Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 31 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (10)





“Sang Putri sendiri sudah mulai tegar. Dia bertekad menghadapi pengusiran dirinya sebagai suatu tantangan yang harus bisa dijawabnya. Mengadu pada kekasihnya di Jenggala? Rasanya tidak mungkin. Dia merasa bukan lagi wanita jelita, karena rambut adalah mahkota wanita. Dengan Rambut sudah dipotong pendek, belum tentu Raden Inu Kertapati mau menerima dirinya.”
“Akhirnya setelah menempuh perjalanan lama, menjelang tengah hari, tibalah rombongan Sang Putri diperbatasan Kerajaan Daha dan Jenggala. Sang Putri minta Ki Patih berhenti. Sang Putri mohon Ki Patih membuatkan pesanggrahan di tempat itu. Sang Putri ingin menjadikan tempat itu untuk menetap sementara setelah diusir dari Keraton Daha.”
“Ki Patih segera mengerahkan prajuritnya untuk membangun pesanggrahan baru, mengikuti kehendak Sang Putri. Setelah beberapa hari bekerja keras dengan semangat gotong royong, sepi ing pamrih, ramai ing gawe, pesanggrahan dengan atap rumbia, dinding dan tiang dari bambu dan kayu, daun jendela dan daun pintu dari kayu, pesanggrahan itu sudah berdiri,” kata Ki Dalang Sukmo Lelono.
“Sang Putri minta pertimbangan Mahadewi dan Ki Patih. Sang Putri bermaksud mendirikan sebuah kerajaan di tempat itu. Ki Patih dan Ibu Mahadewi tentu saja menyetujuinya. Bahkan Ki Patih berjanji akan membantunya dengan sekuat tenaga,” kata Ki Dalang meneruskan kisahnya. “Malam pun tiba. Ki Patih, Mahadewi, dan prajurit yang telah seharian bekerja keras, sudah tidur pulas. Tetapi Sang Putri, Ken Bayan, dan Ken Sanggit masih terus berbisik-bisik merundingkan sesuatu. Kadang-kadang Sang Putri Galuh Candra Kiranan menimang-nimang boneka emas kesayangannya. Akhirnya Sang Putri dan kedua dayang pengasuhnya itu pulas tertidur.”
“Tetapi pagi-pagi benar, Sang Putri sudah bangun. Diiringi kedua pengasuhnya, Sang Putri bergegas menuju telaga Puspawarna yang jernih airnya untuk mandi. Usai mandi, Sang Putri mengenakan pakaian pria, hingga dia tampil sebagai ksatria berwajah tampan sekali. Demikian pula Ken Bayan dan Ken Sanggit, mengenakan pakaian pria sehingga menjelma jadi ksatria tampan pula. Kumis tipis menghiasi wajah Ken Bayan dan Ken Sanggit. Ketika sampai di pasanggrahan, Ki Patih dan Mahadewi terkejut bukan main. Hampir saja Ki Patih mengambil pedang, karena mengira telah datang musuh yang akan menculik Sang Putri. Untunglah Sang Putri segera memberitahukan identitas mereka bertiga.”
“Betapa terkejutnya Ki Patih dan Mahadewi, setelah tahu bahwa para ksatria tampan itu adalah Sang Putri yang menyamar menjadi Raden Panji Semirang, Ken Sanggit yang menyamar menjadi Kuda Peranca dan Ken Bayan yang menyamar menjadi Kuda Perwira. Sang Putri Candra Kirana yang telah mengenakan pakaian ksatria tampan Raden Panji Semirang itu menjelaskan maksud penyamarannya yaitu ingin melupakan masa lalunya yang menyedihkan dan menyakitkan. Dia pun menjelaskan pesanggrahan yang didirikannya itu akan dirubah menjadi sebuah kerajaan yang akan dipimpinnya sendiri dengan bantuan Patih Kuda Peranca dan Wakil Patih Kuda Perwira. Kerajaan yang akan didirikannya itu diberi nama Kerajaan Asmarakanta.”
Terdengar suara Ki dalang membawakan suara Ki Patih. “Oh, sungguh luar biasa. Pamanda setuju sekali. Sejumlah prajurit akan Paman tinggalkan sementara di sini. Pamanda juga akan bantu agar berdatangan pemukim baru ke sini.”
Kemudian terdengar Ki Dalang membawakan suara Sang Putri Candra Kirana Panji Semirang. “Aku mohon Pamanda Patih menyimpan baik-baik rahasia hamba. Biarkan orang-orang Daha melupakan hamba. Aku hendak berkelana. Aku hendak membuat lembaran baru dalam lakon hidupku. Sekarang selesai sudah tugas Pamanda Patih menyelamatkan aku keluar dari istana Daha. Istana yang bagaikan neraka bagiku. Aku ucapkan terima kasih atas bantuan dan pertolongan Pamanda Patih. Aku hanya bisa berdoa semoga Dewatalah kelak yang akan membalas semua kebaikan Pamanda. Dengan iringan doa selamat dariku kepada Pamanda. Aku ikhlaskan Pamanda Patih kembali ke Daha.”
Kembali terdengar suara biasa Ki Dalang dengan nada suara biasa. “Ki Patih terharu mendengar kata-kata Panji Semirang Asmarakanta. Maklumlah, karena Ki Patih mengenal Sang Putri sejak masa kanak-kanak mula. Ya, sejak masih dalam buaian dan asuhan Permaisuri Puspaningrat. Esok paginya Ki Patih barulah meninggalkan Panji Semirang dan pulang ke barat. Kerajaan Daha tempat tujuan kembalinya. Sedang Mahadewi lebih suka mendampingi Sang Putri dari pada pulang ke Daha kembali.”
Crek…crek…crek…, Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan pengiring kembali terdengar dengan irama netral dan tempo sedang. Sinden Paijem mengiringi dengan suara emasnya. Di layar Ki Dalang sudah menampilkan gambar Raden Panji Semirang, Patih Kuda Peranca dan Wakil Patih Kuda Perwira dengan gagah duduk di atas kuda, menjaga jalan besar yang menghubungkan Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Daha.
Terdengar suara Ki Dalang dalam suara yang normal. “Tiap pagi Kuda Peranca dan Kuda Perwira dibantu beberapa prajurit anak buah Ki Patih Daha yang telah disumpah untuk menjaga rahasia. Mereka menjaga jalan yang menghubungkan Daha-Jenggala. Tugas mereka adalah mengenalkan kerajaan baru yang dipimpin Sang Baginda Panji Semirang Asmarakanta. Jika ada orang lewat baik dari Daha ataupun Jenggala akan ditahannya. Tetapi bila ada orang dari Kerajaan Gagelang, akan dibiarkan lewat begitu saja. Rombongan yang sering lewat pada umumnya adalah para pedagang atau mereka yang akan mencari kerja.”
“Suatu saat lewat rombongan dari Gagelang. Mereka ditahan sebentar oleh Kuda Perwira dan diberitahu bahwa kerajaan baru itu dipimpin oleh rajanya Sang Baginda Panji Semirang yang adil dan bijaksana. Mereka diajak bermukim di kerajaan baru itu. Kalau tidak mau, hanya diminta agar menyampaikan berita ke Daha atau ke Jenggala yaitu bahwa Sang Raja Panji Semirang adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Setelah itu rombongan dari Gagelang dibiarkan lewat. Kemudian datanglah rombongan dari negeri Mentawan, Kuda Perwira, dan Kuda Peranca segera menahan mereka,” kata Ki Dalang, lalu berhenti sejenak.
Ki Dalang membawakan suara Kuda Perwira. “Oh, dari negeri Mentawan. Apa maksud kalian ke Jenggala, Kawan?”
Ki Dalang ganti membawakan suara Kepala Rombongan. “Macam-macam, Raden. Ada yang mau dagang, ada yang mau jual tenaga. Ada yang mau selenggarakan tontonan juga. Misalnya lais, ronggeng, debus, sulap, dan pertunjukan lainnya.”
Ki Dalang kembali membawakan suara Kuda Perwira. “Kalian dilarang meneruskan perjalanan ke Jenggala. Kalian mesti ikut aku menghadap Sang Baginda Panji Semirang yang adil dan bijaksana. Di negeri kami kalian boleh mencari nafkah apa saja. Sumber penghidupan di negeri kami cukup banyak dan terbuka bagi siapa saja.”
Terdengar suara Ki Dalang membawakan suara Kepala Rombongan “Raden, jangan membegal kami. Kami harus meneruskan perjalanan ke Jenggala. Kami bisa menderita rugi. Langganan kami sudah menunggu lama sekali.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Kuda Peranca, Patih Kerajaan Asmarakanta. “Tidak bisa! Ini perintah! Ini kawasan Sang Baginda Panji Semirang! Siapa melawan saya tangkap! Kalau perlu kubunuh! Pilih! Mau hidup apa mau mati! Nyawa atau turuti perintahku! Mengerti? Apa kalian ingin merasakan tajamnya ujung tombakku ini ?”
Ki Dalang ganti membawakan suara dari Salah seorang anggota rombongan. “Meng..meng..errti, Raden. Jangan bunuh kami. Istri dirumah sedang hamil, Raden. Istri teman ada juga yang sedang sakit. Yang lain harus bayar hutang. Yang lain lagi mau mengawinkan anak. Jangan bunuh kami Raden. Ya, baik, baik. Tolong mata tombak diturunkan Raden. Kami takut. Kami mau menurut.”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Kepala Rombongan yang berteriak memberi perintah. “Sialan kamu kawan! Jangan takut! Aku pun bisa main keris. Ayo kawan! Kita lawan! Lawan!”
Crek…crek….crek…tok…tok…trotok…tok. Ki Dalang membunyikan kecreknya diiringi suara gamelan dengan nada-nada tinggi dan tempo cepat. Ketipung terdengar bertalu-talu. Perkelaihan terjadi. Kuda Perwira dan Kuda Peranca dibantu sejumlah prajurit melawan rombongan pedagang yang hanya bersenjatakan keris. Ki Dalang mengisahkan, Kuda Perwira ternyata pandai main tombak. Tombak dipegang di tengah. Ujung yang tajam untuk menusuk ujung yang lain untuk memukul lawan sebagai ujung tongkat. Musuh terkena mata tombak. Ketipung berbunyi: Cos! Kuda Perwira memukulkan gagang tombak ke kepala musuh. Ketipung berbunyi: Dug! Musuh jatuh terpukul gagang tombak. Ketipung berbunyi: Gedebug! Gamelan terus berbunyi mengikuti adegan peperangan yang sedang diceriterakan Ki Dalang Sukmo Lelono.
*
Penonton bertepuk tangan ketika adegan peperangan berakhir dengan kemenangan mudah dari Kuda Perwira dan Kuda Peranca yang tidak lain adalah Ken Bayan dan Ken Sanggit. Sang Dewi kagum kepada Ken Bayan dan Ken Sanggit yang ternyata bukan hanya pandai memainkan tombak. Tetapi juga pandai menunggang kuda. Tentu saja Sang Dewi lebih–lebih lagi kagum pada Sang Baginda Panji Semirang Asmarakanta yang tidak lain adalah Dyah Ayu Galuh Candra Kirana, Putri Daha yang pantang menyerah. Demikian pula Sekarmenur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka, sangat senang mendengarkan kisah-kisah perkelahaian yang dimainkan oleh prajurit wanita. Sebab mereka bertiga pun pandai seni bela diri. Sekarmenur tiba-tiba ingat regu prajurit wanita yang pernah dibentuk Raja Nusakambangan, Pulebahas. Lamunan Sekarmenur lenyap ketika kembali terdengar suara Ki Dalang
*
Ki Dalang menceriterakan, bahwa hanya enam orang yang berani melawan Kuda Perwira-Kuda Peranca dan anak buahnya. Dua mati berlumuran darah, termasuk ketua rombongan. Empat luka-luka. Yang lainnya takluk. Mereka beramai-ramai digiring menghadap Sang Baginda Panji Semirang. Sri Baginda Panji Semirang menyambut mereka dengan menunjukkan simpati dan ramah tamah. Dikatakannya, bahwa Kerajaan Asmarakanta menyampaikan salam persaudaran. Sri Baginda menyambut kedatangan mereka, mengajak mereka berkerja sama bergotong royong membangun kerajaannya sehingga kerajaannya akan bertambah makmur. Sang Baginda juga menjanjikan kehidupan mereka akan lebih baik lagi.
Sang Baginda Panji Semirang memerintahkan prajurit dan anak buahnya untuk menghibur mereka dengan memberikan makan, minum dan apa saja. Tiap keluarga harus menampung tiga orang tamu di rumah masing-masing. Ternyata mereka semua mau melaksanakan perintah Sang Raja. Kemudian secara gotong royong mereka membangun perkampungan baru yang diakhiri dengan mengadakan pesta syukuran dan selamatan. Di alun-alun acara syukuran yang meriah itu diselenggarakan.
Tentu saja orang Mentawan senang mendengar sabda Sang Baginda. Hilang rasa cemas, takut dan curiga. Munculah rasa persaudaraan, kasih sayang dan rasa kekeluargaan. Mereka malah betah, senang, dan merasa menjadi rakyat dari seorang raja yang bukan saja adil, baik hati, dan penyayang. Tetapi juga karena Sang Baginda Panji Semirang, masih muda lagi pula sangat cakap dan tampan.
Mereka kemudian pulang untuk mengajak saudaranya pindah menjadi rakyat Sang Baginda Panji Semirang. Makin lama makin banyak rakyat Mentawan yang berbondong-bondong pindah menjadi rakyat Sang Baginda Panji Semirang. Dalam waktu singkat Kerajaan Asmarakanta bukan saja semakin ramai, tetapi penduduknya juga semakin meningkat. Apa yang dijanjikan Sang Baginda Panji Semirang untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan semua rakyatnya menjadi kenyataan.
Sang Baginda mendorong rakyatnya agar giat, rajin, dan tekun dalam berusaha dan bekerja menurut ketrampilan, kecakapan, dan kemampuan masing-masing. Sang Baginda hanyalah memberikan dorongan semangat dan fasilitas umum untuk melancarkan kegiatan. Rakyat yang belum cakap bekerja, diberikan bimbingan. Barang siapa yang mendapatkan kesulitan, diberikan pertolongan. Barang siapa yang papa, cacad dan sakit, dirawat dengan diberi santunan.
Anak-anak muda dilatih membuat alat-alat perang dan pertanian. Mereka juga dilatih ilmu bela diri agar bisa menjaga keamanan bagi diri sendiri, keluarga, dan negeri tercinta. Kepada mereka yang memperlihatkan kecakapannya dan mempunya prestasi luar biasa, Sang Baginda tidak segan-segan memberikan penghargaannya, demikian Ki Dalang Sukmo Lelono berkisah dari atas panggung pementasan, diiringi suara gamelan sayup sayup. Crek…ccrek..crek…..crek. Gamelan berhenti.
Ki Dalang melanjutkan suaranya tanpa iringan gamelan maupun alunan suara emas dari Sinden Paijem, Juminem, dan Titisari. “Nama Sang Baginda Panji Semirang, makin tenar. Namanya tersebar ke Daha, Jenggala, Gagelang, dan tentu saja Mentawan. Bahkan penduduk Mentawan banyak yang pindah ingin menjadi rakyat Sang Baginda Panji Semirang. Akhirnya terbentuklah persahabatan dengan Kerajaan Mentawan. Bahkan dua putri Raja Mentawan, Puspajuita dan Puspasari akhirnya mengabdi kepada Sang Baginda Panji Semirang. Sang Raja Mentawan dan Permaisuri dengan berat mengijinkannya. Bahkan kedua emban pengasuh, yakni Ken Pamonang dan Ken Pasirian, diijinkan mengikuti majikannya, mengabdi di Kerajaan Asmarakanta.”
Ki Dalang membunyikan kecreknya, crek-crek-crek. Dan memukulkan cempalanya ke kotak tok..trotok..tok… Terdengar suara gamelan pelan-pelan. Ki Dalang Sukmo Lelono diam beberapa saat. Crek…crek…crek. Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan pengiring berhenti. Yang terdengar hanya suara Ki Dalang. “Alkisah rombongan dari Kerajaan Jenggala akan lewat menuju Kerajaan Daha. Raden Inu Kertapati dengan gagah naik kuda. Di depannya barisan prajurit berjalan lebih dulu, membawa barang-barang keperluan perkawinan. Di antaranya adalah sejumlah uang sebagai mas kawin yang akan di serahkan kepada calon mempelai wanita, Dyah Ayu Candra Kirana.
“Tetapi Kuda Perwira dan Kuda Peranca menghentikan rombongan yang membawa barang-barang cinderamata dan uang sebagai mas kawin. Kedua Panglima Kerajaan Asmarakanta minta agar mereka menyerahkan barang-barang dan uang mas kawin. Tentu saja prajurit Jenggala menolak. Terjadilah pertempuran di antara mereka.”
Kembali Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan dengan irama cepat, terdengar mengalun mengiringi adegan perkelahaian antara pasukan Kerajaan Jenggala yang dipimpin Ki Patih melawan pasukan Kerajaan Asmarakanta yang dipimpin Kuda Peranca dan Kuda Perwira.
Ternyata dalam pertempuran itu prajurit Jenggala dengan mudah dapat dikalahkan. Barang Cinderamata perkawinan dan uang mas kawin berhasil dirampas Kuda Peranca. Dia segera membawanya lari dan diserahkan kepada Sang Baginda Panji Semirang, kata Ki Dalang menceriterakan adegan peperangan.
Sementara itu Kuda Perwira berhasil melumpuhkan Ki Patih Kerajaan Jenggala, sehingga Ki Patih menderita luka-luka dan jatuh dari kuda. Ki Patih segera dilarikan oleh pengawalnya menemui Raden Inu Kertapati. Mendengar laporan uang mas kawin dan barang cinderamata untuk kekasihnya itu dirampas, Raden Inu Kertapati segera mencabut kerisnya. Dia lalu memacu kudanya menantang duel satu lawan satu kepada Sang Baginda Panji Semirang, Raja baru yang telah lama didengarnya. Kuda Perwira segera menghentikan Raden Inu Kertapati sambil memegang tombak.
Ki Dalang ganti membawakan suara Kuda Perwira yang bertindak sebagai Wakil Panglima Perang. “Stop! Berhenti. Atau ingin merasakan tajamnya mata tombak ini. Aku Kuda Perwira. Wakil Panglima Kerajaan Asmarakanta. Rajaku Sang Baginda Panji Semirang. Semua orang yang lewat, wajib menghadap Sang Baginda Panji Semirang. Seorang Raja yang adil dan bijaksana.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Raden Inu Kertapati. “He Kuda Perwira! Tahukan engkau siapa aku? Aku Putra Mahkota Sang Baginda Raja Jenggala. Aku akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihku, Putri Daha Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Kenapa barang-barang cinderamata dan uang mas kawin kau rampas? Jika Rajamu memang Raja yang adil dan bijaksana, janganlah jadi begal dan pemeras. Kembalikan barang-barang itu. Atau aku tantang Rajamu itu bertanding duel satu lawan satu denganku? Katakan sana pada Rajamu. Aku tidak butuh bertempur dengan kamu.”
Suara gamelan berhenti, setelah terdengar suara kecrek. Kembali Ki Dalang membawakan suara Kuda Perwira. “Ha….ha…ha…! Calon pengantin pria dari Jenggala? Hem….! Kekasih Dyah Ayu Candra Kirana Putri Daha? Hem…! Tolong simpan dulu keris itu. Rajaku Sang Baginda Panji Semirang Raja adil dan bijaksana. Dia berpesan kepadaku barang-barang cinderamata dan mas kawin untuk Putri Daha masih utuh. Tidak akan diambil oleh Sang Baginda Panji Semirang sedikit pun. Sang Baginda hanya mengharapkan calon mempelai pria menghadap dulu. Setelah itu silahkan ambil kembali semua barang-barang. Sang Baginda Panji Semirang berpesan hanya calon mempelai pria yang boleh mengambilnya. Selain dia, tidak boleh!”
Ganti Ki Dalang membawakan suara Raden Inu Kertaapati yang mulai melunak.“Baik, aku masukkan keris ini ke sarungnya. Aku hanya tidak mau ribut. Sebab kasihan kekasihku, Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Kedatanganku di Daha sudah sangat ditunggu-tungggun. Besok harus sudah sampai di Daha. Esok lusa prosesi upacara pernikahanku dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Apa jaminanmu, engkau tidak ingkar janji sedikitpun?”
Ki Dalang kembali membawakan suara Kuda Perwira untuk meyakinkan Raden Inu Kertapati. “Jaminanku nih! Potong leherku bila aku berbohong. Sekarang ayo ikuti aku menghadap Sang Baginda Panji Semirang, yang sedang menunggu di bale pertemuan. Ayo! Keburu malam tiba.”
Terdengar suara Ki Dalang kembali ke dalam nada normal diringi suara gending lamat-lamat, “Tar…, tar…, tar…! Kuda Perwira melecut kudanya dan memacunya menuju istana Kerajaan Asmarakanta. Raden Inu Kertapati segera mengikutinya, memacu kudanya di belakang Kuda Perwira. Prajuritnya diminta menunggu dan membuat kemah. Mereka diminta agar menunggu perintah yang bisa saja datang setiap saat. Ternyata Sang Baginda Panji Semirang menyambutnya dengan menunggang kuda. Ketika melihat kuda Raden Inu Kertapati mendekat, Sang Baginda Panji Semirang merasa berdebar-debar. Selama ini sebenarnya Panji Semirang alias Candra Kirana itu belum pernah bertemu dengan tunangannya, Putra Mahkota Kerajaan Jenggala. Demikian pula sebaliknya.”
“Akhirnya keduanya bertemu juga. Wajah bertemu wajah. Pandangan bertemu pandangan. Mata bertemu mata. Keduanya gemetar seketika. Panji Semirang tidak menduga, Raden Inu Kertapati ternyata tampan luar biasa. Sebaliknya, Raden Inu Kertapati heran ada Raja berwajah cantik jelita dan muda belia. Tetapi tampak gagah perkasa. Duduk di atas kudanya.”
“Lebih-lebih ketika Raden Inu Kertapati mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Perasaan aneh tiba-tiba menggoyang-goyang jantungnya. Raden Inu Kertapati kembali heran ada tangan seorang pria kulitnya halus bak kain sutra. Tetapi Panji Semirang cepat menguasi perasaannya. Panji Semirang segera menyambutnya dengan mengucapkan selamat datang kepada Raden Inu Kertapati. Diajaknya Raden Inu Kertapati masuk istana. Sang Baginda Panji Semirang sudah menyediakan santap malam untuk Raden Inu Kertapati. Setelah berbincang panjang lebar, akhirnya Sang Baginda Panji Semirang menanyakan soal rencana pernikahan Raden Inu Kertapati.” Ki Dalang membunyikan kecreknya…crek…crek..crek. Suara gamelan yang lamat-lamat berhenti (bersambung)

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (09)





“Kita nonton cukup sampai adegan goro-goro saja. Tetapi kalau Kanda mau nonton sampai pagi silahkan saja. Aku akan pulang sendiri setelah adegan goro-goro,” kata Sang Dewi yang membuat suaminya tersudut.
“Sekarang jelaskan dulu, apa arti simbol warna coklat saga. Jika jawaban Diajeng benar, kita nonton sampai adegan goro-goro saja. Tetapi jika jawaban Diajeng salah, kita nonton wayang sampai pagi. Adil bukan? “ kata Kamandaka tidak kalah cerdik dengan istrinya.
“Kalau begitu, jadi malam ini,” kata Sang Dewi sambil tersenyum.” Warna saga itu lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, Dewa pencipta energi cinta dan kasih sayang alam semesta. Kerajaan atau Kadipaten dengan kemakmuran dan kesejahteraan saja tanpa cinta kasih adalah timpang. Sedangkan cinta kasih saja tanpa kemakmuran dan kesejahteraan adalah kurang sempurna. Kanjeng Ibu, disamping pandai membatik dengan corak warna biru memakai bahan pewarna nabati biru dari daun tarum, juga pandai membatik dengan corak warna coklat saga memakai bahan pewarna nabati coklat tua dari daun saga. Tidak jauh dari Kerajaan Galuh Kawali juga ada desa namanya Cisaga. Desa itu adalah desa penghasil bahan pewarna batik dari daun saga. Dengan demikian warna saga sebagai lambang cinta dan kasih sayang Dewa Brahma, dikenal juga oleh Kerajaan Galuh Kawali dan Kerajaan Pajajaran,” kata Sang Dewi yang membuat Kamandaka terkagum-kagum atas pengetahuan istrinya.
Kamandaka baru menyadari bahwa istrinya dan Mayangsari, serta keempat gadis calon adik ipar istrinya malam itu mengenakan baju seragam kembar yang melambangkan cinta dan kasih sayang. Baju atasan warna merah muda dan kain batiknya warna coklat saga hasil karya Kanjeng Ayu Adipati Sepuh.
“Aku tiba-tiba ingin cepat-cepat menyusul Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu,” bisik Kamandaka kepada istrinya. Kamandaka merasa kewajibanya sebagai suami belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena kesibukan luar biasa menerima tamu undangan yang terus-menerus berdatangan setiap hari sejak upacara pernikahannya dengan Sang Dewi. Sementara itu, Sang Dewi sudah mendesak ingin cepat-cepat punya keturunan sebagai buah kasih sayang dan perjuangan cinta mereka berdua. Mendengar bisikan Kamandaka, Sang Dewi tersenyum penuh kemengangan karena merasa berhasil menyadarkan Kamandaka terhadap kewajibannya sebagai seorang suami. Kehadiran seorang bayi dari pasangan Sang Dewi dan Kamandaka, merupakan berita yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh kawula Kadipaten Pasirluhur.
Tiba-tiba Sang Dewi mengalihkan bahan perbincangan. Dia berpaling pada Mayangsari.“Dinda Mayangsari, kasihan Dinda Silihwarna dari tadi diam saja. Itu kursi di sebelah kirinya kosong. Ayo, Dinda Mayangsari pindah kesana,” kata Sang Dewi memberi perintah.
Mayangsari langsung berdiri tapi sambil menarik tangan Ratna Pamekas. Mereka berdua berjalan mendekati tempat duduk di samping kiri Silihwarna yang kosong. Sebelum duduk, Mayangsari mendekati kakaknya, Wirapati, sambil berbisik, ”Kanda, temani Ayunda Sekarmenur. Pindah sana. Ini perintah Kanjeng Ayu Adipati.”
Wirapati berdiri. Tempat yang ditinggalkan Wirapati kini diduduki Ratna Pamekas sehingga dia duduk tepat di sebelah kiri Arya Baribin. Mayangsari menduduki kursi kosong di sebelah kiri Silihwarna. Wirapati bergerak ke kiri, sehingga duduk di sebelah kanan Sekarmenur. Tapi Sang Dewi meminta Wirapati menduduki kursi kosong di samping kirinya yang ditinggalkan Mayangsari. Terpaksa Wirapati menggeser duduknya ke kanan, diikuti Sekarmenur dengan kedua adiknya, Sekarmelati dan Sekarcempaka.
“Pandai juga Diajeng mengatur tempat duduk,” bisik Kamandaka sambil melirik istrinya. Sang Dewi hanya tersenyum.
“Kanda, tolong panggilkan Tumenggung Maresi,” kata Sang Dewi kepada suaminya.
Kamandaka memanggil Tumenggung Maresi yang duduk di deretan depan dari kursi di sayap kanan Pendapa. Tumenggung Maresi segera berdiri dan menghadap Sang Dewi.
“Tumenggung Maresi, pas acara goro-goro, Dinda Mayangsari ingin menyanyi duet bersama Sinden Titisari. Bisa diatur ya!”
“Baik, Kanjeng Ayu Adipati.”
“Mana istri Tumenggung? Tidak dibawa?”
“Maafkan Kanjeng Ayu Adipati. Istri hamba takut angin malam. Lagi pula agak tidak enak badan,” jawab Tumenggung Maresi.
“Tumenggung, duduk di samping Ki Patih. Temani dia. Kasihan sendirian saja tak ada yang menemani. Kanjeng Rama sudah pulang tadi.”
“Baik, Kanjeng Ayu Adipati.” Tumenggung Maresi lalu duduk di samping kiri Ki Patih. Di sebelahnya duduk Arya Baribin. Malam terus beranjak menuju tengah malam. Tetapi jumlah penonton belum menyusut. Mereka menunggu adegan goro-goro yang mengasyikkan bagi mereka.
*
Suara gamelan yang sedang mengiringi perjalanan utusan Raja Jenggala menuju Kerajaan Daha, berhenti. Crek…crek…crek…..tok…trotok…tok. Terdengar suara Ki Dalang, “Sri Baginda Raja Daha sangat bergembira menerima hadiah dari Raja Jenggala. Ketika dibuka ada dua bungkusan boneka. Sang Raja yang didampingi Paduka Liku memanggil Galuh Ajeng lebih dulu untuk memilih bungkusan boneka. Tentu saja Galuh Ajeng memilih bungkusan sutra dewangga dengan benang emas. Galuh Ajeng dengan senyum kemenangan segera membawa bungkusan boneka pilihannya kembali ke kamarnya.”
“Candra Kirana tentu saja tidak perlu memilih. Boneka yang terbungkus kain biasa bukan sutra yang diikat benang hitam itulah bagiannya. Dengan didampingi Mahadewi, Candra Kirana membawa bungkusan boneka itu menuju Puri Mahadewi. Sejak kematian ibunya Candra Kirana lebih suka tinggal di Puri Mahadewi dengan ditemani Ken Sangggit dan Ken Bayan. Alangkah gembiranya Sang Dyah Ayu Candra Kirana, ketika bungkusan dibuka di hadapan Mahadewi ternyata isinya sebuah boneka emas yang indah sekali.”
Ki Dalang Sukmo Lelono membawakan suara Galuh Candra Kirana, “Duhai Ibunda Mahadewi. Alangkah cantiknya boneka ini. Pastilah karya Kanda Raden Inu Kerapati. Tahukan Ibunda? Raden Inu adalah seorang ksatria ahli seni kriya? Karya-karyanya digemari di mana-mana. Batik buatannya juga digemari wanita-wanita Daha, Gagelang, dan Mentawan. Bahkan digemari juga di kerajaan manca negara. Alangkah indah dan eloknya ini boneka. Lihat! Lihat! Wahai Ibunda. Boneka emas mengajak hamba tertawa. Hamba akan pertahankan boneka indah ini. Hamba sunggguh sangat terkesan. Wahai Ibu, hamba akan pertahankan boneka ini sampai titik darah penghabisan.”
Ki Dalang Sukmo Lelono ganti membawakan suara Mahadewi, “Boneka indah itu adalah milikmu. Jika engkau merasa bersedih pandanglah, niscaya akan lenyap duka nestapamu. Pertahankanlah sesuai dengan tekadmu.”
Ki Dalang membunyikan kecrek. Terdengar Sinden Titisari, Juminen, dan Paijem, mengalunkan lagu gembira bersama-sama. Diiringi suara ketipung dengan irama lembut. Suara seruling pun seperti ikut menari. Diiringi gender dan kangsi dengan irama sedang ceria.
Terdenga Ki Dalang berkata dengan nada suara normal, “Ternyata Galuh Ajeng mengetahui boneka Candra Kirana lebih indah dari boneka Galuh Ajeng. Sebab boneka Candra Kirana terbuat dari emas. Galuh Ajeng sangat sakit hati. Kini menyalahkan Ibundanya Paduka Liku yang sudah jadi Permaisuri. Kenapa dulu, tidak menyuruh Candra Kirana memilih bungkusan lebih dulu? Galuh Ajeng sambil menangis mulai mengadu. Buat apa punya ibu jadi Permaisuri jika tidak bisa meminta boneka emas yang kini ada di tangan Candra Kirana? Murka pula Paduka Liku kepada Candra Kirana. Kenapa Candra Kirana tidak melaporkan boneka emas miliknya? Paduka Liku mengadu kepada Sang Baginda. Katanya, Candra Kirana anak durhaka. Karena menyembunyikan boneka emas dan tak pernah memberitahukan kepada Sang Baginda. Tentu saja Sang Baginda langsung murka. Candra Kirana segera dipanggil untuk menghadap. Mahadewi yang cemas ikut mengiringinya. Murkalah Sang Baginda. Candra Kirana dipaksa agar menyerahkan boneka emas miliknya.”
Ki Dalang membawakan suara Candra Kirana, “Maafkan hamba, Ayahanda. Dari pada hamba harus menyerahkan boneka emas tercinta. Kepada Galuh Ajeng, putri kesayangan Ayahanda. Bunuh sajalah hamba oleh Ayahanda. Boneka emas itu adalah satu-satunya milik hamba yang hamba cintai di dunia, setelah Ibunda Puspaningrat meninggalkan dunia ini. Kini jadi anak piatu hamba ini. Boneka emas itulah satu-satunya pelipur duka lara. Dari pada hamba berpisah dengan boneka emas kesayangan hamba. Silahkan bunuh saja hamba. Biarlah hamba menyusul Permaisuri Puspaningrat, Ibunda tercinta yang telah bahagia di alam sana.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Sang Raja, “Heh…! Candra Kirana! Sejak kapan engkau menjadi anak durhaka? Tidak usah kamu berlutut mencium kakiku. Kamu sudah jadi anak pembangkang. Dulu membangkang, sekarang tetap membangkang. Tingkah lakumu seperti anak kemarin sore, tidak mau mengalah kepada adikmu. Malah berani membangkang perintah Rajamu. Engkau berikan boneka emas itu atau harus kupotong rambutmu?”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Candra Kirana, “Jangankan hanya rambut. Leher hamba akan Ayahanda potong pun hamba tidak akan menolak. Sebab Ayahanda memang pemegang kuasa. Tetapi jika hamba harus menyerahkan boneka emas itu hamba katakan sekali lagi Ayahanda, Tidak!”
Terdengar suara Ki Dalang membawakan Sang Raja yang sedang marah, “Memang rambutmu harus kupotong! Anak kurangajar!”
Murka Sang Raja mencapai puncaknya, demikian Ki Dalang melukiskan kemarahan Sang Raja. Sang Raja minta kepada Paduka Liku supaya mengambilkan gunting. Rambut Candra Kirana yang indah hitam lebat terurai itu diraihnya. Dengan muka merah padam, dipotongnya. Kres! Kres! Kres! Mahadewi menjerit dan mencoba menghalang-halanginya, tetapi apa daya? Dayang pengasuh pun ikut menangis mengiba-iba. Tapi Sang Baginda yang tengah murka memang sudah gelap mata. Candra Kirana yang sedang menangis dan masih memegangi kaki Sang Raja, disepaknya.
Ki Dalang kembali membawakan suara Sang Raja yang sedang murka, “Rasakan olehmu anak durhaka! Lekaslah engkau pergi dari hadapanku, besok sebelum matahari terbit. Aku tidak mau lagi melihat wajahmu ada di istana ini. Pergilah kemana kamu suka! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!”
Terdengar suara Ki Dalang dengan nada sedih menceriterakan murka Sang Raja akibat pengaruh teluh sakti Paduka Liku yang telah menguasai dirinya, “Sepah sirih teluh sakti telah menguasai Sang Baginda. Diusirnya Candra Kirana dari istana Daha. Bagi Mahadewi, para dayang, para punggawa, bahkan Ki Patih Kerajaan Daha, perintah pengusiran Sang Raja kepada Candra Kirana didengarnya bagaikan petir di siang hari. Mereka tidak menduganya sama sekali. Apalagi rambut kesayangan Sang Putri, telah dipotong menjadi pendek sekali.”
“Kecuali Paduka Liku, Galuh Ajeng dan Wakil Ki Patih, semuanya merasakan duka cita yang dialami Candra Kirana. Mahadewi dan kedua dayangnya, Ken Sanggit dan Ken Bayan, membimbing Candra Kirana ke Puri Mahadewi. Dibersihkannya dan diaturnya kembali rambut Candra Kirana yang kini terpotong pendek. Digantikannya baju yang telah kotor karena terkena sisa-sisa potongan rambut. Candra Kirana masih menahan isak tangisnya, mengenang nasib malang yang menimpa dirinya.”
Ki Dalang membunyikan kecreknya. Suara rebab dengan nada sedih mengarungi udara malam. Sinden Titisari kembali membawakan lagu sedih yang menyentuh sekali. Suaranya yang bisa menjangkau tangga nada tinggi dan diiringi suara gamelan rintik-rintik membuat mereka yang mendengarnya meneteskan air mata duka. Semua penonton yang ada di Pendapa maupun halaman Kadipaten Pasirluhur seperti tersihir ikut tenggelam dalam duka cita larut mengikuti jalan ceritera. Larut dalam nestapa. Sang Dewi yang biasanya tegar sudah sembab matanya basah oleh air mata. Apalagi Mayangsari, Dyah Ayu Sekar Menur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka yang lebih perasa. Sapu tangannya sudah basah oleh air mata duka cita. Hanya Ratna Pamekas yang agak lebih tegar. Sebab dia kurang paham beberapa kosa kata Ki Dalang yang kadang-kadang terselip dalam bahasa Jawa tingkat tinggi yang belum banyak dia mengerti.
Ki Dalang sudah menampilkan di layar gambar tiga orang ksatria cantik jelita. Entah dari kerajaan mana. Ki Dalang kembali membunyikan kecrek untuk menghentikan gending pengiring yang membawakan irama sedih. Sinden Titisari sudah menyelesaikan lagu yang dibawakannya.
Ki Dalang memperdengarkan suaranya. “Alkisah dua buah pedati di subuh pagi hari meninggalkan Keraton Daha menuju ke arah terbit matahari. Pelan-pelan rombongan dua pedati itu bergerak menuju Kerajaan Jenggala. Di dalam pedati paling depan duduk sebagai penumpang Ki Patih Kerajaan Daha, Dyah Ayu Candra Kirana, Mahadewi, Ken Sanggit, dan Ken Bayan. Pedati dibelakangnya berisi sejumlah peralatan, perbekalan, dan sejumlah prajurit. Ki Patih Daha yang merasa kasihan kepada Dyah Ayu Galuh Candra Kirana mengantarkan Sang Putri yang telah diusir keluar dari istana Kerajaan Daha.” (bersambung)

Selasa, 30 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (08)





Terdengar suara Ki Dalang:
“Berita kematian permaisuri sudah sampai ke telinga Paduka Liku. Senyum gembira singgah di wajahnya. Tetapi ketika dilihatnya Sang Baginda mendatanginya dan tampak wajahnya sedang murka dengan tangan menghunus keris. Paduka Liku segera lari masuk ke kamarnya. Dibiarkannya pintu kamar tidurnya tidak dikunci. Paduka Liku naik ke tempat tidur. Membaringkan dirinya di atas bantal yang berisi bungkusan sepah sakti teluh penakluk laki-laki.
“Paduka Liku yakin dapat melumpuhkan amarah dan murka Sang Baginda. Tunduk, tunduk, tunduk engkau kepadaku, Paduka Liku membaca rapal penakluk laki-laki. Sampai ratusan kali.”
“Begitu tiba di Puri Paduka Liku, Sang Baginda langsung menuju kamar yang pintunya tertutup. Ditendangnya daun pintu, langsung terbuka. Sang Baginda meloncat masuk. Di tatapnya Paduka Liku yang sedang tergolek di atas peraduan dengan posisi menantang. Di bibirnya tersungging senyuman maut yang memabukkan.
“Tiba-tiba…..Sang Baginda langsung terpesona. Ketika sinar mata bertemu sinar mata. Sang Raja langsung terpukau. Tidak percaya Paduka Liku nampak cantik jelita. Posisi berbaringnya sungguh menggoda. Bagaikan melihat bidadari turun ke dunia.
“Ah, ah…, ah…, belahan dadanya, pahanya, semua bagian tubuhnya…. mengajaknya bermain cinta. Api mati bertemu air, daun layu tertimpa sinar matahari. Api amarah Sang Raja lenyap seketika. Terserap oleh api daya guna-guna. Tangan perkasa Sang Raja yang pernah menggentarkan lawan-lawannya. Tiba-tiba luruh tak berdaya. Keris yang berada di tangannya lepas seketika. Suara Sang Baginda yang semula membahana, tiba-tiba menjadi lembut, bagaikan suara kumbang yang hendak menghisap sari bunga.”
Ki Dalang membawakan suara Sang Baginda:
“Wahai, Adindaku Paduka Liku. Betapa aku belum pernah merasakan rindu kepadamu seperti hari ini. Sebentar saja tidak ketemu seperti berbulan-bulan rasanya. Apa lagi hari ini, alangkah cantiknya Adindaku Paduka Liku.”
Ki Dalang membawakan suara Paduka Liku :
“Ya, Kakanda junjungan hamba. Rindu Kanda, rindu hamba juga. Marilah Kanda. Dinda lepaskan pakaian Kanda. Segeralah naik ke peraduan.Temani dinda Kakanda. Ayohlah, kita segera naik ke puncak bukit cinta. Kakanda, adinda sudah haus ingin mereguk air dari telaga cinta.”
Ki Dalang kembali berkata dengan nada biasa:
“Paduka Liku tersenyum gembira. Sang Raja menyerah dalam pelukannya. Tiga hari tiga malam, tak mau meninggalkan kamar tidur Paduka Liku. Sang Raja tidak pernah tahu. Kenapa gairahnya terus-menerus menyala. Dan Sang Raja pun merasa tambah perkasa. Sampai suatu ketika, datanglah utusan Ki Patih, upacara pembakaran jasad permaisuri Puspaningrat akan segera dilaksanakan. Dengan perasaan berat dan malas, Sang Raja bangkit, meninggalkan kamar Paduka Liku.”
Crek..crek..crek. Ki Dalang membunyikan kecrek. Menyusul suara rebab membawakan irama sedih. Gender dan kangsi terdengar samar-samar, menimbulkan suasana muram. Sinden Juminem mengiringinya dengan lagu sedih. Ketika suara Juminem sampai akhir bait. Kembali Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan berhenti.
Terdengar kembali suara Ki Dalang dengan nada-nada sedih:
“Jazad Permaisuri Puspaningrat telah selesai diperabukan. Tinggallah Dyah Ayu Candra Kirana dipeluk kesedihan. Berhari-hari terus menumpahkan air mata. Ingat kepada Ibunda tercinta. Dia merasa hidup di dunia ini. Piatu seorang diri. Untunglah ada Mahadewi. Yang mengasihi dengan segenap hati. Air mata sudah terkuras, toh Sang Ibu tak bakal kembali.”
Ki Dalang membunyikan suara kecrek dengan tempo lambat…crek…crek…crek…Suara rebab menyusul menyebarkan irama sedih, disusul suara gender dan kangsi. Kembali suara sinden Juminem mengalun membawakan suara muram sarat duka.
***
Semua penonton menundukkan kepalanya ikut larut dalam kesedihan. Sang Dewi ikut larut dalam suasana derita dan duka putri Daha. Tangan kanan Sang Dewi meremas-remas jari jemari tangan kiri suaminya, Kamandaka. Mayangsari yang duduk di sebelah kiri Sang Dewi, menunduk sedih menahan tangis yang masih terkendali. Sekarmenur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka, meneteskan air mata. Ingat Ibundanya tercinta yang sudah begitu lama meninggalkannya. Ratna Pamekas, mencoba bertahan, agar air mata tidak bercucuran.
***
Suara gamelan masih berbunyi. Ki Dalang membalikkan tubuhnya lagi. Kembali mencabut pasak kanan gambar di layar. Terpampang kini gambar Putra Mahkota Kerajaan Jenggala Raden Inu Kertapati sedang berbincang bincang dengan ayahandanya Sang Raja Jenggala dan ibundanya, Sang Permaisuri Raja Jenggala.
Terdengar suara Ki Dalang, setelah suara sinden Juminem lenyap ditelan malam yang terus berjalan menuju pertengahan malam. Bintang dilangit semakin banyak yang bermunculan.
“Alkisah di Kerajaan Jenggala, Sang Raja, Permaisuri dan Raden Inu Kertapati, ikut merasakan duka cita yang menimpa Kerajaan Daha. Sang Raja sangat menyesalkan adinda Raja Daha yang telah mengangkat Paduka Liku sebagai permaisuri. Kenapa bukan Mahadewi? Raden Inu Kertapati mengkhawatirkan nasib Candra Kirana dari penindasan Paduka Liku, Sang Ibu tiri.”
“Akhirnya, Sang Permaisuri punya gagasan agar Raden Inu Kertapati yang pandai dalam seni kriya dan batik itu, membuatkan dua boneka. Satu boneka emas untuk menghibur Galuh Candra Kirana dan satu lagi boneka perak untuk Galuh Ajeng, supaya tidak iri. Agar supaya ada kepastian bahwa boneka emas benar-benar jatuh ke tangan Galuh Candra Kirana, tunangan Raden Inu Kertapati, maka kedua boneka itu harus dibedakan bungkusnya.”
“Raden Inu Kertapati, digdaya dalam seni kriya. Dipahatnya boneka kayu yang indah. Lalu dibuat cetakan dengan tanah lihat. Lalu dituang emas. Lalu dituang perak. Dua boneka sudah tercipta. Alangkah cantiknya. Sentuhan tangan berbakat Sang Putra Mahkota. Kini Raden Inu Kertapati tinggal menghiasnya. Memasang rambut untuk boneka. Juga disiapkan baju-bajunya. Ah, alangkah cantiknya boneka perak. Tapi lebih cantik lagi boneka emas. Raden Inu terkejut dengan indahnya boneka karya ciptaannya.”
“Sang Permaisuri menyarankan agar bungkus boneka dibedakan. Boneka emas dibungkus dengan kain mori biasa. Diikat dengan tali hitam. Tetapi boneka perak dibungkus dengan kain sutera dewangga dengan corak hiasan batik burung merak. Diikat dengan benang emas. Permaisuri yakin hanya dengan cara demikian boneka mas akan sampai ke tangan Candra Kirana. Baik Sang Baginda maupun Raden Inu Kertapati, memuji gagasan yang cemerlang itu.”
Ki Dalang membawakan suara Raden Inu Kertapati:
“Baik sekali gagasan Kanjeng Ibu. Kebetulan ananda sedang merancang kain batik dan baju untuk calon pengantin Dinda Candra Kirana. Semua dari bahan sutra dan kain tenun halus buatan putri Sunda. Didatangkan dari Kerajaan Galuh, Ibunda. Ada kain pembungkus kalau hanya dua potong yang sudah ananda batik dengan corak sepasang angsa. Satu potong dari sutra halus untuk membungkus boneka perak. Satu potong lagi dari tenun halus untuk membungkus boneka emas. Kedunya nyaris sama. Ananda batik dengan sepasang burung angsa. Hanya bahannya saja yang berbeda”
Ki Dalang ganti membawakan suara Permaisuri Jenggala :
“Ibu percaya pada kemampuan ananda. Syukurlah kalau sudah merancang kain batik dan baju pengantin untuk Candra Kirana. Kelak ajari juga istrimu Candra Kirana ketrampilan membatik. Didik juga istri-istri para punggawa Kerajaan Jenggala dan Daha agar mereka memiliki kemampuan membuat batik. Bakat dan ketrampilan ananda dalam seni kriya dan membatik jangan sampai hilang percuma dan tidak ada penerusnya.”
“Wanita dan anak gadis Kerajaan Jenggala, jangan sampai kalah dengan wanita dan anak gadis Kerajaan Galuh di barat sana. Gadi-gadis Sunda banyak yang pandai menenenun. Gadis-gadis Jawa hanya pandai memasak. Biarlah gadis-gadis Jawa tidak usah pandai menenun. “Tapi cukuplah kalau pandai memasak dan pandai membatik. Kebutuhan kain tenun bisa didatangkan dari Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai Citanduy.”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Raden Inu Kertapati:
“Gagasan yang luar biasa, Kanjeng Ibu. Ananda pun sudah memikirkan hal itu.” ………..
Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan ditabuh. Terdengar suara gamelan yang diramaikan suara ketipung. Terdengar seperti ada langkah kuda, langkah barisan prajurit, bahkan suara kereta. Semuanya seakan suara tetabuhan sedang mengiringi barisan. Ya, barisan dalam perjalanan utusan Sang Baginda Raja Jenggala membawa hadiah untuk Candra Kirana di Kraton Daha.”
***
Kamandaka, Silihwarna, Pendeta Muda Amenglayaran dan Ratna Pamekas langsung tersenyum senang ketika mendengar Ki Dalang Sukmo Lelono menyebut-nyebut Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai Citanduy. Ki Dalang melalui Permaisuri Kerajaan Jenggala menyebutkan bahwa gadis Sunda pandai menenun. Dan kebutuhan bahan sandang sutra dan kain mori Kerajaan Jenggala dikatakannya didatangkan dari Kerajaan Galuh.
“Benar apa yang dikatakan Ki Dalang Sukmo Lelono,” kata Kamandaka kepada Amenglayaran yang duduk di sampingnya. ”Bukankah Putri Ayunglarang Sakean juga pandai menenun?”
Pendeta Muda itu menundukkan wajahnya. Dia merasa Kamandaka tahu apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Wajah Sinden Titisari dan Ayunglarang Sakean silih berganti mendatangi pelupuk matanya.
“Dayang Sumbi dan Purbasari adalah contoh dari tokoh-tokoh dalam kisah rakyat yang menunjukkan bahwa nenek moyang gadis Sunda memang pandai menenun. Putri-putri Kerajaan Galuh dahulu dan Kerajaan Pajajaran kini, masih mempertahankan ketrampilan menenun,” kata Pendeta Muda itu, mencoba menghindari membicarakan soal Putri Ayunglarang Sakean.
“Menurut aku, baik gadis Sunda maupun gadis Jawa, sebenarnya sama-sama punya potensi menjadi seorang penenun yang baik, pembatik yang baik, juru masak yang baik dan hal-hal baik lainnya yang menjadi kodrat seorang wanita. Hanya lingkungan dan kepentingan yang berbeda mengakibatkan gadis Sunda dan gadis Jawa mengembangkan ketrampilan yang berbeda pula. Apa yang dikatakan Permaisuri Kerajaan Jenggala itu sepenuhnya benar,” kata Sang Dewi menyampaikan pandangannya, ketika mendengarkan perbincangan antara Kamandaka dengan Pendeta Muda.
“Aku setuju sekali dengan pendapat Diajeng,” kata Kamandaka. “Sebenarnya orang Sunda, Jawa, Madura dan Bali berasal dari nenek moyang yang sama, yakni bangsa Galuh yang berasal dari Lembah Sungai Sutra di daratan Asia sana. Seperti halnya bangsa India dan bangsa China, bangsa Galuh pun pada saat itu sudah memiliki peradaban yang tinggi sesuai jamannya. Dalam urusan pangan, mereka sudah bisa mengolah sawah dan ladang. Dalam urusan sandang, mereka sudah pandai membuat benang baik dari sutra maupun kapas. Tentu saja mereka juga sudah pandai membuat bahan sandang baik yang berbahan kapas, katun maupun sutra dari benang yang ditenun.”
“Mereka juga sudah memiliki kepandaian melukis, memahat, membuat bahan-bahan pewarna dari tumbuh-tumbuhan dan melukis pada kain, baik yang berbahan katun maupun sutra. Salah satu seni melukis pada bahan pakaian ialah seni batik. Yakni seni menghias dan mewarnai bahan sandang untuk keperluan pakaian, baik pria maupun wanita dengan menggunakan media lilin atau malam,” kata Kamandaka meanjutkan. “Dalam perkembangan selanjutnya kemampuan tiap bangsa untuk membatik paling menonjol terdapat pada keturunan bangsa Galuh yang menetap di Pulau Jawa. Kemudian perkembangan lebih lanjut, ternyata memang seni batik lebih banyak dikembangkan oleh seniman-seniman orang Jawa. Bahkan pria Jawa seperti Raden Inu Kertapati pun bisa membatik. Sedangkan pada gadis Sunda rupanya lebih mengkhususkan diri pada seni tenun.”
“Ya, aku setuju sekali dengan pendapat Dinda Kamandaka maupun Kanjeng Ayu Adipati,” kata Pendeta Muda itu. ”Permaisuri Raja Jenggala berkata kepada putranya, Raden Inu Kertapati, supaya kelak dia mengajari calon istrinya Candra Kirana ketrampilan membatik. Kesan kanda, Candra Kirana mirip gadis Sunda. Kurang berminat pada seni membatik. Kalau Candra Kirana tertarik kepada seni tenun, dia benar-benar jadi gadis Sunda. Apalagi di depannya pakai nama Galuh. Bukankah nama lengkapnya Galuh Candra Kirana?”
“Lho, Diajeng Dewi bukan hanya pandai membatik. Tetapi juga pandai membuat kain tenun,” kata Kamandaka memuji istrinya. Maksud Kamandaka sebenarnya ialah ingin mengatakan bahwa istrinya lebih trampil dari Candra Kirana dalam urusan membatik dan menenun.
“Gadis-gadis Lembah Serayu, bukankah dalam darahnya memang mengalir darah Jawa dan Sunda?” kata Sang Dewi sambil tertawa. ”Kanjeng Ibu pandai membatik. Kanjeng Ibu pula yang ngajari aku membatik. ”
Kamandaka senang bisa membuat istrinya tertawa. “Putri Ayunglarang Sakean bukankah juga pandai membatik?” tanya Kamandaka kepada Pendeta Muda.
“Sepengetahuanku tidak. Kalau menenun memang betul. Hasil tenunannya sangat halus,” jawab Pendeta Muda itu pelan, nyaris tidak terdengar. Tetapi pandangannya seperti mencari-cari ke arah tempat duduk Sinden Titisari di panggung.
“Kalau soal gadis Sunda yang pandai menenun dan gadis Jawa yang pandai membatik, menarik untuk diperbincangkan,” kata Sang Dewi, sambil mendengarkan suara gending yang terdengar samar-samar. Suara gending masih mengiringi perjalanan rombongan utusan Raja Jenggala.
“Memang pada akhirnya jika ingin menghasilkan barang yang bermutu, orang memang harus memilih salah satu. Menjadi seorang pembatik saja atau menjadi seorang penenun saja. Dengan mengembangkan ragam ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya yang paling menonjol, akan terbentuk keunggulan masing-masing yang berbeda. Bayangkan jika gadis Sunda membuat tenun yang baik, lalu dijual pada gadis Jawa. Gadis Jawa membatiknya sehingga dihasilkan corak batik yang baik. Lalu dijual kembali kepada gadis Sunda. Bukankah akan terjadi pertukaran barang yang saling menguntungkan dan tidak ada yang dirugikan? Masing-masing pihak menyumbangkan ketrampilannya untuk menghasilkan barang yang bermutu baik,” kata Sang Dewi pula.
“Itulah Diajeng yang sesunguhnya terjadi pada masa Raja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan,” kata Kamandaka. ”Hubungan perdagangan antara Kerajaan Galuh Kawali dengan Kerajaan Kahuripan, sangat baik. Kerajaan Galuh Kawali menjual kain tenun dan kain sutra ke Kerajaan Kahuripan. Kerajaan Kahuripan menjualnya kembali ke Kerajaan Galuh sudah menjadi kain batik. Hubungan dagang itu terus berlanjut sampai jaman Kerajaan Singasari. Sayang sekali terputus saat Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.”
“Aku jadi ingat 1000 kodi mori sumbangan Kerajaan Nusakambangan. Dari mana Raja Pulebahas saat itu bisa mendapatkan kain bahan batik sebanyak itu? Aku menduga pastilah sebagian besar dari hasil membeli di pasar-pasar kadipaten di sebelah barat Sungai Citanduy yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran,” kata Sang Dewi tiba-tiba.
“Eh, jadi ingat kain mori itu. Mau dikemanakan kain mori sebanyak itu, Diajeng?”
“Masih utuh tersimpan di gudang. Akan kubagi empat. Untuk Dinda Ratna Pamekas seperempat. Untuk Dinda Mayangsari seperempat. Untuk Dinda Sekarmenur, seperempat. Dan untuk aku sendiri seperempat. Adil, bukan?”
“Siapa dulu dong, Ayunda Kanjeng Adipati?” kata Mayangsari yang ikut menyela pembicaraan. Dipujinya kakak sepupunya itu. Mayangsari yang duduk di samping kiri Sang Dewi ikut mendengarkan perbincangan kakak sepupunya itu.
“Ya, akan aku bagikan setelah pernikahan Dinda Mayangsari, Dinda Ratna Pamekas dan Dinda Sekarmenur. Perlunya untuk dijadikan modal mengembangkan seni batik di masing-masing kadipaten. Bukankah ketiga adindaku kelak juga akan jadi kanjeng ayu adipati juga di kadipatennya masing-masing jika Yang Maha Kuasa menghendakiNya?” bisik Sang Dewi kepada Mayangsari.
“Alangkah baiknya, bila Diajeng bisa mengikuti langkah Raden Inu Kertapati,” kata Raden Kamandara masih membicarakan soal batik dengan istrinya. ”Dia bisa menciptakan corak batik yang khas Lembah Sungai Brantas. Jika dilihat pada gambar wayang, sepertinya motif sayap burung garuda sangat dominan. Itu mengandung makna simbolis. Lambang pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Garuda adalah kendaraan Wisnu. Sayang sekali aku tidak punya bakat dalam seni kriya.”
“Kalau bisa mau apa?” tanya Sang Dewi.
“Ya, tentu saja aku akan membuat pola batik yang khas Lembah Ciserayu, sehingga batik Lembah Ciserayu bisa menggambarkan identisnya yang khas.”
“Gagasan yang bagus. Tetapi aku tidak mau mengikuti Raden Inu Kertapati,”
“Kenapa?”
“Mau mengikuti Kanda Kamandaka saja. Walaupun tidak punya bakat dalam seni kriya. Tapi bakatnya banyak. Juga dalam seni…,”
“Seni apa ?” desak Kamandaka.
“Seni bercinta!” bisik Sang Dewi pelan-pelan di telinga suaminya agar tidak terdengar oleh adik sepupunya, Mayangsari yang sedang asik melamun. Kamandaka tersenyum. Jika tidak ingat sedang di tempat keramaian, pastilah bibir istrinya yang menggemaskan itu sudah dilumatnya.
“Menurut Kanjeng Ibu, corak batik Kerajaan Galuh dan Pajajaran sebenarnya berwarna biru,” kata Sang Dewi melanjutkan perbincangan perihal corak kain batik Lembah Ciserayu. “Demikian pula corak batik Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, Kalipucang, dan Kadipaten Nusakambangan. Karena bahan pewarna biru yang berasal dari tanaman tarum banyak dijumpai di sepanjang Sungai Citarum. Daun tarum, indigo atau nila adalah sumber pewarna nabati biru untuk kain batik. Sayangnya tanaman tarum jarang dijumpai di sepanjang Sungai Logawa dan Ciserayu. Terpaksa bahan pewarna biru itu harus di datangkan dari pasar-pasar di sebelah barat Citanduy. Tumbuhan pewarna kain batik yang banyak tumbuh di sepanjang Logawa dan Ciserayu adalah tanaman saga, sumber warna nabati coklat tua. Rupanya tumbuhan saga sebagai sumber pewarna nabati coklat tua banyak tumbuh juga di sekitar Sungai Brantas, sehingga corak warna batik Kerajaan Daha dan Jenggala sebagian besar berwarna saga coklat tua.”
“Aku sependapat dengan Kanjeng Ibu. Tahukah Diajeng apa arti Mataram yang dipakai sebagai nama Kerajaan Maharesi Rake Sanjaya yang pernah mendirikan kerajaannya di lereng selatan Gunung Dieng?” tanya Kamandaka pada istrinya.
“Aku dengar arti kata Mataram, adalah permata biru” jawab Sang Dewi.
“Betul sekali. Mataram dari kata ma dan taram atau tarum, nila, indigo atau warna biru laut dan biru langit. Juga warna batu permata safir. Mataram artinya adalah warna biru yang agung. Simbol pemujaan leluhur kita bangsa Galuh kepada Dewa Laut, Dewa Langit dan Dewa Awan. Setelah bangsa Galuh menjadi penganut Hindu, warna biru menjadi simbol pemujaan kepada Dewa Wisnu dan juga Dewa Syiwa. Dewa Syiwa sering juga disebut Nilakanta. Artinya pemilik leher berwarna biru. Kerajaan Galuh, Mataram Hindu dan Pajajaran adalah pemeluk Sang Hyang Syiwa yang disimbolkan dengan warna biru. Tumbuhan tarum sendiri adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Kerajaan Tarumanegara, Galuh dan Pajajaran menjadi makmur karena tanaman tarum menjadi salah satu mata barang dagangan penting yang dijual sampai ke seberang lautan sebagai bahan pewarna nabati biru untuk kain batik,” kata Kamandaka menjelaskan asal nama Kerajaan Mataram.
“Aku tahu simbol warna saga,” kata Sang Dewi.
“Apa coba?” tanya Kamandaka mencoba menguji kecerdasan istrinya.
“Kalau aku bisa menjawab dan betul, apa hadiahnya?”
“Hadiahnya, besok malam,” jawab Kamandaka menggoda.
“Ah, tidak mau. Besok malam terlalu lama,” jawab Sang Dewi.
“Maunya kapan?”
“Malam ini,” jawab Sang Dewi Singkat sambil menahan senyum.
“Malam ini? Kita harus menonton wayang sampai pagi, Diajeng Sayang,” bisik Kamandakan sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Sang Dewi sehingga nyaris hampir mencium telinga istrinya.[Bersambung]