Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 07 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (10)




Kamandaka bergegas pulang ke Dalem Kepatihan. Dalam hati dia amat menyesal karena telah terpilih sebagai paleka dan penjala terbaik. Sebab seharusnya cukuplah menjadi pemenang nomor tiga. Gara-gara jadi pemenang pertama, dia gagal menerima kenang-kenangan dari Sang Dewi. 

“Hem…, coba kalau aku bukan yang terbaik, pastilah aku akan menerima hadiah kenang-kenangan bukan dari Kanjeng Adipati. Tapi dari…, Oh, Dewi pujaan hatiku…, wajahmu bak rembulan tanggal empat belas. Jika aku penerima hadiah ketiga, pastilah saat itu aku bisa lebih dekat menatapmu dan bisa jadi mempunya kesempatan merasakan lembutnya jari-jemari tanganmu. Benar Eyang Ajar Wirangrong, aku telah menemukan gadis yang selama ini kucari. Wajahnya benar-benar mirip ibuku, bagaikan pinang dibelah dua. Bisa jadi benar, dia itu inkarnasi sukma Mawar Galuh Pitaloka,” ujar Kamandaka dalam batinnya sambil melangkah ke Dalem Kepatihan.

Kamandaka ingin cepat-cepat sampai di rumah, kemudian mau ganti celana dan bajunya yang basah kuyup. Sebab dia pun ingin menghadiri santap siang di Pendapa Kadipaten, siapa tahu bisa bertemu dengan gadis pujaannya.Pendapa Agung Kadipaten Pasirluhur sudah penuh sesak oleh para mantri, lurah, dan punggawa serta para tamu undangan ketika Kamandaka memasuki gerbang Kadipaten. Kanjeng Adipati, Ki Patih, dan tamu-tamu istimewa lainnya menikmati hidangan santap siang di bangsal pertemuan. Halaman samping kiri dan kanan pendapa juga penuh sesak oleh orang-orang yang tengah menikmati santapan makan siang. Para tamu tinggal memilih sendiri aneka macam makanan, minuman, dan buah-buahan yang telah tersedia. Puluhan ceting, yaitu tempat nasi dari bambu yang dianyam, berisi nasi putih pulen hasil sawah Kadipaten Pasirluhur yang terbentang di sepanjang Sungai Logawa, tersaji di pendapa. Demikian pula ikan bakar Sungai Logawa yang telah diolah oleh para juru masak kadipaten, siap untuk disantap para tamu. Tersaji pula sayur lodeh, aneka macam lalaban, aneka macam sambal, bermacam-macam buah-buahan segar, dan aneka macam minuman seperti arak, teh, dan air nira. Para tamu tinggal memilih sepuasnya. 

Kamandaka sendiri tidak banyak menikmati aneka hidangan melimpah ruah yang terhidang itu. Dia memcoba mencari-cari di antara para tamu undangan, gadis cantik pujaannya itu. Tentu saja dia harus siap-siap untuk kecewa. Karena pastilah Sang Dewi sudah masuk ke dalam Taman Kaputren. Dan di sana tak seorang tamu pun yang boleh mengganggunya. Lagi pula jarak pendapa kadipaten dengan Taman Kaputren itu cukup jauh, terhalang pula oleh banyaknya bangunan yang ada di sana sini. Dengan wajah tertunduk dan kecewa, Kamandaka memilih melangkah pulang, meninggalkan aneka macam hidangan, bahkan meninggalkan irama gamelan yang mendayu-dayu mengiringi lengger, yakni penyanyi merangkap penari, yang menyanyi dan berlenggak-lenggok di sudut pendapa untuk menghibur para tamu Kadipaten Pasirluhur. 

Malam telah larut, suara jengkerik dan orong-orong di halaman Taman Kaputren saling bersahut-sahutan. Kadang-kadang terdengar pula suara burung tuu yang hinggap di pepohonan yang tumbuh di Tamansari Dalem Kadipaten Pasirluhur. Tetapi Sang Dewi belum juga naik ke tempat tidur. Dia masih saja terbayang-bayang wajah Kamandaka, pria muda yang tampan, cekatan, dan perkasa. Sayang sekali pesta rakyat yang meriah itu hanya berlangsung sebentar.
 
“Biyung Emban, usia berapa dulu waktu Biyung Emban jadi pengantin?” tanya Sang Dewi pada Emban kesayangannya, Khandegwilis yang masih setia menemani Ndara Putrinya itu.

“Lupa lagi, Ndara Putri. Gadis-gadis di kampung rata-rata menikah dalam usia masih sangat muda, Ndara Putri. Tetapi biasanya setelah orang tuanya tahu anak gadisnya sudah kedatangan bulan, langsung dinikahkan. Begitulah memang adat yang berlaku. Bahkan ada orang tua yang nekat menikahkan anak gadisnya yang masih di bawah umur.”

“Coba Biyung Emban ingat-ingat lagi, saat Biyung Emban jadi pengantin, kira-kira sudah berapa kali mengalami datang bulan?”

“Hehehe…, pinter, Ndara Putri. Biyung Emban ingat. Betul, sekarang ingat. Begitu Simbok tahu Biyung Emban sudah kedatangan bulan yang pertama kali, Simbok langsung bilang pada bapak, ‘Anakmu sudah perawan. Bulan depan sudah bisa dinikahkan’. Dua minggu kemudian datang dua orang laki-laki, yang satu usianya sebaya dengan bapak yang satunya lebih tua lagi. Hamba langsung  dinikahkan dengan orang yang usianya sebaya dengan bapak. Adapun yang memimpin prosesi perkawinan yang serba cepat itu adalah lelaki yang sudah agak tua tadi. Ternyata dia seorang brahmana yang memang ditugaskan oleh kadipaten untuk melayani kebutuhan warganya yang akan melaksanakan prosesi perkawinan. Dan sore itu juga ternyata hamba sudah harus dibawa laki-laki yang tiba-tiba saja menjadi suami hamba itu, Ndara Putri. Saat itu hamba merasa sangat sedih. Hamba merasa seperti diusir oleh bapak dan simbok keluar dari rumah, karena harus ikut seorang laki-laki yang tiba-tiba harus hamba layani. Bukan hanya harus dilayani dalam soal-soal urusan dapur, Ndara Putri. Tapi juga dalam urusan di atas tempat tidur. Suami hamba merasa berhak berbuat apa saja kepada hamba, karena dia merasa telah membeli hamba dari orang tua hamba, Ndara Putri. Hamba  merasa telah dijual oleh orang tua hamba kepada suami hamba. Memang, suami hamba sudah mengeluarkan harta yang tidak sedikit untuk mendapatkan hamba, Ndara Putri.”

“Berarti Biyung Emban menikah dalam usia yang masih sangat muda.”

“Betul sekali, Ndara Putri.”

“Yang bagus gadis-gadis seharusnya dinikahkankan pada usia lima atau enam tahun setelah mengalami datang bulan pertama. Gadis-gadis yang menikah dalam usia terlalu muda, bukan hanya tidak baik bagi perkembangan kejiwaan anak gadis tadi, tetapi juga akan melahirkan anak-anak yang lemah dan kadang kala cacat. Melahirkan anak ketika seorang ibu masih berusia sangat muda juga membahayakan jiwa si ibu muda dan bayinya sekaligus. Lebih banyak dari mereka yang meninggal daripada yang hidup. Coba, Biyung Emban punya anak berapa?”

Lama Khandegwilis diam tidak memberikan jawaban. Dengan sabar Ndara Putrinya  menunggu jawaban dari Emban kesayangannya itu. Bukan jawaban yang terdengar. Tetapi isak tangis dengan suara tertahan-tahan, sehingga membuat Ndara Putrinya terkejut bukan main. 

“Biyung Emban? Ada apa? Oh, maafkan aku, Biyung Emban jika pertanyaanku melukai Biyung Emban!” Sang Dewi cepat memeluk emban kesayangannya seraya meminta maaf beberapa kali. Dia mengira dialah yang menyebabkan emban pengasuhnya itu menahan isak tangis.

“Ndara Putri tidak salah. Hamba tiba-tiba saja ingat ketiga anak yang pernah hamba kandung, Ndara Putri. Ketiga anak yang sempat hamba kandung itu semuanya meninggal,” jawab Biyung Emban. Setelah melepaskan diri dari pelukan Ndara Putrinya, mulai bisa mengendalikan perasaan yang bergolak di dadanya.

“Apa yang dikatakan Ndara Putri sepenuhnya benar. Adat dan tradisi yang berlaku di Kadipaten Pasirluhur, menjadikan suatu kebiasaan anak gadis dinikahkan dalam usia muda. Tidak semua suami sayang kepada istrinya. Banyak di antara para suami itu menganggap istri yang baru dikawininya itu hanyalah alat pemuas nafsu birahinya saja. Hampir semua anak-anak gadis di desa mengalami perlakuan yang sama. Pertama kali mereka memasuki kehidupan rumah tangga, mereka merasakan seperti memasuki sebuah neraka, tak terkecuali hamba, Ndara Putri.”  Khandegwilis diam sejenak. Dia menarik napas panjang, seolah-olah hendak mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk bisa mengingat kembali masa lalunya yang penuh penderitaan. Kemudian mulailah Khandegwilis berceritera tentang masa lalunya.
***
“Hamba ingat betul, Ndara Putri. Ketika itu hamba tiba di rumah suami hamba sudah sore hari. Rumah suami hamba cukup besar. Maklumlah dia seorang punggawa kadipaten, sehingga hidup berkecukupan. Hamba ditunjukkan kamar tempat tidur hamba, kamar tempat tidur suami, ruang makan, dapur, dan kamar mandi yang airnya mengalir dari sebuah pancuran. Setelah itu hamba disuruh mandi. Betapa segarnya, setelah menempuh perjalanan cukup jauh, air dari pancuran yang bening itu mengguyur seluruh tubuh hamba. Ketika hamba sedang enak-enak mandi di bawah pancuran, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk, suami hamba datang minta dibukakan pintu. Dengan tangan gemetar pintu kamar mandi hamba buka, suami hamba dengan wajah tenang masuk, kemudian manatap hamba dari ujung rambut sampai ujung kaki. Naluri kewanitaan hamba segera bereaksi. Hamba cepat-cepat menutupi kedua buah dada hamba dengan kedua tangan hamba. Separuh tubuh hamba dari dada ke bawah masih tertutup kain basah yang menempel pada tubuh hamba. Suami hamba kira-kira berusia empat puluh tahun, sebaya dengan ayah hamba bertubuh kekar sebagaimana umumnya para punggawa. Hamba masih menggigil ketakutan, ketika suami hamba memerintahkan agar hamba melepas seluruh kain basah yang menutupi separuh tubuh hamba.'Ayo, cepat buka, Nduk. Kuwajiban pertama seorang istri ialah tidak malu-malu melepas baju di depan suami. Atau haruskah suamimu membantu kamu?“ 

“Hamba dengar kata-kata suami hamba bernada mengancam. Hamba masih ragu, karena itu kain yang menutup tubuh hamba, semakin keras hamba pegang. Kedua tangan hamba juga semakin rapat menyembunyikan kedua buah dada hamba. Seumur hidup sejak hamba berusia melewati satu windu, belum pernah ada lelaki manapun di dunia ini, bahkan ayah hamba sendiri, yang bisa melihat tubuh hamba dalam keadaan tanpa pakaian. Kini seorang laki-laki yang baru hamba kenal beberapa jam lalu yang tiba-tiba saja menjadi suami hamba, dengan secara sewenang-wenang meminta hamba melepaskan seluruh kain penutup tubuh hamba di depannya? Diam-diam hamba protes terhadap perlakuan yang sewenang-wenang itu. Karena itu hamba tetap diam.” 

“Tetapi segalanya tentu sia-sia. Suami hamba yang sudah tidak sabar, segera merenggut kain basah yang menempel di tubuh hamba, hanya dengan sekali tarikan. Tiba-tiba hamba menyadari tak seutas benang pun melindungi tubuh hamba, sehingga hamba merasa malu bukan main. Hamba pun terhuyung-huyung hendak jatuh. Suami hamba yang berpengalaman itu, segera menarik tubuh hamba ke dalam pelukannya. Sewaktu hamba menangis dan menggigil dalam dekapannya, dengan leluasa suami hamba menghujani tubuh hamba dengan ciuman bertubi-tubi di seluruh bagian tubuh hamba mana saja yang dia sukai. Seakan-akan hamba ini hanyalah segumpal daging segar yang hendak dilumatkan seluruhnya.” 

“Suami hamba memerintah hamba, 'Percuma saja engkau menangis, Nduk. Dewa sekali pun tidak akan menolongmu. Sudah kehendak Dewa, takdirmu menjadi istriku. Kitab suci telah mengajarkan, seorang suami harus mengajari istrinya dan seorang istri juga wajib patuh dan tunduk kepada suami. Jika engkau ingin mendapat perkenan dan tidak mendapat murka para Dewa, ikutilah ajaran kitab suci. Patuhilah perintah suamimu dan berbaktilah kepadanya. Sebentar lagi engkau akan menjadi seorang wanita sejati. Kewajibanmu berikutnya adalah mempersembahkan kegadisanmu kepada suamimu. Besok pagi, orang-orang akan menghormatimu dan memanggilmu sebagai Nyai, istri seorang punggawa Kadipaten Pasirluhur. Ayo, Nduk, aku mandikan.” 

“Hamba dibimbingnya ke bawah air pancuran. Entah mengapa tiba-tiba hamba menjadi sangat penurut. Mengikuti saja perintah suami hamba yang menuntun hamba melangkah ke bawah air pancuran yang kembali mengguyur seluruh tubuh hamba. Ajaib memang, rasa cemas hamba dan rasa malu dalam diri hamba, dan keinginan untuk melawan perintah suami, tiba-tiba lenyap seketika. Lenyap terbawa air pancuran yang mengguyur tubuh hamba. Lenyap bersama air mata yang cepat larut terbawa air pancuran yang melewati wajah hamba. Rasa malu dan cemas juga lenyap  pada malam harinya, ketika gumpalan daging suami hamba itu menggelepar-gelepar di atas tubuh hamba yang tergolek tanpa daya di atas ranjang. Entah berapa kali malam itu tubuh suami hamba yang perkasa itu menggelepar-gelepar menindih tubuh hamba, sebab kemudian hamba sudah tidak ingat apa-apa lagi. Hamba pingsan tak sadarkan diri.” 

“Paginya ketika hamba terbangun, hamba dapati diri hamba tergolek sendirian di atas ranjang bagaikan sebuah boneka tanpa selembar benang pun. Hanya selembar selimut melindungi tubuh hamba. Seluruh persendian hamba terasa sakit, lebih-lebih pada pangkal paha. Kembali air mata hamba mengalir membasahi pipi hamba. Hamba membayangkan malam-malam berat yang bakal hamba lalui beberapa hari ke depan. Pagi itu hamba menyadari, bahwa hamba bukan lagi seorang gadis. Suami hamba semalam telah merenggut keperawanan hamba. Dan sejak itu, diri  hamba sepenuhnya adalah milik suami hamba. Oh, Dewa. Berilah hamba kekuatan. Hamba merintih sendiri dalam batin.”

“Tiba-tiba pintu kamar terbuka, suami hamba masuk sambil menyungging senyum kegembiraan. Selimut yang menutupi tubuh hamba ditariknya, kemudian dipeluknya hamba seraya dihujani ciuman beberapa kali. Setelah puas menyiumi hamba, sambil menunjukkan kain putih dengan bercak darah merah, suami hamba berkata, 'Nyai, kini engkau telah jadi wanita sejati. Lihatlah darah perawan suci persembahanmu semalam. Dewa pasti akan menerima baktimu. Bangun Nyai, temani aku mandi di pancuran.” 

“Sejak itu hamba memang telah menganggap, setiap perintah suami hamba adalah perintah dewa. Tak mungkin ditolak. Maka dengan susah payah hamba berdiri sambil melilitkan selembar kain pelindung tubuh. Hamba pun berjalan mengikuti langkah suami hamba. Pagi itu hamba mandi bersama suami di bawah pancuran yang sama. Tak ada lagi rasa canggung dan malu dalam diri hamba ketika hamba harus mandi bersama.”

“Masa pengantin baru sepertinya akan berakhir, ketika empat bulan kemudian hamba hamil pertama kali. Ternyata kegiatan di atas ranjang terus berlanjut. Suami hamba tetap menuntut pelayanan yang prima dari hamba, nyaris hampir setiap malam. Akhirnya tubuh hamba pun semakin lemah. Setiap hamil, hamba mengalami keguguran. Hamba keguguran sampai tiga kali. Ketika hamba hamil yang ketiga, suami hamba sudah jarang pulang. Hamba pun keguguran lagi. Tetapi tak lama kemudian suami hamba meninggal mendadak. Konon kabarnya, diracun oleh salah seorang istri dari suami hamba yang lain. Sejak itu, hamba takut mempunyai suami, takut hanya dijadikan budak nafsu birahi seorang laki-laki. Karena tidak mungkin hamba kembali kepada orang tua hamba, akhirnya hamba mengabdikan diri di Dalem Kadipaten. Tak terasa sudah sepuluh tahun lebih hamba mengabdikan diri kepada keluarga Kanjeng Rama Adipati Kandhadaha.”(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar