Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 17 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (15)





“Lalu siapa yang sedang dia tunggu?“ tanya prajurit tadi masih tetap penasaran. 

“Ya, siapa lagi kalau bukan kakakmu Sindusari? Hahaha…,“ jawab Sindusari tertawa bangga.

“Ssst. Kakang Sindusari, jangan keras-keras! Bisa gawat kalau Kakang Jigjayuda tahu.Tadi pesan Kakang Jigjayuda, komandan kita, secepatnya kita harus lapor. Biar aku saja yang lapor ya?” tanya salah seorang prajurit.

“Jangan! Kita tangkap sendiri saja maling asmara itu, baru kita bawa ke pos jaga. Biar Kakang Jigjayuda tahu beres saja. Masa kita berlima tidak bisa menangkapnya? Biar aku yang masuk ke kamar Ndara Putri. Kalian berempat mengawal aku dari belakang. Nah, lihat Khandegwilis sudah masuk lagi ke dalam. Yuk, kita ke sana!” Sindusari memberi perintah, mereka berlima melangkah dengan mantap mendekati pintu kamar paling barat itu.  

“Selamat malam, Ndara Putri! Hamba Sindusari, mendapat perintah untuk memeriksa kamar Ndara Putri.” Dari dalam kamar sepi. Tak ada jawaban. Sindusari dan empat anak buahnya gelisah menunggu jawaban.

“Selamat malam, Ndara Putri!” Sindusari mengulangi memberitahu maksud kedatangannya. Tetapi kembali tak ada jawaban. Para prajurit jaga itu semakin tidak sabar.

“Dobrak saja pintunya, Kakang Sindusari!” usul salah seorang prajurit.

“Ndara Putri sedang tidur pulas. Tak mungkin diganggu,” tiba-tiba terdengar suara dari dalam kamar. Bukan suara Sang Dewi, tetapi suara Emban Pengasuh Sang Dewi.

“Khandegwilis! Buka pintu kamar Ndara Putri. Ini Kakang Sindusari!”

“Oh, Kakang Sindusari? Silahkan masuk. Pintu tidak dikunci!”

Sindusari sebenarnya pandai ilmu beladiri. Tetapi kali ini dia lalai. Dia hanya ingat perintah dari Khandegwilis. Wanita cantik, berkulit kuning halus bersih, berbadan gemuk, janda cerai karena suaminya meninggal, tanpa anak. Sindusari sudah beberapa kali mengajaknya nikah. Tetapi masih terus ditolak. Kini wanita itu malah membiarkan dirinya masuk kamar. Pintunya seperti sengaja tidak dikunci. Sindusari lupa bahwa itu kamar Ndara Putri. Yang diingatnya kamar itu adalah kamar Khandegwilis.

Dengan langkah anggun dan gagah Sindusari, Si Kerempeng itu, membuka daun pintu dan melangkah masuk. Tiba-tiba sebuah tendangan maut mengenai ulu hati Sindusari. Tubuh Sindusari yang tinggi dan kurus itu langsung terlempar kembali keluar, jatuh terlentang. Tanpa mengeluarkan suara erangan sedikitpun. Sindusari, Si Kerempeng itu langsung pingsan tak bergerak sedikitpun di teras luar kamar Sang Dewi. Melihat pemimpinnya terkapar, keempat prajurit bertombak itu langsung ciut nyalinya. Mereka tidak berani masuk ke dalam kamar yang pintunya sudah terbuka. Lampu penerang di dalam kamar sudah dimatikan, sehingga kamar menjadi gelap. Khawatir terjadi keributan di dalam kamar, Kamandaka membuat loncatan salto keluar kamar. Tubuhnya melenting bagaikan seekor kelelawar raksasa terbang keluar dari dalam kamar, melewati keempat prajurit pemegang tombak.

Kamandaka mendarat tepat di atas rumput di halaman Taman Kaputren, berdiri tegak dalam posisi kuda-kuda monyet menari. Dengan jurus monyet menari, berarti Kamandaka akan menggunakan gerakan-gerakan lincah dan indah untuk melumpuhkan musuhnya yang hanya berjumlah empat orang itu. Sebagai ksatria Pajajaran, Kamandaka memang menguasai banyak jurus dalam ilmu seni bela diri. Misalnya jurus harimau menerkam mangsa, jurus bangau terbang rendah dan lainnya lagi. Di lingkungan prajurit Kerajaan Pajajaran Kamandaka dikenal sebagai Pendekar Monyet Putih. Keempat prajurit bertombak itu kini mengepung Kamandaka. Tetapi karena malam hanya disinari bintang-bintang di langit, keempat prajurit itu tidak bisa melihat wajah orang yang hendak mereka tangkap. Mereka hanya mampu melihat bayangan sosok dalam gelap.

“Heh, pencuri! Menyerahlah sebelum dadamu sobek oleh ujung tombak prajurit Kadipaten Pasirluhur!” ancam salah seorang prajurit. 

Kamandaka tak menjawab. Tiba-tiba salah seorang prajurit maju menusukkan tombaknya dengan sekuat tenaga. Dengan mudah Kamandaka berkelit ke kanan. Ujung tombak lewat, nyaris menyentuh pinggang Kamandaka. Prajurit tadi terbawa maju mendekati Kamandaka yang segera memanfaatkan kesempatan yang ada. Kamandaka meloncat sambil melepaskan tendangan tepat mendarat di telinga kanan prajurit. Terkena tendangan di telinga kanan, keseimbangannya langsung hilang. Prajurit tadi langsung tersungkur mencium tanah. Ujung tombak yang lain datang menyusul. Kali ini mengarah ke leher Kamandaka. Kamandaka cepat membungkuk dan ujung tombak lewat di atasnya. Kamandaka melepaskan tendangan mautnya dari bawah tepat mengenai dada prajurit yang menyerangnya. Prajurit ini langsung roboh ke tanah tak berkutik. Kembali ujung sebuah tombak mengarah lambung Kamandaka. Dengan mudah Kamandaka berkelit, tangkai tombak berhasil ditangkap dan ditariknya. Prajurit pemegang tombak tertarik mendekati Kamandaka. Kamandaka  segera menyambutnya dengan ujung lutut kaki kanan yang langsung bersarang di pangkal paha prajurit. Prajurit itu menjerit kesakitan terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Tinggal seorang prajurit saja yang tentu saja sangat ketakutan. Dia melemparkan tombaknya dan lari meninggalkan gelanggang seraya berteriak-teriak minta tolong prajurit jaga yang tengah berkumpul di gardu pintu depan. Prajurit tadi lari melewati sebuah lorong menuju taman bangsal Pancaniti. 

Lorong itu adalah jalan keluar meninggalkan Taman Kaputren menuju taman bangsal Pancaniti. Kamandaka pun harus keluar melewati lorong itu. Dengan tiga kali loncatan Kamandaka sudah mampu mengejar prajurit yang lari sambil berteriak-teriak meminta tolong itu. Pada loncatan ketiga, Kamandaka sudah mendarat tepat di belakang prajurit yang tengah lari mencapai ujung lorong gelap itu. Kamandaka melakukan loncatan harimau. Ujung kaki prajurit yang tengah lari itu berhasil ditangkapnya, langsung jatuh terguling di tanah dan Kamandaka segera menindihnya dari atas. Siku Kamandaka segera mengunci leher prajurit itu dan siap mematahkannya. Tapi prajurit itu dengan napas tersengal-sengal minta ampun. Akhirnya dengan hanya satu kali tamparan di mulutnya, prajurit itu terdiam tak bekutik, pingsan seketika.

Sementara itu, hampir seluruh prajurit jaga malam di gardu jaga dan tengah tidur-tiduran di lantai pendapa, terbangun begitu mendengar suara teriakan meminta tolong. Komandan jaga Jigjayuda langsung memimpin anak buahnya dengan bersenjata lengkap menuju Taman Kaputren. Dia segera tahu pastilah kelima prajurit yang ditugaskan untuk mengintai pencuri di Taman Kaputren itu bertindak ceroboh.

“Dasar tolol, Si Kerempeng! Kenapa dia bertindak sendiri dan tidak lapor kepadaku? Akibatnya begini ini. Ingin naik pangkat, tapi ceroboh. Dasar Kerempeng tolol. Mana mau Khandegwilis punya suami tolol seperti itu?” Jigjayuda dalam hati menggerutu, sambil bergegas melangkah siap-siap hendak menangkap pencuri yang berhasil masuk Taman Kaputren.

Malam itu Dalem Kadipaten dijaga oleh dua puluh orang prajurit jaga. Lima prajurit sudah ditugaskan ke Taman Kaputren. Kini prajurit tersisa tinggal lima belas orang. Komandan jaga membawa dua belas orang prajurit bersenjata lengkap, sementara tiga orang lagi ditugaskan berjaga di pintu gerbang depan untuk menutup jalan ke luar bagi pencuri. Ketika Komandan jaga Jigjayuda sudah sampai di halaman bangsal Pancaniti, dilihatnya sebuah sosok berkelebat menuju lapangan terbuka di tengah taman bangsal Pancaniti. Kamandaka kembali berdiri dengan kuda-kuda harimau menangkap mangsa. Hal itu menunjukkan Kamandaka ingin menyelesaikan pertarungan dengan cepat, mengingat fajar pagi tidak lama lagi akan segera datang. 

“He, Pencuri! Sebutkan siapa namamu dan dari mana asalmu, sebelum engkau menjadi mayat, agar aku mudah mengurus jasadmu!” kata Jigjayuda. 

Karena Kamandaka tidak menjawab, Jigjayuda memberi komando agar menangkap sosok yang berada dalam gelap itu dengan cara melakukan pengepungan menggunakan ujung tombak. Dua belas orang prajurit segera mengepung Kamandaka dengan membentuk formasi melingkar rapat. Ujung tombak diarahkan kepada Kamandaka.

“Maju!” Jigjayuda memberi komando. Sekarang dua belas mata tombak mengarah kepada Kamandaka yang berada di pusat kepungan. Makin lama, ujung tombak semakin dekat, dan ruang lingkaran pengepungan juga semakin sempit. Mereka sebenarnya ingin menangkap pencuri itu hidup-hidup. 

Tidak mudah bagi Kamandaka meloloskan kepungan tanpa harus melukai pengepungnya. Terpaksa Kamandaka mengeluarkan senjata kujang pusaka yang terselip di pinggangnya. Di tangannya, pusaka kujang itu berputar-putar bagaikan baling-baling. Di tengah kegelapan kujang pusaka yang berputar-putar itu mengeluarkan cahaya kuning berpendaran melindungi Kamandaka. Para prajurit pengepung, termasuk komandan jaga terpukau melihat senjata seperti keris itu bisa berputar-putar mirip baling-baling. Ketika para prajurit masih terpukau itulah, Kamandaka melakukan loncatan harimau meloloskan diri dari kepungan. Loncatannya begitu cepat sehingga para prajurit tak sempat menggunakan tombaknya.

Ketika melewati kepala beberapa prajurit Kamandaka mengibaskan kujang pusaka yang ada di genggaman tangan kanannya. Sekali tebas tiga leher prajurit pengepung terluka, membuat mereka langsung tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah. Kini Kamandaka sudah lolos dari kepungan. Prajurit tersisa mencoba mengejarnya. Sebenarnya bagi Kamandaka amatlah mudah untuk membunuh mereka semua. Tetapi dia merasa tidak sampai hati. Sebab yang penting baginya kini adalah secepatnya meninggalkan halaman bangsal Pancaniti, mengingat para penghuni Dalem Kadipaten sudah berdatangan sambil membawa obor. 

Mereka berdatangan karena sempat mendengar teriakan-teriakan prajurit meminta tolong. Jika semakin banyak orang berkumpul dan mereka mengepungnya, bukan saja Kamandaka semakin sulit meloloskan diri. Tetapi korban Pusaka Kujang Pajajaran yang ada di tangannya dapat dipastikan akan  semakin banyak. Karena itu Kamandaka segera memilih menghindar dengan melentingkan tubuhnya ke atas tangkal pohon jambu. Dari sana dia meloncat ke atas atap bangunan bangsal Pancaniti. Sebelum meloncat keluar melewati tembok, dari atas atap Kamandaka berteriak lantang.

“Hai, para prajurit pengawal Kadipaten Pasirluhur! Ketahuilah, aku bukanlah penjahat yang hendak mencuri harta benda Dalem Kadipaten Pasirluhur. Tetapi hatiku memang telah tercuri oleh kecantikan paras Sang Dewi. Tangkaplah aku jika engkau memang para prajurit perkasa dari Kadipaten Pasirluhur. Inilah aku, Kamandaka, putra Ki Reksanata, Patih Kadipaten Pasirluhur!”

Selesai mengucapkan kata sesumbar, Kamandaka kembali melentingkan tubuhnya meloncati tembok dan menghilang dalam gelap, sampai di tanah berumput. Dari sana Kamandaka bergerak ke barat memasuki Tamansari, sampai akhirnya Kamdaka tiba di batas sisi paling barat. Tempat itu tidak asing baginya, sebab tempat itu berada di tepi Sungai Logawa yang dibatasi rumpun bambu dan pohon elo. Di situlah biasanya pada siang hari Sang Dewi beserta pengasuhnya sering menikmati keindahan Sungai Logawa. 

Kamandaka tidak mungkin berlama-lama di situ. Sebab sebentar lagi pastilah prajurit yang mengejarnya akan tiba di Tamansari. Karena itu Kamandaka bergegas keluar menerobos pagar tanaman bambu yang cukup rimbun. Pengalamannya beberapa kali keluar masuk hutan di sekitar Keraton Pakuan Pajajaran menyebabkan Kamandaka dengan mudah meninggalkan Tamansari, berjalan ke utara arah hulu Sungai Logawa.

Fajar pagi mulai menyingsing, bayang-bayang permukaan air Sungai Logawa semakin tampak jelas terlihat. Perjalanan Kamandaka ke arah utara akhirnya tiba di bawah pohon trengguli yang cukup besar. Di bawahnya ada lubang menganga menghadap ke arah barat, menghadap bibir sungai. Suatu tempat yang nyaman untuk istirahat bagi para penjelajah hutan. Di situlah Kamandaka merebahkan dirinya. Dan dalam waktu singkat, Kamandaka sudah tertidur pulas, karena memang sepanjang malam tidak tidur. Tentu saja yang diharapkan dalam tidurnya adalah mimpi bercumbu dan bermain asmara dengan Sang Dewi pujaan hatinya yang ditinggalnya di atas tempat tidur. Sang Dewi Pujaannya itu bisa jadi masih dalam keadaan tidur pulas.
***
Dua hari dua malam telah dilewati Kamandaka dengan bersembunyi di bawah pohon trengguli. Pagi itu sudah memasuki hari ketiga. Memang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa menemukan tempat persembunyiannya itu. Kamandaka sendiri sudah terlatih hidup berhari-hari di hutan, sehingga sekalipun harus bersembunyi berminggu-minggu, dia akan tetap bisa bertahan hidup. Jika lapar tinggal masuk hutan di sisi timur tidak jauh dari pohon    besar itu. Di dalam hutan banyak bahan makanan berupa umbi-umbian yang banyak sekali jenisnya seperti uwi, sluweg, ganyong, ketela rambat, singkong, pepaya, pisang, tebu, pohon aren, pohon kelapa, dan tanaman bahan makanan lainnya. Belum aneka macam buah-buahan yang tumbuh liar di dalam hutan. Semua itu dengan mudah bisa diperoleh Kamandaka.

Bagi Kamandaka, hutan di sepanjang Sungai Logawa tidak kalah suburnya dengan hutan-hutan di sepanjang sungai Ciliwung, maupun hutan-hutan di lereng gunung Salak dan Gunung Gede. Bedanya hutan di sepanjang Sungai Ciliwung banyak ditumbuhi pohon pala. Sedang di sepanjang Sungai Logawa, Kamandaka tidak pernah menjumpai pohon pala.

Terpikir oleh Kamandaka andai kata Tuhan Yang Maha Kuasa, mentakdirkannya tinggal di Pasirluhur, dia akan bawa bibit pohon pala dan lada dari Keraton Pajajaran, lalu membagikannya pada penduduk dan menyuruh mereka ramai-ramai menanam  di kanan dan kiri Sungai Logawa yang subur itu. Dan di ladang-ladang penduduk bisa ditanami lada. Niscaya Kadipaten Pasirluhur akan menjadi kadipaten yang bukan hanya menjadi lumbung beras. Tetapi juga bisa menjadi lumbung pala dan lada.

Jika ayah dan kakeknya bisa membangun Kerajaan Pajajaran di Pakuan hanya dengan mendorong penduduk menanam lada dan pala, niscaya dia pun akan bisa memakmurkan Kadipaten Pasirluhur dengan mendorong penduduknya menanam beras yang sudah jadi komoditas andalan penduduk di sekitar Sungai Logawa ditambah menanam pala dan lada. Terbayang di benak Kamandaka perahu-perahu akan lalu lalang dari hulu Sungai Logawa membawa berpikul-pikul beras, lada, dan pala, menuju Sungai Ciserayu, terus menuju hilir dan akan berakhir di muaranya di Teluk Penyu di muka Pulau Nusakambangan. Terbayang oleh Kamandaka di muara Sungai Ciserayu, bisa dibangun menjadi bandar besar sebagaimana bandar Kalapa di muara Sungai Ciliwung. Ya, Sungai Logawa adalah Sungai Ciliwungnya Kadipaten Pasirluhur, pikir Kamandaka dalam lamunannya.

Pagi itu Kamandaka memasuki hari ketiga dalam pelariannya menghindari kejaran prajurit Kadipaten Pasirluhur. Pada saat-saat seperti itu, dia lupa bahwa dirinya adalah putra mahkota Kerajaan Pajajaran yang kewajibannya kelak tinggal di Pakuan Pajajaran. Bukan di Kadipaten Pasirluhur. Ingatannya pada gadis pujaan hati beserta kenangannya akan malam singkat dan indah di kamar bersama Sang Dewi, menyebabkan dia enggan meninggalkan Kadipaten Pasirluhur.

Diam-diam dia terus berpikir bagaimana nasib Sang Dewi sepeninggalnya dari kamar, terutama setelah bangun dari tidurnya yang pulas? Akankah Sang Dewi melupakan dirinya atau akan selalu mengenangnya? Pastilah Sang Dewi amat kecewa karena ajakannya untuk bermain asmara sampai ke puncak bukit cinta malam itu ditolaknya dengan halus.Tiba-tiba Kamandaka ingat selendang kuning pemberian Sang Dewi yang kini masih melilit di pinggangnya. Dirabanya selendang kuning itu dan diusap-usapnya, seakan-akan tengah mengusap-usap punggung Sang Dewi.

“Pastilah Dinda Dewi akan terkejut jika sudah bangun, lebih-lebih bila mengetahui banyaknya prajurit yang terluka malam itu. Pastilah dia akan menerima murka Sang Adipati,” renung Kamandaka sambil merebahkan diri di bawah pohon trengguli, memandangi Sungai Logawa yang airnya tenang mengalir menyusuri lembahnya menuju hilir.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar