Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 25 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (22)





“Ya, aku ijinkan kembali ke kepatihan,” kata Kanjeng Adipati setelah diam agak lama. “Tetapi ingatlah tugas Ki Patih paling mendesak sekarang ini. Tangkap anak angkatmu itu. Terserah Ki Patih, bagaimana caranya. Tangkap Kamandaka hidup atau mati. Jika memang mati, aku tidak mau tertipu lagi. Buktikan dengan jantung, hati, dan darah Kamandaka, jika memang prajurit yang ditugaskan berhasil menewaskan Kamandaka.”

“Baiklah Kanjeng Adipati. Semua perintah Kanjeng Adipati akan ditindaklanjuti,” ujar Ki Patih. Siang itu dia cepat-cepat meninggalkan Kadipaten dengan perasaan galau tidak menentu. Bingung, sedih, malu, dan sakit hati campur aduk jadi satu. 

“Benarkah Kamandaka turunan penjahat? Bagaimana kalau ternyata dia seorang ksatria turunan bangsawan tinggi entah dari kerajaan mana? Kecerdasannya, gagasan kreatifnya, wawasannya, tutur katanya, mustahil dia turunan penjahat. Tetapi memang aneh. Bila Kamandaka memang jatuh cinta pada Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, kenapa tidak berterus terang kepadaku? Kenapa dia lebih suka menempuh jalan yang memalukan? Yaitu jalan yang hina dan terkutuk. Jalan yang tak akan dilakukan oleh seorang ksatria yang berwatak mulia.” kata Ki Patih dalam hati di tengah-tengah perjalanan pulang ke Dalem Kepatihan.

Jalan yang dilaluinya dipenuhi debu-debu yang berterbangan ditiup angin musim kemarau. Sepanjang jalan wajah Ki Patih nampak murung, bagaikan kembang yang sudah layu. Dia masih belum menemukan cara menangkap Kamandaka. 

“Dikepung oleh ratusan prajurit saja bisa lolos, tentu juga tidak mudah menangkap Kamandaka jika hanya dengan mengirimkan ratusan prajurit ke Kaliwedi,” kata Ki Patih dalam benaknya. “Pastilah cara seperti itu akan sia-sia saja. Apa lagi, kini banyak pengikutnya yang pasti akan membelanya. Mereka, para penyadap dan petani itu pastilah akan membelanya sekuat tenaga, atau paling tidak akan menyembunyikannya, atau membantunya melarikan diri.” 

“Duh, Dewa Yang Agung, andai kata di kadipaten ini ada ksatria perkasa yang mampu menandingi Kamandaka, tentulah menangkap Kamandaka bukan pekerjaan sulit. Tugasku tentu tidak akan seberat sekarang ini,” Ki Patih merintih dalam hati di sepanjang jalan menuju Dalem Kepatihan.

Tetapi tiba-tiba, ketika baru menginjakkan kakinya di halaman kepatihan, Ki Patih melihat seorang ksatria gagah perkasa meloncat turun dari kudanya. Dilihat pakaiannya, tampak bahwa ksatria itu baru saja menempuh perjalanan jauh. Ki Patih menduga ksatria itu dari Kadipaten Galuh. Ki Patih pun buru-buru menyambutnya dengan perasaan gembira bercampur cemas. Sebab jangan-jangan ada kabar buruk yang menimpa Kadipaten Galuh, Kadipaten tetangga yang sangat bersahabat. Sebab pada masa lalu Kadipaten Galuh pernah menjadi pusat Kerajaan sebelum pindah ke Pakuan Pajajaran.

“Ki Patih Reksanata menyampaikan selamat datang. Siapakah dan dari manakah Raden ini?” tanya Ki Patih pada ksatria yang baru tiba itu.

“Selamat siang, Paman Patih. Ananda adalah putra Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Keraton Pajajaran, Banyakngampar. Salam dari Ayahanda untuk Paman Patih dan juga salam untuk Kanjeng Adipati Pasirluhur,” kata Banyakngampar.

“Oh, dari Keraton Pajajaran? Aduh, Raden, betapa gembira Paman Patih. Raden telah berkenan datang ke Pasirluhur dari tempat yang begitu jauh,” kata Ki Patih sambil membawa Banyakngampar ke ruang tamu Dalem Kepatihan. ”Salam Sri Baginda Prabu Siliwangi Paman terima dengan senang sekali.” 

Ki Patih Reksanata menduga Keraton Pakuan Pajajaran memerlukan tambahan pasokan senjata alat-alat perang ataupun alat-alat pertanian yang diperlukan pusat kerajaan. Sejak jaman Kerajaan Galuh Kadipaten Pasirluhur menjadi salah satu Kadipaten yang diandalkan dalam pembuatan alat-alat perang maupun alat-alat pertanian. Misalnya saja pedang, tombak, golok, sabit, dan alat-alat lainnya lagi yang terbuat dari logam.

Di Kadipaten Pasirluhur banyak empu pandai besi yang cakap dan terampil dalam membuat alat-alat dari besi. Di samping Kadipaten Pasirluhur sebagai kadipaten pemasok alat-alat senjata perang, kadipaten lain yang juga memiliki banyak pandai besi adalah Cibatu, Kadipaten Limbangan. Tetapi pasokan dari Cibatu, Limbangan, tidak akan cukup memenuhi kebutuhan peralatan perang Kerajaan Pajajaran. Kekurangan pasokan itu dipenuhi dari para pengrajin Kadipaten Pasirluhur. Apalagi kualitas pandai besi Kadipaten Pasirluhur tidak kalah dengan kualitas pengrajin dari Cibatu, Limbangan.

Akhir-akhir ini pesanan alat-alat perang dari Keraton Pajajaran terus meningkat. Ki Patih Reksanata mendengar sejumlah bandar pelabuhan di pantai utara sudah jatuh ke tangan Kerajaan Islam Demak yang baru muncul setelah jatuhnya Majapahit. Pekalongan, Pemalang, Brebes, dan Cirebon adalah daerah pesisir yang telah jatuh ke tangan Kerajaan Islam Demak. Bandar muara Sungai Cimanuk yang merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran, dalam posisi terancam oleh gerakan ekspansi Kerajaan Islam Demak. Wajar jika akhir-akhir ini Kerajaan Pajajaran berusaha meningkatkan kewaspadaannya dengan mengangkat prajurit-prajurit baru.

Tentu saja itu berarti memerlukan tambahan pasokan senjata. Ternyata dugaan Ki Patih meleset. Kedatangan Ksatria Pajajaran itu bukanlah urusan pesanan senjata untuk keperluan perang. Tetapi untuk urusan keluarga, mencari kakak Sang Ksatria yang sudah setahun lebih menghilang dari Keraton Pajajaran.

Seorang bujang laki-laki muncul di ruang tamu, membawa minuman dan makanan kecil. Ki Patih segera mempersilahkan tamunya minum air nira yang masih segar untuk mengusir haus.

“Paman Patih, ananda jauh-jauh dari Keraton Pajajaran berkunjung ke Kadipaten Pasirluhur ini bukan dalam urusan soal-soal pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Tetapi ini masalah  keluarga.”

“Masalah keluarga? Boleh Paman tahu? Barangkali Paman bisa membantunya?”

“Benar sekali, Paman Patih. Ananda sangat membutuhkan bantuan Paman Patih,” kata Banyakngampar. ”Ananda punya kakak kandung yang namanya Kanda Banyakcatra.”

Banyakngampar pun menceriterakan masalah yang tengah menimpa keluarga Kerajaan Pajajaran. Semua hal yang menjadi penyebab pengembaraan kakaknya yang sedang dicarinya itu, dikisahkan semuanya. Ki Patih Reksanata mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian.

“Kanda Banyakcatra diberi waktu satu tahun untuk berkelana mencari wanita calon istri yang didambakannya itu. Tetapi tenggang waktu yang dijanjikan Kanda Banyakcatra sudah lewat. Satu tahun lebih Kanda Banyakcatra menghilang dari Keraton Pajajaran tanpa ada kabar beritanya. Tentu saja hal itu membuat Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi gelisah, karena khawatir akan keselamatan Kanda Banyakcatra,” kata Banyakngampar.

“Saat itu ananda sudah lima tahun meninggalkan Keraton Pajajaran, karena ananda sedang mendalami ilmu Ketuhanan di Padepokan Megamendung. Sudah lima tahun pula ananda tidak pernah berjumpa dengan Kanda Banyakcatra,” kata Banyakngampar melanjutkan ceriteranya.

“Akhirnya ananda disusul agar pulang ke Keraton Pajajaran. Sri Baginda menugaskan kepada ananda agar mencari Kanda Banyakcatra. Itulah Paman Patih yang menyebabkan ananda jauh-jauh datang dari Keraton Pajajaran. Barangkali saja Paman Patih mengetahui keberadaan Kanda Banyakcatra.”

Ki Patih mengerutkan keningnya sebentar, seakan-akan sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu. Tapi Ki Patih lalu mengajak tamunya menikmati pisang kepok rebus yang disajikannya. Angin dari halaman kepatihan bertiup masuk ke dalam serambi ruang tamu, menghalau udara panas musim kemarau.

“Banyakcatra?” tanya Ki Patih, ketika kembali ingat kepada nama yang baru disebut Banyakngampar yang sedang menikmati pisang kepok rebus manis itu.

Ki Patih diam lagi, keningnya berkerut lagi mencoba mengingat-ingat nama itu. Tetapi dia merasa belum pernah mendengar nama itu. Hanya saja kalau dilihat sepintas kilas wajah dan penampilan ksatria Pajajaran yang ada di depannya itu, mirip sekali dengan Kamandaka.

“Apakah Kamandaka itu Banyakcatra? Tetapi jika Kamandaka putra Kerajaan Pajajaran yang sedang dicari-cari, tidak mungkin dia melakukan perbuatan yang memalukan itu. Sebab buat apa?” Ki Patih bertanya-tanya dalam hati.

Akhirnya Ki Patih menyimpulkan dari  informasi yang diperoleh dari Kanjeng Adipati,  Kamandaka bukanlah Banyakcatra. Sebab menurut hasil penyelidikan Kanjeng Adipati, Kamandaka itu keponakan seorang penjudi botoh sabung ayam dengan reputasi buruk, Ki Kertisara Pangebatan.

“Kira-kira seperti apakah wajah mendiang Ibunda Raden?” tanya Ki Patih.

“Ayahanda Sri Banginda Prabu Siliwangi pernah menyebutkan bahwa wajah mendiang Ibu mirip wajah Dyah Ayu Pitaloka yang gugur di medan Bubat,” jawab Banyakngampar.

Kembali Ki Patih diam sejenak. Tentu saja Ki Patih tahu, siapa Pitaloka, Mawar Galuh yang telah membuat Raja Hayam Wuruk mabuk kepayang. Sayang sekali kisah cinta Raja Hayam Wuruk dengan Pitaloka itu berakhir di medan Bubat yang menyebabkan kematian Pitaloka.

“Sepengetahuan Paman, Dyah Ayu Pitaloka dipusarakan di makam keluarga raja-raja Galuh di Sanghiyang Linggahiyyang, di Kawali. Karena itu jika sukma Dyah Ayu Pitaloka akan berinkarnasi, pastilah pilihannya akan jatuh pada gadis-gadis di Kadipaten Galuh. Karena itu, seharusnya Raden mencari Kakak Raden bukan di Pasirluhur, tetapi di Kadipaten Galuh. Paman yakin, Raden Banyakcatra ada di Kadipaten Galuh.”

“Ya, itulah Paman kesalahan ananda, tidak mampir lebih dulu ke Kadipaten Galuh. Karena menurut Ayahanda Sri Baginda, Kanda Banyakcatra pernah berceritera bahwa semua kadipaten di sebelah barat Sungai Citanduy sudah pernah didatangi. Tetapi jerih payahnya tidak berhasil. Menurut pengakuan Kanda Banyakcatra kepada Ayahanda, hanya kadipaten-kadipaten di sebelah timur Sungai Citanduy yang belum pernah didatangi. Karena itu, menurut Ayahanda, Kanda Banyakcatra kemungkinan besar ada di Kadipaten Pasirluhur,” Banyakngampar menjelaskan kepada Ki Patih.

Seorang bujang yang dipanggil Ki Patih datang menghadap, ”Hamba siap menerima perintah, Ndara Patih,” kata bujang laki-laki itu dengan takzim.

“Kuda tamuku ini bawalah ke tempat penambatan kuda di belakang. Besok mandikan bersama-sama dengan kuda kepatihan. Siapkan dan aturlah dengan baik kamar khusus untuk menerima tamu, dan siapkan pula santap siang,” Ki Patih memberikan perintah kepada bujang lelaki itu yang segera mundur setelah menerima perintah.

“Marilah kita bicarakan satu-satu, untuk memudahkan dalam pencariaan keberadaan Raden Banyakcatra yang sedang menghilang itu. Pertama soal inkarnasi. Soal inkarnasi itu memang tidak mudah diketahui. Hanya para dewa yang tahu. Hanya saja Paman berpendapat inkarnasi itu mestinya terjadi pada lingkungan keluarga terdekat dulu. Pertanyaan Paman, apakah Sri Baginda Raja Siliwangi punya anak seorang putri?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, tiba-tiba Banyakngampar ingat adik tirinya yang cantik jelita Ratna Pamekas. “Bisa jadi Paman Patih benar, inkarnasi sukma Dyah Ayu Pitaloka itu kemungkinan besar terjadi di lingkungan keluarga terdekat lebih dahulu,” kata Banyakngampar.

“Ananda punya dua adik tiri dari Ibu Kumudaningrum, istri selir Ayahanda yang kemudian menjadi permaisuri menggantikan Ibu ananda. Banyakbelabur adalah putra sulung, lalu adiknya, Dyah Ayu Ratna Pamekas.”

Banyakngampar menjawab dengan agak malu-malu dan tersipu-sipu. Sebab diam-diam Banyakngampar mencintai adik tirinya itu.

“Paman menduga, bisa saja salah,” kata Ki Patih. ”Adik tiri Raden itu pastilah cantik jelita. Dia lebih mirip Ibunda Raden Banyakcatra dan Raden Banyakngampar, ketimbang Ibunya sendiri. Sebab apa? Sebab Dyah Ayu Ratna Pamekas sama dengan Ibunda Raden, keduanya adalah inkarnasi Dyah Ayu Pitaloka! Tapi itu hanya dugaan Paman saja yang bisa jadi keliru. Karena itu jika bukan kehendak dewa, mestinya Raden Banyakcatra masih berada di sisi barat Cintanduy dan tidak mungkin menyeberang ke timur, sebab makam Dyah Ayu Pitaloka itu ada di Galuh Kawali.”

“Masalahnya Kanda Banyakcatra pernah berkata akan mencari gadis idamannya di kadipaten yang ada di sebelah timur Sungai Citanduy yang belum pernah didatanginya, Paman Patih,” kata Banyakngampar menyanggah pendapat Ki Patih Reksanata.

“Ya, bisa jadi benar, Raden Banyakcatra telah menyeberangi Sungai Citanduy untuk mencari gadis idamannya, Raden,” kata Ki Patih pada akhirnya. “Tetapi sebenarnya apa yang dilakukan Raden Banyakcatra, yang telah menempuh perjalanan begitu jauh dan tak kenal lelah itu, tidak lain hanyalah sebuah pelarian saja. Kalau sudah lelah, pada akhirnya akan kembali juga. Namanya saja pelarian untuk menghindari kenyataan. Sekalipun begitu, langkah yang sudah ditempuh kakak kandung Raden itu sudah benar. Kakak Raden itu sedang menghindari cinta rumit terhadap adik tiri Raden yang wajahnya mirip Ibunda Raden itu,” kata Ki Patih menarik kesimpulan.

Siang itu udara di ruang tamu Dalem Kepatihan cukup panas, untunglah angin berulang kali bertiup mendatangi beranda ruang tamu. Bahkan seekor kupu-kupu coklat ikut-ikutan terbang masuk dan hinggap sebentar di dinding ruang tamu.

“Itu namanya kupu dayoh, Raden,” kata Ki Patih saat melihat Banyakngampar memperhatikan kupu-kupu coklat yang kesasar masuk ruang tamu Dalem Kepatihan. “Kupu itu memberi tanda, Raden akan tinggal cukup lama di Kadipaten Pasirluhur,” kata Ki Patih menjelaskan salah satu tanda-tanda alam yang banyak dipercaya penduduk Pasirluhur. 

Banyakngampar tersenyum senang mendapat tambahan penjelasan perihal kupu dayoh yang tiba-tiba ikut menjadi tamu itu. Ki Patih Reksanata memang memiliki kegemaran mengamati masalah-masalah yang berkaitan dengan firasat, kejiwaan, watak seseorang, dan soal ramal meramal. Termasuk yang menjadi perhatian Ki Patih adalah soal-soal yang berkaitan dengan masalah inkarnasi, moksa, cinta, dan masalah kejiwaan lainnya.

“Sejak Ibunda Raden berdua meninggal,” Ki Patih melanjutkan, “Kakak Raden itu telah kehilangan sosok seorang ibu yang dicintainya. Dia lalu berusaha mencarinya dan menemukan sosok ibu yang telah hilang itu pada diri adik tirinya, Dyah Ayu Ratna Pamekas yang wajahnya mirip Ibu Raden berdua itu.”

“Tentu saja Raden Banyakcatra takut jatuh cinta pada Dyah Ayu Ratna Pamekas,” kata Ki Patih menyimpulkan. ”Sebab tidak mungkin seorang kakak menikahi adiknya sendiri, sekalipun hanya adik tiri. Itulah sebabnya Raden Banyakcatra meninggalkan Keraton Pajajaran untuk mencari sosok pengganti ibunya pada gadis lain di luar keluarganya. Jika Raden Banyakcatra tetap di Keraton Pajajaran, dia akan terus gelisah dan tersiksa, karena akan berada dalam bayang-bayang jatuh cinta pada adik tirinya. Lain halnya bila Raden Banyakcatra sudah menemukan sosok gadis lain di luar keraton.”

“Maaf pula kepada Raden,” kata Ki Patih masih meneruskan, ”Hal yang sama sebenarnya terjadi pada Raden. Raden pun sebenarnya berada dalam bayang-bayang jatuh cinta pada adik tiri Raden itu. Hanya jalan yang Raden tempuh berbeda. Raden memilih berguru ke Megamendung untuk menekan hasrat cinta kepada wanita dengan mengalihkannya menjadi cinta pada Sang Maha Pencipta. Itulah sebabnya Raden jarang pulang ke Keraton Pajajaran, bukan? Itu karena, seperti halnya Kakak Raden, sesungguhnya Raden pun takut jatuh cinta pada adik tiri Raden.”

Mendengar penjelasan Ki Patih Reksanata wajah Banyakngampar langsung pucat. Apa yang dikatakan Patih Reksanata sepenuhnya benar. Memang, saat Banyakngampar tiba kembali di Keraton Pajajaran setelah lima tahun tidak pernah pulang, betapa dia sangat terkejut. Dia bertemu dengan Ratna Pamekas dan menjumpai kenyataan bahwa adik tirinya itu telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik luar biasa yang sedang beranjak dewasa. 

Dan yang paling mengherankan, tatapan sinar mata adik tirinya itu menembus jantung hatinya, sehingga dia bahkan tak berani menatap wajah cantik adik tirinya itu. Lima tahun berguru di Padepokan Megamendung, ternyata tidak mampu menindas bayang-bayang cinta kepada Ratna Pamekas. Diam-diam dia kesal sekaligus cemas karena gagal menumpas benih-benih cinta yang tumbuh dalam benaknya yang sesungguhnya sangat memalukan itu.[Bersambung]

1 komentar:

  1. Silakan Kunjungi Artikel S128 Online

    Live S128
    APK S128

    Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995

    BalasHapus