Kamandaka bergegas
pulang ke Dalem Kepatihan. Dalam hati dia amat menyesal karena telah terpilih
sebagai paleka dan penjala terbaik. Sebab seharusnya cukuplah menjadi pemenang
nomor tiga. Gara-gara jadi pemenang pertama, dia gagal menerima kenang-kenangan
dari Sang Dewi.
“Hem…, coba kalau aku
bukan yang terbaik, pastilah aku akan menerima hadiah kenang-kenangan bukan dari
Kanjeng Adipati. Tapi dari…, Oh, Dewi pujaan hatiku…, wajahmu bak rembulan
tanggal empat belas. Jika aku penerima hadiah ketiga, pastilah saat itu aku
bisa lebih dekat menatapmu dan bisa jadi mempunya kesempatan merasakan
lembutnya jari-jemari tanganmu. Benar Eyang Ajar Wirangrong, aku telah
menemukan gadis yang selama ini kucari. Wajahnya benar-benar mirip ibuku,
bagaikan pinang dibelah dua. Bisa jadi benar, dia itu inkarnasi sukma Mawar Galuh
Pitaloka,” ujar Kamandaka dalam batinnya sambil melangkah ke Dalem Kepatihan.
Kamandaka ingin
cepat-cepat sampai di rumah, kemudian mau ganti celana dan bajunya yang basah
kuyup. Sebab dia pun ingin menghadiri santap siang di Pendapa Kadipaten, siapa
tahu bisa bertemu dengan gadis pujaannya.Pendapa Agung Kadipaten
Pasirluhur sudah penuh sesak oleh para mantri, lurah, dan punggawa serta para
tamu undangan ketika Kamandaka memasuki gerbang Kadipaten. Kanjeng Adipati, Ki
Patih, dan tamu-tamu istimewa lainnya menikmati hidangan santap siang di
bangsal pertemuan. Halaman samping kiri dan kanan pendapa juga penuh sesak oleh
orang-orang yang tengah menikmati santapan makan siang. Para tamu tinggal
memilih sendiri aneka macam makanan, minuman, dan buah-buahan yang telah
tersedia. Puluhan ceting, yaitu
tempat nasi dari bambu yang dianyam, berisi nasi putih pulen hasil sawah
Kadipaten Pasirluhur yang terbentang di sepanjang Sungai Logawa, tersaji di
pendapa. Demikian pula ikan bakar Sungai Logawa yang telah diolah oleh para
juru masak kadipaten, siap untuk disantap para tamu. Tersaji pula sayur lodeh,
aneka macam lalaban, aneka macam sambal, bermacam-macam buah-buahan segar, dan
aneka macam minuman seperti arak, teh, dan air nira. Para tamu tinggal memilih
sepuasnya.
Kamandaka sendiri tidak
banyak menikmati aneka hidangan melimpah ruah yang terhidang itu. Dia memcoba
mencari-cari di antara para tamu undangan, gadis cantik pujaannya itu. Tentu
saja dia harus siap-siap untuk kecewa. Karena pastilah Sang Dewi sudah masuk ke
dalam Taman Kaputren. Dan di sana tak seorang tamu pun yang boleh
mengganggunya. Lagi pula jarak pendapa kadipaten dengan Taman Kaputren itu
cukup jauh, terhalang pula oleh banyaknya bangunan yang ada di sana sini. Dengan wajah tertunduk
dan kecewa, Kamandaka memilih melangkah pulang, meninggalkan aneka macam
hidangan, bahkan meninggalkan irama gamelan yang mendayu-dayu mengiringi lengger, yakni penyanyi merangkap penari,
yang menyanyi dan berlenggak-lenggok di sudut pendapa untuk menghibur para tamu
Kadipaten Pasirluhur.
“Biyung Emban, usia
berapa dulu waktu Biyung Emban jadi pengantin?” tanya Sang Dewi pada Emban
kesayangannya, Khandegwilis yang masih setia menemani Ndara Putrinya itu.
“Lupa lagi, Ndara
Putri. Gadis-gadis di kampung rata-rata menikah dalam usia masih sangat muda, Ndara
Putri. Tetapi biasanya setelah orang tuanya tahu anak gadisnya sudah kedatangan
bulan, langsung dinikahkan. Begitulah memang adat yang berlaku. Bahkan ada
orang tua yang nekat menikahkan anak gadisnya yang masih di bawah umur.”
“Coba Biyung Emban
ingat-ingat lagi, saat Biyung Emban jadi pengantin, kira-kira sudah berapa kali
mengalami datang bulan?”
“Hehehe…, pinter, Ndara
Putri. Biyung Emban ingat. Betul, sekarang ingat. Begitu Simbok tahu Biyung Emban
sudah kedatangan bulan yang pertama kali, Simbok langsung bilang pada bapak,
‘Anakmu sudah perawan. Bulan depan sudah bisa dinikahkan’. Dua minggu kemudian
datang dua orang laki-laki, yang satu usianya sebaya dengan bapak yang satunya
lebih tua lagi. Hamba langsung
dinikahkan dengan orang yang usianya sebaya dengan bapak. Adapun yang
memimpin prosesi perkawinan yang serba cepat itu adalah lelaki yang sudah agak
tua tadi. Ternyata dia seorang brahmana yang memang ditugaskan oleh kadipaten
untuk melayani kebutuhan warganya yang akan melaksanakan prosesi perkawinan.
Dan sore itu juga ternyata hamba sudah harus dibawa laki-laki yang tiba-tiba
saja menjadi suami hamba itu, Ndara Putri. Saat itu hamba merasa sangat sedih.
Hamba merasa seperti diusir oleh bapak dan simbok keluar dari rumah, karena
harus ikut seorang laki-laki yang tiba-tiba harus hamba layani. Bukan hanya
harus dilayani dalam soal-soal urusan dapur, Ndara Putri. Tapi juga dalam
urusan di atas tempat tidur. Suami hamba merasa berhak berbuat apa saja kepada
hamba, karena dia merasa telah membeli hamba dari orang tua hamba, Ndara Putri.
Hamba merasa telah dijual oleh orang tua
hamba kepada suami hamba. Memang, suami hamba sudah mengeluarkan harta yang
tidak sedikit untuk mendapatkan hamba, Ndara Putri.”
“Berarti Biyung Emban
menikah dalam usia yang masih sangat muda.”
“Betul sekali, Ndara
Putri.”
“Yang bagus gadis-gadis
seharusnya dinikahkankan pada usia lima atau enam tahun setelah mengalami
datang bulan pertama. Gadis-gadis yang menikah dalam usia terlalu muda, bukan
hanya tidak baik bagi perkembangan kejiwaan anak gadis tadi, tetapi juga akan
melahirkan anak-anak yang lemah dan kadang kala cacat. Melahirkan anak ketika
seorang ibu masih berusia sangat muda juga membahayakan jiwa si ibu muda dan
bayinya sekaligus. Lebih banyak dari mereka yang meninggal daripada yang hidup.
Coba, Biyung Emban punya anak berapa?”
Lama Khandegwilis diam
tidak memberikan jawaban. Dengan sabar Ndara Putrinya menunggu jawaban dari Emban kesayangannya
itu. Bukan jawaban yang terdengar. Tetapi isak tangis dengan suara
tertahan-tahan, sehingga membuat Ndara Putrinya terkejut bukan main.
“Biyung Emban? Ada apa?
Oh, maafkan aku, Biyung Emban jika pertanyaanku melukai Biyung Emban!” Sang
Dewi cepat memeluk emban kesayangannya seraya meminta maaf beberapa kali. Dia mengira
dialah yang menyebabkan emban pengasuhnya itu menahan isak tangis.
“Ndara Putri tidak
salah. Hamba tiba-tiba saja ingat ketiga anak yang pernah hamba kandung, Ndara
Putri. Ketiga anak yang sempat hamba kandung itu semuanya meninggal,” jawab
Biyung Emban. Setelah melepaskan diri dari pelukan Ndara Putrinya, mulai bisa
mengendalikan perasaan yang bergolak di dadanya.
“Apa yang dikatakan
Ndara Putri sepenuhnya benar. Adat dan tradisi yang berlaku di Kadipaten
Pasirluhur, menjadikan suatu kebiasaan anak gadis dinikahkan dalam usia muda.
Tidak semua suami sayang kepada istrinya. Banyak di antara para suami itu
menganggap istri yang baru dikawininya itu hanyalah alat pemuas nafsu birahinya
saja. Hampir semua anak-anak gadis di desa mengalami perlakuan yang sama. Pertama
kali mereka memasuki kehidupan rumah tangga, mereka merasakan seperti memasuki
sebuah neraka, tak terkecuali hamba, Ndara Putri.” Khandegwilis diam
sejenak. Dia menarik napas panjang, seolah-olah hendak mengumpulkan seluruh kekuatannya
untuk bisa mengingat kembali masa lalunya yang penuh penderitaan. Kemudian
mulailah Khandegwilis berceritera tentang masa lalunya.
***
“Hamba ingat betul,
Ndara Putri. Ketika itu hamba tiba di rumah suami hamba sudah sore hari. Rumah
suami hamba cukup besar. Maklumlah dia seorang punggawa kadipaten, sehingga
hidup berkecukupan. Hamba ditunjukkan kamar tempat tidur hamba, kamar tempat
tidur suami, ruang makan, dapur, dan kamar mandi yang airnya mengalir dari
sebuah pancuran. Setelah itu hamba disuruh mandi. Betapa segarnya, setelah
menempuh perjalanan cukup jauh, air dari pancuran yang bening itu mengguyur
seluruh tubuh hamba. Ketika hamba sedang enak-enak mandi di bawah pancuran,
tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk, suami hamba datang minta dibukakan pintu.
Dengan tangan gemetar pintu kamar mandi hamba buka, suami hamba dengan wajah
tenang masuk, kemudian manatap hamba dari ujung rambut sampai ujung kaki. Naluri
kewanitaan hamba segera bereaksi. Hamba cepat-cepat menutupi kedua buah dada
hamba dengan kedua tangan hamba. Separuh tubuh hamba dari dada ke bawah masih
tertutup kain basah yang menempel pada tubuh hamba. Suami hamba kira-kira
berusia empat puluh tahun, sebaya dengan ayah hamba bertubuh kekar sebagaimana
umumnya para punggawa. Hamba masih menggigil ketakutan, ketika suami hamba
memerintahkan agar hamba melepas seluruh kain basah yang menutupi separuh tubuh
hamba.'Ayo, cepat buka, Nduk. Kuwajiban pertama seorang istri
ialah tidak malu-malu melepas baju di depan suami. Atau haruskah suamimu
membantu kamu?“
“Hamba dengar kata-kata
suami hamba bernada mengancam. Hamba masih ragu, karena itu kain yang menutup
tubuh hamba, semakin keras hamba pegang. Kedua tangan hamba juga semakin rapat
menyembunyikan kedua buah dada hamba. Seumur hidup sejak hamba berusia melewati
satu windu, belum pernah ada lelaki manapun di dunia
ini, bahkan ayah hamba sendiri, yang bisa melihat tubuh hamba dalam keadaan
tanpa pakaian. Kini seorang laki-laki yang baru hamba kenal beberapa jam lalu
yang tiba-tiba saja menjadi suami hamba, dengan secara sewenang-wenang meminta
hamba melepaskan seluruh kain penutup tubuh hamba di depannya? Diam-diam hamba
protes terhadap perlakuan yang sewenang-wenang itu. Karena itu hamba tetap
diam.”
“Tetapi segalanya tentu
sia-sia. Suami hamba yang sudah tidak sabar, segera merenggut kain basah yang
menempel di tubuh hamba, hanya dengan sekali tarikan. Tiba-tiba hamba menyadari
tak seutas benang pun melindungi tubuh hamba, sehingga hamba merasa malu bukan
main. Hamba pun terhuyung-huyung hendak jatuh. Suami hamba yang berpengalaman
itu, segera menarik tubuh hamba ke dalam pelukannya. Sewaktu hamba menangis dan
menggigil dalam dekapannya, dengan leluasa suami hamba menghujani tubuh hamba
dengan ciuman bertubi-tubi di seluruh bagian tubuh hamba mana saja yang dia
sukai. Seakan-akan hamba ini hanyalah segumpal daging segar yang hendak
dilumatkan seluruhnya.”
“Suami hamba memerintah hamba, 'Percuma saja engkau
menangis, Nduk. Dewa sekali pun tidak
akan menolongmu. Sudah kehendak Dewa, takdirmu menjadi istriku. Kitab suci
telah mengajarkan, seorang suami harus mengajari istrinya dan seorang istri
juga wajib patuh dan tunduk kepada suami. Jika engkau ingin mendapat perkenan
dan tidak mendapat murka para Dewa, ikutilah ajaran kitab suci. Patuhilah
perintah suamimu dan berbaktilah kepadanya. Sebentar lagi engkau akan menjadi
seorang wanita sejati. Kewajibanmu berikutnya adalah mempersembahkan
kegadisanmu kepada suamimu. Besok pagi, orang-orang akan menghormatimu dan
memanggilmu sebagai Nyai, istri seorang punggawa Kadipaten Pasirluhur. Ayo, Nduk, aku mandikan.”
“Hamba dibimbingnya ke
bawah air pancuran. Entah mengapa tiba-tiba hamba menjadi sangat penurut.
Mengikuti saja perintah suami hamba yang menuntun hamba melangkah ke bawah air
pancuran yang kembali mengguyur seluruh tubuh hamba. Ajaib memang, rasa cemas
hamba dan rasa malu dalam diri hamba, dan keinginan untuk melawan perintah
suami, tiba-tiba lenyap seketika. Lenyap terbawa air pancuran yang mengguyur
tubuh hamba. Lenyap bersama air mata yang cepat larut terbawa air pancuran yang
melewati wajah hamba. Rasa malu dan cemas juga lenyap pada malam harinya, ketika gumpalan daging
suami hamba itu menggelepar-gelepar di atas tubuh hamba yang tergolek tanpa
daya di atas ranjang. Entah berapa kali malam itu tubuh suami hamba yang
perkasa itu menggelepar-gelepar menindih tubuh hamba, sebab kemudian hamba
sudah tidak ingat apa-apa lagi. Hamba pingsan tak sadarkan diri.”
“Paginya ketika hamba
terbangun, hamba dapati diri hamba tergolek sendirian di atas ranjang bagaikan
sebuah boneka tanpa selembar benang pun. Hanya selembar selimut melindungi
tubuh hamba. Seluruh persendian hamba terasa sakit, lebih-lebih pada pangkal
paha. Kembali air mata hamba mengalir membasahi pipi hamba. Hamba membayangkan malam-malam
berat yang bakal hamba lalui beberapa hari ke depan.
Pagi itu hamba menyadari, bahwa hamba bukan lagi seorang gadis. Suami hamba
semalam telah merenggut keperawanan hamba. Dan sejak itu, diri hamba sepenuhnya adalah milik suami hamba. Oh,
Dewa. Berilah hamba kekuatan. Hamba merintih sendiri dalam batin.”
“Tiba-tiba pintu kamar
terbuka, suami hamba masuk sambil menyungging senyum kegembiraan. Selimut yang
menutupi tubuh hamba ditariknya, kemudian dipeluknya hamba seraya dihujani
ciuman beberapa kali. Setelah puas menyiumi hamba, sambil menunjukkan kain
putih dengan bercak darah merah, suami hamba berkata, 'Nyai, kini engkau
telah jadi wanita sejati. Lihatlah darah perawan suci persembahanmu semalam.
Dewa pasti akan menerima baktimu. Bangun Nyai, temani aku mandi di pancuran.”
“Sejak itu hamba memang
telah menganggap, setiap perintah suami hamba adalah perintah dewa. Tak mungkin
ditolak. Maka dengan susah payah hamba berdiri sambil melilitkan selembar kain
pelindung tubuh. Hamba pun berjalan mengikuti langkah suami hamba. Pagi itu
hamba mandi bersama suami di bawah pancuran yang sama. Tak ada lagi rasa
canggung dan malu dalam diri hamba ketika hamba harus mandi bersama.”
“Masa pengantin baru
sepertinya akan berakhir, ketika empat bulan kemudian hamba hamil pertama kali.
Ternyata kegiatan di atas ranjang terus berlanjut. Suami hamba tetap menuntut
pelayanan yang prima dari hamba, nyaris hampir setiap malam. Akhirnya tubuh
hamba pun semakin lemah. Setiap hamil, hamba mengalami keguguran. Hamba
keguguran sampai tiga kali. Ketika hamba hamil yang ketiga, suami hamba sudah
jarang pulang. Hamba pun keguguran lagi. Tetapi tak lama kemudian suami hamba
meninggal mendadak. Konon kabarnya, diracun oleh salah seorang istri dari suami
hamba yang lain. Sejak itu, hamba takut mempunyai suami, takut hanya dijadikan
budak nafsu birahi seorang laki-laki. Karena tidak mungkin hamba kembali kepada
orang tua hamba, akhirnya hamba mengabdikan diri di Dalem Kadipaten. Tak terasa
sudah sepuluh tahun lebih hamba mengabdikan diri kepada keluarga Kanjeng Rama
Adipati Kandhadaha.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar