Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 28 Juli 2016

[2]Pembangunan Dengan Basis Budaya di Kabupaten Purwakarta (02 -Tamat)




 Sumber Gambar : Kang Dedi Mulyadi Tweeter.
Konon Pak Bupati jarang menerima tamu dikantornya. Beliau lebih suka menerima tamu dengan cara lesehan di ruang tamu rumah dinasnya yang hanya beberapa meter di samping kiri kantor kabupaten. Bangunan warisan Pemerintah Hindia Belanda dengan cat putih itu, memiliki teras yang disangga empat tiang persegi panjang. Pada kaki keempat tiang dihiasi dengan lukisan timbul senjata kujang warna kuning emas. Di kiri kanan jalan yang menghubungkan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati, berdiri tiang-tiang yang di atasnya bergelantungan lampu penerangan dengan kap terbuat dari caping bambu sehingga kelihatan antik. 
 

Ruang tamu rumah Dinas Pak Bupati Purwakarta berbentuk empat persegi panjang dengan pintu masuk ke ruang dalam yang ada di tengah. Kelambu dengan corak kotak-kotak hitam putih menjadi penghias pintu masuk ke ruang dalam yang memiliki lantai lebih rendah dari pada lantai ruang tamu. Tepat di atas tengah-tengah pintu yang menghubungkan dua kelambu kotak-kotak hitam putih di kanan dan kiri pintu dipasang topeng raksasa mini dari kayu dengan wajah merah. Sepintas kilas orang akan mengira itu topeng Bali karena kelambu kotak-kotak hitam putih mengingatkan orang pada kain kotak hitam putih yang sering diikutsertakan pada upacara-upacara sesaji di Bali. Mungkin topeng raksasa berwarna merah itu simbol dari nafsu lauwamah dan sufiah pada diri manusia yang harus selalu dapat dikendalikan oleh nafsu mutmainah dan fitrah ketuhanan yang dilambangkan dengan warna putih dan hitam. Bupati H.Dedi Mulyadi, SH sendiri menafsirkan warna putih sebagai lambang air dan warna hitam sebagai lambang tanah. Perpaduan air dan tanah, mencerminkan kesuburan, kemakmuran, dan keberlimpahan. Orang Sunda bilang bumi lemah cai. 


Pada dinding kiri ruang tamu terdapat lukisan timbul berwarna kuning, sebuah lukisan kereta perang dikendarai oleh seorang ksatria yang sedang menarik busur untuk melepaskan anak panah. Di depan kereta, seorang sais sibuk mengendalikan kuda yang berlari menarik kereta perang. Mungkin ksatria yang sedang memanah itu adalah Arjuna dalam kisah Perang Bharatayudha. Kalau dalam seni pedalangan, lukisan itu menceriterakan  kisah Karno Tanding. 


Tampak dalam lukisan kuda-kuda penarik kereta dengan susah payah sedang bergerak maju. Arjuna tampak sedang menarik tali busur untuk melepaskan anak panahnya. Dalam Bhagawat Gita dikisahkan, bahwa Arjuna pada awalnya mengalami kesulitan untuk mengarahkan mata anak panah pada obyek yang menjadi titik sasaran. Obyek itu dalam pandangan Arjuna selalu berubah-rubah, sehingga membuat bingung Arjuna. Ketika Arjuna mengeluh karena tidak bisa berkonsentrasi untuk memanah obyek sasaran dengan tepat, Sri Kresna memberi nasihat agar Arjuna berkonsentrasi. Ketika Arjuna kembali berkonsentrasi, Arjuna kembali terkejut karena dia melihat pada obyek yang akan dipanah di medang perang Kurusetra itu ternyata adalah bayangan sorang ksatria yang mirip dirinya sendiri, sehingga Arjuna kembali ragu untuk melepaskan anak panahnya. Sesekali wajah Bhisma dan Drona juga muncul menggantikan bayangan ksatria yang mirip dirinya itu.


“Bagaimanakah hamba harus berpanah-panahan dengan Bhisma dan Drona, ya Pembunuh Madhu. Karena keduanya itu mulia. Sebab terlebih baik jangan membunuh Guru-guru yang maha kuasa itu, walaupun kita makan nasi dalam dunia yang dipintal ini. Tetapi dari sebab membunuh guru-guru yang mengingini kesejahteraan itu, termasuk hambalah makanan yang dicemari darah. Dan hati hamba ini telah dikenai dosa kelemahan.Tiadalah hamba ini hendak berperang,” Arjuna mengendorkan tali busurnya.  Hampir saja Arjuna mogok menolak untuk berperang. 


Kemudian Arjuna memohon pencerahan kepada Sri Kresna. “Dengan hati yang tiada tetap pada dharma, bertanyalah hamba kepada tuan. Apakah yang sebenarnya terjadi pada hamba? Katakanlah dengan terang. Hamba murid tuan. Ajarilah hamba. Inilah permohonan hamba,”


Sri Kresna tersenyum, dan berkata kepada Arjuna. “Petemuan dengan alam ini, ya Kuntiputra. Telah menimbulkan perasaan sejuk dan panas, kesukaan dan kedukaan. Kesukaan dan kedukaan dalam hidup ini akan datang silih berganti. Tanggunglah ia dengan hati tetap, wahai Tunas Bharata. Semua yang dilahirkan itu akan mati. Dan yang mati pun akan lahir kembali. Sesungguhnya badan itu mengandung yang baka yang tiada akan punah. Karena itu janganlah tuan susahkan sesuatu yang tidak mungkin tuan elakkan itu.” 


Selanjutnya Sri Krisna mengatakan bahwa Arjuna hanya akan dapat mengalahkan musuh-musuhnya hanya apabila dia lebih dahulu dapat mengalahkan dirinya sendiri.  Bayangan yang muncul sebagai kstaria yang mirip dirinya sendiri setiap kali Arjuna berkonsentrasi untuk memanahnya, itu tidak lain adalah bayangan dari nafsu dalam dirinya sendiri yang harus lebih dulu dikalahkan.


Mendengar nasihat Sri Kresna, semangat Arjuna kembali bangkit. Bayangan obyek yang hendak dipanahnya, kembali tampak sebagai dirinya sendiri. Tetapi Arjuna yang telah tercerahkan, kini tidak ragu-ragu lagi. Arjuna pun kembali menarik tali busurnya. Anak panah yang dilepaskannya melesat bagaikan kilat membunuh lawan-lawannya dalam Perang Bharatayudha, sekalipun dalam bayangannya musuh yang akan dibunuhnya itu adalah bayangannya sendiri. Nabi saw dalam salah satu hadistnya juga pernah bersabda, bahwa jihad yang paling berat adalah jihad melawan diri sendiri. Sesungguhnya lukisan itu sedang mengajarkan sebuah kearifan yang bersifat universal kepada siapa saja yang memandangnya.


Setiap tamu yang duduk lesehan di ruang tamu rumah dinas Bupati Purwakarta itu, dapat dipastikan ketika masih menunggu tuan rumah, pandangannya akan menyaksikan lukisan dari kisah perang Barathayudha yang dipajang sebagai hiasan di ruang tamu itu. Mungkin maksud Bupati H.Dedi Mulyadi,SH memasang lukisan yang diambil dari episode perang Bharatayudha itu, terkandung pesan simbolik yang ingin disampaikannya. Yaitu bahwa kemampuan mengendalikan diri  dari keserakahan akan harta, tahta, dan wanita itu penting. Dengan bekal kemampuan mengendalikan diri, korupsi di birokrasi yang dipimpinnya akan dapat dengan mudah di atasi. Ya, Pak Bupati bisa jadi  secara diam-diam sedang menyampaikan pesan pentingnya mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel melalui sebuah lukisan.


Sesungguhnya memaknai simbol-simbol budaya, bukan perkara mudah karena sifatnya yang subyektif dan relatip. Namun demikian bagi rakyat, yang penting memang  bukan apa isi dari janji yang dikomunikasikan baik melalui bahasa simbolik maupun bahasa verbal. Bagi rakyat yang penting adalah pelaksanaan janji dan program yang dapat langsung dirasakan rakyat banyak. Tampaknya, dalam mewujudkan janji-janjinya, Bupati yang pernah berpidato mengenalkan budaya Sunda di forom internasional bergengsi di PBB itu, cukup berhasil.



Tidak lama setelah saya dan teman-teman dari Bandung dipersilahkan duduk lesehan oleh petugas, dua orang wanita cantik  mengenakan jilbab warna hitam, baju atasan putih dan bagian bawah hitam, membawa beberapa cangkir berisi minuman keluar dari ruang dalam, menyajikan cangkir-cangkir minuman dan dengan senyum menghiasi bibirnya mempersilahkan kami untuk menikmatinya. Padahal di depan kami sudah tersaji makanan kecil dan minuman dalam gelas plastik.


Tak lama kemudian Pak Bupati keluar langsung menyapa kami dengan senyumannya yang khas. Kali ini dia tampil dengan pakaian kegemarannya yang telah menjadi ikon dirinya. Bukan warna putih-putih seperti biasanya. Tetapi warna hitam-hitam. Tampil tanpa alas kaki, penampilan Bupati yang pada tanggal 13 April 2016 terpilih secara aklamsi menjadi Ketua DPD Golkar Jawa Barat 2016 – 2020 itu, tampak amat sederhana dan merakyat.  Sepintas kilas, tidak banyak orang menduga bahwa sosok yang tampil sederhana itu adalah orang nomor satu Kabupaten Purwakarta.


Kepada sejumlah media massa, Pak Bupati mengaku sebagai penggemar wayang sejak masa kanak-kanak di Subang.  Memulai debut politiknya pada usia terbilang muda. Diawali dengan menjadi anggota DPRD Kabupaten Purwakarta, maka pada tahun 2008 beliau sudah berhasil menduduki kursi Bupati Purwakarta. Pada tahun 2013 terpilih kembali untuk kedua kalinya sampai tahun 2018. H.Dedi Mulyadi,SH termasuk sosok politisi muda yang berprestasi. Usianya kini baru 45 tahun, sebab beliau kelahiran tahun 1971. Di bawah kepemimpinannya, Kabupaten Purwakarta berkembang menjadi kota budaya yang mencengangkan banyak orang.  Pembangunan fisik, sarana jalan, transportasi, penerangan, obyek wisata, pengobatan dan pendidikan gratis sampai SMA-SMK, serta santunan kepada warga miskin lima ratus ribu rupiyah/bulan, hanyalah deretan dari sejumlah prestasi yang berhasil diwujudkannya.  Konon Penghasilan Daerah dari Kabupaten yang memiliki 17 kecamatan dan luas  sekitar, telah mencapai angka 2 trilyun. Padahal bebera tahun sebelumnya penghasilan daerah baru sekitar 800-900 milyard.
Sumber Gambar: Wikipedia.

Sebagai politisi, intelektual, dan budayawan  yang pernah dibesarkan lewat organisasi Islam HMI, pernah menjadi Ketua HMI Purwakarta dan Ketua KAHMI Purwakarta, tentunya Bupati H.Dedi Mulyadi, SH sangat paham relasi antara Islam dan kebudayaan. Islam bukanlah agama peribadatan saja. Islam adalah agama yang mengajarakan sistem nilai dengan dua dimensi, yakni dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal berkaitan dengan soal-soal ritual peribadatan. Sedang dimensi horisontal berkaitan dengan hablumminannas, muamalah, dan kebudayaan. Jika pada dimensi vertikal berlaku azas ushul fikih, yakni segala urusan peribadatan adalah terlarang, kecuali ada perintahNya. Maka pada dimensi horisontal, habluminnannas, muamalah, dan kebudayaan berlaku azas ushul fikih, semua hal boleh, kecuali ada larangan dari Nya. Artinya, membangun dengan basis budaya dan tradis tetap harus dalam bingkai iman dan takwa, agar senantiasa mendapat maghfirah, rahmat, barokah, dan kasih sayang dari Allah SWT.


Saya meninggalkan rumah Dinas Bupati, bersamaan dengan bunyi azan Ashar dari Masjid Agung Purwakarta yang tidak jauh dari alun-alun. Konon kabarnya,  kadang-kadang Bupati H.Dedi Mulyadi,SH jika sedang tidak sibuk, menyempatkan diri untuk mengumandangkan azan di Masjid Agung Purwakarta.Dirgahayu HUT ke 185 dan 48 Purwakarta yang memang Istimewa.Wallahualam.[24-07-2016]


[1] Pembangunan dengan basis Budaya di Kabupaten Purwakarta (01)



 Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Sebuah lukisan indah gadis cantik bermahkota berdiri dengan anggun diiringi dua ekor harimau putih, langsung menarik perhatian saya. Lukisan itu menjadi salah satu hiasan ruang tamu Kantor Bupati Purwakarta. Dan menjadi lukisan favorit Bupati Purwakarta, H.Dedi Mulyadi SH. Saya sendiri belum pernah melihatnya di sentra lukisan Desa Jelekong, Ciparay, Kabupaten Bandung, karena memang lukisan itu  tidak pernah dipasarkan di sana. 


 Kulit gadis dalam lukisan itu berwarna kuning, rambutnya hitam bak mayang terurai, dibalut kain dan penutup dada juga bewarna hitam, diiringi dua harimau putih. Langit biru menjadi latar belakang gadis dalam lukisan itu. Secara keseluruhan lukisan itu enak dipandang dan mampu menerbangkan daya khayal  siapa saja yang memandangnya dan  membawanya ke masa lalu. Sayang saya tidak tahu siapa pelukisnya.  Bahkan salah satu staf Setda Kabupaten Purwakarta yang mengenakan pakaian seragam kemeja putih dan celana hitam, hanya menggelengkan kepala saat saya tanya, siapakah gadis cantik dalam lukisan itu.


“Mungkin Nyi Roro Kidul,” jawabnya sambil tertawa. Saya ikut tertawa mendengar jawabannya. Sebab saya tahu itu bukan lukisan Nyi Roro Lidul.


“Dapat dipastikan itu bukan lukisan Nyi Roro Kidul. Sebab kalau Nyi Roro Kidul  latar belakangnya laut dan tidak memiliki dua ekor harimau putih sebagai pengiringnya,”  kata saya, ingat-ingat lupa pada lukisan Affandi berjudul Nyi Roro Kidul dalam album koleksi lukisan Bung Karno.


Tetapi akhirnya saya menemukan nama gadis dalam lukisan itu, Citraresmi. Nama lengkapnya, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi (1340 – 1357 M). Dia adalah Putri Sang Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam tragedi Bubat (1357 M).  Sang Maha Raja Linggabuana adalah Raja Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali, sekarang masuk Kabupaten Ciamis. Tragedi Bubat menjadi catatan hitam hubungan dua etnis terbesar di Pulau Jawa, Etnis Sunda dan Etnis Jawa. Sebab etnis Jawa mewarisi Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Trowulan, sedangkan Etnis Sunda mewarisi Kerajaan Besar Galuh yang berpusat di Kawali , kemudian di Pakuan. Ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin mewujudkan Sumpah Palapa telah menenggelamkan cita-cita  Hayam Wuruk untuk menyatukan dua Kerajaan Besar di Pulau Jawa pada masa itu dalam satu federasi atau konfederasi Majapahit – Galuh. 


Tragedi Bubat mengakibatkan tewasnya Dyah Ayu Pitaloka Citra Resmi,  Sang Prabu Maharaja Linggabuana, beserta segenap prajurit pengiringnya. Para prajurit pengawalnya telah berjuang dengan gagah berani sekalipun tahu bahwa mereka akan kalah karena jumlah prajurit dan peralatan yang tidak seimbang.  Pasca peristiwa Bubat hubungan Majapahit dan Galuh langsung memburuk. Kerajaan Galuh memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Raja Hayamwuruk sendiri telah meminta maaf akan kejadian yang memalukan itu. 


Ketika tragedi Bubat terjadi, Kerajaan Galuh masih berpusat di Kawali, sehingga dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Kerajaan Galuh Kawali. Dr.Husein Djajadiningrat dalam tesisnya di Universitas Leiden,”Tinjauan Kritis Sejarah Banten”  yang telah mengantarkannya meraih gelar doktor dengan nilai Cum Laude, menyebutkan bahwa Kerajaan Galuh di Pakuan yang merupakan penerus Kerajaan Galuh Kawali berdiri pada tahun 1433 M. Dengan kata lain, Kerajaan Galuh Kawali telah dipindahkan ke Pakuan, dekat Bogor sekarang, sehingga muncul Kerajaan Galuh yang berpusat di Pakuan, atau Kerajaan Galuh Pakuan. Kerajaan Galuh Pakuan, kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran. Disebut Kerajaan Pajajaran, karena konon pusat kerajaan ini, yakni Pakuan, terletak di hulu dua sungai yang nyaris sejajar, yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. 


Pada gapura masuk Kantor Kabupaten Purwakarta yang kini memiliki air mancur indah sekali, Air Mancur Sri Baduga, tertulis kata-kata, “Galuh Pakuan”.  Sri Baduga adalah Raja Besar Kerajaan Pajajaran ( 1482 – 1522 M) yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Nama Sri Baduga juga diabadikan menjadi nama musium sejarah dan kebudayaan Sunda di Kota Bandung,  yakni Musium Sri Baduga.


Kemasyhuran dan kebesaran Kerajaan Galuh Kawali dan Galuh Pakuan pada masa lalu itulah agaknya yang telah memberikan inspirasi Bupati H.Dedi Mulyadi, SH untuk membangun Kota Purwakarta dengan basis budaya Sunda yang inklusif dan toleran. Simbol-simbol yang digali dari budaya Sunda segera terasa, begitu orang masuk alun-alun Kabupaten Purwakarta, Pendapa Kabupaten,  Kantor Kabupaten, dan rumah dinas bupati yang berada di samping kiri Kantor Kabupaten.  


Aristektur bangunan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati sendiri masih merupakan arsitektur warisan Eropa, sebab kedua bangunan itu memang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Bangunan kantor kabupaten dibangun pada tahun 1854. Semula merupakan Gedung Negara. Pilar tiang penyangga yang berbentuk silinder mengingatkan orang pada tiang-tiang bangunan kuno di Yunani, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Ketika orang-orang Eropa menjadi penguasa di Pulau Jawa dan Tanah Sunda, corak arsitektur Eropa ikut terbawa masuk. Ahli sejarah Perancis, Denys Lombart, menyebutkan munculnya bangunan dengan arsitektur Eropa sebagai penanda awal pengaruh peradaban Eropa di Pulau Jawa.



Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Lantai bangunan kantor kabupaten itu dilapisi batu pualam putih bersih mengkilap. Setiap orang yang akan masuk ke ruang tamu, diwajibkan melepaskan alas kaki. Sebuah etika budaya Sunda yang menghormati rumah sebagai suatu tempat suci, sehingga orang yang masuk ke dalam rumah orang Sunda pada masa lalu, kaki harus dalam keadaan bersih dan melepaskan alas kaki. Rumah adat orang Sunda pada awalnya memang berbentuk rumah panggung dengan lantai papan. Tamu pun diterima dengan lesehan, sehingga tampak akrab dan tidak terkesan formal.


Tetapi arsitektur bangunan pendapa yang ada di depan kantor kabupaten, tiang dan atapnya merupakan bangunan dengan arsitektur yang terpengaruh Kerajaan Islam Demak. Demikian pula konsep catur gatra tunggal warisan Kerajaan Islam Demak tampak pada penataan bangunan kantor kabupaten dan pendapa yang menghadap alun-alun, bangunan Masjid Agung Syekh Baing Yusuf di sebelah kiri alun-alun, bangunan kantor pengadilan, dan lokasi bangunanan penjara yang juga tidak jauh dari alun-alun.  Alun-alun masih dibelah menjadi dua dengan satu jalan di tengah. Tetapi saya tidak melihat sepasang beringin yang lazimnya ada pada alun-alun warisan Kerajaan Islam Demak yang diadopsi dari Kerajaan Majapahit, kecuali masjid di samping alun-alun yang merupakan ciri Kerajaan Islam di  Pulau Jawa.


Pengaruh budaya Sunda tampak pada ornamen hiasan gedung, hiasan taman, dan tiang-tiang penerangan sekitar pendapa, serta karyawan yang berpakaian putih hitam. Terkadang tampak ada karyawan laki-laki yang lalu lalang dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Tentu saja mereka berbincang-bincang dengan bahasa Sunda. Gambar Bupati H.Dedi Mulyadi SH terpampang dimana-mana dengan pakaian adat Sunda pangsi warna putih kegemarannya, lengkap dengan ikat kepala khas Sunda yang  juga berwarna putih. Di bawah gambar Bupati, tertulis kata Daiang Ki Sunda. Kata Daiang mungkin gelar untuk laki-laki yang dihormati. Kata Daiang sendiri  belum saya temukan dalam Kamus Bahasa Sunda. Yang ada kata Dayang, yang mengandung arti gelar untuk wanita yang dihormati. Misalnya, Dayang Sumbi. Dalam gambar senyum khas Pak Bupati mengembang menghiasai wajahnya, seakan Pak Bupati sedang meyambut dengan segala keramahtamahan kepada setiap tamu, seraya mengucapkan sapaan favoritnya,”Sampurasun…”


 Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Di teras kantor kabupaten di kanan kiri pintu masuk diparkir dua buah kereta kencana berwarna hitam yang mengingatkan orang pada kereta kebesaran Kerajaan Galuh Kawali maupun Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Di bawah masing-masing kereta ada patung banteng, seakan mengingatkan orang pada binatang yang pantang menyerah. Kemudian dua becak dengan tulisan Situ Buleud, juga diparkir menjadi hiasan di teras kantor kabupaten, tidak jauh dari kereta kencana. Becak belum dikenal pada masa Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi becak, sekalipun sudah lama digusur dari jalan-jalan utama di kota-kota besar, masih merupakan alat transportasi rakyat yang amat populer dan merupakan sarana mencari nafkah bagi sebagian besar  penduduk yang tingkat pendidikannya pas-pasan. Mungkin maksud Pak Bupati memajang sepasang becak di teras kantor kabupaten, sekedar simbol agar kita senantiasa ingat pada rakyat kecil, kawula alit, atau kaum dhuafa dalam bahasa agama Islam. 


Jika kita masuk ke ruang tunggu kantor kabupaten, segera akan kita saksikan ornamen lukisan harimau di dinding yang menghadap pintu masuk, seakan-akan hendak menyapa para tamu yang akan menghadap Pak Bupati. Sebuah karpet warna kelabu dengan hiasan ornamen bunga warna hitam menutupi lantai marmer putih bersih. Sejumlah kursi dengan plitur warna hitam mengkilat berderet di ruang tunggu. Pada dinding di samping pintu masuk, terpasang lukisan gadis cantik Putri Galuh yang pernah dilamar Raja Majapahit Hayam Wuruk, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi, seperti telah disebutkan di atas.  Tampak cantik, anggun, berwibawa, dengan menyungging senyum di bibir.


Pendapa Kabupaten yang terletak di depan bangunan kantor kabupaten, tampak megah dengan tiang-tiang-tiang penyangga atap yang mengingatkan orang pada bangunan pendapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya Pendapa Panyawangan, demikian nama Pendapa Kabupaten Purwakarta itu, dibangun di atas taman yang dikeliingi kolam indah, sehingga dalam konsep arsitektur Jawa, pendapa yang demikian itu disebut Bale Kambang. Di kanan kiri Pendapa Panyawangan melintang jembatan kayu di atas kolam yang menghubungkkan jalan dari halaman kantor kabupaten ke alun-alun.  Jika orang dari Kantor Kabupaten dan Pendapa Kabupaten akan menuju alun-alun yang ada di depan pendapa, mau tidak mau harus melintasi jembatan kayu itu. Lantai pendapa dilapisi karpet tebal bersih warna kelabu dengan ornamen bunga warna hitam. Tak ada kursi, sehingga jika ada pertemuan di Pendapa Panyawangan pastilah juga dilakukan dengan cara lesehan.(bersambung).


Catatan : Artikel lanjutan, Bhagawat Gita di rumah dinas Pak Bupati Purwakarta. Klik dibawah ini: 
https://tamanrafflesia.blogspot.co.id/2016/07/pembangunan-dengan-basis-budaya-di_28.html

Wisata Kuliner : Soto Sadang dan Sate Maranggi Purwakarta (02 -Tamat)



Sesungguhnya makanan sate sudah lama dikenal, baik oleh orang Sunda, Jawa, Madura, Padang, Melayu. Bahkan sate merupakan makanan asli orang Sunda, Jawa, Madura, Padang, dan orang Melayu.  Bisa  jadi masakan daging sate malah sudah dikenal pada jaman Kerajaan Tarumanegara, Galuh, dan Pajajaran. Tetapi mungkin saja memasak daging sate malahan tidak dikenal dalam tradisi masakan China. 


Pada awalnya budaya makan sate berasal dari budaya berburu binatang dan pesta api unggun memanggang binatang hasil buruan. Lama-lama bukan hanya daging binatang buruan yang dipanggang seperti babi hutan, dan kijang. Tetapi juga daging binatang ternak, seperti domba, sapi, kerbau, babi, dan sebagainya.Baru ketika jaman Kerajaan Islam, tidak ada lagi daging babi yang dikonsumsi, sehingga tidak ada sate babi.


 Dalam kamus bahasa Sunda disebutkan bahwa sate adalah dengeun sangu tina daging embe nu dikeureutan sarta dipanggang tuluy dibeuleum. Sate adalah teman makan nasi dibuat dari daging kambing, dipotong-potong kecil, dipanggang lalu dikasih bumbu. Kata sate punya kedekatan dengan kata sato yang artinya binatang atau daging binatang. Jelaslah dari kamus Bahasa Sunda itu, cara memasak daging sate telah lama dikenal oleh orang Sunda.


Memang bisa jadi orang Sunda menemukan ide membuat Sate Maranggi dengan cara daging bahan sate direndam lebih dulu ke dalam cairan bumbu, awalnya dari melihat proses pengolahan daging babi yang direndam ke dalam cairan bumbu yang dilakukan orang-orang China. Tetapi tehnik mengolah daging binatang menjadi sate, sudah lama dikenal oleh orang Sunda, jauh sebelum orang Sunda berhubungan dengan orang China.  Sebab jika orang Sunda baru belajar mengolah daging sate kepada orang China, nama makanannya bukan Sate Maranggi. Mungkin bate atau basate Maranggi.


Kata maranggi, juga sudah lama dikenal oleh orang Sunda. Dalam kamus bahasa Sunda, kata maranggi  mengandung arti  tukang membuat keris. Sekalipun keris kemudian menjadi senjata andalan para ksatria Jawa, tampaknya pembuat awal keris bukanlah orang Jawa. Tapi orang Sunda. Senjata khas orang Sunda adalah senjata kujang. Modifikasi senjata kujang di daerah Banyumas berubah menjadi kudi. Kudi mirip golok berperut, tapi gagasan awalnya dipengaruhi oleh ide pembuatan senjata kujang. 


 Disebut Sate Maranggi, karena daging yang dipotong-potong itu ditusuk-tusuk dengan batang bambu, sehingga mirip keris buatan maranggi. Gedung Pemerintahan Jawa Barat, disebut gedung sate, karena dipuncaknya ada ornamen berbentuk sate. Bisa jadi pencipta Sate Maranggi, berasal dari keluarga pembuat keris dan sarung keris, yang sempat melihat cara orang China merendam daging babi di dalam cairan bumbu. Hasil pengamatannya itu kemudian jatuh ketangan pembuat sate orang Purwakarta yang memang kreatif dan inovatif itu.


 Budaya makan sate juga berkaitan dengan budaya menggunakan bambu, sebab tusuk sate selalu dibuat dari bambu, umumnya bambu petung.  Pengusaha sate, jarang yang membuat tusuk sate sendiri. Tusuk sate biasanya dibuat oleh pengrajin tusuk sate yang ada di desa-desa. Saya pernah mengunjungi sebuah desa di Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Di situ ada sejumlah pengrajin tusuk sate yang tergabung dalam KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang mendapat bantuan kredit lunat dari BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat).  Sebagian besar pengrajin tusuk sate adalah para ibu-ibu yang bekerja paruh waktu. Mereka mengerjakannya pada malam hari. Satu malam seorang pengrajin bisa membuat seribu tusuk sate. Ternyata pembuatan tusuk sate tidak mudah. Setelah bilah bambu dipotong-potong sesuai ukuran standar, baru dibuat  batang-batang tusuk sate yang salah satu ujungnya diruncingkan. Batang-batang tusuk sate masih harus diproses lebih lanjut, yaitu di keringkan di atas bara api, agar tusuk sate benar-benar kering, sehingga bisa tahan lama dan terbebas dari jamur. Setelah selesai dikeringkan, baru diikat, setiap ikatan terdiri dari seribu tusuk. Kemudian dipak, siap untuk diambil tengkulak yang akan memasarkannya ke kota-kota Bandung dan sekitarnya.  


Jika musim hujan tiba, para pengrajin tusuk sate itu mengeluh, karena mereka kesulitan menjemur batang tutuk sate. Rupanya sebelum dipanggang batang tusuk sate itu perlu dijemur dulu, agar proses pemanggangan lebih cepat. Ketika ditanya bantuan apa yang mereka harapkan agar produksi tusuk sate jadi mudah, dan produktif. Mereka rame-rame menjawab yang diperlukan bukan mesin untuk mengolah bilah-bilah bambu. Tapi hanya perlu open untuk memanggang batang-batang tusuk sate. Rupanya bukan hanya dagingnya yang harus dimasak dengan cara dipanggang. Batang tusuk sate perlu juga dipanggang agar higienis dan terbebas dari jamur.


Penggunaan lidi daun kelapa sebagai pengganti tusuk sate dari bambu, jarang dijumpai penjual sate di tanah Pasundan. Sekalipun yang dijual sate ayam yang dagingnya lebih lunak, selalu digunakan tusuk sate dari bambu.  Hanya di Banjar, Ciamis, dekat simpang tiga jalan ke Pangandaran – Yogyakarta, tidak jauh dari POM Bensin, memang ada penjual sate ayam menggunakan tusuk sate dari lidi daun pohon kelapa. Saya belum pernah tanya apakah penjual sate dengan tusuk dari lidi itu orang Sunda, Jawa atau Madura. Namun secara umum menggunakan tusuk sate dari lidi, jarang dijumpai pada penjual sate orang Sunda.
Sumber Gambar : Wikipedia.

Jika benar keterangan Bupati Purwakarta, bahwa satu hari produksi  Sate Maranggi Purwakarta menghabiskan daging 2 ton, dapat dibayangkan berapa ratus ribu tusuk sate yang diperlukan untuk mendukung proses produksi Sate Maranggi setiap harinya.  Yang jelas produksi Sate Maranggi telah menciptakan nilai tambah, bukan hanya bagi pengusaha sate saja. Tetapi juga bagi pengrajin tusuk sate, peternak domba, dan peladang pemilik bambu. Penciptaan nilai tambah pada akhirnya akan menciptakan penghasilan. Dan ujung-ujungnya kesejahteraan rakyat akan meningkat. 


Tanaman bambu yang merupakan bagian keseharian budaya orang Sunda pada masa lalu, dengan sendirinya juga akan dapat dilestarikan. Bupati H. Dedi Mulyadi,SH sepenuhnya benar ketika beliau menggagas desa budaya. Desa sebagai pusat produksi dan kota sebagai pusat penyedia jasa. Desa dan kota dihubungkan dengan rantai produksi nilai tambah. Di sini konsep budaya, tidak semata-mata dilihat dalam pandangan yang sempit sebagai hanya kesenian saja. Tetapi budaya dalam arti yang luas. Termasuk didalamnya budaya etos kerja berproduksi meningkatkan nilai tambah, agar tercipta kemakmuran dan kesejahteraan.


Jika tradisi kuliner sate sudah dikenal orang Sunda pada masa lalu, tradisi kuliner soto, kelihatannya berasal dari luar budaya Sunda yang berhasil diserap oleh orang Sunda yang kreatip. Jika dalam kamus bahasa Sunda kata sate sama sekali tidak dikaitkan dengan suku lain. Maka kosa kata soto dalam kamus bahasa Sunda dikaitkan dengan suku lain. Yakni suku Madura. Padahal orang Madura dikenal bukan hanya dengan sotonya tetapi juga satenya. Tetapi baik soto Madura maupun sate Madura kurang berkembang di tanah Sunda. Dulu di Bandung terkenal dengan soto Bandungnya. Kini soto Bandung sulit dicari, karena kurang diminati. 


Dalam kamus bahasa Sunda, kosa kata soto dijelaskan sebagai berikut, sarupa angeun, aya nu make cipati aya nu heunteu. Soto babat, soto nu bukurna babat. Soto Madura, soto no dijieun nurutkeun resep urang Madura. Mkasudnya, sejenis makanan, ada yang pakai santan ada yang tidak. Soto babat, adalah soto yang bahan bakunya babat. Soto Madura, adalah soto yang dibuat menurut resep orang Madura.


Rupanya perintis pembuat soto adalah orang Madura. Sebab budaya beternak sapi untuk lomba karapan sapi sangat populer di Madura. Di Jawa Timur juga ada soto yang tidak dijumpai di daerah lain, yaitu soto rawon. Hal ini menujukkan bahwa budaya makan soto awalnya memang dari Jawa Timur, dan orang Madura penciptanya.


Bukan mustahil dulunya orang Jawa belajar membuat soto dari orang Madura. Dan orang Sunda belajar membuat soto dari orang Jawa. Orang Betawi belajar kepada orang Sunda. Orang Jawa membuat modifikasinya sendiri. Demikian pula orang Sunda dan orang Betawi Maka munculah aneka macam soto yang khas daerah. Soto Boyolali, Soto Sokaraja, Soto Bandung, Soto Sadang, dan Soto Betawi. Jika kota Bandung gagal mempertahankan soto Bandung, Purwakarta berhasil mempertahankan soto Sadang. Bahkan Purwakarta berhasil membuat Sate Maranggi go internasional. Masih banyak jenis-jenis kuliner tradisonal ditanah air kita  yang dapat digali, dikembangkan, dan dipasarkan dengan format dan cara-cara modern, sehingga bisa mengikuti jejak Sate Maranggi Purwakarta.[26-07-2016]








Rabu, 27 Juli 2016

[2]Dirgahayu Hut 185 dan 48 Purwakarta : Tinjauan Historis [Bagian ke-2 -Tamat]

Kerajaan Mataram Islam.

 Pada akhir abad ke-16 M, nama Mataram sebagai nama kerajaan muncul kembali, yakni Kerajaan Mataram Islam, yang menggantikan Kerajaan Islam Pajang. Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Ki Gede Pamanahan dibantu putranya Sutawijaya, yang kelak setelah menjadi Raja Mataram, mengambil gelar Panembahan Senapati. Kurang jelas, apa yang menyebabkan Ki Gede Pamanahan memberi nama Mataram kepada kadipaten yang didirikannya di hutan Mentawis yang memang dulunya merupakan salah satu lokasi pusat Kerajaan Mataram Hindu. Apakah karena Ki Gede Pamanahan, ketika membabat hutan Mentawis menjumpai tanaman tarum, sehingga memberi nama kadipaten yang berhasil didirikannya itu Kadipaten Mataram? Tidak ada satu pun kronik Jawa yang menjelaskannya.
Pohon Tarum,Komoditas unggulan Kerajaan Tarumanegara. Sumber gambar Wikipedia.

Bisa jadi Sejarawan Belanda De Graaf sepenuhnya benar, ketika berpendapat bahwa sebenarnya Pendiri Mataram itu bukanlah keturunan bangsawan dari Majapahit sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi. Ki Gede Pamanahan, hanyalah keturunan orang biasa saja yang leluhurnya berasal dari keturunan petani di daerah Grobogan. Tepatnya di daerah Sesela. Sekalipun Ki Gede Pamanahan sudah memeluk Islam, tetapi leluhurnya di Sesela adalah para pemuja Dewa Api yang dalam agama Hindu diidentikkan dengan Dewa Brahma.


 Rake Sanjaya  selain memuja Syiwa, adalah juga Pemuja Dewa Awan dan Dewa Api. Dalam mitologi Hinduisme, Dewa Awan identik dengan Dewa Indra, sedang Dewa Api identik dengan Dewa Brahma. Pusat Kerajaan Mataram awal di Kunjarakunjadesya yang berada di hulu Sungai Serayu. Kunjarakunjadesya mengandung arti dua gajah, karena kunja, menurut Purbocaroko berarti gajah. Yang dimaksud dua gajah tidak lain adalah Dewa Indra dan Dewa Brahma, karena kedua dewa itu senang bepergian dengan menunggang gajah. Dewa Brahma atau Dewa Api adalah juga dewa yang disembah leluhur Ki Gede Pamanahan.


 Pemilihan nama Mataram sebagai nama kerajaan yang didirikannya, jelas merupakan usaha Pamanahan untuk mengaitkan leluhurnya  dengan Rake Sanjaya, sebagai sesama pemuja Dewa Brahma. Memang leluhur raja-raja Majapahit, Ken Arok Sri Rajasa, juga dimitoskan sebagai putra Dewa Brahma yang dilahirkan di kaki Gunung Bromo, Pananggungan Jawa Timur. Tetapi, Gunung Bromo sebagai tempat memuja Dewa Api itu, terlalu jauh dari hutan Mentawis dibanding Gunung Dieng, gunung  tempat di lereng barat dayanya, Rake Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram Hindu yang juga memuja Dewa Api. Tentu saja Ki Gede Pamanahan juga berharap, Kerajaan Mataram Islam akan mampu berkembang menjadi satu-satunya penguasa di Pulau Jawa, sebagaimana juga pernah diraih Kerajaan Mataram Hindu di bawah Rake Sanjaya.

Sejarah memang mencatat akhirnya Kerajaan Mataram Islam dibawah Sultan Agung berhasil menjadi penguasa tanah Pasundan sampai sebelah timur Sungai Citarum. Setelah wilayah Galuh, Sukapura, Sumedang, Tatar Ukur mengakui kekuasaan Sultan Agung, menyusul daerah Purwakarta dan Karawang.


Sebelum daerah Krawang dan sekitarnya jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung, daerah Krawang dan Purwakarta berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Pakuan. Nama Karawang ditemukan dalam catatan seorang Pengelana Pendeta Hindu dari Pajajaran, Bujangga Manik, yang menyebutkan bahwa Karawang pada saat itu merupakan daerah yang makmur. Seorang Pengelana Portugis, Barros yang semapat mengunjungi Pajajaran, menyebutkan bahwa Pajajaran mempunyai enam pelabuhan di Pantai Utara Jawa Barat. Salah satu pelabuhan itu, disamping Banten, Tangerang, Sunda Kalapa, Pamanukan dan Cirebon, adalah Karawang yang diucapkan dengan lidah Portugal jadi Caravam.  Kecuali Cirebon dan Banten, pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Pajajaran yang makmur itu semua berada tidak jauh dari empat muara sungai besar yang mengalir ke Laut Jawa. Pelabuhan Tangerang dimuara Cisadane, Pelabuan Sunda Kalapa dimuara Ciliwung, Pelabuhan Tanjung Karawang di muara Sungai Citarum, dan Pelabuhan Pamanukan dimuara Sungai Cimanuk. 


Cirebon dan Karawang menurut tradisi lokal Cirebon, malah sudah berkembang pada awal abad ke 15 M.  Pada tahun 1420 M, misalnya Syekh Datuk Kahfi sudah mendarat di Muara Jati, dan membangun Pesantren Syekh Datuk Kahfi. Ulama-ulama dari Pasai dan Malaka yang menyusul datang ke Cirebon antara lain, Syekh Quro, yang kemudian pindah ke Karawang dan mendirikan Pesantren Syekh Quro di Karawang. Datang lagi ke Cirebon ulama dari Pasai juga, Syekh Nurjati. Pada akhir akhir abad ke 15 M, Cirebon sudah berada dibawah pengaruh Kerajaan Islam Demak. Karawang dan Sunda Kalapa pada awal abad ke 16 M, masih menjadi pelabuhan penting pengekport tarum, lada dan pala yang merupakan salah satu sumber kemakmuran Kerajaan Pajajaran.


Pada tahun 1511 M, Kerajaan Islam Malaka jatuh ke tangan Portugal. Pedagang-pedagang Islam yang biasa singgah di Malaka merubah jalur pelayarannya, tidak lagi lewat Selat Malaka tetapi lewat Selat Sunda dalam pelayaran mereka menuju Maluku untuk mencari rempah-rempah. Akibatnya Bandar Banten menjadi lebih ramai, dan pedagang-pedagang muslim semakin banyak yang singgah dan bermukim di hampir semua pelabuhan yang ada di Pantai Utara Pulau Jawa. 


Pada tahun 1513 M, Kerajaan Islam Demak mencoba merebut kembali Malaka dari tangan Portugal, tetapi gagal. Kegagalan Demak merebut Malaka dari tangan Portugal, menyebabkan posisi Portugal di mata Pajajaran dan Kediri meningkat. Pajajaran dan Kediri segera membangun aliansi dengan Portugal. Tentu saja kini ganti Demak yang merasa terancam oleh Kediri dan Pajajaran. Demak yang tadinya menghindari konflik dengan Kediri dan Pajajaran, akhirnya merancang program untuk menundukkan Pajajaran dan Kediri. Untuk menundukkan  Pajajaran, Demak mendapat bantuan Sunan Gunungjati dari Cirebon dan Adipati Banyak Belanak dari Kadipaten Pasirluhur yang sudah memeluk Islam pada dasa warsa kedua abad ke-16 M. Kerjasama Pasirluhur dibawah Adipati Banyak Belanak yang bergelar Senapati Mangkubumi I dan Cirebon dibawah Sunan Gunungjati, membawa hasil yang gilang gemiliang. Daerah sebelah timur Citarum, mulai dari Karawang, Tatar Ukur, Sumedang, Galunggung, dan Galuh, berhasil ditundukkan dibawah Kerajaan Islam Demak. Keberhasilan Adipati Banyak Belanak dengan Sunan Gunungjati mengambil alih wilayah sebelah timur Citarum mulai dari Karawang sampai Galuh ditepi Citanduy, karena menurut tradisi lokal, baik Sunan Gunungjati maupun Adipati Banyak Belanak, masih punya hubungan kekerabatan dengan dengan Raja Pajajaran, Sri Baduga Maharaja (1482 -1522 M). 


Tidak lama setelah Sultan Demak III Trenggono (1521 – 1546 M) wafat, terjadi perang saudara antara Kadipaten Pajang dengan Jippang, memperebutkan tahta Demak. Pada tahun 1568 M, Pajang keluar sebagai pemenang. Adiwijaya dari Pajang mengangkat dirinya menjadi Raja Pajang dan mengklaim sebagai pewaris dan penerus Kerajaan Demak. Tetapi Cirebon tidak mau mengakui Pajang, dan Cirebon menyatakan dirinya sebagai Kerajaan merdeka lepas dari Demak dan Pajang. Ketika itu Cirebon sudah menjadi penguasa atas Banten, Sundakelapa yang sudah dirubah menjadi Jayakarta, dan seluruh wilayah di timur Citarum dari Karawang sampai Galuh. 


Sementara itu Adipati Banyak Galeh atau Senapati Mangkubumi II menggantikan kakaknya, Banyak Belanak yang telah wafat ( 1522 M). Dia memindahkan Kadipaten Pasirluhur ke Pasirbatang. Pada saat terjadi konflik Pajang – Jipang, Mangkubumi II bersifat netral.  Akibatnya, setelah Adipati Banyak Galeh wafat, Raja Pajang langsung membubarkan Kadipaten Pasirbatang dan menurunkan statusnya menjadi setingkat Kademangan. Kadipaten paling tua di Lembah Serayu itu dan yang sempat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Timur, akhirnya hanya tinggal namanya saja. 


 Namun Kerajaan Pajang setelah membubarkan Kadipaten Pasirbatang (1568 M) tidak berusia panjang. Kerajaan Mataran segera naik panggung sejarah dan menggantikan. Pajang. Kerajaan Mataram pada awal abad ke-17 M, segera tampil menjadi salah satu penguasa di Pulau Jawa, mulai dari Blambangan di Jawa Timur, sampai Karawang dan wilayah bagian timur Sungai Citarum. Wilayah barat Sungai Citarum, berada dibawah kekuasaan Kerajaan Banten, sementara di Batavia, sejak 1619 M bercokol kekuatan Kompeni yang akan segera menjadi ancaman bagi Banten maupun Mataram.


 Kabupaten Purwakarta.

Daerah Karawang dan Purwakarta yang makmur itu, sejak tahun 1620 M sudah jatuh ditangan Mataram. Penguasa Mataram, Sultan Agung( 1613 – 1645 M), menjadikan wilayah Karawang dan Purwakarta yang subur itu sebagai basis untuk menundukkan Kompeni di Batavia.  Dua kali Sultan Agung mengerahkan orang Jawa dan orang Sunda untuk menaklukkan VOC di Batavia. Tetapi kedua serangan pada tahun 1628 M dan 1629 M itu gagal, karena kuatnya benteng pertahanan VOC yang melindungi Batavia. Tahun 1629 M, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieter Zoon Coen, tiba-tiba meninggal terkena kolera. Mungkin kelelahan karena terus menerus dikepung gabungan orang Sunda dan Jawa yang pantang menyerah, sekalipun kalah dan gagal menaklukkan Kompeni. 


Untuk membendung pengaruh Kompeni ke sebelah timur Citarum, Sultan Agung mengangkat Panembahan Galuh Wirasuta, menjadi penguasa Karawang dan sekitarnya dengan pangkat Wedana. Dia bergelar Wiraperbangsa atau Kertabumi III. Dia berhasil mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, dan Parakansapi. Kertabumi III juga berhasil mengubah Karawang dan sekitarnya menjadi lahan-lahan pertanian yang subur. Setelah sukses membangun benteng pertahanan dan membangun daerah pertanian, dia kembali ke Galuh, dan wafat disana. Sultan Agung kemudian mengangkat putranya, dengan pangkat Adipati Kertabumi IV atau Adipati Singaperbangsa. Sejak itu status daerah Karawang menjadi Kadipaten yang mandiri dengan Ibu Kotanya di Udug-Udug. Adipati Singaperbangsa dilantik oleh Sultan Agung menjadi Adipati Karawang di Kraton Mataram pada tanggal 14 September 1633.  Tanggal 14 September ini kemudian dijadikan Hari Jadi Kabupaten Karawang, sampai sekarang. Pada tahun 1656 M, Sunan Amangkurat I pengganti  Sultan Agung Mataram yang wafat tahun 1645 M, mengangkat putra Kertabumi IV, menjadi Adipati Karawang dengan gelar  RAA.Panatayuda I.  Dia memindahkan Ibu Kota Karawang dari Udug-Udug ke Karawang. 


Pada masa Amangkurat II, seluruh daerah Tanah Pasundan, termasuk Krawang jatuh ke tangan Kompeni, sebagai balas jasa Mataram kepada Kompeni. Saat itu Kompeni berhasil memadamkan Pemberontakan Trunojoyo ( 1677 – 1680 M), dan mengembalikan tahta Mataram kepada Sunan Amangkurat II ( 1680 – 1705 M). 


Sejak jatuh ke tangan Kompeni, Kabupaten Karawang dan wilayah Purwakarta, berada dibawah kendali Pemerintah Belanda di Batavia, sampai Hindia Belanda jatuh ke tangan pemerintah Inggris pada tahun 1811 M. Pemerintah Inggris langsung melikuidasi Kabupaten Karawang dan sejumlah Kabupaten yang lain. Bahkan Kesultanan Banten sudah di bubarkan oleh Gubernur Jendral Daendels (1807 – 1811 M), yang memerintah Hindia Belanda atas nama Perancis dibawah Napoleon Bonaparte. Kesultanan Banten, dibubah menjadi Karesidenan dengan pusatnya di Serang. 


Kekuasaan Inggris atas wilayah Hindia Belanda berakhir pada tahun 1816 M dan kembali menyerahkan wilayah Hindia Belanda kepada Negeri Belanda. Pemerintah Negeri Belanda kemudian mengangkat Van Der Capellen sebagai Gubernur Hindia Belanda Pertama setelah kekuasaan Inggris berakhir. Pada tahun 1820  Van Der Capellen mengeluarkan keputusan menghidupkan kembali Kabupaten Karawang yang berada di sisi timur Sungai Citarum. Sebagai Bupati Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali itu diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri. Beliau kemudian memilih ibukota kabupaten Karawang di Wanayasa. RAA Surianata wafat pada tahun 1827 M. Jenazahnya dimakamkan ditengah pulau Situ Wanayasa yang sangat indah. Kini Wanayasa menjadi Kota Kecamatan yang berada di kaki Gunung Burangrang, dengan lima belas desa. Pengganti RAASurianata adalah putranya, R.A.Suriawinata. 


Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830 ibu kota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih. Konon Sang Bupati ketika itu sedang melakukan survai untuk menemukan sebuah lokasi untuk membangun sebuah kota baru. Tibalah Sang Bupati di suatu desa yang kemudian diberi nama Sindangkasih. Sang Bupati sempat bermalam di desa itu, dan terpukau oleh keramah tamahan penduduknya. Desa itu pun diberi nama Sindangkasih. Dari kata sindang yang artinya mampir. Dan kasih, artinya cinta. Desa tempat Sang Bupati mendapat cinta dan kasih sayang dari penduduknya, yang menyebabkan Sang Bupati merasa betah tinggal di tempat itu. 


Sang Bupati kemudian mengusulkan pemindahan ibu kota kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ternyata Pemerintah Hindia Belanda menyetujui usul Sang Bupati. Keluarlah SK Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juli 1831 nomor 2. Sejak itu rakyat dikerahkan untuk membangun kota baru, dipimpin oleh arsitektur orang Belanda dan Pribumi. Kota baru itu diberi nama Purwakarta. Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud. Konon, Situ Buleud pada awalnya adalah rawa bundar tempat mandi badak yang berhasil disulap jadi situ buatan dan tempat peristirahatan orang-orang Belanda. Kini Situ Buleud yang luasnya 4 ha, berada di tengah-tengah Kota Purwakarta, dan berkembang menjadi obyek wisata yang menarik. Tanggal 20 Juli dijadikan Hari Jadi Kota Purwakarta sampai sekarang ini. 



 Kantor Kabupaten Purwakarta, dibangun tahun 1854 M. Dok.Pribadi Anwar Hadja
Pembangunan awal Kota Purwakarta dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur berupa pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan pendukung pemerintahan yang terus dilanjutkan oleh bupati-bupati penerusnya. Misalnya, pembangunan Gedung Karesidenan, Pendapa, Mesjid Agung, Selokan Gede, dan Sawah Lega. Nama Purwakarta berasal dari kata purwa yang artinya awal dan karta yang artinya hidup atau ramai. Purwakarta artinya kota yang baru didirikan dan menjadi makmur, ramai, hidup, dan berkembang, karena menjadi pusat pemerintahan, yakni Ibu Kota Kabupaten Karawang. 


Sementara itu pada pertengahan abad ke 19 M, tanaman tarum tidak lagi menjadi komoditas ekspor yang menjanjikan. Pemerintah Hindia Belanda mulai menggantinya dengan teh dan kopi. Penyebabnya, ahli-ahli Kimia Jerman berhasil membuat pewarna sintetik yang sukses menggantikan pewarna nabati, termasuk pewarna nabati dari tarum. Pada tahun 1897, pewarna sintetik berhasil diproduksi secara besar-besaran. Karena terbukti pewarna sintetik lebih murah ongkos produksinya dan juga lebih unggul kualitasnya, penggunaan pewarna nabati, termasuk tarum, merosot drastis. Kini kejayaan tarum, tinggal kenangan yang mulai dilupakan. 


Pada jaman kemerdekaan, Kabupaten Karawang dipecah menjadi dua, yakni Kabupaten Karawang Barat beribukota Kecamatan Krawang dan Kabupaten Krawang Timur beribukota di Purwakarta. Pada tahun 1968, Kabupaten Krawang Timur dipecah lagi menjadi dua, yakni Kabupaten Purwakarta dengan Ibukota di Kecamatan Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan Ibu Kota di Kecamatan Subang.


Bupati Purwakarta sekarang, H.Dedi Mulyadi, SH, adalah Bupati Karawang ke-8 setelah pemecahan pada tahun 1968, yaitu pada masa Orde Baru. Beliau terpilih pertama kali menjadi Bupati Purwakarta periode I (2008-2013 ), kemudian terpilih lagi untuk periode II (2013 - 2018). Dibawah kepemimpinannya, Purwakarta mengalamai kemajuan pesat luar biasa yang mencengangkan banyak orang. Karir politiknya terus menanjak, ketika pada 13 April 2016, terpilih secara aklamasi menjadi Ketua DPD Golkar Jawa Barat. Jalan menuju Jabar 1, semakin terbuka bagi pria kelahiran Subang, Jawa Barat pada 45 tahun yang lalu. Karya kreatipnya dan inovasinya, masih terus ditunggu.

Dirgahayu  HUT ke 185  Kota Purwakarta dan HUT ke 48 Kabupaten Purwakarta. Purwakarta Istimewa, maju terus dan Jaya.[Tammat-25-07-2016]