.H. Warga Oetomo I/ seda ing desa Bener/ Lowano(Ngambal) taoen 1570...." (hal 15)
"R. Sukartimah/R.H.Warga Oetama II/R.H. Boepati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banjoemas I taoen 1571" ( halaman 15)
Menemukan dua angka tahun 1570 dan 1571, tanpa pikir panjang, Sugeng Priyadi langsung mengambil kesimpulan, "Informasi di atas menjadi penting karena memberi dua keterangan sekaligus, yaitu tahun 1570 sebagai waktu wafatnya Adipati Warga Utama I dan tahun 1571 sebagai kepindahan Adipati Mrapat ke Banyumas."
Sudah jelas kesimpulan yang diambil Sugeng Priyadi, merupakan kesimpulan ceroboh. Bisa jadi karena beliau Sarjana Strata Satunya dari jurusan pendidikan Sejarah IKIP dan bukan dari Sarjana jurusan murni ilmu sejarah, sehingga bisa langsung mengambil kesimpulan dari data sejarah yang hanya dari satu-satunya dokumen sumber, yaitu kitab babad salinan Wirjasandjaja yang dikoleksi dr.Sudarmadji. Sebagai peneliti, mestinya Pak Profesor sangat tahu bahwa data sejarah yang hanya berasal dari satu-satunya sumber saja tidak kuat untuk dijadikan fakta sejarah. Karena itu sebenarnya Sugeng Pryadi masih punya hutang kewajiban, menemukan sumber lain yang bisa memperkuat data sejarah dalam naskah salinan Wirjasandjaja, agar data sejarah 1570 dan 1571 bisa menjadi fakta sejarah. Ternyata sampai dicabutnya Perda No.2/1990 pada tanggal 8 Juni 2015, Sugeng Priyadi gagal melaksanakan kewajiban ilmiyahnya sebagai seorang peneliti profesional. Disadari atau tidak, sebagai penganut teologi kematian, kesimpulan Sugeng Priyadi yang mendukung anggapan Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570, telah ikut melakukan dosa sejarah, karena telah ikut memotong usia hidup Adipati Wirasaba selama 8 tahun. Tentu saja yang paling bertanggung jawab dalam melakukan dosa sejarah adalah Kanjeng Purwokerto. Tetapi bisa jadi menjadi tanggung jawab Wirjasendjaja jika Wirjasendjajalah yang ternyata punya inisiatip memasukkan angka 1570 dan 1571 ke dalam naskah yang disalinnya. Menurut pengakuan Sugeng Priyadi, naskah asli Kanjeng Purwokerto yang dijadikan babon salinan, tidak ditemukan. Wafatnya Adipati Wirasaba VI pada tahun 1578 M, lebih mendekati fakta sejarah dari pada tahun 1570 M, menurut kitab Kranji Kedungwoeloeh.
Dr.HJ De Graaf, ahli Sejarah Jawa, dalam telaahnya terhadap sejumlah kitab Babad Banyumas, dengan jelas menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI, Mertua Adipati Mrapat Joko Kahiman, baru wafat pada tahun 1578 M. Karena itu Babad Kranji Kedungwoeloeh, sebagai sumber penelitian yang menyebutkan wafatnya Adipati Wirasaba VI tahun 1570 M, tidak sahih sebagai sumber penelitian. Sebab tidak ada sumber lain yang dapat memperkuat data tersebut. Dengan demikian, Babad Kranji Kedungwoeloen, hanya merupakan satu-satunya sumber yang menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570 M. Dan sebagai satu-satunya sumber, kurang sahih sebagai sumber penelitian maupun sumber sejarah.
Inilah alinae hal 15 dari naskah andalan Sugeng Priyadi, naskah Kranji Kedungwoeloeh salinan Wijasendjaja tahun 1940 yang dikutip Sugeng Priyadi, berisi tahun wafat Adipati Wirasaba VI sebagai berikut:
"Rr.Srini krama Adipati Warga Oetama Wirasaba ping VI seda ing doesoen Bener 1570" ( hal 15)
"R.Warga/ R.H. Warga Oetomo I/ seda ing desa Bener/ Lowano(Ngambal) taoen 1570...." (hal 15)
"R. Sukartimah/R.H.Warga Oetama II/R.H. Boepati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banjoemas I taoen 1571" ( halaman 15)
Menemukan dua angka tahun 1570 dan 1571, tanpa pikir panjang, Sugeng Priyadi langsung mengambil kesimpulan, "Informasi di atas menjadi penting karena memberi dua keterangan sekaligus, yaitu tahun 1570 sebagai waktu wafatnya Adipati Warga Utama I dan tahun 1571 sebagai kepindahan Adipati Mrapat ke Banyumas."
Sudah jelas kesimpulan yang diambil Sugeng Priyadi, merupakan kesimpulan ceroboh. Bisa jadi karena beliau Sarjana Strata Satunya dari jurusan pendidikan Sejarah IKIP dan bukan dari Sarjana jurusan murni ilmu sejarah, sehingga bisa langsung mengambil kesimpulan dari data sejarah yang hanya dari satu-satunya dokumen sumber, yaitu kitab babad salinan Wirjasandjaja yang dikoleksi dr.Sudarmadji. Sebagai peneliti, mestinya Pak Profesor sangat tahu bahwa data sejarah yang hanya berasal dari satu-satunya sumber saja tidak kuat untuk dijadikan fakta sejarah. Karena itu sebenarnya Sugeng Pryadi masih punya hutang kewajiban, menemukan sumber lain yang bisa memperkuat data sejarah dalam naskah salinan Wirjasandjaja, agar data sejarah 1570 dan 1571 bisa menjadi fakta sejarah. Ternyata sampai dicabutnya Perda No.2/1990 pada tanggal 8 Juni 2015, Sugeng Priyadi gagal melaksanakan kewajiban ilmiyahnya sebagai seorang peneliti profesional. Disadari atau tidak, sebagai penganut teologi kematian, kesimpulan Sugeng Priyadi yang mendukung anggapan Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570, telah ikut melakukan dosa sejarah, karena telah ikut memotong usia hidup Adipati Wirasaba selama 8 tahun. Tentu saja yang paling bertanggung jawab dalam melakukan dosa sejarah adalah Kanjeng Purwokerto. Tetapi bisa jadi menjadi tanggung jawab Wirjasendjaja jika Wirjasendjajalah yang ternyata punya inisiatip memasukkan angka 1570 dan 1571 ke dalam naskah yang disalinnya. Menurut pengakuan Sugeng Priyadi, naskah asli Kanjeng Purwokerto yang dijadikan babon salinan, tidak ditemukan. Wafatnya Adipati Wirasaba VI pada tahun 1578 M, lebih mendekati fakta sejarah dari pada tahun 1570 M, menurut kitab Kranji Kedungwoeloeh.
Dr.HJ De Graaf, ahli Sejarah Jawa, dalam telaahnya terhadap sejumlah kitab Babad Banyumas, dengan jelas menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI, Mertua Adipati Mrapat Joko Kahiman, baru wafat pada tahun 1578 M. Karena itu Babad Kranji Kedungwoeloeh, sebagai sumber penelitian yang menyebutkan wafatnya Adipati Wirasaba VI tahun 1570 M, tidak sahih sebagai sumber penelitian. Sebab tidak ada sumber lain yang dapat memperkuat data tersebut. Dengan demikian, Babad Kranji Kedungwoeloen, hanya merupakan satu-satunya sumber yang menyebutkan bahwa Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570 M. Dan sebagai satu-satunya sumber, kurang sahih sebagai sumber penelitian maupun sumber sejarah.
Demikianlah
teka-teki angka 1570 M dalam kitab Babad Banyumas Cakrakesuman atau Naskah
Kranji-Kedungwoeloeh. Tahun 1570 M yang sesungguhnya merupakan tahun wafatnya
salah satu tokoh Walisongo, Sunan Gunungjati, telah ditafsirkan secara
diakronis oleh Kanjeng Purwokerto sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI.
Padahal menurut telaah Sarjana Belanda, De Graaf, Adipati Wirasaba VI, mertua
Adipati Mrapat Joka Kahiman, baru wafat pada tahun 1578 M. Disadari
atau tidak, Kanjeng Purwokerto yang -leluhurnya dari Surakarta-, juga telah memotong
usia hidup Adipati Wirasaba VI- Mertua Adipati Mrapat Jaka Kahiman yang hendak
dipujanya melalui naskah babad yang ditulisnya-, delapan tahun dari usia yang
sebenarnya!.Sebuah Dosa Sejarah yang tak termaafkan.Wallahualam.(05-12-2015).
Baca Artikel yang berkaitan :
https://tamanrafflesia.blogspot.co.id/2016/07/tanggal-27-ramadhan-wahyu-lailatul.html
Baca Artikel yang berkaitan :
https://tamanrafflesia.blogspot.co.id/2016/07/tanggal-27-ramadhan-wahyu-lailatul.html
Apakah ada yang mengetahui sejarah lengkap Raden Mas Tumemggung Cokrokusumo beserta keturunannya?
BalasHapus@ andre,,
HapusMas klo sdh dapat.bagi info nya ya, kebetulan itu adalah masih ada hub dengan eyang buyut kami.
Hizkia soebyanto,
081329092279
Di Poerwokerto kemudian diangkat saudara dari Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II dari Banjoemas yang diberhentikan. bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosepoetro, yang pensiun pada tahun 1895 karena lumpuh di kaki dan saat ini menetap di Solo.
HapusPenggantinya adalah Raden Mas Toemenggoeng Tjokrokoesoemo, putra Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II, tetapi ia dipecat pada tahun 1905 karena tersedak (Knevelarij = Korupsi ?) dan saat ini tinggal di Tjilatjap dengan dukungan dari Pemerintah.
Ia digantikan oleh pamannya, putra Raden Adipati Tjokronegoro I dari Banjoemas, bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosoebroto, yang tak lama kemudian berganti nama menjadi Tjokronegoro III, pemegang tituler (Titularis) ini masih menjabat.
Dari koran De Sumatra post tertanggal 17-05-1905 di beritakan :
" .... bahwa Bupati Tjokrokesoemo yang diberhentikan dengan tidak hormat, dari semua orang mengira dia tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi dari kas negara, beberapa hari setelah pemecatannya, tunjangan f 200 sebulan diberikan, dengan syarat bertempat tinggal di luar Poerwokerto.
Kemudian Koran De Preanger-bode 24-05-1905 :
"Mantan Bupati Poerwokerto R.M. Toemenggoeng Tjokro Kesoemo, sudah melapor ke "Mat", agar semua harta bergeraknya dijual, dengan harapan dapat melunasi utangnya dengan hasil penjualannya.
Namun hal itu tidak membuatnya senang, penjualan telah menghasilkan begitu sedikit sehingga kreditur tidak dibayar lebih dari 34 persen dari klaim mereka. Pejabat dan kepala desa tidak berani membeli karena Bupati sedang dalam suasana hati yang buruk di pemerintahan, mereka takut bahwa mereka akan masuk ke sudut juga (maksude ikut terbawa masalah).
R.M.T. Tjokro Kesoemo, tinggal di Tjilatjap di sebuah rumah primitif dengan perabotan sewaan dan memiliki 12 anak, sehingga ia sendiri tidak mampu lagi membayar apa pun kepada para krediturnya."
Admin, kebetulan saya sdg menelusur keturunan dari KRT Cakranegara, beliau memilik istri yg bernama Retna Diwati, putri dari Kyai Djaya Permea ( permeha,permeo)
BalasHapusKemudian ada KRT Cakradiwirya di Banyumas.
Bagi pembaca yg kebetulan .emili informasi tentang keturunan beliau,baik generasi du bawah atauoun generasi diatasnya,mohon utk berbagi dgn saya.
Kami sedang menyysyn sarasilah kekuarga besar kami,yang kebanyakan berada disekitar Patikraja, Kalirajut,Kedungwringin,Kedungrandu, Banyumas,Purbalingga,kec Karanganyar,purbalingga.
Saya tinggal di Ungaran,kab.Semarang.Tetapi kebanyakan saudara kami tinggal diPurbalingga,tepatnya di desa Krangean, kec.Karanganyar ,Purbalingga.Dari ceitera turun temurun daerah tsb merupakan base nya prajurit Dipanegara yg ikut petang Bithing,di Kec. Kaligondang, krn disitu juga dulu banyak ditemukan makam prajurit Dipanegara.
Silahkan hubungi saya di wa 081329092279
Hizkia soebyanto
Selamat malam mas...maaf saya baru baca balasannya.
BalasHapusSaya adalah cucu RM Iman Soetadji putra RMT Cokrokusumo..saya akan WA mas nanti, karena saya beserta sepupu sedang menyusun silsilah juga.
Terima kasih dan salam kenal
Pak Andre, apakah putra2 dari RMT Cokrokusumo memakai nama Iman di depannya? Saya kebetulan sedang melacak silsilah Eyang saya, RM Iman Soekarto, almarhum terakhir menjabat sebagai Patih Tegal
HapusMembaca sejarah leluhur tumenggung cakranegara II (kanjeng gendayakan) sampai saat ini makamnya masih di jaga hanya keturunanya yg bisa masuk entah kenapa , beliau adalah leluhur buyut saya
BalasHapusMaaf apakah ini masih dengan mas hizkia atau orang lain? Maaf karena namanya tidak tercatat
Hapusapa bukan akan lebih mendekati kalau sosok Kanjeng Purwokerto itu dan sekaligus penulis Babon Babad Banyumas di tahun 1889 tersebut adalah Cakraseputra, pengganti Cakranegara II, ini ada kutipan dari Laporan Residen Banyumas waktu itu :
BalasHapusDi Poerwokerto kemudian diangkat saudara dari Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II dari Banjoemas yang diberhentikan. bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosepoetro, yang pensiun pada tahun 1895 karena lumpuh di kaki dan saat ini menetap di Solo.
Penggantinya adalah Raden Mas Toemenggoeng Tjokrokoesoemo, putra Raden Toemenggoeng Tjokronegoro II, tetapi ia dipecat pada tahun 1905 karena tersedak (Knevelarij = Korupsi ?) dan saat ini tinggal di Tjilatjap dengan dukungan dari Pemerintah.
Ia digantikan oleh pamannya, putra Raden Adipati Tjokronegoro I dari Banjoemas, bernama Raden Toemenggoeng Tjokrosoebroto, yang tak lama kemudian berganti nama menjadi Tjokronegoro III, pemegang tituler (Titularis) ini masih menjabat.