Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 18 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (17)




Tanah yang membentang di sepanjang lembah-lembah sungai rata-rata subur, sehingga aneka macam tanaman tumbuh di sekitarnya. Di kaki gunung di sepanjang hulu sungai terdapat berbagai jenis batu-batuan, mulai dari batu hitam, batu api, batu mulia, batu bara, sampai berbagai macam hasil tambang seperti tembaga, besi, emas, perak, dan lainnya lagi. Itulah sebabnya Lembah Sungai Sutra berkembang menjadi daerah makmur. Penduduk yang bermukim di situ sudah mampu mengembangkan peradaban maju dengan berporos pada sungai. Mereka sudah pandai mengolah tanah-tanah pertanian untuk menanam padi dan palawija. Mereka pun memiliki keahlian membuat gula dari nira pohon kelapa, pohon aren maupun gula tebu. Bahkan mereka sudah memiliki kepandaian membuat arak dari nira.

Mereka juga terampil membuat alat-alat dari perunggu, besi, dan tembaga. Selain itu mereka mampu membuat saluran irigasi, membuat bendungan, membangun sarana jalan, bangunan tempat tinggal, keraton, dan benteng perlindungan. Sudah tentu mereka pandai pula berenang, menyelam, menangkap ikan, dan pandai membuat berbagai jenis alat penangkap ikan dan alat-alat sarana perhubungan sungai seperti rakit dan aneka macam bentuk perahu. 

Sayang sekali kemakmuran lembah Sungai Sutra itu segera berakhir, karena datangnya suku-suku bangsa penyerbu dari daerah utara yang iri hati melihat kemakmuran penduduk Lembah Sungai Sutra. Suku-suku penakluk datang menyerbu dan menduduki wilayah itu. Mereka membunuh, merampok, dan merampas harta benda yang ada, menguasai, dan menjadikan penduduk setempat sebagai budaknya. Penduduk setempat yang tidak mau menjadi budak, terpaksa melarikan diri mengungsi menyeberang laut selatan untuk menemukan tempat bermukim yang baru. Mereka mengungsi secara bergelombang mencari tanah harapan.

Salah satu dari gelombang pengungsi itu berlayar melewati sisi timur Pulau Emas. Sebagian mendarat di Kutai. Sebagian melanjutkan pelayarannya ke selatan hingga mendarat di pantai tidak jauh dari Gunung Ciremai dari sebuah pulau paling selatan. Pulau paling selatan itu kemudian dikenal sebagai Pulau Jawa. Keturunan mereka kemudian berhasil mendirikan sejumlah kerajaan yang semuanya berporos pada sungai-sungai besar, melanjutkan tradisi kebudayaan leluhur mereka putra-putra Lembah Sungai Sutra. Mereka menamakan dirinya sebagai bangsa Galuh, dari kata Sagaluh atau Sakaluh, yang berarti bangsa dari lembah sungai, yakni Sungai Sutra.

Kerajaan besar yang berhasil didirikan bangsa Galuh antara lain, Kerajaan Taruma Negara di muara Sungai Citarum, Kerajaan Galuh Kawali di hulu Sungai Cimanuk dan Citanduy, Kerajaan Galuh Purba di hulu Sungai Logawa, dan Kerajaan Mataram Hindu di hulu Sungai Ciserayu dan Sungai Bhagalin, lalu Kerajaan Pajajaran di hulu Sungai Ciliwung, demikian kata Sri Baginda Prabu Siliwangi saat itu.

Kisah petualangan dan pengungsian bangsa Galuh dari Lembah Sungai Sutra semacam itu memang sudah sering dikisahkan secara turun-temurun kepada para anak cucu keturunan mereka, terutama di kalangan kerabat dekat keluarga kerajaan. Mungkin semua itu dimaksudkan sebagai pengingat asal-usul dari leluhur mereka yang gagah berani, putra-putra sungai yang pantang menyerah, sekalipun musuh datang silih berganti berusaha untuk menaklukan mereka. Ada memang yang tewas. Ada pula yang takluk menyerah menjadi budak dan dihinakan. Tetapi ada juga yang gigih berjuang mempertahankan harga diri, kehormatan, kebebasan, dan kemerdekaan dengan memilih menjadi petualang dan pengungsi. Mereka tak gentar mengarungi lautan, mencari tanah-tanah pemukiman baru yang menjanjikan harapan lebih baik, ketimbang menjadi bangsa yang diperbudak. Kebebasan dan kemeredekaan memang mahal harganya.

Kerajaan Galuh Purba di hulu Sungai Logawa itu merupakan cabang dari Kerajaan Galuh Kawali. Sayangnya Kerajaan Galuh Purba pada suatu masa berhasil ditaklukan kerajaan di sebelah timurnya, yakni kerajaan yang merupakan cabang dari Kerajaan Kalingga di lereng utara Pegunungan Dieng. Kerajaan ini merupakan kerajaan penyembah Dewa Matahari. Mereka mengincar Lembah Sungai Logawa yang subur itu. Maka segera diserbunya Kerajaan Galuh Purba. Akhirnya setelah melalui pertempuran yang hebat, terpaksa penguasa Kerajaan Galuh Purba meninggalkan Lembah Logawa. Mereka mengungsi ke barat mencari perlindungan kepada saudaranya di Kerajaan Galuh Kawali. 

Di atas reruntuhan Kerajaan Galuh Purba para penyerbu kemudian mendirikan pusat penyembahan kepada Dewa Matahari yang diberi nama Goromanik. Goro artinya gembung, yakni tubuh Dewa Rahu yang telah kehilangan kepalanya. Sedang manik berarti air suci. Jadi arti Goromanik sebenarnya adalah gunung suci yang dipercaya berasal dari gembung Dewa Rahu, raksasa yang ingin memiliki kesaktian seperti para dewa. Para penyembah Matahari itulah yang menganggap Gunung Goromanik merupakan gunung suci.

Sejak itu nama Gunung Agung diganti menjadi Gunung Goromanik. Penduduk sekitarnya, memendekkannya dan menyebutnya sebagai Gunung Goro. Akhirnya menjadi Gunung Gora yang sebenarnya berarti gembung atau tubuh tanpa kepala dari Sang Rahu yang jatuh kepermukaan bumi karena kepalanya lepas dipanah Dewa Wisnu. Dewa Rahu sempat meminum air suci yang dicurinya, maka kepala Sang Rahu masih tetap hidup melayang-layang di angkasa dengan membawa dendam kesumat kepada Dewa Matahari yang memberitahu Dewa Wisnu pada saat Sang Rahu sedang enak-enaknya meminum air suci yang berhasil dicurinya. Namun para penguasa Kerajaan Galuh dan Pajajaran tetap memberi nama gunung terbesar di Pulau Sunda atau Pula Jawa itu Gunung Agung. Kemudian Senna, cucu Maharaja Wretikandayun, akhirnya berhasil mengambil alih kembali Lembah Sungai Logawa yang subur itu dan mengusir para pemuja Dewa Matahari.

Maharaja Wretikandayun, kakek Senna adalah penguasa dan pendiri Kerajaan Galuh Kawali. Senna naik tahta Kerajaan Galuh Kawali menggantikan ayahnya Amara yang mendapat julukan Mandiminyak, karena wajahnya yang tampan dan kulitnya yang kekuning-kuningan bercahaya. Sayangnya Senna digulingkan oleh Purbasora, putra paman Senna, Sampakwaja. Sampakwaja dan Mandiminyak adalah kakak beradik putra Maharaja Wretikandayun. Senna melarikan diri ke timur sampai ke lembah Sungai Bhagalin. Dari sana muncul Rake Sanjaya, putra Senna yang berhasil membangun Kerajaan Mataram yang menganut agama Syiwa. Kerajaan Mataram Hindu ini didirikan di hulu Sungai Ciserayu, di sisi selatan Gunung Dieng. 

Rake Sanjaya, Putra Senna segera memperlihatkan keperkasaannya. Dia bisa menguasai Kerajaan Kalingga yang berada di sisi timur Sungai Bhagalin. Bahkan Kerajaan Galuh Kawali yang saat itu dikuasai oleh Purbasora, berhasil ditaklukan. Setelah Rake Sanjaya berhasil menguasai kembali kerajaan warisan ayahnya itu, dia segera menyatukan wilayah Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai Bhagalin dengan wilayah Kerajaan Kalingga di sisi timur Sungai Bhagalin. 

Kekuasaan Rake Sanjaya dengan Kerajaan Mataramnya, bukan hanya dari ujung barat sampai ujung timur pulau ini. Rake Sanjaya, juga berkuasa atas kerajaan-kerajaan di dua pulau besar lainnya, yakni Borneo dan Andalas. Maka Dia mendapat gelar Maharaja. Karena Maharaja Rake Sanjaya adalah putra Galuh, dia menyebut pulau ini sebagai Pulau Sunda. Para pedagang dari India, China, Arab, Romawi, juga menyebut pulau ini sebagai Pulau Sunda. Bersama pulau Andalas dan Borneo, disebutnya sebagai Kepulauan Sunda Besar. 

“Tahukah kalian apa arti kata Sunda?” tanya Sang Baginda Prabu Siliwangi ketika itu kepada keempat putranya yang duduk mengelilinginya. Keempat putranya itu semuanya menggelengkan kepala. 

“Sunda itu berasal dari kata sindai yang berarti emas. Pulau Sunda artinya Pulau Emas. Memang di bagian barat Pulau Sunda ini banyak sekali menghasilkan emas, terutama di hulu Sungai Ciliwung dan hulu Sungai Cisadane. Itulah salah satu pertimbangan kenapa kakekmu dulu, Rahyang Dewa Niskala memindahkan pusat Kerajaan Galuh dari Kawali ke Pakuan Pajajaran yang berada di hulu Sungai Ciliwung, tidak jauh dari kaki Gunung Gede dan Gunung Salak yang subur itu,” jelas Sang Raja Baginda Prabu Siliwangi.

Kerajaan Kalingga yang berhasil dikuasai Maharaja Rake Sanjaya itu, sebenarnya didirikan juga oleh para pengungsi gelombang susulan yang datang dari Lembah Sungai Sutra. Oleh karena itu mereka kadang-kadang disebut bangsa Galuh Lor atau Galuh Utara. Hanya saja kepercayaan mereka berbeda. Mereka menyembah Dewa Wisnu sedang Kerajaan Galuh Purba dan Galuh Kawali menyembah Dewa Syiwa. 

Sang Maharaja Rake Sanjaya juga mendapat gelar Sang Maha Resi dan Sang Maha Yogi, karena dialah yang menggagas adanya toleransi dan kebebasan beragama di antara agama-agama di wilayah kekuasaannya. Agama Hindu Syiwa adalah agama resmi Kerajaan Mataram Hindu. Tetapi agama lainnya seperti agama Hindu Wisnu atau Waisnawa dan agama Buddha dibiarkannya hidup dan berkembang. Sayang dua abad setelah Maharaja Rake Sanjaya mangkat, kerajaannya kembali terpecah-pecah. Di sisi barat Sungai Bhagalin, kembali berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Kawali. Sedangkan wilayah di sisi timur Sungai Bhagalin, kembali dikuasai para raja yang menganut agama Buddha dan Waisnawa. Mereka adalah para keturunan Dinasti Syailendra yang leluhurnya berasal dari Palembang dengan dinasti raja-raja dari Galuh Lor. Sebelum mendarat sebagai pengungsi di pulau ini, ada sebagian dari bangsa Galuh Lor yang  mendarat lebih dulu di muara Sungai Musi. Mereka lalu melanjutkan perjalannya ke arah tenggara. Akhirnya mereka mendarat di muara sungai Lampir yang berhulu di kaki Gunung Perahu. 

“Keturunan mereka itulah yang kelak dikenal oleh para pedagang dari luar Nusantara ini sebagai Bangsa Jawa. Mereka berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan besar juga. Antara lain Kerajaan Wangsa Isyana yang didirikan Dharmawangsa, Kerajaan Kahuripan di bawah Erlangga yang menyembah Dewa Wisnu, dan Kerajaan Kediri yang juga menyembah Wisnu. Kemudian Kerajaan Singasari yang menyembah Dewa Syiwa tetapi mengakui agama Buddha Tantrayana. Akhirnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu aliran Syiwa-Budha Tantrayana,” kata Sri Baginda saat itu kepada keempat putranya. Semua penjelasan ayahnya itu masih diingat dengan baik oleh Kamandaka.

“Kini Majapahit sudah runtuh dan muncul dua kerajaan baru yang saling bersaing. Pertama Kerajaan Hindu Kediri yang merupakan penerus Kerajaan Majapahit di Trowulan yang telah runtuh. Kerajaan Hindu Kediri ini, seperti halnya Majapahit, beragama Hindu aliran Syiwa-Buddha Tantrayana. Rajanya bernama Ranawijaya, keturunan terakhir Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Ranawijaya ini dikenal oleh rakyatnya sebagai Raja Brawijaya terakhir atau Raja Brawijaya VII,” kata Sri Baginda saat itu.

“Kerajaan kedua yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah Kerajaan Demak yang berdiri dekat pantai utara, tidak jauh dari Gunung Muria,” lanjut Sri Baginda. “Kerajaan Demak ini menganut agama Islam. Jika agama Hindu dan Buddha berasal dari tanah India atau Hindustan, maka agama Islam berasal dari tanah Jazirah Arab. Baik Kerajaan Islam Demak maupun Kerajaan Hindu Kediri, mereka saling bersaing memperebutkan wilayah-wilayah peninggalan Kerajaan Majapahit yang telah runtuh.  Perebutan pengaruh dan wilayah antara kedua kerajaan itu melebar sampai masuk ke wilayah Lembah Ciserayu yang berada di sisi barat Sungai Bhagalin.” 

“Kadipaten Pasirluhur adalah kadipaten yang sempat dibangun kembali oleh Kerajaan Galuh Kawali setelah kerajaan peninggalan Maharaja Rake Sanjaya itu pecah. Kini Kadipaten Pasirluhur menjadi satu-satunya ujung tombak untuk menghadapi ekspansi perluasan wilayah dua kerajaan yang saling bersaing, yakni Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Hindu Kediri,” ujar Sri Baginda Prabu Siliwangi mengakhiri ceriteranya. Kamandaka segera tersadar dari mengingat kisah yang diceriterakan ayahandanya itu, ketika dalam perjalanannya menyelusuri lorong rahasia bawah tanah, tiba-tiba dia sampai di ujung lorong yang semakin menyempit. Akhirnya Kamandaka melihat sebuah sungai.

“Sungai apakah itu?” tanya Kamandaka sambil menduga-duga. ”Sungai Ciserayukah? Tidak mungkin. Sungai Ciserayu harus lebih besar dari Sungai Logawa.” 

Dugaan Kamandaka ternyata benar. Sungai itu bukan Sungai Ciserayu. Sungai itu adalah sungai Banjaran yang bermuara di Sungai Logawa. Kamandaka segera meloncat terjun ke dalamnya meninggalkan mulut lorong rahasia. Dari sana Kamandaka terus berenang ke muara Sungai Banjaran yang membawanya tiba kembali di Sungai Logawa. 

“Tidak lama lagi pasti Sungai Logawa ini akan berakhir di Sungai Ciserayu,” kata Kamandaka di dalam hati. Dia melihat sinar matahari di atasnya. Tampak bayangan dirinya sendiri bergoyang-goyang di dalam air sungai yang jernih itu. Kamandaka membiarkan dirinya hanyut terbawa aliran air ke arah hilir. Sebagai seorang perenang hebat, baginya bukan persoalan sulit berenang dengan gaya punggung mengikuti aliran sungai, sampai akhirnya tiba di muara Sungai Logawa. Kamandaka segera menepi. Dia telah tiba di tepi sungai besar.

“Inilah dia Sungai Ciserayu. Sungai terpanjang di Jawa yang mengalir ke lautan paling selatan, Lautan Nusantara,” kata Kamandaka sangat yakin dengan pendapatnya. Dengan mudah Kamandaka berjalan ke arah timur dan sampailah di tempat terbuka.

Dipandangnya air Sungai Ciserayu yang mengalir tak beriak di depannya. Pada saat menatap sungai yang lebar, besar, dan panjang dengan struktur tebing-tebingnya yang tampak kokoh dan kuat, Kamandaka segera ingat kepada Maharaja Rake Sanjaya. Dialah Sang Putra Sungai yang membangun Kerajaan Mataram Hindu, di hulu Sungai Ciserayu yang airnya tak kenal lelah menyusuri jalan panjang menuju lautan besar, pikir Kamandaka.

Setelah puas mengagumi kebesaran Sang Putra Sungai Rake Sanjaya dan Sungai Ciserayu, Kamandaka menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, dilihatnya sebuah batu besar menggeletak bagaikan seekor anak kerbau sedang tiduran berjemur di bawah terik panas matahari. Kamandaka mendekatinya, dengan mudah dia meloncat naik ke atas batu besar itu, lalu merebahkan dirinya sambil mengeringkan baju dan tubuhnya yang basah kuyup.

Ketika Kamandaka memandang ke atas, dilihatnya mega-mega putih seperti gumpalan kapas, bergerak berarak-arakan melayari langit biru. Aroma batang rumpun bambu yang tumbuh di pinggir sungai saling bergesekan ditiup angin, menyebar kian kemari terbawa angin gunung.

“Terima kasih wahai Yang Maha Kuasa, Engkau telah menyelamatkan diri hamba-Mu ini,” kata Kamandaka dalam hati.[bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar