Tanah yang membentang
di sepanjang lembah-lembah sungai rata-rata subur, sehingga aneka macam tanaman
tumbuh di sekitarnya. Di kaki gunung di sepanjang hulu sungai terdapat berbagai
jenis batu-batuan, mulai dari batu hitam, batu api, batu mulia, batu bara,
sampai berbagai macam hasil tambang seperti tembaga, besi, emas, perak, dan
lainnya lagi. Itulah sebabnya Lembah Sungai Sutra berkembang menjadi daerah
makmur. Penduduk yang bermukim di situ sudah mampu mengembangkan peradaban maju
dengan berporos pada sungai. Mereka sudah pandai mengolah tanah-tanah pertanian
untuk menanam padi dan palawija. Mereka pun memiliki keahlian membuat gula dari
nira pohon kelapa, pohon aren maupun gula tebu. Bahkan mereka sudah memiliki
kepandaian membuat arak dari nira.
Mereka juga terampil
membuat alat-alat dari perunggu, besi, dan tembaga. Selain itu mereka mampu
membuat saluran irigasi, membuat bendungan, membangun sarana jalan, bangunan
tempat tinggal, keraton, dan benteng perlindungan. Sudah tentu mereka pandai pula
berenang, menyelam, menangkap ikan, dan pandai membuat berbagai jenis alat
penangkap ikan dan alat-alat sarana perhubungan sungai seperti rakit dan aneka
macam bentuk perahu.
Sayang sekali
kemakmuran lembah Sungai Sutra itu segera berakhir, karena datangnya suku-suku
bangsa penyerbu dari daerah utara yang iri hati melihat kemakmuran penduduk
Lembah Sungai Sutra. Suku-suku penakluk datang menyerbu dan menduduki wilayah
itu. Mereka membunuh, merampok, dan merampas harta benda yang ada, menguasai,
dan menjadikan penduduk setempat sebagai budaknya. Penduduk setempat yang tidak
mau menjadi budak, terpaksa melarikan diri mengungsi menyeberang laut selatan
untuk menemukan tempat bermukim yang baru. Mereka mengungsi secara bergelombang
mencari tanah harapan.
Salah satu dari
gelombang pengungsi itu berlayar melewati sisi timur Pulau Emas. Sebagian
mendarat di Kutai. Sebagian melanjutkan pelayarannya ke selatan hingga mendarat
di pantai tidak jauh dari Gunung Ciremai dari sebuah pulau paling selatan.
Pulau paling selatan itu kemudian dikenal sebagai Pulau Jawa. Keturunan mereka
kemudian berhasil mendirikan sejumlah kerajaan yang semuanya berporos pada
sungai-sungai besar, melanjutkan tradisi kebudayaan leluhur mereka putra-putra
Lembah Sungai Sutra. Mereka menamakan dirinya sebagai bangsa Galuh, dari kata
Sagaluh atau Sakaluh, yang berarti bangsa dari lembah sungai, yakni Sungai
Sutra.
Kerajaan besar yang berhasil
didirikan bangsa Galuh antara lain, Kerajaan Taruma Negara di muara Sungai
Citarum, Kerajaan Galuh Kawali di hulu Sungai Cimanuk dan Citanduy, Kerajaan
Galuh Purba di hulu Sungai Logawa, dan Kerajaan Mataram Hindu di hulu Sungai
Ciserayu dan Sungai Bhagalin, lalu Kerajaan Pajajaran di hulu Sungai Ciliwung, demikian
kata Sri Baginda Prabu Siliwangi saat itu.
Kisah petualangan dan
pengungsian bangsa Galuh dari Lembah Sungai Sutra semacam itu memang sudah
sering dikisahkan secara turun-temurun kepada para anak cucu keturunan mereka,
terutama di kalangan kerabat dekat keluarga kerajaan. Mungkin semua itu dimaksudkan
sebagai pengingat asal-usul dari leluhur mereka yang gagah berani, putra-putra
sungai yang pantang menyerah, sekalipun musuh datang silih berganti berusaha
untuk menaklukan mereka. Ada memang yang tewas. Ada pula yang takluk menyerah
menjadi budak dan dihinakan. Tetapi ada juga yang gigih berjuang mempertahankan
harga diri, kehormatan, kebebasan, dan kemerdekaan dengan memilih menjadi
petualang dan pengungsi. Mereka tak gentar mengarungi lautan, mencari
tanah-tanah pemukiman baru yang menjanjikan harapan lebih baik, ketimbang
menjadi bangsa yang diperbudak. Kebebasan dan kemeredekaan memang mahal
harganya.
Kerajaan Galuh Purba di
hulu Sungai Logawa itu merupakan cabang dari Kerajaan Galuh Kawali. Sayangnya
Kerajaan Galuh Purba pada suatu masa berhasil ditaklukan kerajaan di sebelah
timurnya, yakni kerajaan yang merupakan cabang dari Kerajaan Kalingga di lereng
utara Pegunungan Dieng. Kerajaan ini merupakan kerajaan penyembah Dewa
Matahari. Mereka mengincar Lembah Sungai Logawa yang subur itu. Maka segera diserbunya
Kerajaan Galuh Purba. Akhirnya setelah melalui pertempuran yang hebat, terpaksa
penguasa Kerajaan Galuh Purba meninggalkan Lembah Logawa. Mereka mengungsi ke
barat mencari perlindungan kepada saudaranya di Kerajaan Galuh Kawali.
Di atas reruntuhan
Kerajaan Galuh Purba para penyerbu kemudian mendirikan pusat penyembahan kepada
Dewa Matahari yang diberi nama Goromanik. Goro artinya gembung, yakni tubuh Dewa
Rahu yang telah kehilangan kepalanya. Sedang manik berarti air suci. Jadi arti
Goromanik sebenarnya adalah gunung suci yang dipercaya berasal dari gembung
Dewa Rahu, raksasa yang ingin memiliki kesaktian seperti para dewa. Para
penyembah Matahari itulah yang menganggap Gunung Goromanik merupakan gunung
suci.
Sejak itu nama Gunung
Agung diganti menjadi Gunung Goromanik. Penduduk sekitarnya, memendekkannya dan
menyebutnya sebagai Gunung Goro. Akhirnya menjadi Gunung Gora yang sebenarnya
berarti gembung atau tubuh tanpa kepala dari Sang Rahu yang jatuh kepermukaan
bumi karena kepalanya lepas dipanah Dewa Wisnu. Dewa Rahu sempat meminum air
suci yang dicurinya, maka kepala Sang Rahu masih tetap hidup melayang-layang di
angkasa dengan membawa dendam kesumat kepada Dewa Matahari yang memberitahu
Dewa Wisnu pada saat Sang Rahu sedang enak-enaknya meminum air suci yang
berhasil dicurinya. Namun para penguasa Kerajaan Galuh dan Pajajaran tetap
memberi nama gunung terbesar di Pulau Sunda atau Pula Jawa itu Gunung Agung.
Kemudian Senna, cucu Maharaja Wretikandayun, akhirnya berhasil mengambil alih
kembali Lembah Sungai Logawa yang subur itu dan mengusir para pemuja Dewa
Matahari.
Maharaja Wretikandayun,
kakek Senna adalah penguasa dan pendiri Kerajaan Galuh Kawali. Senna naik tahta
Kerajaan Galuh Kawali menggantikan ayahnya Amara yang mendapat julukan
Mandiminyak, karena wajahnya yang tampan dan kulitnya yang kekuning-kuningan
bercahaya. Sayangnya Senna digulingkan oleh Purbasora, putra paman Senna,
Sampakwaja. Sampakwaja dan Mandiminyak adalah kakak beradik putra Maharaja
Wretikandayun. Senna melarikan diri ke timur sampai ke lembah Sungai Bhagalin.
Dari sana muncul Rake Sanjaya, putra Senna yang berhasil membangun Kerajaan
Mataram yang menganut agama Syiwa. Kerajaan Mataram Hindu ini didirikan di hulu
Sungai Ciserayu, di sisi selatan Gunung Dieng.
Rake Sanjaya, Putra
Senna segera memperlihatkan keperkasaannya. Dia bisa menguasai Kerajaan
Kalingga yang berada di sisi timur Sungai Bhagalin. Bahkan Kerajaan Galuh
Kawali yang saat itu dikuasai oleh Purbasora, berhasil ditaklukan. Setelah Rake
Sanjaya berhasil menguasai kembali kerajaan warisan ayahnya itu, dia segera
menyatukan wilayah Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai Bhagalin dengan
wilayah Kerajaan Kalingga di sisi timur Sungai Bhagalin.
Kekuasaan Rake Sanjaya
dengan Kerajaan Mataramnya, bukan hanya dari ujung barat sampai ujung timur
pulau ini. Rake Sanjaya, juga berkuasa atas kerajaan-kerajaan di dua pulau
besar lainnya, yakni Borneo dan Andalas. Maka Dia mendapat gelar Maharaja.
Karena Maharaja Rake Sanjaya adalah putra Galuh, dia menyebut pulau ini sebagai
Pulau Sunda. Para pedagang dari India, China, Arab, Romawi, juga menyebut pulau
ini sebagai Pulau Sunda. Bersama pulau Andalas dan Borneo, disebutnya sebagai
Kepulauan Sunda Besar.
“Tahukah kalian apa
arti kata Sunda?” tanya Sang Baginda Prabu Siliwangi ketika itu kepada keempat putranya
yang duduk mengelilinginya. Keempat putranya itu semuanya menggelengkan kepala.
“Sunda itu berasal dari
kata sindai yang berarti emas. Pulau Sunda artinya Pulau Emas. Memang di bagian
barat Pulau Sunda ini banyak sekali menghasilkan emas, terutama di hulu Sungai
Ciliwung dan hulu Sungai Cisadane. Itulah salah satu pertimbangan kenapa kakekmu
dulu, Rahyang Dewa Niskala memindahkan pusat Kerajaan Galuh dari Kawali ke
Pakuan Pajajaran yang berada di hulu Sungai Ciliwung, tidak jauh dari kaki
Gunung Gede dan Gunung Salak yang subur itu,” jelas Sang Raja Baginda Prabu
Siliwangi.
Kerajaan Kalingga yang
berhasil dikuasai Maharaja Rake Sanjaya itu, sebenarnya didirikan juga oleh
para pengungsi gelombang susulan yang datang dari Lembah Sungai Sutra. Oleh
karena itu mereka kadang-kadang disebut bangsa Galuh Lor atau Galuh Utara.
Hanya saja kepercayaan mereka berbeda. Mereka menyembah Dewa Wisnu sedang
Kerajaan Galuh Purba dan Galuh Kawali menyembah Dewa Syiwa.
Sang Maharaja Rake
Sanjaya juga mendapat gelar Sang Maha Resi dan Sang Maha Yogi, karena dialah
yang menggagas adanya toleransi dan kebebasan beragama di antara agama-agama di
wilayah kekuasaannya. Agama Hindu Syiwa adalah agama resmi Kerajaan Mataram
Hindu. Tetapi agama lainnya seperti agama Hindu Wisnu atau Waisnawa dan agama
Buddha dibiarkannya hidup dan berkembang. Sayang dua abad setelah
Maharaja Rake Sanjaya mangkat, kerajaannya kembali terpecah-pecah. Di sisi
barat Sungai Bhagalin, kembali berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Kawali.
Sedangkan wilayah di sisi timur Sungai Bhagalin, kembali dikuasai para raja
yang menganut agama Buddha dan Waisnawa. Mereka adalah para keturunan Dinasti
Syailendra yang leluhurnya berasal dari Palembang dengan dinasti raja-raja dari
Galuh Lor. Sebelum mendarat sebagai pengungsi di pulau ini, ada sebagian dari
bangsa Galuh Lor yang mendarat lebih
dulu di muara Sungai Musi. Mereka lalu melanjutkan perjalannya ke arah
tenggara. Akhirnya mereka mendarat di muara sungai Lampir yang berhulu di kaki
Gunung Perahu.
“Keturunan mereka itulah yang kelak dikenal oleh para pedagang
dari luar Nusantara ini sebagai Bangsa Jawa. Mereka berhasil mendirikan
kerajaan-kerajaan besar juga. Antara lain Kerajaan Wangsa Isyana yang didirikan
Dharmawangsa, Kerajaan Kahuripan di bawah Erlangga yang menyembah Dewa Wisnu,
dan Kerajaan Kediri yang juga menyembah Wisnu. Kemudian Kerajaan Singasari yang
menyembah Dewa Syiwa tetapi mengakui agama Buddha Tantrayana. Akhirnya Kerajaan
Majapahit yang beragama Hindu aliran Syiwa-Budha Tantrayana,” kata Sri Baginda
saat itu kepada keempat putranya. Semua penjelasan ayahnya itu masih diingat
dengan baik oleh Kamandaka.
“Kini Majapahit sudah
runtuh dan muncul dua kerajaan baru yang saling bersaing. Pertama Kerajaan Hindu
Kediri yang merupakan penerus Kerajaan Majapahit di Trowulan yang telah runtuh.
Kerajaan Hindu Kediri ini, seperti halnya Majapahit, beragama Hindu aliran
Syiwa-Buddha Tantrayana. Rajanya bernama Ranawijaya, keturunan terakhir Raden
Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Ranawijaya ini dikenal oleh rakyatnya
sebagai Raja Brawijaya terakhir atau Raja Brawijaya VII,” kata Sri Baginda saat
itu.
“Kerajaan kedua yang
muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah Kerajaan Demak
yang berdiri dekat pantai utara, tidak jauh dari Gunung Muria,” lanjut Sri
Baginda. “Kerajaan Demak ini menganut agama Islam. Jika agama Hindu dan Buddha
berasal dari tanah India atau Hindustan, maka agama Islam berasal dari tanah
Jazirah Arab. Baik Kerajaan Islam Demak maupun Kerajaan Hindu Kediri, mereka saling
bersaing memperebutkan wilayah-wilayah peninggalan Kerajaan Majapahit yang
telah runtuh. Perebutan pengaruh dan
wilayah antara kedua kerajaan itu melebar sampai masuk ke wilayah Lembah Ciserayu
yang berada di sisi barat Sungai Bhagalin.”
“Kadipaten Pasirluhur
adalah kadipaten yang sempat dibangun kembali oleh Kerajaan Galuh Kawali
setelah kerajaan peninggalan Maharaja Rake Sanjaya itu pecah. Kini Kadipaten
Pasirluhur menjadi satu-satunya ujung tombak untuk menghadapi ekspansi
perluasan wilayah dua kerajaan yang saling bersaing, yakni Kerajaan Islam Demak
dan Kerajaan Hindu Kediri,” ujar Sri Baginda Prabu Siliwangi mengakhiri
ceriteranya. Kamandaka segera tersadar
dari mengingat kisah yang diceriterakan ayahandanya itu, ketika dalam
perjalanannya menyelusuri lorong rahasia bawah tanah, tiba-tiba dia sampai di
ujung lorong yang semakin menyempit. Akhirnya Kamandaka melihat sebuah sungai.
“Sungai apakah itu?”
tanya Kamandaka sambil menduga-duga. ”Sungai Ciserayukah? Tidak mungkin. Sungai
Ciserayu harus lebih besar dari Sungai Logawa.”
Dugaan Kamandaka
ternyata benar. Sungai itu bukan Sungai Ciserayu. Sungai itu adalah sungai
Banjaran yang bermuara di Sungai Logawa. Kamandaka segera meloncat terjun ke
dalamnya meninggalkan mulut lorong rahasia. Dari sana Kamandaka terus berenang
ke muara Sungai Banjaran yang membawanya tiba kembali di Sungai Logawa.
“Tidak lama lagi pasti Sungai
Logawa ini akan berakhir di Sungai Ciserayu,” kata Kamandaka di dalam hati. Dia
melihat sinar matahari di atasnya. Tampak bayangan dirinya sendiri
bergoyang-goyang di dalam air sungai yang jernih itu. Kamandaka membiarkan
dirinya hanyut terbawa aliran air ke arah hilir. Sebagai seorang perenang
hebat, baginya bukan persoalan sulit berenang dengan gaya punggung mengikuti aliran
sungai, sampai akhirnya tiba di muara Sungai Logawa. Kamandaka segera menepi.
Dia telah tiba di tepi sungai besar.
“Inilah dia Sungai
Ciserayu. Sungai terpanjang di Jawa yang mengalir ke lautan paling selatan,
Lautan Nusantara,” kata Kamandaka sangat yakin dengan pendapatnya. Dengan mudah
Kamandaka berjalan ke arah timur dan sampailah di tempat terbuka.
Dipandangnya air Sungai
Ciserayu yang mengalir tak beriak di depannya. Pada saat menatap sungai yang
lebar, besar, dan panjang dengan struktur tebing-tebingnya yang tampak kokoh
dan kuat, Kamandaka segera ingat kepada Maharaja Rake Sanjaya. Dialah Sang
Putra Sungai yang membangun Kerajaan Mataram Hindu, di hulu Sungai Ciserayu
yang airnya tak kenal lelah menyusuri jalan panjang menuju lautan besar, pikir
Kamandaka.
Setelah puas mengagumi
kebesaran Sang Putra Sungai Rake Sanjaya dan Sungai Ciserayu, Kamandaka
menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, dilihatnya
sebuah batu besar menggeletak bagaikan seekor anak kerbau sedang tiduran
berjemur di bawah terik panas matahari. Kamandaka mendekatinya, dengan mudah
dia meloncat naik ke atas batu besar itu, lalu merebahkan dirinya sambil
mengeringkan baju dan tubuhnya yang basah kuyup.
Ketika Kamandaka
memandang ke atas, dilihatnya mega-mega putih seperti gumpalan kapas, bergerak
berarak-arakan melayari langit biru. Aroma batang rumpun bambu yang tumbuh di
pinggir sungai saling bergesekan ditiup angin, menyebar kian kemari terbawa
angin gunung.
“Terima kasih wahai
Yang Maha Kuasa, Engkau telah menyelamatkan diri hamba-Mu ini,” kata Kamandaka
dalam hati.[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar