Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 28 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (16)




“Belum pernah, Diajeng,” jawab Kamandaka singkat sambil berjalan berdampingan.  

Kamandaka sudah cukup puas setelah melihat-lihat ruangan dalam Puri Permatabiru. Di teras Puri Permatabiru Sang Dewi dan Kamandaka duduk bersanding melanjutkan perbincangan kisah petualangan cinta Raden Anggalarang. Bagi Sang Dewi, kisah itu sangat menarik. Sang Dewi dan Kamandaka masih asyik melanjutkan perbincangan sambil menunggu minuman yang sudah dipesan. Angin menjelang sore hari berhembus pelan. Matahari tampak sudah menggelincir ke barat tetapi masih jauh di atas cakrawala.
“Sayang sekali memang, aku belum pernah berjumpa dengan kakak tiri Sri Baginda Prabu Siliwangi, demikian pula Dinda Silihwarna dan Dinda Ratna Pamekas. Hanya Dinda Banyakbelabur yang sempat bertemu, karena dia memang mendapat tugas dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk mengawasi Bandar Muarajati dan Cirebon. Dinda Banyakbelabur pernah berkunjung ke sana. Dari Dinda Banyakbelabur, aku mendapatkan kabar perkembangan Bandar Muarajati dan Cirebon,” kata Kamandaka melanjutkan perbincangan kelanjutan keturunan Raden Anggalarang dengan Gadis Pantai.
Setelah Walangsungsang dewasa, demikian Kamandaka melanjutkan ceriteranya, menikah dengan gadis Galuh. Rara Santang dipersunting seorang ulama dari tanah seberang keturunan seorang raja, Kian Santang mengembara ke Limbangan, menjadi seorang dai dan ulama yang mengembangkan agama Islam di daerah Limbangan dan sekitranya.
Sementara itu, Syahbandar Muarajati menugaskan cucunya,  Walangsungsang agar membuka daerah pemukiman baru di Lemahwungkuk, kira-kira arah selatan dan timur Bandar Muarajati. Dengan mendapatkan bantuan Ki Gede Alang-Alang, Walangsungsang berhasil membangun pemukiman baru dengan cara membuka ladang, tegalan, dan sawah. Lama-lama banyak orang datang dan ikut bermukim sehingga daerah Lemahwungkuk yang semula sepi mulai berkembang. Ki Gede Alang-Alang yang beragama Hindu itu diangkat menjadi kuwu. Sedang Walangsungsang yang beragama Islam diangkat jadi wakil kuwu. Walangsungsang mengubah namanya menjadi Ki Cakrabumi. Ketika Ki Gede Alang-Alang meninggal, Ki Cakrabumi diangkat mejadi kuwu menggantikan Ki Gede Alang-Alang. Setelah menjadi kuwu, namanya diubah lagi menjadi Ki Cakrabuwana.
Sebenarnya Ki Cakrabuwana, demikian Kamandaka masih mlanjutkan ceriteranya, adalah seorang ksatria yang  ulet, pekerja keras, pantang menyerah, dan seorang yang memiliki jiwa wirausaha. Dia tidak hanya pandai berladang dan bertani dengan membuka ladang dan sawah baru. Tetapi Ki Cakrabuwana juga memelopori pembuatan makanan dengan bahan dasar udang, yakni petis, terasi, dan krupuk. Udang hasil tangkapan para nelayan di pantai Laut Jawa dibeli oleh Ki Cakrabuwana. Kemudian dengan dibantu istrinya dan para pekerja, udang-udang itu ditumbuk di atas lumpang batu. Ternyata petis dan terasi buatan Ki Cakrabuwana sangat digemari penduduk, sehingga petis dan terasi itu berkembang menjadi barang dagangan yang sangat laris. Produksi petis dan trasi Ki Cakrabuwana sampai bisa dikirimkan ke daerah lain.
“Konon dari kata air udang, atau air rebon, atau cai rebon sebagai bahan baku pembuat petis yang sangat lezat itulah terbentuk kata Cairebon. Lama-lama kata Cairebon berubah menjadi Cirebon. Tetapi dari riwayat lain menyebutkan, bahwa kata Cirebon berasal dari kata caruban yang berarti campuran. Disebut caruban atau campuran, karena dibawah kepemimpinan Ki Cakrabuwana, daerah baru Cirebon terus berkembang dan banyak penduduk pendatang  berasal dari aneka macam suku bangsa, mulai dari Sunda, Jawa, Bugis, Arab, Keling, Pasai, Tiongkok, dan lainnya lagi. Mereka terus bercampur, terjadi proses perkawinan silang, dan terbentuklah sebuah wilayah dengan ciri budaya kota yang lebih bebas dan toleran. Kota Cirebon juga merupakan tempat nyaman untuk berlindung bagi para pengungsi yang melarikan diri dari Kerajaan Jawa saat terjadi perang perebutan tahta. Sebagian besar mereka berasal daerah Kediri dan Majapahit. Misalnya, ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena serangan Kadipaten Keling yang memberontak. Banyak pengikut Raja Majapahit terakhir yang melarikan diri ke Cirebon, termasuk Resi Bungsu, sahabat Ayah Dimas Arya Baribin.”
“Ketika Cirebon semakin berkembang, Raja Pajajaran Rahyang Dewa Niskala menugaskan salah seorang utusan untuk meninjau daerah baru itu. Betapa terkejutnya Sang Raja Rahyang Dewa Niskala, saat mengetahui bahwa penguasa daerah yang sedang berkembang itu adalah putranya sendiri, Raden Walangsungsang. Sang Raja segera mengesahkan Kadipaten Cirebon dan mengangkat putranya Raden Walangsungsang atau Ki Cakrabuana sebagai Adipati Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Nama anugerah ayahnya itu melengkapi nama barunya setelah disahkan jadi Adipati Kadipaten Cirebon, sehingga gelar lengkapnya adalah Sri Mangana Cakrabuwana,” kata Kamandaka.
“Oh, pantas, Kanjeng Rama setiap habis pulang dari Cirebon tidak lupa membawa oleh-oleh petis, trasi, dan krupuk udang Cirebon,” kata Sang Dewi setelah mendapatkan penjelasan dari suaminya. “Adipati Cirebon Ki Cakrabuwana mengirimkan salam untuk Kanda. Pasti Kanjeng Rama lupa menyampaikan. Kanjeng Adipati Cirebon tidak bisa datang ke Pasirluhur menghadiri pernikahan kita, karena istrinya sedang sakit.”
“Oh, ya? Terimakasih atas salamnya. Semoga istrinya cepat sembuh. Aku tidak mengira kalau Kanjeng Rama mengundang Adipati Cirebon. Apakah Kanjeng Rama atau Kanjeng Ibu mempunyai hubungan kekerabatan dengan Adipati Cirebon, sehingga hubungannya begitu erat dan tampak akrab?” tanya Kamandaka.
“Hubungan kekerabatan tidak ada,” jawab Sang Dewi. “Tetapi setelah Adipati Cirebon tahu Kanjeng Rama berbesanan dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi, tentu saja Adipati Cirebon itu menganggap Kanjeng Rama sebagai adiknya juga.”
“Ketika Sang Raja Rahyang Dewa Niskala masih bertahta apakan Adipati Cirebon pernah datang menghadap Ayahnya di Pakuan Pajajaran?” tanya Sang Dewi ingi tahu lebih banyak hubungan Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran.
“Sayang sekali, hubungan Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran di Pakuan, sempat memburuk. Permasalahannya sebenarnya sangat sederhana,” jawab Kamandaka. Kemudian Kamandaka menceriterakan kisah terjadinya konflik Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran.
Setelah diangkat oleh Sang Raja Dewa Niskala sebagai Adipati Cirebon, demikian kata Kamandaka, praktis Cirebon mengakui kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Adipati Cirebon juga berjanji akan mengirimkan upeti ke Pakuan Pajajaran. Janji itu sempat dipenuhi beberapa kali. Namun pengiriman upeti lalu tertunda dan Cirebon tidak lagi mengirimkan upeti ke Pajajaran. Sang Raja Dewa Niskala menjadi murka ketika mengetahui Cirebon tidak mengirim upeti ke Pajajaran, tetapi malah membangun sebuah Pasanggrahan megah untuk satu-satunya putri tercinta Adipati Cirebon, Dyah Ayu Pakungwati. Pasanggrahan itu pun diberi nama dengan nama putri tercintanya, menjadi Pasanggrahan Pakungwati. Setelah putrinya menikah dengan Syekh Jati, Pasanggarahan Pakungwati dibangun lagi menjadi pusat pemerintahan atau Keraton Kadipaten Cirebon. Sri Mangana Cakrabuwana memang sedang mempersiapkan suami putrinya, Syekh Jati, agar kelak bisa meneruskan jabatannya sebagai Adipati Cirebon.
Pembangunan Keraton Kadipaten Cirebon pun selesai. Kemudian Syekh Jati mengusulkan agar di samping Keraton Pakungwati juga dibangunkan sebuah masjid. Ki Cakrabuwana menyetujui usul menantu dan keponakannya itu. Untuk membangun sebuah masjid, Syekh Jati menghubungi Kerajaan Demak, dan mohon bantuan agar dikirimkan ahli bangunan dari Kerajaan Demak yang memiliki kemampuan khusus membanguan masjid dengan menggunakan Masjid Demak sebagai pola dasar. Tentu saja permohonan Syekh Jati dan Adipati Cirebon disambut dengan suka cita oleh Sultan Demak, Abdul Fattah.
Dikirimkanlah sejumlah ahli bangunan pimpinan Raden Sepat. Raden Sepat adalah seorang ahli bangunan dari Kraton Majapahit yang melarikan diri ketika Majapahit runtuh. Dia melarikan diri ke Demak dan meminta perlindungan kepada Sultan Demak. Dengan senang Sultan Demak menerima Raden Sepat dan anak buahnya. Mereka lalu dimanfaatkan Sultan Demak untuk menyempurnakan bangunan Keraton Demak dan bangunan Masjid Demak. Ketika ada permintaan dari Cirebon, Sultan Demak mengirimkan Raden Sepat dan anak buahnya untuk membangun Masjid Agung Cirebon dan Pasanggrahan Pakungwati menjadi Dalem Keraton Kadipaten Cirebon.
Ketika mendengar laporan dari Tumenggung Jagabaya, bahwa Kadipaten Cirebon telah meminta bantuan Kerajaan Islam Demak, Raja Dewa Niskala menilai bahwa Adipati Cirebon Sri Mangana telah melakukan pembangkangan terhadap Kerajaan Pajajaran. Maka diutuslah Tumenggung Jagabaya disertai ratusan prajuritnya untuk menduduki Cirebon. Tetapi Sang Raja Rahyang Dewa Niskala lupa, bahwa Kadipaten Cirebon bisa meminta perlindungan Kerajaan Islam Demak. Dan itulah yang terjadi. Maka meletuslah perang antara Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Islam Demak, memperebutkan Kadipaten Cirebon. Pasukan Tumenggung Jagabaya dengan mudah dikalahkan tentara Kerajaan Islam Demak yang jauh berpengalaman. Bahkan Tumenggung Jagabaya menyerah, kemudian malah memeluk Islam dan mengabdi kepada Adipati Cirebon. Mendengar kekalahan Pajajaran dalam perang memperebutkan Cirebon, bahkan Tumenggung Jagabaya yang merupakan tumenggung andalan Sang Raja membelot, berita itu langsung mengakibatkan duka cita yang mendalam bagi Sang Raja Rahyang Dewa Niskala. Berhari-hari Sang Raja terus murung, akhirnya jatuh sakit.
“Padahal sebelumnya Ayahanda yang saat itu masih menjadi Putra Mahkota sempat mengingatkan Sang Raja agar Kerajaan Pajajaran jangan menggunakan kekerasan senjata untuk menaklukan Cirebon,”kata Kamandaka, masih melanjutkan ceriteranya. “Sebab Putra Mahkota tahu Adipati Cirebon bukannya tidak mau membayar upeti tetapi hanya minta penundaan sementara karena banyaknya pengeluaran untuk menyelesaikan bangunan pusat pemerintahan Kadipaten Cirebon dengan masjidnya. Sang Putra Mahkota juga berpendapat, andaikata Adipati Cirebon dan menantunya minta bantuan kepada Raja Pajajaran mencarikan ahli bangunan untuk membangun masjid, tidak mungkin Kerajaan Pajajaran yang memeluk agama Hindu mampu memenuhi permintaan Kadipaten Cirebon. Tetapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Hubungan ayah dengan anak dan cucu langsung retak dan putus kembali. Mungkin karena menyesali langkahnya yang keliru, Sang Raja Rahyang Dewa Niskala tidak lama kemudian mangkat. Putra Mahkota pun naik tahta Kerajaan Pajajajaran. Dialah Ayahanda, Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
“Sayang sekali, ya, hubungan ayah, anak, dan cucu putus hanya gara-gara upeti,” kata Sang Dewi yang langsung disambung dengan pertanyaan kepada suaminya, ”Jadi, sekarang bagaimana posisi Kadipaten Cirebon? Apakah sudah lepas dari Kerajaan Pajajaran?”
“Hubungannya masih sulit diramalkan. Kadipaten Cirebon tidak pernah secara formal menyatakan mengakui Kerajaan Demak sebagai pelindungnya. Tetapi juga tidak pernah menyatakan melepaskan dari Kerajaan Pajajaran. Sri Baginda Prabu Siliwangi tampak hati-hati menghadapi kakak tirinya itu. Bagi Pajajaran paling jauh yang bisa dilakukan adalah menjaga agar Kadipaten Singapura dengan Bandar Muarajatinya, Wanagiri, Rajagaluh, dan Talaga, tetap setia kepada Kerajaan Pajajaran, sekalipun seandainya mereka berubah menjadi Kadipaten Islam. Suatu kenyataan bahwa Dinda Banyakbelabur pernah diterima dengan baik ketika mengunjungi Kadipaten Cirebon, tentu merupakan pertanda baik. Ada harapan akan bisa dipulihkan hubungan yang sudah retak itu. Tetapi jika Dinda Banyakbelabur mendorong Ayahanda Sri Baginda Siliwangi mengulangi kembali kesalahan Sang Raja Rahyang Dewa Niskala, perang Demak dan Pajaran pasti akan pecah kembali. Dan hasilnya mudah diramalkan. Bandar Muarajati dan kadipaten-kadipaten sekitar Cirebon, pasti akan lepas dari Kerajaan Pajajaran,” kata Kamandaka meramalkan.
“Ternyata pengetahuan Kanda perihal Kadipaten Cirebon, mendalam juga. Tetapi, tahukah Kanda, apa nama Masjid Kadipaten Cirebon? Dan apa hubungannya dengan sakitnya Dyah Ayu Pakungwati setelah Dalem Keraton Pakungwati dan Masjid Cirebon selesai?” tanya Sang Dewi yang dijawab Kamandaka dengan menggelengkan kepalanya.
“Kanjeng Ibu berceritera padaku, bahwa setelah bangunan Dalem Keraton dan Masjid  Cirebon selesai, Dyah Ayu Pakungwati sakit berminggu-minggu,” kata Sang Dewi menceriterakan putri kesayangan Adipati Cirebon.
“Segala obat dan tabib telah didatangkan untuk mengobati, tapi belum ada hasilnya. Suaminya, Syekh Jati, juga ikut bingung dan sibuk mencarikan tabib dan obat ke mana-mana. Tapi hasilnya tetap nihil. Kanjeng Ibu yang mendengar Putri Adipati Cirebon sakit, mencoba membuatkan racikan jamu penyembuh dengan maksud menolong putri kesayangan sahabatnya itu. Setelah racikan jamu selesai, berangkatlah Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu ke Cirebon. Tentu saja Adipati Cirebon dan istrinya senang ketika putri kesayangannya ditengok Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Apalagi ketika Kanjeng Ibu memberikan racikan jamu penyembuh buatannya yang tinggal diminum saja. Ketika Kanjeng Ibu menengok di tempat tidurnya, tampak Putri Adipati Cirebon itu wajahnya pucat, tubunnya lemah, dan sulit diajak bicara. Dengan sabar selama tiga hari, Kanjeng Ibu melakukan perawatan dengan memberikan jamu racikannya secara teratur, disertai dengan pijitan-pijitan di bagian punggung, telapak kaki, dan  tangan. Ternyata setelah tiga hari dirawat Kanjeng Ibu, Dyah Ayu Pakungwati menunjukkan gejala ke arah kesembuhan. Sebelum pulang kembali ke Pasirluhur, Kanjeng Ibu berpesan agar pengobatan dengan jamu racikan buatannya diminum sampai habis. Bilamana ada kemajuan, agar Kanjeng Ibu diberitahu. Perlunya Kanjeng Ibu akan membuatkan jamu racikan lagi untuk melanjutkan proses penyembuhan.”
“Aku sama sekali belum pernah mendengar ceritera itu. Hebat juga ilmu meracik jamu Kanjeng Ibu,” kata Kamandaka yang tiba-tiban ingat selendang kuning berisi ramuan penyembuh luka buatan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Racikan penyembuh luka itu pernah menyelamatkan nyawanya dari racun maut yang mematikan. Yakni racun Pusaka Kujang Kancana Shakti yang sempat melukai dirinya.
“Tidak lama kemudian, datanglah utusan dari Kadipaten Cirebon,” kata Sang Dewi. “Ternyata utusan itu memberitahu, bahwa Putri Adipati Cirebon setelah dirawat Kanjeng Ibu  tiga hari dan minum jamu racikan Kanjeng Ibu, berangsur-angsur memperlihatkan  kesembuhan. Tentu saja Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama gembira sekali. Utusan dari Kadipaten Cirebon itu diminta menginap dua malam, untuk menunggu racikan jamu yang harus disiapkan Kanjeng Ibu. Setelah racikan jamu selesai, utusan dari Cirebon pulang kembali dengan membawa racikan jamu. Kanjeng Ibu masih berpesan jika jamu racikan habis agar datang lagi ke Pasirluhur sambil memberi tahukan perkembangan kesehatan Putri Adipati Cirebon.”
“Kurang lebih sampai tiga kali utusan dari Cirebon datang menemui Kanjeng Ibu untuk minta jamu racikan lanjutan. Kanjeng Ibu dengan senang hati memenuhi pesanan itu. Pada kunjungan ke empat utusan memberitahu, bahwa Putri Sang Adipati telah sembuh total. Adipati Cirebon menyampaikan ucapan terima kasih dan berharap Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama berkenan datang ke Cirebon untuk menghadiri acara syukuran Sang Putri Adipati Cirebon yang telah sembuh dari sakitnya. Dengan senang hati Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama memenuhi undangan Adipati Cirebon,” kata Sang Dewi.
“Kehadiran Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu disambut dengan suka cita oleh seluruh keluarga Adipati Cirebon,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Selesai acara syukuran Adipati Cirebon didampingi istrinya dan menantunya, Syekh Jati, memberi tahu bahwa Adipati Cirebon sempat berujar, jika Putri kesayangan Sang Adipati benar-benar sembuh dari sakitnya, maka Masjid Kadipaten Cirebon yang telah selesai dibangun itu akan diberi nama dengan nama orang yang berhasil menyembuhkan Putri Sang Adipati. Mendengar permintaan itu, Ibu menjadi gugup dan bingung. Entah mengapa, Ibu tiba-tiba ingat namaku. Setelah berunding dengan Kanjeng Rama, akhirnya Ibu menawarkan namaku, Ciptarasa, untuk dipakai sebagai nama Masjid Kadipaten Cirebon. Ternyata usul Ibu diterima dengan senang hati oleh Adipati Cirebon dan menantunya Syekh Jati. Demikianlah Masjid Ciptarasa menjadi nama masjid Kadipaten Cirebon yang berdampingan dengan Keraton Pakungwati Kadipaten Cirebon.”
“Anehnya, pada malam harinya Ibu bermimpi, ada seorang ksatria yang mengaku Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran mendatangi Ibu dan mengajak aku jalan-jalan. Ketika paginya Kanjeng Ibu menceriterakan kepada Kanjeng Rama, Kanjeng Rama hanya tertawa sambil mengatakan mimpi itu hanyalah bunga orang tidur. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu sama sekali tidak menduga, bahwa kurang dari dua tahun setelah mimpi itu, aku benar-benar dilamar Kanda. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu akhirnya benar-benar berbesanan dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi. Bukankah Syekh Jati dan Dyah Ayu Pakungwati adalah cucu Sang Raja Dewa Niskala, sama dengan Kanda dan aku setelah aku jadi Istri Kanda?” kata Sang Dewi mengakhiri kisah yang baru pertama kali diceriterakan kepada suaminya.
“Hem, kisah yang menarik dan unik. Tapi aku percaya pada mimpi Kanjeng Ibu. Sebab aku jadi ingat, suatu ketika aku seperti mendapat petunjuk gaib. Tiba-tiba saja aku pun sering mimpi bertemu dengan seorang gadis yang selalu mendatangi aku. Tetapi aku tidak pernah tahu, di mana gadis itu berada dan siapa pula namanya, sampai suatu saat aku bertemu Ki Ajar Wirangrong. Ki Ajar Wirangrong memberitahu aku, bahwa gadis yang selalu datang ke dalam mimpiku dengan wajah mirip Ibuku itu tidak lain adalah Putri Kanjeng Adipati Pasirluhur. Ki Ajar Wirangrong mengatakan, bahwa gadis itu memang telah ditakdirkan menjadi jodohku. Hanya jalan untuk mendapatkannya tidaklah mudah,” kata Kamandaka yang membuat Sang Dewi terheran-heran.
“Sayang memang Kanjeng Adipati Cirebon tidak bisa menghadiri acara pernikahan kita,” kata Sang Dewi pula. “Tetapi kirimannya berupa seperangkat barang-barang porselin dan guci buatan Tiongkok yang indah sekali sampai juga. Bahkan beberapa keranjang terasi Cirebon dan krupuk udang yang lezat itu, sudah sampai jauh-jauh hari sebelum resepsi pernikahan kita.”
“Oh, iya? Sayang sekali Diajeng baru ceritera sekarang. Kalau aku tahu sebelumnya, pasti akan aku balas dengan mengirimkan gula kelapa dan gula aren buatan Nyai Kertisara.”
“Itu gagasan bagus, Kanda. Tidak ada kata terlambat. Jika kelak Kanda bermaksud mengenalkan produksi gula kelapa dan gula aren ke Kadipaten Cirebon, Tumenggung Maresi bisa ditugaskan. Silaturahmi menjaga hubungan kekerabatan perlu terus kita pelihara dan kita tingkatkan. Sekalipun kita beda agama, bukan halangan untuk menjalin persahabatan. Bukankan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, juga bisa bersahabat dengan Adipati Cirebon, sekalipun beda agama? Apalagi Kadipaten Cirebon dan Kadipaten Pasirluhur ternyata masih ada ikatan kekerabatan,” kata Sang Dewi.
“Iya, aku setuju. Apalagi nama Diajeng ternyata telah diabadikan jadi nama Masjid Kadipaten Cirebon. Sebuah masjid dengan nama indah, Masjid Ciptarasa,” kata Kamandaka yang tidak menduga nama istrinya diabadikan sebagai nama masjid  Kadipaten Cirebon.
“Ada baiknya kelak jika Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berkunjung ke Cirebon, kita ikut mendampingi. Bukankah Kanda belum pernah bertemu Kanjeng Adipati Cirebon Srimangana Cakrabuwana yang merupakan Kakak Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi, sekalipun beda Ibu?” tanya Sang Dewi.
“Iya, benar. Nanti hal itu bisa kita pikirkan lagi,” jawab Kamandaka mendukung rencana istrinya.(bersambung)

Senin, 27 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (15)




Dan mereka rela menunggu, sekalipun Kamandaka dengan istrinya sedang istirahat. Kesempatan istirahat menjelang sore hari itulah yang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknnya untuk melihat-lihat puri yang akan ditempatinya.
Kemudian sampailah Kamandaka di depan kamar mandi puri. Ketika pintu kamar mandi dibuka, harum semerbak kamar mandi segera menyergapnya. Hem, alangkah segar terasa di dadanya. Dilihatnya bak mandi porselin buatan Tiongkok yang memanjang. Cukup kira-kira jika untuk berendam berdua dengan istrinya.
Di dinding kamar mandi terpasang cermin besar berbingkai perak berukir. Ada pula dua pancuran menempel pada dinding yang airnya bisa dialirkan setiap saat. Dari kedua pancuran itu dapat dialirkan air dingin dan panas, karena pancuran itu dihubungkan dengan dua bak penampungan air yang berada di luar puri. Seorang bujang telah ditugaskan untuk menjaga agar bak-bak penampung air khusus untuk puri itu selalu penuh. Bak yang berisi air panas dibuat dari semacam periuk besar yang ditaruh di atas tungku dengan bara api yang selalu menyala. Konon periuk besar berbentuk kubus itu diperoleh dari Cirebon, karya seorang pendatang dari Baghdad yang bernama Pangeran Panjunan. Dia datang ke Bandar Muarajati (1420 M), bersama Syekh Datuk Kahfi.
“Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren di Muarajati,” kata Sang Dewi. Kamandaka berdiri disamping istrinya mendengarkan dengan sabar apa saja yang dikatakan istrinya. Dia memang selalu mengagumi pengetahuan istrinya. “Itulah pesantren kedua di wilayah Kerajaan Pajajaran. Sahabat Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Panjunan memiliki kepandaian membuat alat-alat dapur dari tanah liat. Dia memproduksi dan menjual gerabah dari tanah liat. Pangeran Panjunan juga mengajari penduduk membuat barang-barang keperluan dapur, keperluan kamar mandi dan keperluan taman dengan menggunakan tanah lihat yang dibakar. Demikian menurut ceritera Kanjeng Rama.”
Sambil mendengarkan kata-kata istrinya, Kamandaka masih sempat mengagumi ornamen kamar mandi yang dipenuhi hiasan dinding keramik buatan Tiongkok. Lantai kamar mandi dari pualam bersih mengkilap. Hiasan motif burung merak pada lempengan keramik penghias dinding itu tak dimiliki Kerajaan Pakuan Pajajaran.
“Biyung Emban, cari bujang suruh menyediakan teh dengan pemanis gula batu dan makanan kecil. Taruh di meja, ya,” Sang Dewi memberi perintah kepada Khandegwilis.
“Baik, Ndara Ayu,” jawab Khandegwilis sigap. Lalu Emban yang sangat setia itu berbalik pergi meninggalkan Sang Dewi dan suaminya.
“Dari mana pula Kanjeng Rama bisa mendapatkan barang-barang keramik berwarna biru buatan Tiongkok, Diajeng ?” tanya Kamandaka kepada Sang Dewi setelah puas melihat-lihat kamar mandi puri yang luas dan mewah.
“Sama seperti periuk pemanas yang didatangkan dari Cirebon. Bak mandi porselin dan keramik penghias dinding, maupun lantai pualam semua didapat dari Cirebon. Jika periuk pemanas air buatan anak buah Pangeran Panjunan, benda-benda poselin dan keramik adalah buatan Tiongkok. Kanjeng Rama memperoleh semuanya dari Cirebon,” jelas Sang Dewi saat itu.
“Hm, Diajeng. Rupanya Kanjeng Rama memiliki jaringan persahabatan yang luas. Sungguh pantas diacungi jempol,” kata Kamandaka memuji mertuanya.
“Kanjeng Rama sebenarnya sering pergi ke Cirebon. Setahun paling tidak sekali. Keperluannya apa lagi kalau bukan untuk berbelanja barang-barang aneh dan baru yang dibawa kapal-kapal besar yang berdatangan dari Bandar Malaka,” kata Sang Dewi. “Begitu Kanda melamar aku empat bulan lalu, Rama dan Kanjeng Ibu langsung pergi ke Cirebon untuk berbelanja dan berburu barang aneh, khususnya yang dibawa pedagang dari Tiongkok, India, Arab, dan Persia. Lampu gantung, korden, selimut, karpet, barang-barang porselin, cermin, dan barang pecah belah, semua dibeli Kanjeng Rama dari Cirebon. Jarak Pasirluhur-Cirebon tidak terlalu jauh. Bagi Kanjeng Rama Cirebon merupakan Kota Pelabuhan yang menarik. Banyak kapal-kapal besar berlabuh. Hasilnya Kanda bisa lihat sendiri perabotan dan barang-barang yang ada di puri ini yang telah disulap jadi puri pengantin.”
“Ya, perjuangan keras Kanjeng Rama demi putri tercintanya.” kembali Kamandaka memuji mertuanya.
“Karena itu Kanda harus menghargai jerih payah Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Antara lain dengan cara mencintai aku sepenuh hati, jangan sakiti aku, jangan mengkhianati cinta suci kita, dan jangan cari seorang selir!”
“Disambar petir pun aku mau, kalau sampai aku kelak cari selir!” kata Kamandaka meyakinkan istrinya sambil tersenyum dengan maksud agar tak ada lagi keragu-raguan pada istrinya. 
“Oh, jangan. Aku tidak mau jadi janda!” kata Sang Dewi sambil tertawa. Kamandaka pun ikut tertawa. Sebab dia tahu istrinya memang suka berkelakar dan menggodanya.
“Diajeng tadi mengatakan bahwa Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, sering ke Cirebon. Kalau ke Cirebon Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu menginap di mana?” tanya Kamandaka penasaran. Perbincangan Kamandaka kembali ke Bandar Cirebon yang sedang mengalami perkembangan pesat, melampaui Bandar Muarajati yang jauh lebih lama.
“Kanjeng Rama kan bersahabat dengan Adipati Cirebon, Sri Mangana Cakrabuwana maupun menantu sekaligus keponakannya, Syekh Jati. Tentu saja Kanjeng Rama menginap di Dalem Kadipaten Cirebon. Sri Mangana Cakrabuwana adalah seorang adipati beragama Islam yang mendapat gelar Sri Mangana dari Raja Pajajaran. Kata Kanjeng Rama, Sri Mangana maupun menantunya masih punya ikatan kekerabatan dengan Ayah Mertua, Sri Baginda Prabu Siliwangi,” jawab Sang Dewi.
“Benar sekali apa yang dikatakan Kanjeng Rama, Diajeng. Sri Mangana Cakrabuwana waktu muda bernama Raden Walangsungsang. Dia tiga bersaudara, putra putri Sang Raja Dewa Niskala dengan seorang wanita dari Muarajati. Raden Walangsungsang adalah putra sulung. Adiknya berturut-turut adalah Rara Santang dan Raden Kian Santang. Dengan demikian mereka sebenarnya adalah kakak tiri Ayahnda, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Sri Mangana mempunyai satu-satunya putri kesayangan, yaitu Dyah Ayu Pakungwati yang menikah dengan Syeh Jati. Mereka berdua sebenarnya saudara sepupu, karena Ibu Syekh Jati, adalah adik Sri Mangana, yakni Rara Santang,” kata Kamandaka menceriterakan hubungan kekerabatan Adipati Cirebon Sri Mangana Cakrabuwana dengan Raja Pajajaran, Sri Baginda Prabu Siliwangi.
“Kalau begitu, Syekh Jati menikah dengan kakak sepupu?” tanya Sang Dewi.
“Benar sekali, Diajeng. Syekh Jati adalah ulama besar keturunan seorang raja dari seberang lautan. Dia bahkan sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Pulang dari sana, Syekh Jati membangun sebuah pesantren di kaki bukit Sembung yang diberi nama Pesantren Gunungjati. Pesantren Gunungjati cepat berkembang pesat hingga mengalahkan pesantren yang lebih lama, Pesantren Datuk Kahfi, pesantren saudara-saudaranya ibunya yang lain, yaitu Raden Kian Santang. Bahkan Pesantren Gunungjati, mampu menyamai ketenaran Pesantren Raden Rahmat di Surabaya,” jawab Kamandaka. “Karena sukses membangun Pesantren besar, menantu dan keponakan Sri Mangana itu dikenal oleh masyarakat muslim di Cirebon dan pulau Jawa sebagai Syekh Gunungjati. Syekh Jati dari jalur ibunya jelas adalah trah Pajajaran. Sebab Syekh Jati adalah cucu Raden Anggalarang.
“Siapa itu Raden Anggalarang?” tanya Sang Dewi ingin tahu.
“Raden Anggalarang adalah nama kakeku waktu masih remaja. Dia adalah Putra Mahkota Kerajaan Galuh, namanya setelah naik tahta adalah Rahyang Dewa Niskala. Dari pernikahannya dengan Permaisuri, lahirlah Ayahandaku, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Saat Raden Anggalarang masih remaja, dia sering mengunjungi Muarajati. Ketika itu Kerajaan Galuh belum pindah ke Pakuan Pajajaran. Raden Anggalarang sebenarnya punya dua istri gadis pantai, yaitu Rara Ambet Kasih dan Rara Subanglarang. Rara Ambet Kasih adalah Putri Adipati Surantaka, Ki Gedeng Sedhang Kasih. Sedangkan Rara Subanglarang adalah Putri Syahbandar Muarajati, Ki Gedeng Tapa. Ki Gedeng Tapa, selain menjabat sebagai Syahbandar Muarajati, juga merangkap jabatan sebagai Mangkubumi Kadipaten Singapura. Pernikahan Raden Anggaarang dengan Putri Ambet Kasih, tidak memberikan keturunan. Tetapi dengan Rara Subanglarang, Raden Anggalarang punya tiga putra-putri, yaitu Raden Walangsungsang, Rara Santang, dan Raden Kian Santang,” kata Kamandaka menceriterakan perjalanan cinta kakeknya, Raden Anggalarang.
“Bagaimana ceriteranya Raden Anggalarang, Putra Mahkota Kerajaan Galuh tetapi bisa terpikat pada dua gadis pantai sekaligus? Bukankah jarak Galuh-Cirebon cukup jauh? Jangan-jangan kelak Kanda meniru kelakuan Raden Anggalarang, mudah jatuh cinta pada setiap gadis cantik yang dilihatnya?” tanya Sang Dewi sambil tersenyum sekaligus menggoda suaminya.
“Aku kan bukan lagi Putra Mahkota. Lagi pula istriku cantik lahir batin. Buat apa terpikat pada wanita lain?” jawab Kamandaka dengan cerdik.
“Terima kasih, Kanda,” kata Sang Dewi sambil mendaratkan bibirnya di pipi suaminya. ”Aku ingin mendengar kisah cinta Putra Mahkota Kerajaan Galuh, Raden Anggalarang dengan dua gadis Pantai, Rara Ambetkasih dan Rara Subanglarang.”
“Aku pun hanya mendengarkan kisah Raden Anggalarang dari Ayahku, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Sebab perisitiwa itu terjadi ketika Raden Anggalarang masih tinggal di Galuh Kawali. Sedangkan ketika aku dan adik-adikku lahir, Raden Anggalarang sudah menjadi raja dengan mengambil gelar Rahyang Dewa Niskala. Pusat Kerajaan pun sudah dipindahkan dari Galuh Kawali ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka yang mulai menceriterakan kisah cinta kakeknya, Raden Anggalarang dengan dua gadis pantai yang cantik.
Pada saat itu di sekitar Bandar Muarajati, kata Kamandaka menjelaskan, terdapat sekitar enam kadipaten yang semuanya merupakan kadipaten bawahan Kerajaan Galuh Kawali, sama dengan Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, dan kadipaten lainya yang dikendalikan Kerajaan Galuh. Ke enam kadipaten itu adalah Surantaka, Singapura, Japura, Wanagiri, Rajagaluh, dan Talaga. Ke enamnya merupakan kadipaten makmur. Tetapi paling makmur adalah Kadipaten Surantaka karena mempunyai bandar besar Muarajati. Sedangkan Singapura dan Japura juga mempunya bandar tidak jauh dari Bandar Muarajati. Hanya lebih kecil. Para adipati pesisir itu rata-rata masih punya hubungan kekerabatan dengan Raja Galuh Niskala Wastukancana. Misalnya, Ki Gedeng Sedhang Kasih, Ki Gedeng Surawijaya, dan Ki Gedeng Kasmaya. Mereka bertiga berturut-turut adalah Adipati Surantaka, Adipati Singapura, dan Adipati Wanagiri.
Raja Galuh Niskala Wastukancana adalah seorang raja yang sangat toleran, sekalipun sempat mengeluarkan Pamali yang berupa larangan trah Galuh menikah dengan trah Majapahit. Karena Bandar Muarajati berkembang menjadi bandar besar dan ramai yang banyak dikunjungi para pedagang muslim, akhirnya banyak pula para kerabat adipati pesisir itu yang menjadi pemeluk muslim. Banyak hal yang menyebabkan para adipati pesisir itu beralih menjadi muslim. Misalnya, karena ada putrinya yang menikah dengan para pedagang pendatang pemukim yang kebanyakan berasal dari Pasai, Malaka, Patani, dan Campa. Tetapi sekalipun para adipati itu menjadi muslim, mereka tetap tunduk dan patuh kepada Kerajaan Galuh dengan cara mengirimkan upeti secara rutin. Namun demikian, ada juga adipati yang menjadi muslim karena persahaban semata-mata dengan para pemukim muslim. Misalnya, Syahbandar Muarajati menjadi muslim karena pengaruh seorang ulama pendatang dari Campa yang bernama Syekh Hasanudin alias Syekh Quro. Syekh Quro lalu mendirikan pesantren di Krawang yang dikenal sebagai Pesantren Syekh Quro. Di Pesantren Syekh Quro yang terletak di Desa Talagasari, Krawang itulah Putri Syahbandar Muarajati yang cantik jelita, Rara Subanglarang pernah mondok beberapa bulan.
“Berbeda dengan Kerajaan Jawa yang mewajibkan para adipati bawahan mengirim upeti dan sowan menghadap Raja Jawa setiap tahun,” kata Kamandaka melanjutkan, “Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pajajaran hanya mewajibkan adipati bawahan mengirimkan upeti dan tidak mewajibkan sowan. Mungkin karena para adipati pesisir tetap tunduk dan setia kepada Kerajaan Galuh, Sang Raja Niskala Wastukancana tidak pernah mempersoalkan perpindahan agama para adipati pesisir itu. Namun secara rutin, Raja Niskala Wastukancana sering menugaskan putranya, Raden Anggalarang untuk mengunjungi keenam kadipaten itu. Jika ke Muarajati, Raden Anggalarang sering bermalam di rumah Adipati Surantaka. Kebetulan Adipati Surantaka punya anak gadis yang cantik, Rara Ambet Kasih.”
“Raden Anggalarang langsung jatuh cinta dan terjadilah pernikahan di antara mereka berdua. Dengan pernikahan itu Raden Anggalarang menjadi menantu Adipati Surantaka. Suatu ketika, Adipati Japura yang bersaing dengan Adipati Singapura, membangkang, dan tidak mau membayar upeti kepada Kerajaan Galuh. Akibatnya Raja Galuh Niskala Wastukancana, menugaskan putranya Raden Anggalarang untuk menduduki Kadipaten Japura. Perang pun pecah. Tetapi dengan mudah Raden Anggalarang yang dibantu mertuanya, Adipati Surantaka dan Mangkubumi Singapura, berhasil menaklukkan Kadipaten Japura. Kabupaten Japura pun dilebur menjadi satu dengan Kadipaten Singapura.”
“Tak lama kemudian Adipati Surantaka meninggal dunia tanpa memiliki seorang putra yang dapat menggantikannya. Akhirnya Raden Anggalarang mendapat perintah dari Ayahnya, Raja Niskala Wastukancana, agar kadipaten Surantaka dilebur ke dalam Kadipaten Singapura dan menunjuk Raden Anggalarang menjadi Adipati Kadipaten Singapura. Demikianlah, Kadipaten Singapura menjadi kadipaten yang semakin luas wilayahnya dan tentu saja menjadi semakin makmur, karena menerima penggabungan wilayah Japura dan Surantaka. Raja Galuh Niskala Wastukanca juga menunjuk Mangkubumi Singapura, Ki Gede Tapa, menjadi Syahbandar Muarajati yang dulu dirangkap Adipati Surantaka. Tentu saja hubungan Raden Anggalarang yang menjabat menjadi Adipati Singapura dengan Syahbandar Muarajati semakin erat, karena Ki Gede Tapa merangkap dua jabatan sekaligus, yakni Mangkubumi Singapura dan Syahbandar Muarajati. Sedangkan Raden Anggalarang, menduduki kursi Adipati Singapura. Apalagi, Syahbandar Muarajati, Ki Gede Tapa, memiliki gadis cantik jelita, Rara Subanglarang,” kata Kamandaka.
“Kalau begitu sering terjadi cinta lokasi? Raden Anggalarang jatuh cinta lagi kepada Putri Ki Gede Tapa yang menjabat Syahbandar Muarajati?” tanya Sang Dewi.
“Tampaknya begitu, Diajeng. Pada awalnya Rara Subanglarang dan ayahnya berharap agar Raden Anggalarang mau mengikuti agama calon isrinya, menjadi muslim. Tetapi mereka tidak berani mengutarakannya, sebab bagaimanapun juga Raden Anggalarang adalah Putra Mahkota Kerajaan Galuh yang memeluk agama Hindu. Kalau toh Raden Anggalarang mau, belum tentu ayahnya, Sang Raja Niskala Wastukancana menyetujuinya. Akhirnya Syahbandar Muarajati mencari akal. Diselenggarakanlah sebuah sayembara, barang siapa yang memenangkan adu ketangkasan berkelahai dengan menggunakan senjata tajam, akan dinikahkan dengan putrinya, Rara Subanglarang yang baru saja pulang dari Pesantren Syekh Quro.”
“Raden Anggalarang yang sudah lama tertarik pada kecantikan Rara Subanglarang, segera melepas jabatannya sebagai Adipati untuk sementara agar bisa mengikuti sayembara. Ternyata Raden Anggalarang memiliki ilmu bela diri tingkat tinggi. Dia memang pernah satu perguruan dengan Ki Ajar Wirangrong, pendiri Padepokan Sangkuriang di lereng Gunung Tangkuban Perahu. Tentu saja Raden Anggalarang dengan mudah menaklukkan lawan-lawanya di arena pertandingan. Rara Subanglarang pun berhasil dipersunting Raden Anggalarang. Untuk menjaga perasaan istri tuanya, Raden Anggalarang memboyong Rara Subanglarang ke Galuh. Tetapi Sang Raja Niskala Wastukancana kurang berkenan dengan menantunya, karena menantunya itu tetap menganut agama Islam. Padahal undang-undang Kerajaan Galuh, menetapkan bahwa Permaisuri Putra Mahkota haruslah menganut agama Hindu. Akhirnya memang tak ada pilihan lain bagi Raden Anggalarang. Dia harus menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Dari gadis Kadipaten Pakuan pilihan orang tuanya itulah lahir Ayahku, Raden Pamanahrasa. Setelah naik tahta, mengambil gelar, Sri Baginda Prabu Siliwangi.”

“Dengan Gadis Pantai Rara Subanglarang, Raden Anggalarang menurunkan tiga putra-putri seperti sudah aku sebutkan di depan, yaitu Raden Walangsungsang, Rara Santang, dan Raden Kian Santang,” kata Kamandaka masih melanjutkan menceriterakan kisah cinta Raden Anggalarang dengan Gadis Pantai.
”Ketika Raden Anggalarang memindahkan dan menduduki tahta Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena Raja Niskala Wastukancana mangkat (1433 M), Putri Subanglarang menolak dibawa pindah ke Pakuan Pajajaran. Akhirnya Putri Subanglarang memilih kembali ke Muarajati dengan membawa ketiga putra dan putrinya. Putra-putrinya itu besar dalam asuhan kakeknya, Ki Gede Tapa, yang saat itu sudah menjabat Adipati Singapura yang kosong karena ditinggal Raden Anggalarang yang kembali ke Galuh. Sekalipun sudah menjabat sebagai Adipati Singapura, jabatan Syahbandar Muarajati masih dirangkap Ki Gede Tapa, dan belum dilepaskan. Pada saat itu di Muarajati sudah berdiri Pesantren Syekh Datuk Kahfi, sebuah pesantren yang didirikan oleh seorang ulama pendatang dari Baghdad. Di Pesantren Syekh Datuk Kahfi itulah Adipati Singapura dan Syahbandar Muarajati, Ki Gede Tapa, memasukkan ketiga cucunya, buah cinta Raden Anggalarang dengan Putri Subanglarang untuk mendalami agama Islam.”
“Menarik juga kisah petulangan cinta Raden Anggalarang dengan Gadis Pantai. Apakah Kanda  pernah betemu putra-putri Raden Anggalarang Rahyang Dewa Niskala dengan Gadis Pantai?” tanya Sang Dewi sambil mengajak suaminya duduk di teras depan Puri Permatabiru.(bersambung)

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (14)




“Oh, bertapa di kamar pengantin? Kalau begitu dinda ucapkan selamat. Semoga selama tujuh hari menjadi hari-hari indah untuk Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka,” kata Mayangsari mewakili adik-adik Sang Dewi yang lain. Mereka tersenyum gembira setelah berhasil mengetahui rencana Sang Dewi dan Kamandaka. Kedua pengantin baru itu akan beristirahat total selama tuju hari di Puri Permatabiru. Puri yang dibangun tidak jauh dari Dalem Gedhe itu memang telah disulap jadi kamar pengantin bagi kedua mempelai yang sedang berbahagia.
Sementara itu di atas panggung adegan goro-goro sudah berakhir. Raden Panji Jayengkusuma berangkat ke alun-alun Kerajaan Gagelang, diikuti Ki Semar, Wirun, Kalang, dan Andaga. Di alun-alun Kerajaan Gagelang Raja Lasem dan Raja Pudak Setegal yang ingin menaklukkan Kerajaan Gagelang sedang menunggu jawaban dari Raja Gagelang. Ratusan prajurit musuh telah dipersiapkan di perbatasan Kerajaan Gagelang.
Sang Dewi sudah bisa menebak akhir dari Lakon Panji Semirang. Raden Panji Jayengkusuma dibantu keempat punakawannya, berhasil mengalahkan Raja Lasem yang bersekutu dengan Raja Pudak Sategal dalam perang tanding satu lawan satu adu kesaktian dan ketrampilan menggunakan senjata seperti tombak, tameng, pedang, dan keris. Ki Semar, Wirun, Kalang, dan Andaga ikut bertempur dengan duel melawan patih dan tumenggung kerajaan musuh. Raden Panji Jayengkusuma memenangkan peperangan. Akhirnya Sang Pahlawan Kerajaan Gagelang itu, Raden Inu Kertapati yang menyamar, bisa bertemu dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang juga menyamar menjadi pemain gambuh. Pertemuan yang mengharukan antara Raden Inu Kertapati dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana disaksikan dengan suka cita oleh Sang Raja Gagelang, paman mereka berdua.
Ceriteranya, setelah Raden Panji berhasil membebaskan Kerajaan Gagelang dari ancaman musuh, Sang Raja menyelenggarakan hiburan dengan memanggil pemain gambuh pimpinan Gambuh Asmara yang sedang naik daun itu. Sang Raja meminta rombongan gambuh itu menginap di Puri Karang Pesantren, untuk memudahkan akomodasi, karena pertunjukan dilakukan pada malam hari. Kebetulan Sang Raja Gagelang mengatur tempat penginapan rombongan pemain gambuh itu berdampingan dengan kamar Raden Panji Jayengkusuma.
Raden Panji Jayengkusuma, semakin yakin bahwa Gambuh Asmara tidak lain adalah Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang sedang menyamar. Keyakinan itu semakin kuat ketika di depan Sang Raja dan keluarganya, dipentaskan Kisah Panji Semirang yang menceriterakan pertemuan Raden Inu Kertapati dengan Raden Panji Semirang Asmarakanta.
Dyah Ayu Candra Kirana tidak bisa mengelak dari penyamarannya saat Sang Raja memanggil Gambuh Asmara. Sang Raja menunjukkan boneka emas buatan Raden Inu Kertapati yang berhasi ditemukan Wirun. Dia dengan menggunakan kunci rahasia berhasil masuk kamar penginapan rombongan gambuh yang sedang kosong. Kamar itu kosong karena penghuninya sedang pentas di hadapan Sang Raja. Wirun dengan mudah menemukan boneka emas buatan Raden Inu Kertapati yang dulu memang dihadiahkan kepada Sang Kekasih, Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Boneka emas menjadi pembuka tabir penyamaran mereka berdua.
Setelah pencarian dan perjalanan panjang akhirnya Sang Putri Galuh Candra Kirana bisa berjumpa dengan calon suaminya, Putra Mahkota Raja Jenggala, Raden Inu Kertapati. Akhirnya mereka hidup bahagia, Kerajaan Asmarakanta diturunkan menjadi sebuah kadipaten. Kedua kerajaan warisan Maharaja Erlangga itu, Janggala dan Daha akhirnya disatukan di bawah kendali Raja Inu Kertapati dan Permasisuri Candra Kirana. Kedua kerajaan yang berhasil disatukan itu di beri nama Kerajaan Kediri. Raden Inu Kertapati mengambil gelar abhiseka Prabu Jayabaya.
*
“Kanda, aku sudah mengantuk. Ayo pulang!” kata Sang Dewi sambil menjatuhkan kepalanya ke lengan kiri suaminya. Kamandaka segera berdiri sambil membimbing istrinya. Serentak semua adik-adik sepupunya dan adik ipar Sang Dewi ikut berdiri. Demikian pula Pendeta Muda Amenglayaran, Sekarmelati, Sekarcempaka, Tumenggung Maresi, dan Ki Patih. Mereka semua menyalami Sang Dewi dan Kamandaka.
Mayangsari memeluk Sang Dewi, sambil mengusap-usap sabuk hitam berperada benang emas yang meliliti pinggang Sang Dewi. Mayangsari membelai-belai bagian sabuk Sang Dewi tepat di bagian yang melindungi perut Sang Dewi, sambil berbisik menggoda, “Ayunda Dewi, selamat bertapa ya. Semoga berhasil. Cepat punya momongan.”
“Terima kasih doanya, Dinda Mayangsari. Kalau perempuan mudah-mudahan seperti Dinda Mayangsari, cantik, cerdas, dan pandai pula menyanyi,” jawab Sang Dewi sambil mencubit pipi adik sepupunya itu, karena gemas.
“Tumenggung Maresi dan Ki Patih, Kanda Kamandaka akan beristirahat total selama tujuh hari. Jangan diganggu. Urusan pemerintahan kadipaten sehari-hari silahkan ditangani seperti biasanya. Jika Kanda Amenglayaran, Dinda Wirapati, Dinda Arya Baribin, dan Dinda Silihwarna memerlukan sesuatu, bantulah. Ada program yang nanti akan dibicarakan dengan Ki Patih dan Tumenggung Maresi. Tumenggung Maresi, jangan lupa bingkisan ucapan terimakasih untuk Ki Dalang Sukmo Lelono. Berilah jumlah yang cukup memuaskan. Katakan kepadanya, aku dan Kanda Kamandaka, sangat puas dengan pementasan malam ini,” kata Sang Dewi meninggalkan sejumlah pesan penting kepada Ki Patih maupun Tumenggung Maresi.
Setelah Sang Dewi dan Kamandaka meninggalkan Pendapa, Tumenggung Maresi, Ki Patih, Pendeta Muda Amenglayaran, dan adik-adik sepupu maupun adik ipar Sang Dewi kembali duduk di tempatnya semula. Mereka terus menikmati pementasan wayang beber yang dibawakan Ki Dalang Sukmo Lelono, sampai akhir. Tancep kayon.
Wirapati, Silihwarna, dan Arya Baribin, segera mengantarkan Sekarmenur, Mayangsari dan Ratna Pamekas, menuju tempat peristirahatannya di Taman Kaputren. Pendeta Muda Amenglayaran ikut-ikutan mengantarkan Sekarmelati dan Sekarcempaka. Selesai mengantarkan gadis-gadis itu, Wirapati, Silihwarna, Arya Baribin, dan Pendeta Muda Amenglayaran, menuju tempat peristirahatannya di Taman Kaputran.
Sedangkan rombongan Ki Dalang Sukmo Lelono bermalam di pondokan ruang tamu khusus yang berada di bagian depan bangunan sayap kanan di samping Pendapa. Sinden Paijem, Juminem, dan Titisari, menempati satu kamar tersendiri. Ki Dalang dan ke empat niyaga menempati tiga kamar tersendiri pula. Pagelaran wayang beber memang biasa berakhir pada tengah malam. Tidak sampai terbit fajar.
Sementara itu Kamandaka membimbing istrinya menuruni Pendapa Kadipaten yang masih penuh sesak dengan penonton. Mereka belum mau beranjak dari tempatnya, sebelum pentas wayang beber itu usai. Kamandaka dan Sang Dewi terus melangkah melewati Dalem Gedhe diiringi Khandegwilis yang sudah kembali lagi setelah mengantarkan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Bintang di langit semakin banyak bertaburan, dan udara malam semakin dingin. Dari pohon-pohon perdu di taman, bunyi belalang malam dengan suaranya yang melengking-lengking sering terdengar, seakan ikut meramaikan suara gamelan di Pendapa yang sayup-sayup masih terdengar dari kejauhan.
Dalam perjalanannya dari Pendapa menuju Puri Permatabiru, ingatan Kamandaka berkali-kali kembali kepada hari-hari yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Hari-hari sejak dia dinyatakan sebagai seorang suami dan Sang Dewi sebagi seorang istri melalui ritual suci yang bernama pernikahan. Hari pertama malam pertama, hari kedua malam kedua. Lalu hari ketiga disusul malam ketiga, hari keempat malam ke empat. Hari kelima malam kelima. Hari keenam malam keenam. Kini adalah hari ketujuh yang telah dilewati. Dan malam ketujuh yang sedang dan akan dilewati.
Manusia adalah mahkluk beradab dan berbudaya, pikir Kamandaka. Karenanya upacara perkawinan dikenal oleh agama dan keperyayaan apa saja. Hanya sekte agama dan kepercayaan menyimpang dengan ajaran pola hidup tidak normal, yang menolak upacara perkawinan. Hidup liar dan bebas di luar perkawinan adalah pola hidup yang akan merusak peradaban manusia.
Bagi Kamandaka, tujuan perkawinan bukanlah semata-mata kebebasan untuk berhubungan badan antara suami istri. Bukan pula sekedar untuk mencapai kepuasan nafsu birahi. Hubungan badan bukanlah tujuan. Hubungan badan antara pasangan suami istri adalah jalan atau proses yang harus dilewati untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan lebih bermartabat. Tujuan itu, bagi Kamandaka, adalah lahirnya keturunan yang baik, sehat, cerdas, dan unggul. Tujuan itu bukan hanya agar ras manusia di muka bumi dapat tetap dilestarikan. Tetapi juga agar dapat dilahirkan generasi emas yang akan mampu mengemban, melanjutkan, dan mengembangkan missi peradaban kemanusiaan di muka bumi.
Kamandaka ingat betul, Sang Dewi yang baru tujuh hari lalu menjadi istrinya itu, tidak pernah menyebut hubungan antara sepasang suami istri dengan sebutan hubungan badan. Tetapi istrinya itu menyebut dengan kosa kata bahasa Lembah Ciserayu, lambangsari. Sebab menurut istrinya lambangsari adalah aktivitas menyatunya jiwa dengan jiwa, raga dengan raga, dan keduanya manunggal menjadi satu. Manunggalnya dua cita-cita, dua energi cinta luhur, suci, murni dari dua raga, dan dua jiwa yang lebur menjadi satu sehingga akan lahir bunga-bunga kehidupan indah semerbak harum mewangi di muka bumi. Kamandaka ingat betul, hubungan  antara dirinya dengan istrinya, baru terjadi pada malam ke empat. Malam pertama bagi pasangan mempelai, bukanlah malam ketika sepasang mempelai pertama kali tidur bersama dan langsung melakukan hubungan badan.
Sang Dewi masih berpegangan pada lengan kiri Kamandaka ketika mereka berdua melewati teras ruang tamu Dalem Gedhe. Ruangan itu adalah tempat keluarga besar Kanjeng Adipati Kandhadaha pada sore hari atau hari-hari senggang biasa berkumpul, berbincang-bincang, dan melepas rindu. Keadaannya sepi, pintunya tertutup, dan lampu gantung berbentuk lampion dari kertas berwarna merah tergantung di atas daun pintu. Cahayanya berpendaran kian kemari.
Kamandaka dan Sang Dewi, diiringi Khandegwilis terus melangkah melewat Dalem Gedhe. Ingatan hari pertama setelah melewati prosesi perkawinan yang melelahkan sekaligus menggembirakan, satu persatu muncul kembali dalam benak Kamandaka. Ingatan dalam benaknya adalah ketika Kamandaka pertama kali memasuki kamar pengantin, di sela-sela waktu istitahat siang menjelang sore hari. Itulah ruangan dalam Puri Permatabiru. Puri Permatabiru adalah puri yang akan ditempatinya setelah dia menjalani hidup baru sebagai sepasang suami istri. Kamandaka harus meninggalkan Taman Kaputran yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Sang Dewi juga harus meninggalkan Taman Kaputren yang sebelumnya juga menjadi tempat tinggalnya. Sejak itu mereka menjalani hidup baru sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai dan berbahagia. Ingatan hari pertama muncul berkali-kali. Bisa jadi hal itu karena Kamandaka telah melalui proses perjalanan panjang hampir delapan belas bulan untuk sampai pada hari pertama yang berbahagia, sehingga hari yang indah itu lama melekat dalam benaknya.
Puri Permatabiru merupakan bangunan di sayap kiri Dalem Gedhe Kadipaten. Bangunan itu hanyalah semacam ruangan khusus tidak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan di Taman Kaputren. Hanya terasnya lebih luas dan menghadap taman yang indah. Ruangan dalam pun lebih luas. Puri Permatabiru dirancang khusus untuk menerima tamu-tamu setingkat Adipati. Pada hari-hari biasa jarang dipakai. Hanya dirawat dan dibersihkan saja oleh bujang yang khusus ditunjuk untuk merawatnya. Karena putri Sang Adipati Kandhadaha banyak, maka setiap ada acara menikahkan putrinya, puri itu langsung dihias dan disiapkan menjadi kamar pengantin. Sebelum upacara pernikahannya, Kamandaka belum pernah tinggal di dalamnya. Bahkan masuk pun belum pernah.
Kamandaka kagum juga saat melihat-lihat puri indah yang telah disulap jadi ruang pengantin itu. Sepasang kursi jati ukiran berlapis beludru merah sangat kontras dengan pelitur warna coklat kopi yang menghiasi teras depan. Dia ingat ketika dia langsung mencoba duduk. Sang Dewi hanya tersenyum berdiri di sampingnya. Dari kursi tempat duduknya, dia bisa menikmati taman indah di depan teras. Sejumlah tanaman bunga sedang bermekaran. Awan putih berarak-arakan tampak di langit menjelang sore hari.
“Ayo, lihat ke dalam,” ajak Sang Dewi kepadanya saat itu.
Kamandaka segera bangkit mengikuti istrinya. Di belakang mereka mengikuti Emban setianya, Khandegwilis. Ruangan dalam Puri Prematabiru diberi hiasan mewah dan menarik dengan sentuhan seni tinggi. Korden, taplak meja, kelambu, tilam, sarung bantal guling, selimut, sprei, handuk, dan lainnya lagi, semuanya serba baru, ditata dengan apik. Maklum istrinya adalah putri bungsu kesayangan ayah bundanya. Dan pesta perkawinan itu adalah pesta perkawinan terakhir yang diselenggarakan Adipati Kandhadaha. Andaikata tidak dihias pun kemewahan perabot di dalamnya tidak akan kalah dengan puri-puri mewah Istana Pakuan Pajajaran. Apalagi kalau diberi hiasan. Dijamin nyaman dipandang dan mengundang selera untuk tinggal di dalamnya.
Kamandaka masih ingat ketika dia dengan tak jemu-jemunya melihat-lihat rangka pintu, jendela, tiang penyangga, daun pintu, dan jendela. Semua terbuat dari kayu jati dipelitur warna coklat kopi berkilat memantulkan sinar. Lantai ruangan dari pualam putih agak kemerah-merahan. Di dalamnya ada seperangkat meja dan kursi tempat duduk, meja makan, lemari pakaian, lemari hias, meja rias, gantungan baju, ruang ganti pakaian, ruang dapur kecil, dan kamar mandi. Langit-langitnya cukup tinggi, kaso-kaso dan usuknya juga dari kayu jati yang dipelitur dengan warna senada. Lampu gantung buatan China yang bisa diatur tingkat pencahayaannya, ikut menambah tingkat artistik ruangan Puri Permatabiru.
Ranjang peraduan yang disulap jadi ranjang pengantin, juga terbuat dari kayu jati berukir mengkilap, berkelambu transparan warna hijau muda, dengan tilam ditutup sprei berwarna biru muda, lengkap dengan selimut berbahan wool buatan Persia, dan dua buah bantal dan guling yang dibungkus sarung katun halus merah muda. Aroma harum mewangi menyinggahi hidung terbit dari dalam ranjang pengantin. Begitu melihat ranjang pengantin Kamandaka langsung terbangunkan gairah asmaranya. Dia pun membisiki istrinya yang ada di sampingnya sambil menggoda.
“Sekarang, Diajeng?” bisiknya
“Ssst. Nanti malam saja, masih banyak tamu. Kasihan mereka,” jawab Sang Dewi sambil mencubit pangkal lengan suaminya. Dulu biasanya Sang Dewi sering mencubit pahanya. Walaupun sakit, entah mengapa Kamandaka merasa senang. Kini pun masih senang juga jika dicubit istrinya. Apa lagi cubitannya tidak terlalu keras. Hanya ala kadarnya.
Khandegwilis yang mendengar bisikan karena ada di belakang mereka, langsung menahan keinginan untuk tertawa. Tetapi Kamandaka tahu jika Emban itu sedang menahan diri agar tidak tertawa. Mungkin karena Khandegwilis masih ingat kejadian hampir setahun lalu. Kejadian ketika pada malam hari disuruh Sang Dewi menjemput Kamandaka yang sedang bersembunyi di bawah pohon jambu. Lalu Emban Kandhegwilis mengajaknya masuk ke dalam ruang tempat tinggal Sang Dewi di Taman Kaputren. Kamandaka tersenyum sendiri jika ingat kejadian itu. Bukan hanya Khandeg Wilis yang ingin tertawa. Dirinya pun ingin tertawa jika ingat itu semua. Ranjang pengantin itu telah membawa ingatannya mengembara ke masa lalu.
Sebenarnya Kamandaka ingin cepat-cepat menikmati ranjang pengantin berdua saja dengan istrinya tanpa diganggu siapa pun. Tapi jika ingat tamu masih terus berdatangan dari sejak pagi, siang, dan malam hari, keinginan untuk menikmari ranjang pengantin memang terpaksa harus ditundanya. Sebab, walapun sore hari acara sudah diatur oleh panitia sebagai waktu untuk istirahat dan tidak menerima tamu, ternyata tamu tetap saja masih banyak yang hadir.(bersambung)