Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 31 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (30)





“Siapa nama jawara Tumenggung Silihwarna yang akan melawan si Mercu?“ tanya Rekajaya pada kedua tamunya itu.

“Gelapngampar.”

“Oh, Gelapngampar, bagus namanya. Si Mercu adalah Sang Juara, bukan? Dia hanya mau melayani Gelapngampar dengan syarat 2-1. Dua bau sawah untuk si Mercu dan 1 bau sawah untuk si Gelapngampar.”  

Kedua utusan itu saling berpandangan. Syarat itu bukan saja tidak lazim. Tetapi sebenarnya satu bentuk penghinaan kepada Tumenggung Silihwarna. Karena jika si Mercu kalah, hanya cukup menyerahkan satu bau sawah. Sebaliknya jika si Gelapngampar yang kalah, harus menyerahkan dua bau sawah.

“Apakah tidak bisa ditawar? Itu permainan tidak adil dan tidak lazim,” salah seorang utusan itu mencoba menawar.

“Sudah harga mati. Saya tunggu sampai besok. Bila besok tidak ada berita, berarti Tumenggung Silihwarna sudah kalah dengan sendirinya oleh Ki Sulap Pangebatan,” jawab Rekajaya.

Dengan bersungut-sungut kedua utusan itu tak bisa berkutik. ”Kami berdua hanya utusan. Pesan Ki Sulap Pangebatan akan kami sampaikan kepada Tumenggung Silihwarna. Kalau Tumenggung Silihwarna bersedia, besok kami akan datang lagi untuk memberitahukan keputusannya,” kata salah satu utusan itu sambil siap-siap hendak berdiri dan berpamitan.

“Katakan pada Tumenggung Silihwarna, jika tidak berani menerima tantangan Ki Sulap Pangebatan, lebih baik pensiun saja dan jabatannya serahkan kepada Ngabehi Nitipraja,” kata Rekajaya sedikit memperolok Tumenggung Silihwarna. Kamandaka hanya tersenyum mendengarkan ejekan Rekajaya. 

“Sampaikan salamku, dari Ki Sulap Pangebatan kepada Tumenggung Silihwarna,” kata Kamandaka dengan nada suara ramah dengan maksud meredakan rasa tidak enak kedua utusan itu, akibat olok-olok Rekajaya. Kedua utusan segera bangkit sambil tersenyum dan mohon diri. Mereka berjanji besok akan datang membawa kabar kelanjutan dari tantangan Tumenggung Silihwarna kepada Ki Sulap Pangebatan.

“Pernah dengar nama Tumenggung Silihwarna, Kakang Rekajaya?” tanya Kamandaka setelah kedua utusan itu pergi. 

“Rasa-rasanya belum, Raden. Hamba lupa tidak tanyakan hal itu tadi kepada kedua utusan itu,” jawab Rekajaya menyesali dirinya.

“Sudah, tidak apa-apa. Aku pun lupa. Suatu pelajaran berharga, jika kita bertemu orang atau mendengar nama orang, kita harus berusaha sesegera mungkin mengetahui sebanyak-banyaknya orang yang baru kita kenal itu atau pun nama orang-orang penting. Dengan cara demikian kita akan cepat tahu apakah dia itu bisa dijadikan sahabat atau tidak. Tetapi jelas pula kedua orang utusan itu tidak mengenal diriku dengan baik,” kata Kamandaka.

“Benar, Raden. Kedua orang utusan itu mengenal Raden sebagai Ki Sulap Pangebatan,” kata Rekajaya.

“Tetapi Tumenggung Silihwarna,” kata Kamandaka melanjutkan, ”dia jelas orang penting di lingkungan Kadipaten. Orang sepenting itu masih tergoda untuk bermain judi di gelanggang sabung ayam. Apakah perbuatan Tumenggung Silihwarna yang tercela itu diketahui Kanjeng Adipati dan Ki Patih apa tidak? Kalau permainan judi sabung ayam dilakukan oleh para punggawa di bawah Tumenggung, seperti para lurah dan Ngabehi Nitipraja, mungkin masih dianggap wajar, walapun perilaku itu tetap saja tercela. Tapi ini dilakukan oleh seorang tumenggung?”

“Betul sekali, Raden. Kalau begitu, apakah sebaiknya besok hamba ke pasar Pangebatan, sekalian mencari keterangan lebih lanjut, siapakah Tumenggung Silihwarna itu? Bagaimana, Raden?”

“Kita lihat besok saja. Kedua utusan itu berjanji untuk memberi tahu kepada kita. Besok bisa ditanyakan kepada kedua utusan itu,” kata Kamandaka mengambil keputusan.

Kamandaka melihat para pekerja sudah mulai capai. Waktu istirahat dan makan siang memang sudah tiba. Tubuh-tubuh para pekerja itu berkilat basah oleh keringat yang berlelehan di sekujur tubuhnya. Cahaya sinar matahari musim kemarau semakin tajam memanggang apa saja yang ada di lembah itu. Tetapi Sungai Ciserayu tak pernah lelah mengalirkan airnya menuju muaranya yang jauh, sekalipun terik matahari terus menerus menderanya. Kamandaka dan Rekajaya segera bangkit meninggalkan pondok di tepi Sungai Ciserayu. Semua pekerja diperintahnya berhenti dan mereka semua diajaknya ke rumah Nyai Kertisara untuk istirahat dan menikmati hidangan makan siang. Pekerjaan akan dilanjutkan setelah istirahat. Mereka akan bekerja sampai sore hari.

Esok pagi harinya, ketika Kamandaka sedang melihat Rekajaya memandikan si Mercu, seorang bujang memberi tahu Kamandaka bahwa dua orang utusan Tumenggung Silihwarna sudah datang dan menunggu di ruang tamu rumah Nyai Kertisara.

“Tumenggung Silihwarna bersedia menerima tantangan dan syarat-syarat Ki Sulap Pangebatan di arena sabung ayam lapangan Desa Pangebatan. Waktunya lusa, siang hari. Sebelum matahari tergelincir ke barat, Ki Sulap Pangebatan harus sudah tiba di lapangan Desa Pangebatan,” kata utusan itu, lalu diam sejenak. “Selanjutnya Tumenggung Silihwarna juga menyampaikan terima kasih dan menerima salam dari Ki Sulap Pangebatan kemarin,” utusan itu berkata dengan suara merendah kepada Ki Sulap Pangebatan yang didampingi Rekajaya.

“Baik, besok lusa si Mercu sudah siap berlaga melawan si Gelapngampar. Eh, bisa aku tahu sudah berapa lama Tumenggung Silihwarna bertugas di Kadipaten Pasirluhur?” tanya Kamandaka.

“Aduh, Raden, kami berdua hanyalah utusan Ngabehi Nitipraja. Tidak banyak mengetahui soal itu. Hal itu bisa ditanyakan esok lusa kepada Ngabehi Nitipraja,” jawab utusan itu sambil bangkit dari tempat duduknya dan bergegas mohon diri. Tentu saja Kamandaka dapat mengerti sepenuhnya jawaban utusan yang tidak banyak tahu siapakah Tumenggung Silihwarna itu.

“Kakang, masih ada waktu dua hari. Pusatkan perhatian Kakang pada si Mercu. Esok lusa, si Mercu harus dalam keadaan siap tempur. Dua hari jangan diberi babon, supaya esok lusa tenaganya cukup. Lawannya sepertinya lebih hebat dari si Burik.”

“Betul Raden, namanya si Gelapngampar,” kata Rekajaya sambil berdiri minta ijin pada Kamandaka. Dia akan melanjutkan mengurus si Mercu untuk menghadapi pertandingan besar melawan si Gelapngampar. 

Setelah Rekajaya pergi, Kamandaka seakan-akan diingatkan kepada sesuatu. Kata-kata Gelapngampar yang diucapkan Rekajaya tadi entah mengapa terus menerus berdengung di telinganya. Tiba-tiba Kamandaka ingat kepada adik kandung satu-satunya yang dicintainya, Banyakngampar. 

“Sebuah nama yang aneh, Gelapngampar. Kenapa namanya Gelapngampar? Kenapa nama itu mirip-mirip Banyakngampar? Hem, Silihwarna, engkau tidak sadar telah menghina Putra Raja Pajajaran. Nama belakang adikku, telah engkau pakai sebagai nama ayam jago aduan! Sungguh keterlaluan engkau Silihwarna. Jika engkau tidak sengaja, karena tidak tahu, semoga Dewa mengampunimu. Tetapi jika engkau sengaja akan menghina adikku, aku sungguh tidak rela. Semoga besok lusa di gelanggang sabung ayam, jagomu itu akan tewas oleh si Mercu hanya dalam satu kali sabetan!” Kamandaka meradang seketika. Tetapi ingatannya kembali kepada adiknya, Banyakngampar.

Ruang tamu rumah Nyai Kertisara pagi itu sepi. Nyai Kertisara seperti biasa setelah sarapan pagi bertiga dan berbincang kian kemari, tenggelam dalam kesibukannya sehari-hari. Mengirimkan barang dagangan, menerima setoran barang dagangan dari istri para penyadap, dan melayani para pedagang dari pasar-pasar yang sengaja datang untuk mengambil barang dagangan. Sementara itu Rekajaya masih terus sibuk mengurus si Mercu di belakang rumah. 

Tadinya Kamandaka  mempunya rencana menemui sahabatnya, Arya Baribin di Kademangan Kejawar. Tetapi ingatannya kepada adik kandungnya yang sudah lama berpisah itu, tiba-tiba saja mengganggu pikirannya. Rasa rindu kepadanya semakin mendesak-desak dalam dirinya, dan dia tidak pernah tahu, entah mengapa.

Dalam suasana demikian, Kamandaka memilih duduk di ruang tamu yang sepi itu, menikmati kesendiriannya. Dia mencoba mengumpulkan daya imajinasinya, untuk mengingat-ingat kembali bayang-bayang adiknya yang dia anggap telah memilih jalan keliru. Adiknya itu, memutuskan pergi ke Padepokan Megamendung untuk menjadi seorang brahmacharin. Brahmacharin adalah  brahmana yang tidak akan nikah seumur hidup.

“Hem, seperti apa kau, Dinda Banyakngampar sekarang ini?” tanya Kamandaka di dalam hati. “Saat aku meninggalkan Pajajaran tahun lalu, aku tidak sempat mengunjungimu di Padepokan Megamendung. Beberapa tahun sebelumnya, kamu bilang padaku ingin menjadi seorang brahmacharin. Aku dan Dinda Ratna Pamekas saat itu amat sedih. Sebab kamu adalah adik kandungku satu-satunya. Saat itu aku dan Dinda Ratna Pamekas, sungguh tidak rela kehilangan kamu. Bukan hanya Dinda Ratna Pamekas yang menangis meratapi keputusanmu yang bodoh itu. Aku pun merasa amat sedih. Hanya karena aku seorang ksatria, aku tidak meneteskan air mata.”

“Semuda itu, kamu berani mengorbankan dirimu berpaling dari dunia menjauhi harta, tahta, dan cinta wanita guna mencari jalan kembali kepada Sang Maha Pencipta. Kamu katakan kepadaku ingin mencari hidup yang abadi. Hidup tanpa lahir kembali. Tanpa inkarnasi. Hem, aku malah tak pernah peduli, apa itu inkarnasi. Yang penting aku jalani hidup ini sesuai dengan kodratku saja. Aku lahir sebagai seorang ksatria. Maka aku laksanakan dengan sebaik-baiknya apa yang menjadi darma dan kewajiban seorang ksatria,” kata Kamandaka pula.

“Pastilah kamu sekarang sudah banyak menghafal ribuan lembar rontal ajaran suci. Pastilah kamu sekarang sudah diwisuda menjadi seorang brahmacharin. Kepalamu plontos, hilang wajah ksatriamu yang tampan, mengenakan jubah kuning, di tanganmu tergantung kalung rangkaian biji pendoa. Kalau kita ketemu di jalan, pasti aku tidak akan bisa mengenalimu lagi. Dinda Ratna Pamekas juga tak akan mengenalmu lagi. Ayahanda Sri Baginda juga tidak akan mengenalmu lagi. Adinda Banyakbelabur juga tidak akan mengenalmu lagi,” kata Kamandaka. Kata demi kata terus berkecamuk di dalam hatinya. Kamandaka masih terus  berbincang bincang dengan dirinya sendiri. 

“Aku sudah mengingatkanmu pada saat itu. Bahkan mencegahmu. Kukatakan padamu, kamu bukan putra brahmana. Dalam tubuhmu mengalir darah ksatria. Tetapi kamu tetap keras kepala. Padahal aku tahu, kamu hanya takut jatuh cinta pada adik tirimu yang cantik jelita itu, bukan? Kamu telah melawan kodratmu sendiri. Cinta pada wanita itu tidak bisa dihindari. Yang diperlukan hanya kepandaian untuk menyikapi dan menghadapinya, bukan dengan menghindarinya. Kuncinya hanya satu tetap mencintainya, tanpa harus memilikinya, tanpa harus menyakitinya. Sebab adik tirimu adalah milik calon suaminya. Dan calon suami Dinda Ratna Pamekas, siapa pun dia, tetaplah bukan kamu dan bukan pula aku,” benak Kamandaka masih terus berkecamuk.

“Hem, Banyakngampar, Adindaku, betapa aku sangat menyayangimu, karena kamu satu-satunya adik kandungku di dunia ini. Kenapa kamu tidak mengikuti jejakku, mencari wanita cantik yang mirip adikmu itu. Karena barang siapa yang mencari cinta seorang wanita pasti dia akan memperolehnya. Dan barang siapa yang menghindar. Apa yang akan dia dapatkan? Kamu pasti akan terus merana dikejar-kejar oleh bayang-bayang cinta. Cinta itu rahasia kehidupan, wahai Adindaku. Kamu tidak mungkin bisa melawan kodratmu sendiri,” kata Kamandaka pula.

Kamandaka merasa gagal mengingat kembali seperti apa wajah adiknya itu kini, setelah lima tahun berpisah. Usia dengan adiknya itu tidak terlalu jauh, hanya terpaut dua tahun. Bayang-bayang adiknya lenyap ketika Rekajaya muncul di ruang tamu sambil membawa si Mercu yang sudah dimandikan.

“Raden, hamba lupa lagi, bagaimana sih doanya supaya si Mercu besok lusa menang dalam duel maut itu? 


Sim salabim…. Puhpuhpuh….,” kata Rekajaya mencoba meniup kepala si Mercu tiga kali. Tidak lupa jengger dan pial dipegangnya, persis meniru apa yang pernah dilakukan Raden Kamandaka dulu. Kamandaka tertawa melihatnya.

”Doanya kan dulu sudah, Kakang. Ya, itu sudah cukup.”

Tetapi rupanya Rekajaya tidak puas. Untuk menyenangkan Rekajaya, Kamandaka meminta Si Mercu diserahkan kepadanya, kemudian ditimang-timangnya. Mulut Kamandaka komat-kamit, ditiupnya telinga si Mercu tiga kali, sambil memegang pial dan paruh si Mercu. Lalu kedua kaki dan taji si Mercu diusapnya beberapa kali.

“Mercu, menang kamu besok ya. Lawan si Gelapngampar. Lumpuhkan dalam sekali terjangan,” kata Kamandaka mantap, sambil menyerahkan kembali si Mercu pada Rekajaya. Wajah Rekajaya terlihat puas dan dibawanya kembali si Mercu  keluar dari ruang tamu.

Dua hari menjelang pertandingan sabung ayam di Pangebatan, Kamandaka selalu gelisah. Bayang-bayang adiknya selalu muncul di pelupuk matanya, gara-gara nama jawara calon lawan si Mercu, si Gelapngampar. Dalam angan-angan Kamandaka, adiknya itu sudah menjadi pendeta muda agama Syiwa, dengan rambut plontos, jubah kuning, sabuk hijau berlapis benang emas melilit pinggangnya, memakai trumpah berwarna hitam, tidak lupa tangannya menenteng kalung rangkaian biji kenari berwarna hitam mengkilat untuk berdoa. Malam itu Kamandaka sengaja cepat-cepat tidur, dengan harapan besok pagi tubuhnya cukup segar menghadapi Tumenggung Silihwarna di arena sabung ayam Desa Pangebatan, suatu desa yang tidak jauh dari Kadipaten Pasirluhur.[bersambung]

Minggu, 30 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (29)





Semua bangsa-bangsa dengan peradaban besar itu adalah bangsa yang menjadikan tanah-daratan sebagai pangkalan untuk menguasai air sungai dan lautan. Itulah yang namanya tanah dan air. Ya, tanah-air! Gunakan tanah untuk menguasai air, sungai, ombak, gelombang, dan lautan. Bangsa besar adalah bangsa yang bukan hanya bisa membuat pedati, gerobag, sado, dokar, dan alat-alat sarana perhubungan darat lainnya. Tetapi mereka juga harus bisa membuat sampan, perahu, jung, kapal, dan alat sarana perhubungan laut lainnya. 

Rake Sanjaya, putra Kerajaan Galuh, tidak keliru ketika dia mendirikan Kerajaan Mataram Hindu di kaki selatan Gunung Dieng, di hulu tiga sungai besar. Semua sungai itu mengalir ke Lautan Selatan atau Lautan Nusantara. Sungai-sungai besar itu adalah Sungai Ciserayu, Bhagalin, dan Progo. Rake Sanjaya membangun kerajaannya menghadap ke arah selatan, yakni ke arah Lautan Nusantara. Dia menghadapkan wajahnya ke Lautan Selatan, karena dia memang putra sungai, penakluk gelombang samudra. Rake Sanjaya menjadikan muara ke tiga sungai itu sebagai pangkalan untuk menaklukan Lautan Nusantara.

Para nelayan dan pelaut Mataram Kuno itu dengan gagah berani menjadi penakluk-penakluk gelombang yang perkasa. Mereka tak gentar menangkap ikan di samudra raya yang luas. Bahkan konon, pelayaran mereka, putra-putra sungai itu, keturunan Bangsa Galuh itu, ada yang berlayar sampai pulau Madagaskar dan pantai timur Benua Hitam lainnya. Mereka keturunan bangsa Galuh itu menjadi penakluk ombak besar Lautan Nusantara, mendahului ekspedisi muhibah besar-besaran kapal-kapal Dinasti Ming, pimpinan Laksamana Cheng Ho.

“Laksamana Cheng Ho,” kata Kamandaka melanjutkan, ”Menurut Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi pernah singgah di Pelabuhan Kerajaan Galuh, Muara Jati di pantai utara. Dari Muara Jati mereka meneruskan perjalanannya menyusuri pantai utara Pulau Jawa ke arah timur. Setelah singgah di Gresik dan Blambangan, lewat Selat Bali muhibah pelayaran besar-besaran pelaut China pimpinan Laksamana Cheng Ho itu tiba di Lautan Nusantara yang maha luas. Ekspedisi Cheng Ho itu mengikuti jejak-jekak pelaut Mataram Hindu yang lebih dulu menjadi penakluk gelombang besar Lautan Nusantara. Seperti juga pelaut-pelaut Mataram Hindu, muhibah pelayaran Cheng Ho mencapai pantai Afrika Timur juga.”

“Bisa jadi dulu pada jaman Rake Sanjaya, muara Sungai Ciserayu di Teluk Penyu dijadikan bandar besar dan pangkalan utama bagi pelaut-pelaut dan nelayan yang akan mengarungi Lautan Nusantara yang maha luas itu,“ kata Kamandaka. 

“Sayang sepeninggal Rake Sanjaya, Kerajaan Galuh di Kawali tidak lagi menghadapkan wajahnya ke selatan. Padahal Sungai Citanduy mengalir ke Lautan Nusantara di selatan. Kerajaan Galuh memilih mengikuti jejak Erlangga yang lebih suka menghadapkan wajah kerajaannya, Kahuripan, ke utara, ke wilayah dengan daratan luas.” 

“Kerajaan Galuh Kawali lupa bahwa Erlangga yang membangun kerajaannya di tepi Sungai Porong dan Sungai Mas itu bukan pemeluk agama Syiwa. Mereka adalah pemeluk agama Wisnu yang lebih memuliakan daratan. Kerajaan Galuh di Kawali pada abad ke-11 M mengkuti jejak Erlangga menghadapkan wajahnya ke arah utara mengikuti aliran Sungai Cimanuk, dan memunggungi Sungai Citanduy yang mengalir ke selatan.”

“Sejak itu keturunan bangsa Galuh kehilangan jati dirinya sebagai putra-putra sungai, ombak, gelombang, dan lautan. Sejak itu kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa lebih suka menghadapkan wajahnya ke laut utara yang sempit dan tenang permukaannya, tidak memiliki gelombang dahsyat seperti Lautan Nusantara di selatan. Sejak itu mereka lebih suka menatap daratan yang luas di utara sana. Sejak itu keturunan bangsa Galuh, lebih memuliakan daratan, gunung, gua, dan hutan. Ya, putra-putra sungai dan lautan yang tidak lagi memuliakan sungai, arus, gelombang, laut, dan samudra.”

“Ya, seperti Kerajaan Galuh di Kawali, Kerajaan Kediri Kuno, menghadapkan wajahnya ke utara. Singasari ke utara, Majapahit ke utara, Pajajaran ke utara, Kediri Baru ke utara, dan Kerajaan Islam Demak juga ke utara.”

“Kakang Rekajaya, aku berharap kelak akan ada putra keturunan Kadipaten Pasirluhur yang akan membuat Sungai Ciserayu kembali menjadi sarana angkutan air yang ramai. Ramai dan maju seperti pada masa Rake Sanjaya, putra Kerajaan Galuh pendiri Dinasti Mataram di hulu Sungai Ciserayu,” kata Kamandaka melanjutkan. “Aku berharap ada keturunan Kadipaten Pasirluhur yang akan membangun bandar besar di muara Sungai Ciserayu di pantai Lautan Nusantara di selatan. Dari muara Sungai Ciserayu itu, keturunan bangsa Galuh, putra-putra sungai akan menjadi pembangun peradaban agung dengan cara menaklukan ganasnya gelombang Lautan Selatan yang maha dahsyat.”

“Mereka bukan hanya cakap menangkap ikan di lautan luas itu. Tetapi juga harus cakap mengirimkan beras, singkong, gula kelapa, gula aren, dan peuyem atau tape  produksi petani di sekitar Sungai Ciserayu ke daerah seberang lautan,” kata Kamandaka menggambarkan mimpi-mimpinya kepada Rekajaya.

“Belum banyak penduduk di sini yang pandai membuat tape singkong, Raden.”

“Ya, memang harus ada yang merintisnya dan membuatnya sebagai bagian untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi penduduk,” kata Kamandaka.

“Dulu Sri Baginda Prabu Siliwangi pernah menyuruh penduduk menanam singkong di ladang-ladang penduduk,” katanya melanjutkan. ”Pembelinya pedagang China dari Sunda Kelapa. China Sunda Kelapa itu pandai mengolah singkong menjadi tape. Sri Baginda kemudian memerintahkan salah seorang China di Sunda Kelapa supaya mengajari penduduk membuat tape dari singkong. Keterampilan itu akhirnya menyebar di kalangan penduduk di sekitar Sungai Ciliwung sampai penduduk yang tinggal di kaki Gunung Salak, Gunung Gede, dan Pangrango. Ternyata tape buatan kawula Kerajaan Pajajaran kualitasnya tidak kalah dengan tape buatan China Sunda Kelapa. Penduduk menamakan tape buatannya itu peuyem,” kata Kamandaka kepada Rekajaya.

“Kelak di sini juga harus ada orang yang bisa mengajari cara membuat tape yang bagus, Raden,” ujar Rekajaya.

“Lho, masa Kakang tidak tahu kalau Nyai Kertisara sudah bisa membuat tape. Hanya kualitasnya masih harus ditingkatkan. Terutama kebersihan dalam proses pembuatan peuyem harus dijaga benar. Tapi bila terus menerus dicoba, aku yakin Nyai Kertisara bisa membuat peuyem berkualitas.” Mendengar pujian itu, Rekajaya tersenyum bangga, karena kakaknya, Nyai Kertisara, ternyata seorang wanita terampil dan cekatan.

“Kakang Rekajaya, aku juga berharap kelak dari trah Kadipaten Pasirluhur yang bermukim di sepanjang Sungai Ciserayu ini ada yang selalu ingat, bahwa mereka adalah turunan bangsa Galuh. Yaitu bangsa yang memuliakan sungai, ombak, gelombang, dan lautan sebagai sesuatu yang memiliki nilai tinggi. Yaitu bangsa yang mengetahui, bahwa air, sungai, ombak, gelombang, dan lautan itu adalah sesuatu yang nilainya setara dengan sindai, sunda, atau emas. Ya, penduduk di sepanjang Lembah Ciserayu ini lebih tepat disebut sebagai penduduk Cai Sindai, Cisindai atau Ciemas. Tahukah Kakang Rekajaya, apa itu Cai Sindai?”

“Aduh, hamba hanya bergetar bangga mendapat penjelasan dari Raden asal usul nenek moyang kita bangsa Galuh yang gagah perkasa itu, putra-putra sungai penakluk ombak, gelombang, dan lautan, Raden. Apa arti Cisindai, Raden?”

“Kata galuh itu dari kata-kata saka luh, kemudian berubah jadi kata-kata saga luh, akhirnya berubah jadi kata galuh. Luh itu artinya air, cai, atau ci. Jadi saka luh artinya dari air. Orang Kadipaten Wirasaba bilang cai itu banyu. Sagaluh, Sakaluh, atau dari air, berarti bangsa putra dari air yang memuliakan sungai, ombak, gelombang, dan lautan. Bangsa, suku bangsa, dan penduduk Cai Sindai, berarti bangsa, suku bangsa, atau penduduk keturunan bangsa Galuh yang memuliakan air, sungai, ombak, gelombang, dan lautan sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, setinggi nilai sindai atau emas. Itulah makna dari Caisindai, Ciseindai atau Banyumas. Caisindai, Caimas, atau Banyumas,  bisa juga berarti  sebuah kawasan di sepanjang Lembah Sungai Ciserayu tempat bermukim keturunan bangsa Galuh yang memuliakan air, sungai, gelombang, dan lautan,” kata Kamandaka menjelaskan arti Cisindai, Cimas atau Banyumas. 

“Jika kita memuliakan air bukan berarti kita memuja atau menyembah air. Bangsa yang memuliakan air, berarti bangsa itu memanfaatkan air, sungai, danau, gelombang, ombak, dan lautan yang merupakan anugerah alam semesta sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama,” jelas Kamandaka melanjutkan.

“Menarik sekali, Raden, hamba baru mendengarnya. Semoga gagasan mulia Raden bisa terwujud kelak. Tentu harapan Raden itu hanya akan terwujud jika Raden cepat-cepat menyunting Sang Dewi. Makin cepat makin baik, Raden. Hanya Raden yang akan bisa mencegah kemerosotan Kadipaten Pasirluhur, karena para punggawanya tidak mengerti bahwa mereka sebenarnya keturunan bangsa Galuh yang gagah perkasa itu,” kata Rekajaya mengingatkan Kamandaka pada gadis pujaannya, Sang Dewi.

Tiba-tiba Kamandaka diam. Bayangan wajah Sang Dewi sekelebatan muncul dalam pikirannya. Kemudian cepat menghilang. Hal itu membuat wajah Kamandaka menjadi sedikit murung. Melihat Kamandaka diam saja dan tampak sedih, seketika Rekajaya menjadi cemas. Jangan-jangan gara-gara dia mengingatkan kepada Sang Dewi itulah yang membuat Kamandaka menjadi sedih. Tetapi akhirnya Rekajaya bisa bernapas lega, lebih-lebih setelah Kamandaka berkata lagi.

“Kakang Rekajaya, sebenarnya aku ingin ketemu Dimas Arya Baribin di Kademangan Kejawar. Tetapi ya, sudahlah. Kakang betul. Sejak seminggu yang lalu, sudah terpikirkan olehku Dinda Dewi. Juga Emban Khandegwilis kan?“ tanya Kamandaka sambil tersenyum. Rekajaya tersenyum tersipu-sipu.

“Kapan kita ke Desa Pangebatan lagi, Raden?” tanya Rekajaya. 

Memang sejak si Mercu mengalahkan si Burik di gelanggang sabung ayam Desa Pangebatan, mereka berdua belum mengunjungi Pangebatan lagi. Rekajaya masih ingat, Kamandaka pernah akan mengajak dirinya ke pasar Pangebatan. Dari sana Rekajaya akan disuruh menemui Khandegwilis untuk menyampaikan pesan kepada Sang Dewi. Sedangkan Kamandaka akan menyamar sebagai Ki Sulap Pangebatan dan menunggunya di Pasar Pangebatan sambil menggali kabar keadaan  Sang Dewi dari apa yang biasa diperbincangkan penduduk. Pada saat itu pasar memang merupakan tempat sumber berita yang sering dapat dipercaya, walaupun kadang-kadang banyak juga kabar miring berseliweran.

“Aku rasa sebaiknya tunggu beberapa hari lagi, sampai aku yakin benar penduduk Pangebatan tidak ada yang tahu penyamaranku. Karena itu, Kakang Rekajaya sebenarnya bisa berangkat sendiri saja ke Pangebatan, sambil mendengarkan apa pendapat orang-orang di pasar Pangebatan mengenai hasil akhir adu sabung ayam antara si Mercu dan si Burik. Adakah di antara mereka yang curiga kepada penampilanku sebagai Ki Sulap Pangebatan?” Kamandaka menyampaikan saran kepada Rekajaya.

“Baiklah kalau begitu, Raden. Besok hamba akan berangkat ke Pasar Pangebatan. Hamba akan cari keterangan apa pendapat mereka mengenai Ki Sulap Pangebatan.” Matahari hampir mencapai puncak langit, cahayanya semakin gemerlapan ketika jatuh di permukaan air Sungai Ciserayu. 

“He, Kakang Rekajaya, bagaimana keadaan si Mercu? Sudah beberapa hari ini aku tidak menengoknya. Masih banyak penduduk yang datang membawa babon?” 

“Masih, Raden. Malah makin hari makin banyak penduduk yang membawa babon minta supaya dikawinkan dengan si Mercu.”

“Wah, jadi Arjuna, si Mercu. Tetapi jangan terlalu banyak babon yang harus dilayani setiap hari. Nanti bisa loyo si Mercu,” kata Kamandaka sambil tersenyum.

“Tapi, Raden kalau ada yang menantang si Mercu, bagaimana?” tanya Rekajaya.

“Tolak saja, kita sudah sepakat, Si Mercu harus pensiun. Kecuali…,” Kamandaka berpikir sejenak. 

“Ada yang berani 1-2, layani saja. Kita masih perlu sawah untuk menambah armada perahu angkutan Sungai Ciserayu. Kalau tak ada yang berani ya sudah. Memang si Mercu sudah saatnya beristirahat. Tetapi dengan mematok nilai tinggi, si Mercu berhak menyandang Jawara Besar di gelanggang sabung ayam Pangebatan,” kata Kamandaka sambil tertawa. Rekajaya pun ikut tertawa. Mereka berdua bangga dengan prestasi si Mercu. Belum selesai berbincang tiba-tiba datang dua orang tamu diantarkan bujang dari rumah Nyai Kertisara. Mereka berdua mengaku datang dari Kadipaten Pasirluhur, diutus Tumenggung Silihwarna. 

“Ki Sulap, hamba berdua diutus Tumenggung Silihwarna dari Kadipaten Pasirluhur,” kata salah satu utusan itu setelah dipersilahkan duduk oleh Kamandaka. 

“Ada perlu apa Tumenggung Silihwarna menyuruh kalian berdua menemui aku? Dari mana Tumenggung Silihwarna tahu namaku?” Kamandaka mencoba menyelidiki maksud kedatangan kedua utusan itu.

“Tumenggung Silihwarna ingin mengajak bertaruh dengan Ki Sulap Pangebatan di gelanggang sabung ayam Desa Pangebatan,” utusan itu menjelaskan maksud kedatangannya.

“Dari mana Tumenggung Silihwarna tahu namaku?” tanya Kamandaka.

“Tentu saja Tumenggung Silihwarna tahu nama Ki Sulap, dari Ngabehi Nitipraja. Lagi pula penggemar adu sabung ayam mana yang tidak kenal nama Ki Sulap Pangebatan?”

“Kakang Rekajaya, tolong sampaikan syarat-syaratnya,” Kamandaka menunjuk Rekajaya sebagai juru runding.(bersambung)

Minggu, 23 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (28)





“Gampang sekali, Raden. Tidak usah cemas. Nanti akan Uwa jelaskan kepada para punggawa dan Ngabehi Nitipraja, bahwa Raden adalah menantu Adipati Dayeuhluhur, yang diminta bantuannya menjadi pelatih prajurit-prajurit Kadipaten Pasirluhur. Anggap saja di Kadipaten Dayeuhluhur Raden sudah memiliki pangkat tumenggung,” kata Kanjeng Adipati. 

Tiba-tiba saja Kanjeng Adipati Kandhadaha ingat Adipati Dayeuhluhur yang masih iparnya. Kadipaten Dayeuhluhur adalah kadipaten yang berada di sisi timur Sungai Citanduy. Adipati Dayeuhluhur mempunyai anak perempuan yang cantik juga, namanya Mayangsari. Dengan Putri Kanjeng Adipati, Sang Dewi, Mayangsari itu bagaikan adik kakak. Hanya saja, Mayangsari lebih muda sedikit. 

“Bagaimana Raden? Setuju bukan?”

“Jika menurut Kanjeng Adipati dan Paman Patih cara itu yang terbaik, ananda akan mengikutinya,” jawab Silihwarna.

“Ki Patih, kita sudah mencapai kesepakatan,” kata Kanjeng Adipati menyimpulkan. ”Kita rahasiakan asal-usul dan nama asli Raden Silihwarna. Kepada Ngabehi Nitipraja, para punggawa, lurah, dan perangkat kadipaten lainnya, harus dijelaskan bahwa Raden Silihwarna adalah menantu Adipati Dayeuhluhur dengan pangkat tumenggung yang akan membantu Kadipaten Pasirluhur menangkap si Macan Muda, Kamandaka. Setuju Raden? Setuju Ki Patih?” tanya Kanjeng Adipati pada mereka berdua. Baik Ki Patih maupun Silihwarna mengangguk hampir bersamaan. Mereka semua mencapai kata sepakat.

“Mari kita minum bersama untuk merayakan kesepakatan kita, demi kejayaan Kerajaan Pajajaran dan keselamatan Kadipaten Pasirluhur,” kata Kanjeng Adipati. Seorang bujang yang dipanggil, datang dengan membawa tiga cangkir baru berisi air nira dari pohon aren. Mereka bertiga bersama-sama mengangkat cangkir dan meneguk habis isinya. 

Akhirnya Kanjeng Adipati mengijinkan Ki Patih dan Silihwarna meninggalkan serambi ruang tamu Dalem Gede untuk menindaklanjuti tugas yang sudah menunggu. Tugas itu adalah mengatur langkah-langkah menangkap Kamandaka dengan cara menantang Ki Sulap Pangebatan berlaga dalam permainan judi di arena sabung ayam Desa Pangebatan.
 ***


Pagi itu Ki Sulap Pangebatan dan Rekajaya sedang berada di pinggir Sungai Ciserayu, menunggui sejumlah orang yang tengah membuat pangkalan baru untuk melabuhkan perahu-perahu sungai yang sudah dipesan. Dilihatnya beberapa orang sedang mengambil pasir dan batu, ada pula yang sedang jongkok mengeraskan lantai-lantai tangga untuk turun ke arah sungai.

Undak-undakan atau trap yang dibuat di bibir sungai sebagai jalan untuk turun ke bawah sudah hampir selesai. Patok-patok bambu untuk menambatkan perahu malah sudah siap digunakan. Demikian pula gudang, rumah jaga, dan bangunan pondok tempat menunggu yang dibangun di kiri-kanan trap jalan turun ke sungai. Semua bangunan itu dibuat dari tiang bambu betung, tali ijuk, atap rumbia, dinding anyaman bambu wulung, dan kerangka kayu jati sebagai penguat daun pintu, jendela, dan usuk. Bangunan pondok bambu yang indah dan menghadap ke Sungai Ciserayu mengingatkan orang pada model bangunan rumah adat yang tersebar di wilayah Kerajaan Galuh. Lantainya dari papan kayu jati mengkilap.

Kamandaka didampingi Rekajaya, duduk di atas bangku terbuat dari akar pohon jati tua yang telah disulap menjadi tempat duduk, yang didirikan di luar bangunan pondok bambu. Kamandaka asyik dan merasa terhibur menikmati Sungai Ciserayu yang mengalir dengan tenang di depannya. Di sebelah selatan sungai tampak rangkaian pegunungan Ciserayu membentang dari timur ke barat bagaikan raksasa berjubah kelabu yang sedang tidur. Pohon kelapa, jati, pinus, dan pohon hutan lainnya tumbuh berderet di sepanjang lereng-lereng bukit.
Kamandaka melihat dua tiga perahu berisi sejumlah penumpang dan barang bawaan melintas di atas sungai. Perahu-perahu itu meluncur dari arah hulu menuju hilir, melewati bagian sungai di depan Kamandaka, terus meluncur ke barat. Ketiga perahu itu makin lama makin kecil, akhirnya hilang di tempat menikung jauh di sebelah barat sana. 

“Perahu-perahu yang lalu lalang di atas Sungai Ciserayu belum seramai lalu lintas perahu di Sungai Ciliwung,” kata Kamandaka kepada Rekajaya yang ada di sampingnya. 

“Mudah-mudahan gagasan Raden kelak menjadi kenyataan. Sungai Ciserayu akan seramai Sungai Ciliwung,” jawab Rekajaya sambil membayangkan lalu lintas Sungai Ciliwung, karena dia belum pernah melihatnya. Rekajaya merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa setelah tahu ternyata Kamandaka itu adalah seorang ksatria dari Keraton Pajajaran.

Kamandaka menatap langit cerah di atasnya. Dilihatnya langit berwarna biru dengan gumpalan-gumpalan awan putih bersih. Lalu dipandangnya kembali Pegunungan Ciserayu. Lima atau enam ekor elang berputar-putar bagaikan layang-layang hitam di langit tenggara. Kamandaka tahu, di bawah elang yang sedang berputar-putar itu, terletak Kademangan Kejawar. Beberapa hari lalu Kamandaka diundang Ki Demang Kejawar. Ki Demang ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Nyai Kertisara dan Ki Sulap Pangebatan, karena baru saja disumbang satu karung beras, lima keranjang gula kelapa, dan dua keranjang gula aren oleh Nyai Kertisara dan Ki Sulap Pangebatan. Sumbangan itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Kademangan Kejawar.

Sebenarnya Kademangan Kejawar bukan lagi wilayah Kerajaan Pajajaran. Sejak tahun 1413 M sudah menjadi tanah sima, yaitu tanah bebas pajak, yang berada di bawah perlindungan Kadipaten Wirasaba. Ki Demang Kejawar oleh Adipati Wirasaba dipercaya sebagai penyelenggarakan upacara suci keagamaan menyembah Dewa Syiwa yang dipusatkan di sisi barat Pegunungan Ciserayu. Karena Kerajaan Pajajaran juga menyembah Sang Hyang Syiwa, banyak penduduk Desa Kaliwedi dan sekitarnya sering ikut dalam perayaan suci agama Syiwa yang diselenggarakan Ki Demang Kejawar. Ki Sulap Pangebatan sendiri belum pernah menghadiri perayaan suci ritual penyembahan Sang Hyang Syiwa.

Ketika itu Kamandaka mendapat sambutan luar biasa. Ki Demang Kejawar ternyata telah mengenalnya sebagai Ki Sulap Pangebatan. Pada kunjungan pertama itulah Ki Sulap Pangebatan dikenalkan oleh Ki Demang Kejawar dengan seorang ksatria muda tampan yang berasal dari Kerajaan Majapahit, Arya Baribin. Entah mengapa, Ki Sulap Pangebatan dan Arya Baribin langsung bersahabat. Ki Sulap Pangebatan merasa dirinya  memiliki pandangan dan wawasan yang sama tentang banyak hal dengan Arya Baribin. Terutama gagasan tentang usaha membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat Sudra, yaitu rakyat kebanyakan pada umumnya yang selama ini dalam keadaan hidup tertindas oleh adat, tradisi, dan sistim kemasyarakatan yang berlaku. Ingatannya kepada Arya Bribin lenyap saat seorang pekerja datang menghadapnya.

“Ndara, kalau ingin turun ke bawah. Lantai trap paling bawah sudah dikeraskan dengan pasir dan batu. Barangkali Ndara akan melihatnya?” pekerja itu memohon agar Kamandaka bersedia melihat hasil pekerjaannya. 

“Ayo, Kakang Rekajaya, kita lihat ke bawah,” ajak Kamandaka seraya bangkit dari tempat duduknya, turun ke bawah mengikuti tukang penggarap trap tangga turun yang dibuat di dinding sungai. Kamandaka merasa puas dengan pekerjaan tukang batu itu. 

“Ajarilah teman-temanmu yang lain, agar semakin banyak penduduk Kaliwedi yang mempunya keterampilan. Desa ini akan berkembang maju, jika banyak orang-orang terampil seperti kamu. Nyai Kertisara masih punya banyak proyek yang memerlukan banyak tenaga terampil,” pesan Kamandaka sambil memuji mereka.
Bangunan pangkalan perahu di tepi Sungai Ciserayu itu dibangun atas nama Nyai Kertisara, yang dalam waktu singkat berkembang menjadi wanita pengusaha gula kelapa dan gula aren sukses. Tiap hari produksinya meningkat, sehingga Nyai Kertisara merasa perlu mencari daerah pemasaran baru. Dengan membuka pangkalan baru di tepi Sungai Ciserayu dan membeli sejumlah perahu, Nyai Kertisara akan dapat memasarkan produksinya melalui angkutan sungai ke tempat-tempat jauh ke arah hilir Sungai Ciserayu. Dengan demikian pangsa pasar hasil produki Nyai Kertisara akan semakin luas.

Tentu saja semua ide itu berasal dari Kamandaka. Sebenarnya Kamandaka pun hanya meniru saja dari apa yang pernah dilakukan ayahnya Sri Baginda Siliwangi yang telah membangun banyak pangkalan air di tepi Sungai Ciliwung untuk memasarkan lada dan pala hasil petani Kerajaan Pajajaran yang melimpah. Sebagaimana Sri Baginda Prabu Siliwangi yang telah menghidupkan angkutan barang dan orang melalui Sungai Ciliwung, Kamandaka juga mendorong Nyai Kertisara melakukan hal yang sama. Yaitu meramaikan dan lebih menghidupkan angkutan barang dan orang melalui Sungai Ciserayu.

“Kapan perahu baru yang kita pesan bisa tiba, Kakang Rekajaya?” tanya Kamandaka yang merasa puas ketika menyaksikan pekerjaan pembuatan pangkalan baru itu hampir  selesai. 

“Tidak bisa cepat, Raden. Katanya sih tinggal merakit saja. Paling cepat tujuh hari pasaran selesai empat perahu,” jawab Rekajaya.

“Tinggal merakit empat perahu saja perlu waktu begitu lama, tujuh hari pasaran itu satu bulan lebih, Kakang Rekajaya.”

“Begitulah Raden, yang mengerjakan tidak banyak.”

“Sayang sekali. Pohon jati di sepanjang pegunungan Ciserayu ini cukup banyak dan tumbuh subur. Tetapi keterampilan orang membuat perahu sungai di sini kurang dan lama sekali,” kata Kamandaka menyesali keadaan. 

“Kakang Rekajaya, tahukah Kakang tentang bangsa Galuh?” tanya Kamandaka yang dijawab Rekajaya dengan menggeleng.

”Kalau begitu, dengarkanlah,” kata Kamandaka, lalu mulai berceritera.

Turunan Bangsa Galuh baik yang tinggal di sebelah barat maupun timur Citanduy, sudah kehilangan keterampilannya sebagai putra-putra sungai dan lautan. Mereka mengembangkan diri hanya menjadi putra-putra daratan yang memuliakan ladang, sawah, gua, dan gunung. Mereka lalai mengembangkan diri menjadi putra-putra air yang memuliakan sungai, danau, ombak, gelombang, dan lautan.

Tidak ada bangsa yang akan menjadi besar dan perkasa, jika hanya menjadi penguasa tanah daratan. Bangsa-bangsa besar adalah bangsa-bangsa yang menghadapkan wajahnya ke samudra raya yang luas. Bangsa Romawi dan Bangsa Greek, mereka jadi bangsa besar karena menghadapkan wajahnya ke Laut Mediteran di selatan Roma dan Athena. Bangsa Arab dan Persia menjadi bangsa dengan peradaban tinggi karena mereka menghadapkan wajahnya ke arah laut Arabia di selatan. Bangsa India di Lembah Sungai Indus, Gangga, dan Yamuna, menjadi bangsa yang besar karena mereka menghadapkan wajahnya ke Lautan India yang ada di selatan. Bangsa Galuh di lembah Sungai Menam, Mekong, dan Sungai Sutra, juga menjadi bangsa besar karena mereka menghadapkan wajahnya ke laut China Selatan.  Demikan pula Bangsa China menjadi bangsa dengan peradaban agung, karena Bangsa China menghadapkan wajahnya ke arah Laut China Selatan dan Lautan Nusantara yang ada di selatan Kepulauan Nusantara.(Bersambung)