Kemudian Kamandaka
membawa ikan kancra sebesar bantal dan naik ke darat untuk dipersembahkan
kepada Dyah Ayu Dewi Ciptarasa yang duduk di panggung kehormatan di samping
ayah bundanya. Sang Dewi turun dari panggung kehormatan, menyambut dirinya yang
hendak menyerahkan ikan kancra sebesar bantal. Kemudian sebuah ciuman dari
bibir mungil Sang Dewi mendarat di pipinya.
Sayang sekali bayangan
di dalam kepalanya itu buyar seketika. Seekor nyamuk hinggap di pipinya,
membuat Kamandaka kesal. Nyamuk nakal yang menggigit pipinya itu ditepuk dengan
tangannya, tetapi lolos. Yang tersisa adalah rasa gatal di pipi akibat gigitan
nyamuk. Kamandaka tertawa sendiri. Dia membayangkan bukan bekas gigitan nyamuk
yang diusap-usap karena gatal. Tetapi bekas ciuman bibir Dyah Ayu Dewi
Ciptarasa yang mendarat di pipinya, karena dia telah tampil sebagai pahlawan.
Ya, pahlawan yang berhasil mempersembahkan ikan kancra sebesar bantal kepada Sang
Dewi pujaan hatinya.
Tentu saja pengakuan
Kamandaka kepada Ki Patih Reksanata bahwa dirinya pernah menjadi paleka hanya
sebuah bualan saja untuk menyenangkan Ayah angkatnya itu. Mana ada putra raja
menjadi paleka? Dia hanya pernah melihat paleka dalam pesta marak yang pernah
dilihatnya di beberapa sungai seperti
Sungai Cimanuk, Citarum, Ciliwung, maupun Cisadane. Ingat itu semua, kembali
Kamandaka tersenyum sendiri. Menjadi seorang paleka sebenarnya bukan pekerjaan
mudah. Kamandaka pernah berbincang-bincang dengan seorang paleka hebat yang
ditemuinya saat dia ikut menghadiri
pesta marak di Sungai Cimanuk, tidak jauh dari Kadipaten Galuh Kawali.
“Tidak mudah menjadi
seorang paleka, Raden. Selain harus pandai berenang tentu saja harus pandai
menyelam. Seorang paleka terlatih bisa menyelam ke dalam lubuk cukup lama. Di
daerah sekitar Leuwi Gombong banyak paleka pandai menyelam.”
“Berapa lama seorang
paleka paling hebat dari Leuwi Gombong Sungai Cimanuk bisa tahan menyelam di
dalam leuwi atau kedung?” tanya
Kamandaka saat itu penasaran.
“Bisa sampai selama
orang mengunyah sirih. Bahkan ada yang bisa sampai selama orang lari sepuluh
kali memutari tanah lapang di depan pendapa kadipaten. Bahkan ada yang mampu
menyelam hampir setengah hari.”
“Hem…, luar biasa. Apa kira-kira ilmu yang dimiliki
oleh seorang paleka?”
Paleka itu hanya
tertawa, kemudian memberitahu rahasianya menjadi seorang paleka handal. “Sebenarnya
tidak ada ilmu yang istimewa, Raden,” jawab orang itu. “Para paleka yang kuat
menyelam cukup lama di Leuwi Gombong belum tentu mampu mengerjakan hal yang
sama di tempat lain atau di sungai lain. Sebenarnya paleka itu mampu menyelam
lama karena dia sudah hapal medan. Dia tahu dan hapal betul lekuk-lekuk dinding
sungai di sekitar leuwi atau kedung.
Dinding di dasar sungai dekat leuwi
biasanya terdapat banyak lubang yang masuk ke dalam ceruk sehingga membentuk
semacam kolam atau sumur kecil di dasar sungai. Seorang paleka berpengalaman
bisa masuk ke dalam ceruk, lalu dia akan muncul di permukaan kolam kecil yang
ada di dalam ceruk itu. Di situ cukup udara dari luar yang masuk lewat
pori-pori atap kolam. Banyak ikan bersembunyi dan bersarang di situ. Di dalam
sana amat gelap karena tak ada cahaya dari luar. Tetapi mata ikan kancra dan
ikan-ikan lain sering bersinar-sinar dalam gelap sehingga bisa dengan mudah
dilihat. Tentu saja di dalam ceruk seorang paleka bisa mengambil napas, karena ada
rongga udara. Orang awam pasti akan kagum karena mengira paleka itu tahan lama
menyelam di dalam air. Padahal dia masuk ke dalam ceruk di dasar tebing sungai
yang membentuk kolam-kolam kecil di sepanjang dinding tebing sungai.”
“Tentu sebuah pekerjaan
berbahaya, bagimana kalau tidak bisa menemukan jalan keluar?” tanya Kamandaka
heran.
“Itulah sebabnya, perlu
waktu lama bagi seorang paleka untuk mengenal dan menemukan ceruk di dasar
sungai. Memang risikonya berat. Banyak paleka tidak berpengalaman lenyap dan
terkubur di dalam ceruk, karena bisa masuk, tetapi tidak bisa keluar. Ceruk itu
memang sarang ikan. Makanya banyak paleka tergoda dan tanpa perhitungan matang
nekat masuk ke dalam ceruk. Orang-orang di kampung sering menganggap jika ada paleka
hilang di dasar sungai itu karena diseret Lulun Samak.”
“Lulun Samak? Ikan
apakah itu?”
“Bukan ikan, Raden.
Lulun Samak semacam hantu sungai. Hantu itulah yang dipercaya sering meminta
korban nyawa manusia. Korbannya biasanya para paleka dan anak-anak yang tidak
pandai menyelam. Mereka mandi dekat leuwi
dalam yang pada dindingnya di dasar sungai banyak ceruknya. Para orang tua pun
sering menakut-nakuti anak-anak agar jangan mandi di leuwi dengan mengatakan, ’Awas ada Lulun Samak’. Anak-anak biasanya
takut pada hantu sungai itu, sehingga mereka jarang mandi di sungai sendirian.
Mereka selalu mandi ramai-ramai di sungai.” Paleka itu mengakhiri penjelasannya
yang membuat Kamandaka sempat kagum.
Lulun Samak?
Hantu Sungai? Kamandaka adalah seorang pemberani.
Dia tidak pernah takut pada hantu. Dari perbincangannya dengan seorang paleka
hebat beberapa tahun lalu di tepi Sungai Cimanuk, Kamandaka mendapatkan
tambahan pengetahuan. Malam itu Kamandaka bergegas tidur, karena esok harinya
ingin melihat Sungai Logawa yang mengalir di sebelah barat Dalem Kadipaten
Pasirluhur. Dia ingin mandi dan mencoba menjadi seorang paleka di Sungai
Logawa.
Sungai Logawa terletak
di sebelah barat Dalem Kadipaten Pasirluhur. Jarak dari Dalem Kadipaten ke
Sungai Logawa tidak terlalu jauh. Bahkan batas barat Tamansari Kadipaten
Pasirluhur tepat berada di bibir Sungai Logawa. Pohon bambu dan elo tumbuh
menjadi pagar hidup yang memisahkan bibir sungai dengan Tamansari. Mata air
Sungai Logawa ada di kaki Gunung Agung agak ke barat, mengalir ke selatan dan
bermuara di Surup Lawang, Sungai Ciserayu. Pada saat musim hujan airnya
berwarna coklat kekuning-kuningan, sedangkan pada musim kemarau berwarna hijau
toska bening kebiru-biruan.
Matahari pagi itu sudah
naik di atas kaki langit sebelah barat.
Kamandaka sudah berdiri di tepi Sungai Logawa. Mandi, berenang, dan menyelam di
sungai bukan hal yang asing bagi Kamandaka. Sejak anak-anak dia sudah gemar
main ke Sungai Ciliwung. Memasuki usia remaja sebagai seorang ksatria
Pajajaran, dia diharuskan mengikuti latihan dasar keprajuritan.
Di antara latihan dasar
keprajuritan yang diikutinya tentu saja adalah berenang melintasi sungai,
berenang melawan arus sungai, memanjat tebing sungai, dan terjun ke sungai.
Bahkan berkelahi di dalam sungai pun diajarkan dalam setiap latihan dasar
keprajuritan. Semua latihan dasar keprajuritan dengan sungai sebagai medan,
dilakukan oleh instruktur di Sungai Ciliwung tak jauh dari Pakuan.
Bagi Kamandaka Sungai Logawa lebih mirip dengan Sungai Cimanuk dari
pada Sungai Ciliwung. Jarak bibir tebing Sungai Logawa ke permukaan air sungai
tidak terlalu tinggi, struktur dinding air sungai yang paling dalam alias
kedung terbuat dari batu cadas. Bila musim kemarau, tanah landai berlantai batu
sungai bulat-bulat muncul di kiri dan kanan sungai, sehingga memudahkan bagi
siapa saja yang akan turun ke dasar sungai.
“Yang belum pernah
kulakukan hanyalah menjadi seorang paleka. Pesta marak akan dilakukan di sini,
cukup waktu bagiku untuk berlatih menjadi seorang paleka,“ ujar Kamandaka di
dalam batinnya sambil memandang air Logawa yang mengalir perlahan melewati
kedua sela-sela kakinya.
Keterangan dari seorang
paleka yang pernah diajaknya berbincang beberapa tahun lalu sangat membantunya,
ketika dia merasa harus menjadi paleka hebat. Sejak itu tiap hari Kamandaka
selalu menyempatkan diri mandi di Sungai Logawa tidak jauh dari batas barat Tamansari
Dalem Kadipaten Pasirluhur.
Kamandaka mencoba
mengingat kembali dan mencoba semua ketrampilan yang diperolehnya dari
instruktur saat mengikuti latihan dasar keprajuritan Ksatria Pajajaran.
Misalnya, terjun ke sungai dari tebing sebelah barat. Kemudian terjun dari
tebing sebelah timur, berenang melawan arus, berenang melintang menyeberangi
sungai bolak balik beberapa kali, dan menyelam. Itulah ketrampilan yang terus
dipertajam dan dilatihnya setiap hari di Sungai Logawa.
Latihan paling
disenangi Kamandaka ialah ketika dia mandi di Logawa setelah matahari condong
ke barat sampai sore hari. Dari tebing sebelah barat Kamandaka dengan jelas
dapat melihat bagian Tamansari Dalem Kadipaten Pasirluhur yang terlindung oleh
pohon elo, rumpun bambu, dan pohon-pohon pelindung lainnya. Sering sekali Kamandaka
berharap di balik rindangnya pohon bambu dan elo itu berdiri gadis cantik, Sang
Dewi yang belum pernah dilihatnya. Dia membayangkan Sang Dewi setiap sore
ditemani sejumlah pengasuhnya sedang bercengkerama di Tamansari. Dan, dia
berharap melalui sela-sela rumpun bambu yang lebat itu, Sang Dewi tengah
mengamati dirinya.
Membayangkan hal itu
Kamandaka langsung berdiri, kemudian terjun ke sungai dengan loncatan yang
indah sekali. Kedua kakinya lurus ke atas dan kedua tangan lurus ke bawah,
sampai akhirnya seluruh tubuhnya meluncur ke bawah bagaikan anak panah,
menyentuh sungai dan hilang tenggelam di dasar sungai. Tahu-tahu dirinya sudah muncul
di hilir sungai di sisi barat. Kamandaka merasa atraksinya itu disaksikan Sang Dewi
yang sedang duduk-duduk di Tamansari
ditemani pengasuhnya. Semua itu memompa semangatnya untuk terus menerus berlatih.
Keterampilan terakhir yang diperdalamnya ialah menjadi seorang paleka. Inilah
memang keterampilan yang paling berat. Karena dia harus belajar sendiri, tanpa
ada bimbingan dari seorang guru. Dia hanya mengandalkan imajinasinya saja.
Langkah pertama tentu
saja dia harus mampu menyelam selama mungkin. Menahan napas selama mungkin,
baginya yang menguasai ilmu prana atau ilmu pernapasan tentulah bukan perkara
sulit. Langkah berikutnya ialah mengenali struktur dinding dasar kedung Sungai
Logawa. Ini termasuk pekerjaan berat. Tetapi setelah beberapa kali dilakukan,
dengan mengandalkan rabaan kedua tangannya sambil menyelam menyusuri dinding
dasar kedung, dia berhasil menemukan sejumlah ceruk yang memanjang dari hulu ke
hilir. Tidak semua ceruk itu dapat dimasuki karena sempit.
Tetapi di bagian hilir
Kamandaka berhasil menemukan ceruk cukup besar di dasar sungai. Kamandaka
mencoba masuk ke dalam ceruk. Dan benar saja. Dia berhasil muncul ke dalam gua
di bawah tanah yang sangat gelap. Dengan mudah dia bernapas karena terdapat
rongga udara cukup luas. Bahkan kalau mau dia bisa bertahan sehari penuh di
situ asal tidak kedinginan. Dia kemudian mencoba menyelam kembali dan keluar
dari ceruk. Ternyata berhasil. Tahu-tahu dia sudah berada di bawah langit
terbuka mengambang di dekat kedung. Jika ada orang menyaksikan dia menyelam ke
dalam kedung, mereka pastilah akan mengira bahwa Kamandaka benar-benar seorang
paleka hebat, karena tahan menyelam lama sekali.
Kamandaka hari itu
merasa puas karena sudah menemukan rahasia dari seorang paleka yang hebat.
Karena rahasia, tentu saja dia tak akan menceriterakannya kepada siapapun.
Termasuk rahasia adalah adanya ceruk-ceruk di tebing dasar sungai dan sebuah
ceruk besar yang telah berhasil dimasukinya. Tetapi bagaimana cara menangkap
ikan dengan tangan kosong? Ya, esok hari dia akan mencobanya. Dan akan
dibawanya pula tempat ikan dari bambu. Siapa tahu besok dia akan dapat ikan dan
benar-benar menjadi seorang paleka.
“Aku siap
mempersembahkan kepadamu ikan kancra sebesar bantal, Wahai Melati Pasirluhur,” Kamandaka
berguman sendiri di dalam hati. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa bangga
dengan dirinya sendiri.
Hari berikutnya
Kamandaka sudah berada kembali di tempat yang sama di Sungai Logawa. Dia mencoba menangkap ikan di dalam ceruk
dengan tangan kosong. Ternyata tidak mudah menangkap ikan yang berkeliaran di
dasar ceruk. Beberapa kali tangannya menyentuh ikan yang bersembunyi di dalam
ceruk sempit, tetapi selalu lepas.
“Jika di dalam ceruk yang
sempit saja sukar ditangkap. Bagimana dengan ikan yang ada dalam ceruk besar?
Pasti lebih sukar ditangkap,” pikir Kamandaka sambil berulangkali menyelam ke
dasar kedung.
Hari itu Kamandaka
pulang dengan tangan kosong. Tempat ikan dari bambu yang dibawanya tidak ada isinya.
Ketika dia membayangkan Sang Dewi seakan-akan mentertawakan dirinya,
semangatnya bangkit lagi. Dia bertekad, besok pagi-pagi harus bisa menangkap
ikan kancra sebesar bantal yang sering bersentuhan dengan dirinya di dalam
ceruk besar. Malam harinya Kamandaka menganyam jala kecil berbentuk kantong
yang kira-kira cukup untuk menjerat satu ekor kancra sebesar bantal.
Pagi keesokan harinya, matahari
sudah naik sepenggalah ketika Kamandaka kembali turun ke Sungai Logawa. Sungai
kebetulan sepi karena penduduk sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dari kedung
yang berada di bawah tebing barat sungai Kamandaka siap akan menyelam. Tetapi
pandangan Kamandaka diarahkan lebih dulu ke pohon elo yang tumbuh tidak terlalu
jauh di tebing sebelah timur laut agak ke hulu dan dikelilingi rumpun bambu.
Ranting-ranting rumpun bambu sebagian condong ke sungai, dan daun pohon elo itu
bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Tiba-tiba dia merasa di balik rumpun bambu
itu, ada sepasang mata gadis mirip wajah ibunya sedang memperhatikannya.
“Tunggu! Pasti
kupersembahkan ikan kancra sebesar bantal dari Logawa,” bisiknya.
Dia pun menarik napas
panjang kemudian menyelam. Dalam waktu singkat dia sudah bergerak ke arah ceruk
besar. Pelan-pelan dimasukinya ceruk yang ada di dasar tebing. Sejumlah ikan
kancra berkelebat hendak menghindar menabrak dada, punggung, lengan, dan
kakinya. Sambil bergerak ke atas menuju permukaan air di dalam ceruk kedua
tangan Kamandaka membentangkan jaring kecil yang dibawanya. Begitu jaring
dibuka seekor kancra besar ada yang terjerat masuk ke dalam jaring dan
menggelepar-gelepar di tangan Kamandaka. Dia tersenyum puas ketika wajahnya muncul di permukaan air di
dalam rongga ceruk. Keadaan gelap gulita, tetapi Kamandaka bisa mengambil napas
secukupnya. Kemudian dia menyelam kembali keluar dari rongga ceruk sambil
membawa kancra buruannya yang terjerat di dalam jaring.
Ketika muncul kembali
dari dalam kedung, kaki Kamandaka sudah menapak di dasar sungai yang dangkal.
Ikan kancra diangkatnya tinggi-tinggi disaksikan rumpun bambu dan pohon elo
yang daunnya masih bergoyang ditiup angin seakan-akan ikut senang menyaksikan
sukses Kamandaka menangkap seekor ikan kancra sebesar bantal.
“Hem…, adakah Sang Dewi
melihat ikan kancra hasil tangkapanku dari balik rumpun bambu di sana itu?” tanya
Kamandaka di dalam hati. Entah mengapa tiba-tiba dia merasakan kebahagiaan yang
sulit dilukiskan.
Matahari sudah hampir
berada di atas ubun-ubun ketika ikan kancra sebesar bantal itu dibawanya naik
ke pinggir sungai. Kamandaka bergegas pulang. Seluruh penghuni Dalem Kepatihan
heboh saat menyaksikan Kamandaka membawa ikan kancra sebesar itu.
Siangnya ikan kancra
itu sudah diolah menjadi ikan bakar oleh juru masak Dalem Kepatihan yang ahli
memasak ikan sungai. Ketika santap siang tiba, Ki Patih Reksanata
kebetulan pulang agak awal. Nyi Patih dan
Kamandaka sedang merayakan santap siang bersama. Lauknya tentu saja ikan kancra
bakar Sungai Logawa hasil tangkapan perdana Kamandaka.
“Mestinya kamu
cepat-cepat punya istri supaya ada yang memasakkan ikan Logawa hasil
tangkapanmu,” ujar Ki Patih Reksanata menggoda Kamandaka. Di depan mereka
tersaji hidangan kancra bakar yang telah
dipotong-potong. Lengkap dengan sambal, jengkol rebus, dan lalap rebusan daun
singkong muda.
Nyi Patih ikut mengiyakan
kelakar Ki Patih sementara Kamandaka hanya tersenyum. Diam- diam Kamandaka
membayangkan, alangkah bahagianya jika dirinya bisa bersantap siang dengan
hidangan kancra bakar bersama Sang Dewi, Melati Kadipaten Pasirluhur. Tetapi
gadis yang selalu menggodanya itu sekejap pun belum pernah dilihatnya. Hanya
rumpun bambu dan pohon elo yang tumbuh di tepi Sungai Logawa itulah yang sudah
berulang kali dilihatnya. Dan itulah batas sisi barat Tamansari Kadipaten
Pasirluhur.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar