Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 06 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (06)




Kemudian Kamandaka membawa ikan kancra sebesar bantal dan naik ke darat untuk dipersembahkan kepada Dyah Ayu Dewi Ciptarasa yang duduk di panggung kehormatan di samping ayah bundanya. Sang Dewi turun dari panggung kehormatan, menyambut dirinya yang hendak menyerahkan ikan kancra sebesar bantal. Kemudian sebuah ciuman dari bibir mungil Sang Dewi mendarat di pipinya. 

Sayang sekali bayangan di dalam kepalanya itu buyar seketika. Seekor nyamuk hinggap di pipinya, membuat Kamandaka kesal. Nyamuk nakal yang menggigit pipinya itu ditepuk dengan tangannya, tetapi lolos. Yang tersisa adalah rasa gatal di pipi akibat gigitan nyamuk. Kamandaka tertawa sendiri. Dia membayangkan bukan bekas gigitan nyamuk yang diusap-usap karena gatal. Tetapi bekas ciuman bibir Dyah Ayu Dewi Ciptarasa yang mendarat di pipinya, karena dia telah tampil sebagai pahlawan. Ya, pahlawan yang berhasil mempersembahkan ikan kancra sebesar bantal kepada Sang Dewi pujaan hatinya.

Tentu saja pengakuan Kamandaka kepada Ki Patih Reksanata bahwa dirinya pernah menjadi paleka hanya sebuah bualan saja untuk menyenangkan Ayah angkatnya itu. Mana ada putra raja menjadi paleka? Dia hanya pernah melihat paleka dalam pesta marak yang pernah dilihatnya di beberapa sungai seperti  Sungai Cimanuk, Citarum, Ciliwung, maupun Cisadane. Ingat itu semua, kembali Kamandaka tersenyum sendiri. Menjadi seorang paleka sebenarnya bukan pekerjaan mudah. Kamandaka pernah berbincang-bincang dengan seorang paleka hebat yang ditemuinya  saat dia ikut menghadiri pesta marak di Sungai Cimanuk, tidak jauh dari Kadipaten Galuh Kawali.

“Tidak mudah menjadi seorang paleka, Raden. Selain harus pandai berenang tentu saja harus pandai menyelam. Seorang paleka terlatih bisa menyelam ke dalam lubuk cukup lama. Di daerah sekitar Leuwi Gombong banyak paleka pandai menyelam.”

“Berapa lama seorang paleka paling hebat dari Leuwi Gombong Sungai Cimanuk bisa tahan menyelam di dalam leuwi atau kedung?” tanya Kamandaka saat itu penasaran.

“Bisa sampai selama orang mengunyah sirih. Bahkan ada yang bisa sampai selama orang lari sepuluh kali memutari tanah lapang di depan pendapa kadipaten. Bahkan ada yang mampu menyelam hampir setengah hari.”

“Hem…,  luar biasa. Apa kira-kira ilmu yang dimiliki oleh seorang paleka?”

Paleka itu hanya tertawa, kemudian memberitahu rahasianya menjadi seorang paleka handal. “Sebenarnya tidak ada ilmu yang istimewa, Raden,” jawab orang itu. “Para paleka yang kuat menyelam cukup lama di Leuwi Gombong belum tentu mampu mengerjakan hal yang sama di tempat lain atau di sungai lain. Sebenarnya paleka itu mampu menyelam lama karena dia sudah hapal medan. Dia tahu dan hapal betul lekuk-lekuk dinding sungai di sekitar leuwi atau kedung. Dinding di dasar sungai dekat leuwi biasanya terdapat banyak lubang yang masuk ke dalam ceruk sehingga membentuk semacam kolam atau sumur kecil di dasar sungai. Seorang paleka berpengalaman bisa masuk ke dalam ceruk, lalu dia akan muncul di permukaan kolam kecil yang ada di dalam ceruk itu. Di situ cukup udara dari luar yang masuk lewat pori-pori atap kolam. Banyak ikan bersembunyi dan bersarang di situ. Di dalam sana amat gelap karena tak ada cahaya dari luar. Tetapi mata ikan kancra dan ikan-ikan lain sering bersinar-sinar dalam gelap sehingga bisa dengan mudah dilihat. Tentu saja di dalam ceruk seorang paleka bisa mengambil napas, karena ada rongga udara. Orang awam pasti akan kagum karena mengira paleka itu tahan lama menyelam di dalam air. Padahal dia masuk ke dalam ceruk di dasar tebing sungai yang membentuk kolam-kolam kecil di sepanjang dinding tebing sungai.” 

“Tentu sebuah pekerjaan berbahaya, bagimana kalau tidak bisa menemukan jalan keluar?” tanya Kamandaka heran.

“Itulah sebabnya, perlu waktu lama bagi seorang paleka untuk mengenal dan menemukan ceruk di dasar sungai. Memang risikonya berat. Banyak paleka tidak berpengalaman lenyap dan terkubur di dalam ceruk, karena bisa masuk, tetapi tidak bisa keluar. Ceruk itu memang sarang ikan. Makanya banyak paleka tergoda dan tanpa perhitungan matang nekat masuk ke dalam ceruk. Orang-orang di kampung sering menganggap jika ada paleka hilang di dasar sungai itu karena diseret Lulun Samak.”

“Lulun Samak? Ikan apakah itu?”

“Bukan ikan, Raden. Lulun Samak semacam hantu sungai. Hantu itulah yang dipercaya sering meminta korban nyawa manusia. Korbannya biasanya para paleka dan anak-anak yang tidak pandai menyelam. Mereka mandi dekat leuwi dalam yang pada dindingnya di dasar sungai banyak ceruknya. Para orang tua pun sering menakut-nakuti anak-anak agar jangan mandi di leuwi dengan mengatakan, ’Awas ada Lulun Samak’. Anak-anak biasanya takut pada hantu sungai itu, sehingga mereka jarang mandi di sungai sendirian. Mereka selalu mandi ramai-ramai di sungai.” Paleka itu mengakhiri penjelasannya yang membuat Kamandaka sempat kagum.

Lulun Samak? Hantu Sungai? Kamandaka adalah  seorang pemberani. Dia tidak pernah takut pada hantu. Dari perbincangannya dengan seorang paleka hebat beberapa tahun lalu di tepi Sungai Cimanuk, Kamandaka mendapatkan tambahan pengetahuan. Malam itu Kamandaka bergegas tidur, karena esok harinya ingin melihat Sungai Logawa yang mengalir di sebelah barat Dalem Kadipaten Pasirluhur. Dia ingin mandi dan mencoba menjadi seorang paleka di Sungai Logawa.

Sungai Logawa terletak di sebelah barat Dalem Kadipaten Pasirluhur. Jarak dari Dalem Kadipaten ke Sungai Logawa tidak terlalu jauh. Bahkan batas barat Tamansari Kadipaten Pasirluhur tepat berada di bibir Sungai Logawa. Pohon bambu dan elo tumbuh menjadi pagar hidup yang memisahkan bibir sungai dengan Tamansari. Mata air Sungai Logawa ada di kaki Gunung Agung agak ke barat, mengalir ke selatan dan bermuara di Surup Lawang, Sungai Ciserayu. Pada saat musim hujan airnya berwarna coklat kekuning-kuningan, sedangkan pada musim kemarau berwarna hijau toska bening kebiru-biruan. 

Matahari pagi itu sudah naik di atas kaki langit  sebelah barat. Kamandaka sudah berdiri di tepi Sungai Logawa. Mandi, berenang, dan menyelam di sungai bukan hal yang asing bagi Kamandaka. Sejak anak-anak dia sudah gemar main ke Sungai Ciliwung. Memasuki usia remaja sebagai seorang ksatria Pajajaran, dia diharuskan mengikuti latihan dasar keprajuritan. 

Di antara latihan dasar keprajuritan yang diikutinya tentu saja adalah berenang melintasi sungai, berenang melawan arus sungai, memanjat tebing sungai, dan terjun ke sungai. Bahkan berkelahi di dalam sungai pun diajarkan dalam setiap latihan dasar keprajuritan. Semua latihan dasar keprajuritan dengan sungai sebagai medan, dilakukan oleh instruktur di Sungai Ciliwung tak jauh dari Pakuan.
Bagi Kamandaka Sungai  Logawa lebih mirip dengan Sungai Cimanuk dari pada Sungai Ciliwung. Jarak bibir tebing Sungai Logawa ke permukaan air sungai tidak terlalu tinggi, struktur dinding air sungai yang paling dalam alias kedung terbuat dari batu cadas. Bila musim kemarau, tanah landai berlantai batu sungai bulat-bulat muncul di kiri dan kanan sungai, sehingga memudahkan bagi siapa saja yang akan turun ke dasar sungai.

“Yang belum pernah kulakukan hanyalah menjadi seorang paleka. Pesta marak akan dilakukan di sini, cukup waktu bagiku untuk berlatih menjadi seorang paleka,“ ujar Kamandaka di dalam batinnya sambil memandang air Logawa yang mengalir perlahan melewati kedua sela-sela kakinya.

Keterangan dari seorang paleka yang pernah diajaknya berbincang beberapa tahun lalu sangat membantunya, ketika dia merasa harus menjadi paleka hebat. Sejak itu tiap hari Kamandaka selalu menyempatkan diri mandi di Sungai Logawa tidak jauh dari batas barat Tamansari Dalem Kadipaten Pasirluhur. 

Kamandaka mencoba mengingat kembali dan mencoba semua ketrampilan yang diperolehnya dari instruktur saat mengikuti latihan dasar keprajuritan Ksatria Pajajaran. Misalnya, terjun ke sungai dari tebing sebelah barat. Kemudian terjun dari tebing sebelah timur, berenang melawan arus, berenang melintang menyeberangi sungai bolak balik beberapa kali, dan menyelam. Itulah ketrampilan yang terus dipertajam dan dilatihnya setiap hari di Sungai Logawa.

Latihan paling disenangi Kamandaka ialah ketika dia mandi di Logawa setelah matahari condong ke barat sampai sore hari. Dari tebing sebelah barat Kamandaka dengan jelas dapat melihat bagian Tamansari Dalem Kadipaten Pasirluhur yang terlindung oleh pohon elo, rumpun bambu, dan pohon-pohon pelindung lainnya. Sering sekali Kamandaka berharap di balik rindangnya pohon bambu dan elo itu berdiri gadis cantik, Sang Dewi yang belum pernah dilihatnya. Dia membayangkan Sang Dewi setiap sore ditemani sejumlah pengasuhnya sedang bercengkerama di Tamansari. Dan, dia berharap melalui sela-sela rumpun bambu yang lebat itu, Sang Dewi tengah mengamati dirinya.

Membayangkan hal itu Kamandaka langsung berdiri, kemudian terjun ke sungai dengan loncatan yang indah sekali. Kedua kakinya lurus ke atas dan kedua tangan lurus ke bawah, sampai akhirnya seluruh tubuhnya meluncur ke bawah bagaikan anak panah, menyentuh sungai dan hilang tenggelam di dasar sungai. Tahu-tahu dirinya sudah muncul di hilir sungai di sisi barat. Kamandaka merasa atraksinya itu disaksikan Sang Dewi yang sedang  duduk-duduk di Tamansari ditemani pengasuhnya. Semua itu memompa semangatnya untuk terus menerus berlatih. Keterampilan terakhir yang diperdalamnya ialah menjadi seorang paleka. Inilah memang keterampilan yang paling berat. Karena dia harus belajar sendiri, tanpa ada bimbingan dari seorang guru. Dia hanya mengandalkan imajinasinya saja.

Langkah pertama tentu saja dia harus mampu menyelam selama mungkin. Menahan napas selama mungkin, baginya yang menguasai ilmu prana atau ilmu pernapasan tentulah bukan perkara sulit. Langkah berikutnya ialah mengenali struktur dinding dasar kedung Sungai Logawa. Ini termasuk pekerjaan berat. Tetapi setelah beberapa kali dilakukan, dengan mengandalkan rabaan kedua tangannya sambil menyelam menyusuri dinding dasar kedung, dia berhasil menemukan sejumlah ceruk yang memanjang dari hulu ke hilir. Tidak semua ceruk itu dapat dimasuki karena sempit.

Tetapi di bagian hilir Kamandaka berhasil menemukan ceruk cukup besar di dasar sungai. Kamandaka mencoba masuk ke dalam ceruk. Dan benar saja. Dia berhasil muncul ke dalam gua di bawah tanah yang sangat gelap. Dengan mudah dia bernapas karena terdapat rongga udara cukup luas. Bahkan kalau mau dia bisa bertahan sehari penuh di situ asal tidak kedinginan. Dia kemudian mencoba menyelam kembali dan keluar dari ceruk. Ternyata berhasil. Tahu-tahu dia sudah berada di bawah langit terbuka mengambang di dekat kedung. Jika ada orang menyaksikan dia menyelam ke dalam kedung, mereka pastilah akan mengira bahwa Kamandaka benar-benar seorang paleka hebat, karena tahan menyelam lama sekali.

Kamandaka hari itu merasa puas karena sudah menemukan rahasia dari seorang paleka yang hebat. Karena rahasia, tentu saja dia tak akan menceriterakannya kepada siapapun. Termasuk rahasia adalah adanya ceruk-ceruk di tebing dasar sungai dan sebuah ceruk besar yang telah berhasil dimasukinya. Tetapi bagaimana cara menangkap ikan dengan tangan kosong? Ya, esok hari dia akan mencobanya. Dan akan dibawanya pula tempat ikan dari bambu. Siapa tahu besok dia akan dapat ikan dan benar-benar menjadi seorang paleka.

“Aku siap mempersembahkan kepadamu ikan kancra sebesar bantal, Wahai Melati Pasirluhur,” Kamandaka berguman sendiri di dalam hati. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa bangga dengan dirinya sendiri.

Hari berikutnya Kamandaka sudah berada kembali di tempat yang sama di Sungai Logawa.  Dia mencoba menangkap ikan di dalam ceruk dengan tangan kosong. Ternyata tidak mudah menangkap ikan yang berkeliaran di dasar ceruk. Beberapa kali tangannya menyentuh ikan yang bersembunyi di dalam ceruk sempit, tetapi selalu lepas. 

“Jika di dalam ceruk yang sempit saja sukar ditangkap. Bagimana dengan ikan yang ada dalam ceruk besar? Pasti lebih sukar ditangkap,” pikir Kamandaka sambil berulangkali menyelam ke dasar kedung.

Hari itu Kamandaka pulang dengan tangan kosong. Tempat ikan dari bambu yang dibawanya tidak ada isinya. Ketika dia membayangkan Sang Dewi seakan-akan mentertawakan dirinya, semangatnya bangkit lagi. Dia bertekad, besok pagi-pagi harus bisa menangkap ikan kancra sebesar bantal yang sering bersentuhan dengan dirinya di dalam ceruk besar. Malam harinya Kamandaka menganyam jala kecil berbentuk kantong yang kira-kira cukup untuk menjerat satu ekor kancra sebesar bantal.

Pagi keesokan harinya, matahari sudah naik sepenggalah ketika Kamandaka kembali turun ke Sungai Logawa. Sungai kebetulan sepi karena penduduk sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dari kedung yang berada di bawah tebing barat sungai Kamandaka siap akan menyelam. Tetapi pandangan Kamandaka diarahkan lebih dulu ke pohon elo yang tumbuh tidak terlalu jauh di tebing sebelah timur laut agak ke hulu dan dikelilingi rumpun bambu. Ranting-ranting rumpun bambu sebagian condong ke sungai, dan daun pohon elo itu bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Tiba-tiba dia merasa di balik rumpun bambu itu, ada sepasang mata gadis mirip wajah ibunya sedang memperhatikannya.

“Tunggu! Pasti kupersembahkan ikan kancra sebesar bantal dari Logawa,” bisiknya. 

Dia pun menarik napas panjang kemudian menyelam. Dalam waktu singkat dia sudah bergerak ke arah ceruk besar. Pelan-pelan dimasukinya ceruk yang ada di dasar tebing. Sejumlah ikan kancra berkelebat hendak menghindar menabrak dada, punggung, lengan, dan kakinya. Sambil bergerak ke atas menuju permukaan air di dalam ceruk kedua tangan Kamandaka membentangkan jaring kecil yang dibawanya. Begitu jaring dibuka seekor kancra besar ada yang terjerat masuk ke dalam jaring dan menggelepar-gelepar di tangan Kamandaka. Dia tersenyum puas  ketika wajahnya muncul di permukaan air di dalam rongga ceruk. Keadaan gelap gulita, tetapi Kamandaka bisa mengambil napas secukupnya. Kemudian dia menyelam kembali keluar dari rongga ceruk sambil membawa kancra buruannya yang terjerat di dalam jaring.

Ketika muncul kembali dari dalam kedung, kaki Kamandaka sudah menapak di dasar sungai yang dangkal. Ikan kancra diangkatnya tinggi-tinggi disaksikan rumpun bambu dan pohon elo yang daunnya masih bergoyang ditiup angin seakan-akan ikut senang menyaksikan sukses Kamandaka menangkap seekor ikan kancra sebesar bantal.

“Hem…, adakah Sang Dewi melihat ikan kancra hasil tangkapanku dari balik rumpun bambu di sana itu?” tanya Kamandaka di dalam hati. Entah mengapa tiba-tiba dia merasakan kebahagiaan yang sulit dilukiskan. 

Matahari sudah hampir berada di atas ubun-ubun ketika ikan kancra sebesar bantal itu dibawanya naik ke pinggir sungai. Kamandaka bergegas pulang. Seluruh penghuni Dalem Kepatihan heboh saat menyaksikan Kamandaka membawa ikan kancra sebesar itu.

Siangnya ikan kancra itu sudah diolah menjadi ikan bakar oleh juru masak Dalem Kepatihan yang ahli memasak ikan sungai. Ketika santap siang tiba, Ki Patih Reksanata kebetulan  pulang agak awal. Nyi Patih dan Kamandaka sedang merayakan santap siang bersama. Lauknya tentu saja ikan kancra bakar Sungai Logawa hasil tangkapan perdana Kamandaka.

“Mestinya kamu cepat-cepat punya istri supaya ada yang memasakkan ikan Logawa hasil tangkapanmu,” ujar Ki Patih Reksanata menggoda Kamandaka. Di depan mereka tersaji  hidangan kancra bakar yang telah dipotong-potong. Lengkap dengan sambal, jengkol rebus, dan lalap rebusan daun singkong muda. 

Nyi Patih ikut mengiyakan kelakar Ki Patih sementara Kamandaka hanya tersenyum. Diam- diam Kamandaka membayangkan, alangkah bahagianya jika dirinya bisa bersantap siang dengan hidangan kancra bakar bersama Sang Dewi, Melati Kadipaten Pasirluhur. Tetapi gadis yang selalu menggodanya itu sekejap pun belum pernah dilihatnya. Hanya rumpun bambu dan pohon elo yang tumbuh di tepi Sungai Logawa itulah yang sudah berulang kali dilihatnya. Dan itulah batas sisi barat Tamansari Kadipaten Pasirluhur.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar