“Lalu siapa yang sedang
dia tunggu?“ tanya prajurit tadi masih tetap penasaran.
“Ya, siapa lagi kalau
bukan kakakmu Sindusari? Hahaha…,“ jawab Sindusari tertawa bangga.
“Ssst. Kakang
Sindusari, jangan keras-keras! Bisa gawat kalau Kakang Jigjayuda tahu.Tadi
pesan Kakang Jigjayuda, komandan kita, secepatnya kita harus lapor. Biar aku
saja yang lapor ya?” tanya salah seorang prajurit.
“Jangan! Kita tangkap
sendiri saja maling asmara itu, baru kita bawa ke pos jaga. Biar Kakang
Jigjayuda tahu beres saja. Masa kita berlima tidak bisa menangkapnya? Biar aku
yang masuk ke kamar Ndara Putri. Kalian berempat mengawal aku dari belakang.
Nah, lihat Khandegwilis sudah masuk lagi ke dalam. Yuk, kita ke sana!”
Sindusari memberi perintah, mereka berlima melangkah dengan mantap mendekati
pintu kamar paling barat itu.
“Selamat malam, Ndara
Putri! Hamba Sindusari, mendapat perintah untuk memeriksa kamar Ndara Putri.” Dari
dalam kamar sepi. Tak ada jawaban. Sindusari dan empat anak buahnya gelisah
menunggu jawaban.
“Selamat malam, Ndara
Putri!” Sindusari mengulangi memberitahu maksud kedatangannya. Tetapi kembali
tak ada jawaban. Para prajurit jaga itu semakin tidak sabar.
“Dobrak saja pintunya,
Kakang Sindusari!” usul salah seorang prajurit.
“Ndara Putri sedang
tidur pulas. Tak mungkin diganggu,” tiba-tiba terdengar suara dari dalam kamar.
Bukan suara Sang Dewi, tetapi suara Emban Pengasuh Sang Dewi.
“Khandegwilis! Buka
pintu kamar Ndara Putri. Ini Kakang Sindusari!”
“Oh, Kakang Sindusari?
Silahkan masuk. Pintu tidak dikunci!”
Sindusari sebenarnya
pandai ilmu beladiri. Tetapi kali ini dia lalai. Dia hanya ingat perintah dari Khandegwilis.
Wanita cantik, berkulit kuning halus bersih, berbadan gemuk, janda cerai karena
suaminya meninggal, tanpa anak. Sindusari sudah beberapa kali mengajaknya nikah.
Tetapi masih terus ditolak. Kini wanita itu malah membiarkan dirinya masuk
kamar. Pintunya seperti sengaja tidak dikunci. Sindusari lupa bahwa itu kamar
Ndara Putri. Yang diingatnya kamar itu adalah kamar Khandegwilis.
Dengan langkah anggun
dan gagah Sindusari, Si Kerempeng itu, membuka daun pintu dan melangkah masuk.
Tiba-tiba sebuah tendangan maut mengenai ulu hati Sindusari. Tubuh Sindusari
yang tinggi dan kurus itu langsung terlempar kembali keluar, jatuh terlentang.
Tanpa mengeluarkan suara erangan sedikitpun. Sindusari, Si Kerempeng itu langsung
pingsan tak bergerak sedikitpun di teras luar kamar Sang Dewi. Melihat
pemimpinnya terkapar, keempat prajurit bertombak itu langsung ciut nyalinya.
Mereka tidak berani masuk ke dalam kamar yang pintunya sudah terbuka. Lampu
penerang di dalam kamar sudah dimatikan, sehingga kamar menjadi gelap. Khawatir
terjadi keributan di dalam kamar, Kamandaka membuat loncatan salto keluar kamar.
Tubuhnya melenting bagaikan seekor kelelawar raksasa terbang keluar dari dalam
kamar, melewati keempat prajurit pemegang tombak.
Kamandaka mendarat
tepat di atas rumput di halaman Taman Kaputren, berdiri tegak dalam posisi
kuda-kuda monyet menari. Dengan jurus monyet menari, berarti Kamandaka akan
menggunakan gerakan-gerakan lincah dan indah untuk melumpuhkan musuhnya yang
hanya berjumlah empat orang itu. Sebagai ksatria Pajajaran, Kamandaka memang menguasai
banyak jurus dalam ilmu seni bela diri. Misalnya jurus harimau menerkam mangsa,
jurus bangau terbang rendah dan lainnya lagi. Di lingkungan prajurit Kerajaan
Pajajaran Kamandaka dikenal sebagai Pendekar Monyet Putih. Keempat prajurit
bertombak itu kini mengepung Kamandaka. Tetapi karena malam hanya disinari
bintang-bintang di langit, keempat prajurit itu tidak bisa melihat wajah orang
yang hendak mereka tangkap. Mereka hanya mampu melihat bayangan sosok dalam
gelap.
“Heh, pencuri!
Menyerahlah sebelum dadamu sobek oleh ujung tombak prajurit Kadipaten
Pasirluhur!” ancam salah seorang prajurit.
Kamandaka tak menjawab.
Tiba-tiba salah seorang prajurit maju menusukkan tombaknya dengan sekuat
tenaga. Dengan mudah Kamandaka berkelit ke kanan. Ujung tombak lewat, nyaris
menyentuh pinggang Kamandaka. Prajurit tadi terbawa maju mendekati Kamandaka yang
segera memanfaatkan kesempatan yang ada. Kamandaka meloncat sambil melepaskan
tendangan tepat mendarat di telinga kanan prajurit. Terkena tendangan di
telinga kanan, keseimbangannya langsung hilang. Prajurit tadi langsung
tersungkur mencium tanah. Ujung tombak yang lain datang menyusul. Kali ini
mengarah ke leher Kamandaka. Kamandaka cepat membungkuk dan ujung tombak lewat
di atasnya. Kamandaka melepaskan tendangan mautnya dari bawah tepat mengenai
dada prajurit yang menyerangnya. Prajurit ini langsung roboh ke tanah tak
berkutik. Kembali ujung sebuah tombak mengarah lambung Kamandaka. Dengan mudah
Kamandaka berkelit, tangkai tombak berhasil ditangkap dan ditariknya. Prajurit
pemegang tombak tertarik mendekati Kamandaka. Kamandaka segera menyambutnya dengan ujung lutut kaki
kanan yang langsung bersarang di pangkal paha prajurit. Prajurit itu menjerit
kesakitan terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Tinggal seorang prajurit saja yang tentu
saja sangat ketakutan. Dia melemparkan tombaknya dan lari meninggalkan
gelanggang seraya berteriak-teriak minta tolong prajurit jaga yang tengah
berkumpul di gardu pintu depan. Prajurit tadi lari melewati sebuah lorong
menuju taman bangsal Pancaniti.
Lorong itu adalah jalan
keluar meninggalkan Taman Kaputren menuju taman bangsal Pancaniti. Kamandaka
pun harus keluar melewati lorong itu. Dengan tiga kali loncatan Kamandaka sudah
mampu mengejar prajurit yang lari sambil berteriak-teriak meminta tolong itu.
Pada loncatan ketiga, Kamandaka sudah mendarat tepat di belakang prajurit yang tengah
lari mencapai ujung lorong gelap itu. Kamandaka melakukan loncatan harimau.
Ujung kaki prajurit yang tengah lari itu berhasil ditangkapnya, langsung jatuh
terguling di tanah dan Kamandaka segera menindihnya dari atas. Siku Kamandaka segera
mengunci leher prajurit itu dan siap mematahkannya. Tapi prajurit itu dengan
napas tersengal-sengal minta ampun. Akhirnya dengan hanya satu kali tamparan di
mulutnya, prajurit itu terdiam tak bekutik, pingsan seketika.
Sementara itu, hampir
seluruh prajurit jaga malam di gardu jaga dan tengah tidur-tiduran di lantai
pendapa, terbangun begitu mendengar suara teriakan meminta tolong. Komandan
jaga Jigjayuda langsung memimpin anak buahnya dengan bersenjata lengkap menuju Taman
Kaputren. Dia segera tahu pastilah kelima prajurit yang ditugaskan untuk
mengintai pencuri di Taman Kaputren itu bertindak ceroboh.
“Dasar tolol, Si
Kerempeng! Kenapa dia bertindak sendiri dan tidak lapor kepadaku? Akibatnya
begini ini. Ingin naik pangkat, tapi ceroboh. Dasar Kerempeng tolol. Mana mau Khandegwilis
punya suami tolol seperti itu?” Jigjayuda dalam hati menggerutu, sambil
bergegas melangkah siap-siap hendak menangkap pencuri yang berhasil masuk Taman
Kaputren.
Malam itu Dalem
Kadipaten dijaga oleh dua puluh orang prajurit jaga. Lima prajurit sudah
ditugaskan ke Taman Kaputren. Kini prajurit tersisa tinggal lima belas orang.
Komandan jaga membawa dua belas orang prajurit bersenjata lengkap, sementara tiga
orang lagi ditugaskan berjaga di pintu gerbang depan untuk menutup jalan ke
luar bagi pencuri. Ketika Komandan jaga Jigjayuda sudah sampai di halaman
bangsal Pancaniti, dilihatnya sebuah sosok berkelebat menuju lapangan terbuka
di tengah taman bangsal Pancaniti. Kamandaka kembali berdiri dengan kuda-kuda
harimau menangkap mangsa. Hal itu menunjukkan Kamandaka ingin menyelesaikan
pertarungan dengan cepat, mengingat fajar pagi tidak lama lagi akan segera
datang.
“He, Pencuri! Sebutkan
siapa namamu dan dari mana asalmu, sebelum engkau menjadi mayat, agar aku mudah
mengurus jasadmu!” kata Jigjayuda.
Karena Kamandaka tidak
menjawab, Jigjayuda memberi komando agar menangkap sosok yang berada dalam
gelap itu dengan cara melakukan pengepungan menggunakan ujung tombak. Dua belas
orang prajurit segera mengepung Kamandaka dengan membentuk formasi melingkar
rapat. Ujung tombak diarahkan kepada Kamandaka.
“Maju!” Jigjayuda
memberi komando. Sekarang dua belas mata tombak mengarah kepada Kamandaka yang
berada di pusat kepungan. Makin lama, ujung tombak semakin dekat, dan ruang lingkaran
pengepungan juga semakin sempit. Mereka sebenarnya ingin menangkap pencuri itu
hidup-hidup.
Tidak mudah bagi
Kamandaka meloloskan kepungan tanpa harus melukai pengepungnya. Terpaksa
Kamandaka mengeluarkan senjata kujang pusaka yang terselip di pinggangnya. Di tangannya,
pusaka kujang itu berputar-putar bagaikan baling-baling. Di tengah kegelapan
kujang pusaka yang berputar-putar itu mengeluarkan cahaya kuning berpendaran
melindungi Kamandaka. Para prajurit pengepung, termasuk komandan jaga terpukau
melihat senjata seperti keris itu bisa berputar-putar mirip baling-baling.
Ketika para prajurit masih terpukau itulah, Kamandaka melakukan loncatan
harimau meloloskan diri dari kepungan. Loncatannya begitu cepat sehingga para
prajurit tak sempat menggunakan tombaknya.
Ketika melewati kepala
beberapa prajurit Kamandaka mengibaskan kujang pusaka yang ada di genggaman
tangan kanannya. Sekali tebas tiga leher prajurit pengepung terluka, membuat
mereka langsung tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah. Kini
Kamandaka sudah lolos dari kepungan. Prajurit tersisa mencoba mengejarnya.
Sebenarnya bagi Kamandaka amatlah mudah untuk membunuh mereka semua. Tetapi dia
merasa tidak sampai hati. Sebab yang penting baginya kini adalah secepatnya meninggalkan
halaman bangsal Pancaniti, mengingat para penghuni Dalem Kadipaten sudah
berdatangan sambil membawa obor.
Mereka berdatangan
karena sempat mendengar teriakan-teriakan prajurit meminta tolong. Jika semakin
banyak orang berkumpul dan mereka mengepungnya, bukan saja Kamandaka semakin
sulit meloloskan diri. Tetapi korban Pusaka Kujang Pajajaran yang ada di
tangannya dapat dipastikan akan semakin
banyak. Karena itu Kamandaka segera memilih menghindar dengan melentingkan
tubuhnya ke atas tangkal pohon jambu. Dari sana dia meloncat ke atas atap
bangunan bangsal Pancaniti. Sebelum meloncat keluar melewati tembok, dari atas
atap Kamandaka berteriak lantang.
“Hai, para prajurit
pengawal Kadipaten Pasirluhur! Ketahuilah, aku bukanlah penjahat yang hendak
mencuri harta benda Dalem Kadipaten Pasirluhur. Tetapi hatiku memang telah
tercuri oleh kecantikan paras Sang Dewi. Tangkaplah aku jika engkau memang para
prajurit perkasa dari Kadipaten Pasirluhur. Inilah aku, Kamandaka, putra Ki
Reksanata, Patih Kadipaten Pasirluhur!”
Selesai mengucapkan kata
sesumbar, Kamandaka kembali melentingkan tubuhnya meloncati tembok dan
menghilang dalam gelap, sampai di tanah berumput. Dari sana Kamandaka bergerak
ke barat memasuki Tamansari, sampai akhirnya Kamdaka tiba di batas sisi paling
barat. Tempat itu tidak asing baginya, sebab tempat itu berada di tepi Sungai
Logawa yang dibatasi rumpun bambu dan pohon elo. Di situlah biasanya pada siang
hari Sang Dewi beserta pengasuhnya sering menikmati keindahan Sungai Logawa.
Kamandaka tidak mungkin
berlama-lama di situ. Sebab sebentar lagi pastilah prajurit yang mengejarnya
akan tiba di Tamansari. Karena itu Kamandaka bergegas keluar menerobos pagar
tanaman bambu yang cukup rimbun. Pengalamannya beberapa kali keluar masuk hutan
di sekitar Keraton Pakuan Pajajaran menyebabkan Kamandaka dengan mudah
meninggalkan Tamansari, berjalan ke utara arah hulu Sungai Logawa.
Fajar pagi mulai
menyingsing, bayang-bayang permukaan air Sungai Logawa semakin tampak jelas
terlihat. Perjalanan Kamandaka ke arah utara akhirnya tiba di bawah pohon
trengguli yang cukup besar. Di bawahnya ada lubang menganga menghadap ke arah
barat, menghadap bibir sungai. Suatu tempat yang nyaman untuk istirahat bagi
para penjelajah hutan. Di situlah Kamandaka merebahkan dirinya. Dan dalam waktu
singkat, Kamandaka sudah tertidur pulas, karena memang sepanjang malam tidak
tidur. Tentu saja yang diharapkan dalam tidurnya adalah mimpi bercumbu dan
bermain asmara dengan Sang Dewi pujaan hatinya yang ditinggalnya di atas tempat
tidur. Sang Dewi Pujaannya itu bisa jadi masih dalam keadaan tidur pulas.
***
Dua hari dua malam
telah dilewati Kamandaka dengan bersembunyi di bawah pohon trengguli. Pagi itu
sudah memasuki hari ketiga. Memang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa menemukan
tempat persembunyiannya itu. Kamandaka sendiri sudah terlatih hidup
berhari-hari di hutan, sehingga sekalipun harus bersembunyi berminggu-minggu,
dia akan tetap bisa bertahan hidup. Jika lapar tinggal masuk hutan di sisi
timur tidak jauh dari pohon besar
itu. Di dalam hutan banyak bahan makanan berupa umbi-umbian yang banyak sekali
jenisnya seperti uwi, sluweg, ganyong, ketela rambat, singkong, pepaya, pisang,
tebu, pohon aren, pohon kelapa, dan tanaman bahan makanan lainnya. Belum aneka
macam buah-buahan yang tumbuh liar di dalam hutan. Semua itu dengan mudah bisa
diperoleh Kamandaka.
Bagi Kamandaka, hutan
di sepanjang Sungai Logawa tidak kalah suburnya dengan hutan-hutan di sepanjang
sungai Ciliwung, maupun hutan-hutan di lereng gunung Salak dan Gunung Gede.
Bedanya hutan di sepanjang Sungai Ciliwung banyak ditumbuhi pohon pala. Sedang
di sepanjang Sungai Logawa, Kamandaka tidak pernah menjumpai pohon pala.
Terpikir oleh Kamandaka
andai kata Tuhan Yang Maha Kuasa, mentakdirkannya tinggal di Pasirluhur, dia
akan bawa bibit pohon pala dan lada dari Keraton Pajajaran, lalu membagikannya
pada penduduk dan menyuruh mereka ramai-ramai menanam di kanan dan kiri Sungai Logawa yang subur itu.
Dan di ladang-ladang penduduk bisa ditanami lada. Niscaya Kadipaten Pasirluhur
akan menjadi kadipaten yang bukan hanya menjadi lumbung beras. Tetapi juga bisa
menjadi lumbung pala dan lada.
Jika ayah dan kakeknya
bisa membangun Kerajaan Pajajaran di Pakuan hanya dengan mendorong penduduk
menanam lada dan pala, niscaya dia pun akan bisa memakmurkan Kadipaten
Pasirluhur dengan mendorong penduduknya menanam beras yang sudah jadi komoditas
andalan penduduk di sekitar Sungai Logawa ditambah menanam pala dan lada. Terbayang
di benak Kamandaka perahu-perahu akan lalu lalang dari hulu Sungai Logawa
membawa berpikul-pikul beras, lada, dan pala, menuju Sungai Ciserayu, terus
menuju hilir dan akan berakhir di muaranya di Teluk Penyu di muka Pulau
Nusakambangan. Terbayang oleh Kamandaka di muara Sungai Ciserayu, bisa dibangun
menjadi bandar besar sebagaimana bandar Kalapa di muara Sungai Ciliwung. Ya,
Sungai Logawa adalah Sungai Ciliwungnya Kadipaten Pasirluhur, pikir Kamandaka
dalam lamunannya.
Pagi itu Kamandaka memasuki
hari ketiga dalam pelariannya menghindari kejaran prajurit Kadipaten
Pasirluhur. Pada saat-saat seperti itu, dia lupa bahwa dirinya adalah putra
mahkota Kerajaan Pajajaran yang kewajibannya kelak tinggal di Pakuan Pajajaran.
Bukan di Kadipaten Pasirluhur. Ingatannya pada gadis pujaan hati beserta
kenangannya akan malam singkat dan indah di kamar bersama Sang Dewi,
menyebabkan dia enggan meninggalkan Kadipaten Pasirluhur.
Diam-diam dia terus
berpikir bagaimana nasib Sang Dewi sepeninggalnya dari kamar, terutama setelah
bangun dari tidurnya yang pulas? Akankah Sang Dewi melupakan dirinya atau akan
selalu mengenangnya? Pastilah Sang Dewi amat kecewa karena ajakannya untuk
bermain asmara sampai ke puncak bukit cinta malam itu ditolaknya dengan halus.Tiba-tiba Kamandaka
ingat selendang kuning pemberian Sang Dewi yang kini masih melilit di
pinggangnya. Dirabanya selendang kuning itu dan diusap-usapnya, seakan-akan
tengah mengusap-usap punggung Sang Dewi.
“Pastilah Dinda Dewi
akan terkejut jika sudah bangun, lebih-lebih bila mengetahui banyaknya prajurit
yang terluka malam itu. Pastilah dia akan menerima murka Sang Adipati,” renung Kamandaka
sambil merebahkan diri di bawah pohon trengguli, memandangi Sungai Logawa yang
airnya tenang mengalir menyusuri lembahnya menuju hilir.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar