Saya
bersyukur akhirnya berkesempatan mengunjungi rumah Ibu Drg.Yulistiatri Dartoyo
(Selasa,2/2) yang menerima saya dengan segala keramahtamahannya ditemani adik
perempuannya. Buyut Patih R.Aria
Wirjaatmaja itu tinggal di Bandung Selatan yang sejuk dan nyaman, sehingga rumahnya
lebih tepat disebut sebagai pesanggarahan. Dari tempat kediamannya yang nyaman
itu Ibu Drg.Yulistiatri cukup sibuk juga bolak-balik Bandung-Purwokerto, karena
sebagai wakil ketua Yayasan R.Aria Wijaatmadja, harus ikut mengendalikan
organisasi trah Patih R.Aria Wirjaatmaja yang baru saja didirikan.
Rencananya
pada tanggal 21 Pebruari 2016 Ibu Drg.Yulistiatri dengan keluarga besarnya akan
menyelenggarakan acara syukuran sehubungan telah berdirnya yayasan yang telah
berbadan hukum itu, bertempat di kantor Yayasan R.Aria Wirjaatmadja, Jl.Pungkuran
No.5-Purwokerto. Kita ikut mendoakan semoga acara berjalan lancar dan sukses.
Berdasarkan
catatan tahun 1995 yang dimiliki Ibu Drg.Yulistiatri, Patih R.Aria Wijaatmaja
memiliki 18 putra dan putri yang telah berkembang menjadi 100 orang cucu, 550
buyut dan 3000 canggah. Nasab leluhur Patih R.Aria Wirjaatmadja, ternyata
bersambung kepada Sang Adipati Mrapat Jaka Kahiman, Pendiri Kadipaten Banyumas
dengan rantai silsilah sbb :
(1) Adipati
Mrapata Jaka Kahiman, (2) Mertosuro I, (3) Mertosuro II, (4) R.Ngabehi Bawang-Mertoyudo
I, (5) Yudonegoro I-Mertoyudo II, (6) Yudonegara II, (7) Dipoyudo I, (8) Dipomenggolo, (9) R.Ngabehi
Dipadiwirya, (10) R.Aria Wirjaatmadja.
Dari
garis nasab tersebut, Patih R.Aria Wirjaatmadja ternyata masih trah Adipati
Mrapat pada urutan nomor 10. Dengan demikian beliau merupakan turunan ke-9 dari
Kanjeng Adipati Mrapat Jaka Kahiman. Ibu Drg.Yulistiatri yang merupakan buyut
Patih R.Aria Wirjaatmadja, dengan sendirinya berada pada rantai no.13 atau merupakan generasi turunan ke -12, Kanjeng Adipati Mrapat.
R.Ngabehi
Dipadiwirya, ayah Patih R.Aria Wiryaatmaja, semula adalah seorang Demang di Ngayah-Adireja,
yang berhasil meraih jabatan Patih di Kabupaten Banjarnegara. Istri R.Ngabehi
Dipadiwirya adalah seorang Putri dari Kraton Surakarta, putri R.Ngabehi
Kertajaya, seorang Kliwon Kasunanan Surakarta.
Patih R.Aria Wiyaatmaja adalah putra ke-2 dari delapan bersaudara dengan
urutan sbb :
(1)
R.Ngabehi Wiryadireja, (2) R.Aria Wiryaatmaja, (3) R.A Ranudipuro, (4) R.A
Tirtodipuro, (5) R.Wiryadipraja, (6) R.Wiryasukarta, (7) R.Adipura, (8) R. Dipadiwirya.
Saya
semula menduga Patih R.Wirjaatmaja merupakan trah diluar Adipati Mrapat Jaka
Kahiman, karena makam beliau bukan di Dawuhan-Banyumas, tetapi di
Kalibogor-Purwokerto. Ternyata dugaan saya keliru.
Patih
R.Aria Wirjaatmaja, wafat pada tanggal 11 Maret 1909 M, dalam usia 78 tahun,
sebab beliau lahir bulan Agustus 1831 M. Menurut Ibu Drg.Yulistiatri, kakek
buyutnya itu punya kebiasaan unik jika akan berangkat dari rumah ke kantornya
di Kepatihan. Dia pulang pergi naik bendi, sebuah kendaraan priyayi agung jaman
itu. Tetapi jika berangkat Sang Patih itu mengusiri sendiri bendinya dari rumah
ke kantornya. Kusirnya malah disuruh duduk di belakangnya. Tidak diceriterakan
apakah kalau pulang juga begitu.
Tetapi
perilaku unik itu cukup menunjukkan bahwa Patih R.Arya Wirjaatmaja, adalah sosok
pemimpin yang merakyat. Pesan yang selalu disampakain kepada anak cucunya
adalah agar mereka selalu dekat dan mengabdi untuk kepentingan rakyat sesuai
dengan bakat, kecakapan dan ketrampilan masing-masing. Maka ketika wafat,
ratusan bendi dan pejalan kaki ikut mengantarkan ketempat peristirahatnnya yang
terakhir di Taman Bahagia, Makam Kalibogor. Banyak orang yang merasa kehilangan
tokoh yang banyak karyanya demi memperjuangkan kesejahteraan rakyat Pribumi
yang saat itu masih terjajah.
Untuk
mengenang perjuangan para leluhur mereka, trah Kanjeng Adipati Mrapat secara
rutin setiap tahun menggelar acara Sadranan. Drg.Yulistiatri menjelaskan bahwa
tradisi Sadranan memang merupakan tradisi keluarga besar trah Adipati Mrapat
yang dilaksanakan setiap tahun di makam leluhurnya. Kegiatan yang rutin
diselenggarakan sebagai bagian dari acara Sadranan antara lain adalah mengunjungi makam para leluhur mereka dalam
rangka ziarah, mulai dari makam Adipati Mrapat Dawuhan, makam Makam Patih
R.Aria Wirjaatmadja di Kalibogor, makam Martadireja I di Kebutuh
Sokaraja, makam Dipayuda I di Purbalingga, makam Adipati Warga Utama I atau
Adipati Wirasaba VI di Pakiringan-Klampok dan makam Bupati Kanduruhan di
Gombong. Kegiatan lain adalah silaturahmi antar keluarga, dan mendengarkan
ceramah-ceramah keagamaan. Dan tentu saja tukar menukar informasi dan ajang
temu kangen antar keluarga besar.
Nabi saw memang menganjurkan umatnya melakukan
ziarah kubur dengan catatan untuk mendoakan agar perjuangannya dimasa lalu
diterima sebagai amal ibadah kepada Allah SWT, dan para ahli warisnya bisa
meneladani jejak-jejak perjuangan mereka di masa lalu.Tradisi Sadranan bila
dikelola dengan baik, memiliki banyak manfaat. Sadranan sebenarnya berasal dari
kata dalam bahasa Arab, Syakban. Bulan Syakban adalah bulan Ruwah, bulan menyambut
kedatangan bulan suci Ramadhan. Banyak sebenarnya tradisi menyambut bulan Ramadhan
Salah satu diantaranya adalah ziarah kubur seperti yang telah dijelaskan di
atas.
Sadranan jelas berbeda dengan ritual mengenang
hari kematian yang disebut Shrada yang hanya dilakukan sekali, yakni 12 tahun setelah orang meninggal. Tetapi
banyak orang mengira bahwa kosep Sadranan sama dengan Shrada. Keduanya berbeda
bagaikan bumi dan langit. Hakekat Sadranan adalah menyambut kelahiran bulan
Ramadhan yang akan datang. Sedangkan Shrada merayakan hari kematian, dengan
japa dan mantra agar ruh orang yang sudah meninggal itu, tidak lahir kembali
kepada mahluk yang mau lahir. Ritual Shrada hanya sekali, sedang acara Sadranan
diselenggarakan setiap tahun yang inti hakekatnya merayakan datangnya bulan
suci Ramadhan, dengan memanfaatkannya untuk melakukan ziarah kubur..
Koleksi Perpustakaan
Babad Banyumas.
Ibu
Drg.Yulistiatri termasuk salah seorang kolektor buku-buku Babad Banyumas. Buku-buku
dan benda-benda koleksinya meliputi sejumlah buletin, foto-foto, lukisan-lukisan,
dan chart atau peta silsilah yang ada kaitannya dengan sejarah Banyumas, Kraton
Solo, Kraton Yogya, Kerajaan Pajang, Demak, dan Majapahit. Tentu saja dari sisi babad atau historiografi
tradisional. Buku-buku koleksinya itu sebagian besar merupaka warisan keluarga.
Tapi ada juga yang diperolehnya secara aktif dengan melakukan hunting, setiap
ada kesempatan.
Ternyata
buku koleksi buyut Patih R.Aria Wijaatmadja itu cukup lengkap, sekalipun
mungkin tidak selengkap buku koleksi dokter Sudarmaji-di Purwokerto. Buku
Sadranan yang banyak disinggung dan disebut-sebut oleh Sugeng Priyadi dalam
berbagai tulisannya, bisa saya temukan. Terakhir adalah Sadranan tahun 2015 M. Ternyata Ibu
Drg.Yulistiatri memiliki hubungan kekerabatan dengan dokter Sudarmaji.
Dr.Sudarmaji yang konon usianya sudah di atas delapan puluh tahun adalah juga trah
Kanjeng Adipati Mrapat lewat jalur Bupati Kanduruhan,Gombong. Leluhur
Drg.Yulistriatri dan Dr.Sudarmaji bertemu pada leluhur mereka, Bupati Banyumas
VII, Yudonegoro II( 1708 – 1740 M).
Saya
sebenarnya berharap bisa mendapatkan salah satu naskah Babad Banyumas koleksi
Dr.Sudarmadi yang ditulis Wiryasenjaya, anak lurah Kedungwuluh, pada hari
Minggu Kliwon tanggal 14 April 1940 M, yang dijadikan sumber penelitian Sugeng Priyadi
dan dijadikan dasar menetapkan tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI. Konon,
Wiryasenjaya menyebutkan bahwa, sumber naskah itu adalah naskah babad karya
Kanjeng Purwokerto yang ditulis pada tahun 1889 M. yang dikutip Sugeng Priyadi
dengan kalimat sbb :
“Baboning
sarsilah noeroen kagoengan dalem Bendoro Kanjeng Purwoekerto nalika tahun 1889
M” Kalimat itu diakhiri dengan tempat dan titimangsa, Kranji 14 April 1940 (6
Mulud 1359 H)” Naskah ini diberi nama unik oleh Sugeng Priyadi, yakni Naskah
Kranji-Kedungwuluh. Lebih unik dan aneh lagi karena sesungguhnya naskah asli
Kanjeng Purwokerto itu belum pernah ditemukan oleh Sugeng Priyadi selaku
peneliti.
Karena
itu, jika naskah aslinya belum ditemukan, mungkin lebih tepat jika naskah
salinan Wiryasenjaya itu disebut saja naskah Wiryasanjayan. Bagi saya masih
menjadi tanda tanya besar apakah Wiryasanjaya yang naskahnya dikoleksi oleh Dr.Sudarmaji
itu adalah termasuk trah R. Aria Wiryaatmadja dan trah Adipati Mrapat juga?
Jika dilihat namanya, bisa jadi dia termasuk
trah R.Aria Wirjaatmadja juga. Kejelasan silsilah penulis babad
sebenarnya penting, untuk menguji otentisas data yang dikemukakan dalam naskah babad
yang ditulisnya. Sayang naskah itu tidak atau belum dikoleksi Ibu
Drg.Yulistiatri.
Tetapi
Buku Babad Banyumas yang sudah lama saya cari-cari, ternyata ada dalam koleksi Ibu Drg.Yulistiatri. Buka Babad Banyumas itu
adalah tulisan RM.Brotodirejo dan R.Ngatijo Darmosuwondo, yang berjudul Inti
Silsilah Sejarah Banyumas. Naskah yang bertanggal 1 September 1969 itu ,
dicetak oleh Percetakan dan Penerbit Tri Djaja Jakarta. Ciri-ciri fisik buku
sesuai dengan apa yang dicatat oleh Sugeng Priyadi, tebal 102 hal +vi. Dalam
kata pengantarnya Sang Penulis
menyatakan bahwa sebenarnya dia sudah bermaksud menulis buku itu pada tahun
1957 M, karena satu dan lain hal
tertunda-tunda terus. Sang Penulis juga mencantumkan identitasnya
sebagai trah Adipati Mrapat, dengan mencantumkan dalam bukunya itu bahwa
dirinya adalah buyut Kanjeng Adipati Martadireja III.
Bupati
Martadireja III adalah bupati yang paling berprestasi yang hanya dapat disamai
oleh Patih R.Aria Wirjaatmadja. Kebetulan keduanya hidup sejaman. Adipati
Martadireja III, menjabat Bupati Purwokerto ( 1860 – 1879 ) dan Bupati Banyumas
( 1879 – 1913 M). Patih R.Aria Wijaatmaja menjabat Patih Purwokerto dari 1879 –
1907 M.
Rantai
Silsilah Penulis Babad Banyumas ISSB sebagai trah Adipati Mrapat adalah sbb :
(1) Kanjeng
Adipati Mrapat Jaka Kahiman, (2) Mertasura I, (3) Mertasura II, (4) Ngabehi
Bawang-Mertayuda I, (5) Yudhanegara I, (6) Yudanegara II, (7) Yudanegara III,
(8) Ngabehi Kedung Randu-Mertawijaya, (9) Martadireja I, (10) Martadireja II,
(11) Martadireja III, (12) anak Martadireja III, (13) Cucu Martadireja III,
(14) Buyut Martadireja III. Dialah RMS.Brotodirejo, penulis Babad Banyumas Inti
Silsilah Sejarah Banyumas itu.
Dengan
demikian RMS.Brotodirejo berada pada rantai nasab no.14 trah Adipati Mrapat
atau generasi ke -13. Dari rantai nasab trah Kanjeng Adipati Mrapat itu, RMS.Brotodirejo
satu tingkat di bawah Ibu Drg.Yulistiatri yang berada pada rantai nasab no.13. Jadi sekalipun RMS.Brotodirejo usianya lebih
sepuh dari Ibu Drg.Yulistiatri, harus memanggil bude atau tante pada Ibu
Drg.Yulistiatri.
Dengan
kedudukan sebagi lingkaran dalam trah Kanjeng Adipati Mrapat, sebenarnya tidak
ada alasan untuk meragukan kualitas dari isi buku ISSB. Tahun 1582 M, yang
dkontruksikan oleh BRM. Brotodiningrat sebagai Tahun berdirinya Kabupaten
Banyumas, sangat layak untuk diterima sebagai tahun berdirnya Kadipaten
Banyumas. MM.Sukarto yang telah memilih buku ISSB sebagai sumber penelitian
untuk menentukan tahun Hari Jadi Kabupaten Banyumas, sesungguhnya telah
melakukan pemilihan cerdas.
Jarak
waktu yang cukup lama antara penulisan Babad Banyumas Purwosuprojo (1932 M) dan
penulisan Babad ISSB RM.Brotodirejo(Sep 1969 ), sekitar 37 tahun atau hampir
empat dasawarsa. Suatu jangka waktu lebih dari cukup untuk menggali informasi baru
sekitar tradisi Garebeg Mulud Tahun 1582, baik dari Babad Tanah Jawi, maupun
ceretera-ceritera dari leluhurnya yang dulu secara rutin diwajibkan menghadiri
Pasowanan Agung Garebeg Mulud Kraton Surakarta, Kartosura, Mataram, dan Pajang.
Patih
Purwosuprojo, Patih Banyumas, dalam Kitab Babad Banyumas yang ditulisnya dalam
bahasa Jawa halus, menyebutkan berdirinya Kraton Mataram adalah tahun 1582 M.
Patih Purwosuprojo jelas keliru. Sebab Kraton Mataran berdasarkan fakta sejarah
berdiri pada tahun 1586 / 1587 M, setelah Senapati berhasil menaklukan Pajang.
Patih Purwosuprojo menduga kelahiran Kadipaten Banyumas, bersamaan dengan
kelahiran Kraton Mataram.
RM. Brotodiredjo telah melakukan koreksi dan
rekonstruksi ulang terhadap angka tahun 1582 M yang ada dalam buku Purwosuprojo.
Bukan Kerajaan Mataram yang berdiri pada tahun 1582 M. Tetapi Kadipaten
Banyumaslah berdiri pada tahun 1582
M. Sebuah rekonstruksi dan koreksi yang
tepat.
Tentu
saja BM.Brotodiredjo tidak dapat dicap mengubah naskah Purwosuprojo, karena
RM.Brotodirejo memang tidak pernah mengubah karya Patih Purwosuprojo. Patih
Purwosuprojo yang memasukkan angka 1582 M ke dalam buku yang ditulisnya, juga tidak bisa dituduh telah korup terhadap
buku Babad Karya Wirjatmaja, karena Patih Purwosuprojo memang tidak memasukkan
angka 1582 ke dalam buku babad karya
Wirjaatmadja. Yang jelas angka tahun 1582 M, muncul ke dalam kitab babad
yang mereka tulis, bukan datang begitu saja dari langit. Bukan pula dari Fruein
Mees yang mungkin malah belum pernah dibacanya. Angka tahun 1582 M itu angka
yang telah dipikirkan dan dianalisa
secara mendalam berdasarkan tradisi Kraton Pajang, Kitab Babad Tanah
Jawi dan Kitab Karya Pujangga Kraton Pajang, Pangeran Karang Gayam.
Hari Jadi Kabupaten Banyumas, 6 April 1582 M, yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan fakta sejarah
Hari Jadi Kabupaten Banyumas, 6 April 1582 M, yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan fakta sejarah
Kitab
Babad Banyumas ISSB rupanya ditulis oleh
penulisnya pertama-tama dimaksudkan untuk kepentingan keluarga trah Kanjeng
Adipati Mrapat, agar mereka tidak kehilangan rantai silsilah dan jaringan
kekerabatan di antara trah Kanjeng Adipati Mrapat. Ungkapan yang tepat dalam
bahasa Jawa atau bahasa Banyumas adalah agar mereka tidak kepaten obor.
Artinya, ya itu tadi tidak kehilangan rantai jaringan di antara trah Kanjeng
Adipati Mrapat yang tesebar luas dan merupakan lingkaran lapisan atas
masyarakat Banyumas. Itulah sebabnya pada halam awal terdapat semacam form
untuk diisi siapa identitas pemilik
Kitab ISSB itu dan diisi pula trah generasi ke berapa pada rantai silsilah turunan
Kanjeng Adipati Mrapat.
Isi
buku babad ISSB sebenarnya sangat luas, mengagumkan, dan bermanfaat juga untuk
masyarakat Banyumas yang peduli terhadap sejarah kabupatennya. Kitab babad ISSB
digarap secara sungguh-sungguh, merupakan kompilasi dan ikhtisar singkat dari
kitab-kitab babad Banyumas yang
mendahuluinya. Dan tentu saja untuk kisah-kisah yang lebih tua banyak mengambil
dari Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon dan mungkin saja Babad Banten. Munculnya
nama Jumadil Kubro dalam ISSB, menunjukkan bahwa penulisnya cukup akrab dengan
tradisi Cirebon – Banten. Nama Jumadil Kubro muncul ketika Sang Penulis harus menjelaskan para
Wali Tanah Jawa yang dianggap ada kaitannya dengan riwayat Kademangan Kejawar.
Sekalipun terkesan muter-muter sampai Sunan Giri, sebenarnya secara tersirat
Kademangan Kejawar punya keterkaitan lebih dekat ke Pesantren Gunungjati dari
pada ke Pesantren Ampel dan Giri.
Sebagai sebuah kitab babad, ISSB merupakan
kitab babad yang paling baik yang ditulis dengan mengikuti pola historigrafi
tradisional yang selangkah lebih maju. Misalnya, Sang Penulis berani mencantumkan
identitas nama dirinya bukan secara
anonim sebagaimana lazimnya sebuah kitab babad. Selanjutnya, Sang Penulis pun berani
mengambil tanggung jawabnya untuk melakukan rekonstruksi tahun 1582 M, sebagi
tahun berdirinya Kabupaten Banyumas yang ternyata tepat.
Secara
historis dan filologis penetapan tahun 1582 M dapat dipetanggungjawabkan. Dan
yang lebih penting lagi, penetapan tahun 1582 M, sebagai tahun berdirinya
Kadipaten Banyumas tidak bertentangan dengan kajian de Graaf. Kajian De Graaf menyatakan tragedi Sabtu Pahing yang
mengakibatkan tewasnya Adipati Wirasaba VI, terjadi pada tahun 1578 M. Bukan tahun 1570 M, sebagaimana diduga oleh
Wiryasenjaya dalam naskah babad yang ditulisnya atau disalinnya. Jika orang
mencari-cari tahun pengangkatan Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba VII, ya
tahun 1578 itu. Tetapi kapan tanggal dan bulan pengangkatannya sebagai Adipati
Wirasaba VII, memang merupakan sesuatu yang sulit untuk ditetapkan karena
tiadanya data yang bisa diverifikasi.
Naskah
Kalibening yang diduga Sugeng Priyadi berisi tanggal pengangkatan Jaka Kahiman
pada tanggal 27 Pasa, sebenarnya hanyalah ilusi dan jelas bertentangan dengan
tradisi Kraton Demak dan Pajang. Tanggal 27 Pasa adalah malam-malam ganjil
sepuluh hari terakhir yang merupakan hari-hari istimewa dalam menjalankan
ibadah puasa Ramadhan. Hampir mustahil pada tanggal 27 Pasa ada aktivitas
kenegaraan yang penting sifatnya seperti pengangkatan seorang bupati bawahan. Bahkan
berziarah kubur pada pulan Ramadhan apalagi berziarah kubur dengan nyekar pada
tanggal 27 Pasa atau Ramadan, bertentangan dengan tradisi Islam dan tradisi
adat istiadat Islam Kejawen.
Kalau mau ziarah kubur, sebenarnya bisa kapan
saja ada waktu, asal jangan bulan Ramadhan. Demikian pula mendoakan orang tua,
sehabis shalat adalah yang terbaik. Tetapi tradisi sering menganggap waktu yang
baik untuk melakukan ziarah kubur adalah pada bulan Syakban/Ruwah dan pada
bulan Syawal. Pada bulan Syakban atau
Ruwah orang sedang berniat mensucikan diri siap-siap menyambut bulan Ramadhan.
Pada bulan Syawal, orang dalam keadaan fitri. Pada kedua posisi itu, bulan
Syakban/Ruwah dan bulan Syawal, tradisi menganggap saat itulah waktu yang
paling afdol untuk mendoakan arwah leluhur.
Bahwa
pada tanggal 27 Pasa Jaka Kahiman yang baru membangun rumah tangga itu sowan ke
Pajang, bisa jadi memang benar. Tetapi bukan dalam rangka mengurus pengangkatan
dirinya. Tetapi dalam rangka menghadiri Pasowanan Garebeg Syawal. Pasowanan
Gaerbeg Syawal dan Besar memang dapat diwakilkan. Tidak harus Sang Adipati
sendiri yang harus sowan.
Dalam
sejumlalah kitab Babad Banyumas, diceriterakan bahwa Raja Pajang memanggil ahli
waris Adipati Wirasaba VI untuk menghadapnya ke Kraton Pajang. Mungkinkah Raja
Pajang memanggil ahli waris Adipati Wirasaba VI pada akhir bulan Puasa, ketika
kesibukan urusan ibadah akhir bulan Ramadhan sedang giat-giatnya dilaksanakan? Sebagai
seorang raja dari kerajaan warisan Kerajaan Islam Demak, hampir mustahil Raja
Pajang mau disibukkan oleh urusan teknis masalah pengangkatan seorang adipati
bawahan. Pengangkatan pasti akan dilakukan pada hari-hari diluar bulan Pasa
atau Ramadhan.
Penetapan
tahun 1582 M, dalam buku Babad Banyumas ISSB tulisan RM.Brotodirejo dan
R.Ngatijo Darmosuwondo, sebagai tahun Hari Jadi Kabupaten Banyumas, sebenarnya bukan
hanya hasil konstruksi kedua penulis babad itu. Tetapi juga sudah
dikonstruksikan lebih dulu oleh Patih Purwosuprojo, sekalipun belum tepat.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar