“Sungguh sebuah pengalaman
pribadi yang sangat menarik, Biyung Emban,” kata Sang Dewi setelah dengan tekun
menyimak penuturan emban kesayangannya itu.
“Jika Kadipaten
Pasirluhur ingin memiliki rakyat yang sehat, kuat, dan perkasa, harus dicegah
adanya gadis-gadis Kadipaten Pasirluhur yang menikah pada usia yang sangat
muda. Usia yang paling baik bagi seorang gadis untuk dinikahkan ialah ketika
seorang gadis telah berusia paling tidak dua windu. Usia di atas dua windu itu
menurut ajaran leluhur kita disebut tahap usia dewasa. Sedangkan usia di bawah
dua windu disebut tahap usia anak. Pada usia dewasa ini, perkembangan kejiwaan
seorang wanita sudah stabil. Organ-organ tubuh wanita, terutama organ
peranakan, relatip sudah cukup kuat. Dengan sendirinya apabila seorang gadis menikah
pada usia dewasa tadi, sudah mantap perkembangan kejiwaan dan organ tubuhnya.
Maka anak yang dikandungnya dan dilahirkannya akan lebih sehat, lebih kuat, dan
lebih perkasa.”
“Seingat hamba, hampir
semua kakak Ndara Putri telah membangun rumah tangga pada usia anak. Hanya
Ndara Putri yang akan berumah tangga setelah usia dewasa.”
“Betul, Biyung Emban.
Ingatanmu bagus juga. Memang kakak-kakakku sudah berumah tangga ketika usianya
masih usia anak. Mereka menjadi pengantin saat usianya masih di bawah dua
windu. Baru tiga tahun sesudah kedatangan bulan yang pertama kali, jika belum
bersuami, orang menggapnya perawan tua. Aku ingin merubah adat dan tradisi yang
berupa kebiasaan anak gadis menikah dalam usia muda. Sebab bila tradisi yang
buruk itu tetap dipertahankan, cepat atau lambat Kadipaten Pasirluhur akan
berkembang menjadi kadipaten yang lemah, karena yang dilahirkan oleh para ibu
muda adalah anak-anak yang lemah juga. Anak-anak yang lemah, tentu saja akan
melahirkan prajurit-prajurit yang lemah dan calon-calon pemimpin yang lemah.
Jika keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, Kadipaten Pasirluhur tidak
mungkin bisa memiliki angkatan perang dan pemerintahan yang kuat, yang bisa
menjaga kewibawaan Kadipaten Pasirluhur. Gadis-gadis muda perlu dibebaskan dari
adat dan tradisi yang menindasnya.”
“Sungguh suatu
cita-cita yang mulia sekali, Ndara Putri. Semoga langkah Ndara Putri bisa
menjadi tauladan bagi para gadis Kadipaten Pasirluhur. Hendaknya pemikiran
Ndara Putri juga bisa menyadarkan para orang tua agar tidak memaksa menikahkan
seorang gadis yang masih belum dewasa.”
“Benar, Biyung Emban.
Masih ada lagi satu keinginanku. Hendaknya orang tua anak gadis di Kadipaten
Pasirluhur ini, memberikan kesempatan lebih dahulu kepada anak gadisnya untuk
menentukan pilihannya sendiri, siapakah pria yang akan dipilihnya menjadi
pendamping dan pelindung setianya. Orang tua cukup memberi doa restu, memberi
saran dan pertimbangan. Tetapi pilihan, biarlah diserahkan saja kepada anak.
Biarlah seorang gadis menentukan sendiri kriteria bibit, bebet, dan bobot calon
suaminya. Kecuali apabila seorang gadis tidak bisa menentukan pilihannya,
barulah orang tua turun tangan membatu anak gadisnya memilihkan jodohnya. Ini
yang dalam ajaran leluhur kita disebut sikap tut wuri handayani. Dalam urusan
jodoh seorang gadis, orang tua harus bersedia berkorban untuk kebahagiaan anak
gadisnya. Tetapi adat yang berlaku di Kadipaten Pasirluhur ini terbalik. Anak gadis
yang harus berkorban untuk kebahagiaan orang tuanya. Memang betul anak gadis
harus berkorban untuk kebahagiaan orang tuanya. Tetapi bukan dalam urusan
jodoh. Betul tidak, Biyung Emban?”
“Oh, betul sekali Ndara
Putri. Tapi keinginan Ndara Putri tentu tidak mudah. Melawan adat dan tradisi
itu sulit, Ndara Putri. Ndara Putri juga harus berhadapan dengan Kanjeng Rama
Adipati. Sebab Kanjeng Rama Adipati justru punya kewajiban untuk mempertahankan
dan menjaga adat yang berlaku. Apakah Ndara Putri hendak melawan Kanjeng Rama?”
“Tentu bukan melawan
Kanjeng Rama, Biyung Emban. Buat apa mempertahankan adat dan tradisi yang membelenggu anak gadis,
Biyung Emban? Buat apa mempertahankan adat dan tradisi yang akan membawa
Kadipaten Pasirluhur menjadi Kadipaten yang lemah? Wanita itu salah satu dari
tiga pilar penyangga kadipaten, kerajaan, dan pemerintahan negara manapun,
Biyung Emban. Karena dari wanitalah akan dilahirkan anak-anak calon pewaris dan
pengganti generasi tua.”
“Tetapi, Ndara
Putri tidak mungkin melawan adat dan tradisi sendirian saja. Jika Ndara Putri
berjuang sendiri, pastilah akan gagal, Ndara Putri.”
“Hem…, cerdas juga
pikiranmu, Biyung Emban. Makanya aku memerlukan seseorang yang bisa aku ajak
bersama-sama melawan adat dan tradisi yang membelenggu anak gadis itu. Dia
itulah pria yang akan cocok menjadi pendampingku. Biyung Emban, menurut Biyung
Emban adakah seorang pria yang bisa menemani aku berjuang melawan adat yang usang
itu?”
“Menurut hamba ada,
Ndara Putri.”
“Siapakah menurut
Biyung Emban?”
“Kalau Adipati Cukang
Leuleus atau Adipati Patanahan, bagaimana Ndara Putri?”
“Ya, bisa jadi. Ada
yang lain?”
“Kalau putra Adipati
Dayeuhluhur atau Adipati Ayah, bagaimana Ndara Putri?”
“Ya, bisa jadi. Ada
yang lain?”
“Putra Adipati
Dayeuhluhur, Ndara Wirapati belum punya istri, Ndara Putri. Siapa tahu akan
mendukung gagasan Ndara Putri?”
Sang Dewi tersenyum
mendengar jawaban emban kesayangannya itu. “Kali ini, jawaban Biyung Emban
kurang cerdas.”
“Lho, di mana salahnya,
Ndara Putri?”
“Ya, kenapa yang
dipilih semua adipati dan putra adipati?”
“Iya betul, Ndara
Putri. Seorang adipati tentu saja akan mempertahankan adat dan tradisi.
Bodohnya Biyung Emban ini, Ndara Putri. Bagaimana kalau…, kalau itu…, Ndara
Putri?”
“Itu siapa, Biyung Emban?
Masa tidak bisa menebak?”
“Hehehe…, Biyung Emban
sebenarnya sudah lama tahu pria itu, Ndara Putri. Raden Kamandaka, anak angkat Ki
Patih Reksanata. Betul bukan, Ndara Putri?”
Sang Dewi merasa senang
dan puas mendengar jawaban itu, maka dipeluknya emban pengasuhnya yang dengan
setia masih duduk di lantai.
“Biyung Emban, aku
ingin menguji keberanian Raden Kamandaka. Besok pagi, temuilah dia di rumah Ki
Patih Reksanata. Sampaikan salamku padanya. Katakanlah aku ingin bertemu.
Katakan supaya dia menemui aku besok. Waktunya kira-kira seperempat malam
setelah matahari terbenam atau seperempat malam menjelang tengah malam. Suruh
tunggu di bawah pohon jambu di taman halaman bangsal Pertemua. Katakanlah,
usahakan supaya jangan sampai ketahuhan prajurit jaga Dalem Kadipaten. Caranya
terserah dia sajalah. Bila memang dia seorang pria sejati, pastilah akan berani
menerima tantanganku ini.”
“Baik, Ndara Putri.
Besok hamba akan datangi Dalem Kepatihan. Biyung Emban tahu tempatnya, Ndara
Putri.”
“Hati-hati, Biyung
Emban. Jangan sampai ada yang tahu. Ini rahasia kita berdua. Mari kita tidur,
Biyung Emban. Malam sudah sangat larut. Sebentar lagi akan terdengar kokok ayam
jantan.”
Sang Dewi bangkit dari
tempat duduknya, naik ke tempat tidur. Khandegwilis cepat-cepat menggelar tilam
di lantai di bawah tempat tidur Ndara Putrinya. Di atas tempat tidur Sang Dewi
lama tergolek. Gadis cantik yang mulai dirundung cinta itu belum mampu membawa
dirinya tidur nyenyak. Angan-anganya masih membawa terbang ke masa lalu.
Sang Dewi mewarisi
kecantikan dan kecerdasan ibunya, Kanjeng Ayu Adipati. Ketika melamar ibunya,
Adipati Kandhadaha sudah punya enam orang istri. Dari ke enam istrinya itu Sang
Adipati dikaruniai anak perempuan semua. Karena itu Sang Adipati berharap
perkawinannya dengan istrinya yang ke tujuh itu akan melahirkan anak laki-laki.
Tetapi Kanjeng Ayu
Adipati adalah wanita cerdas. Dia mau menjadi istri ketujuh Sang Adipati dengan
mengajukan sejumlah syarat. Pertama, pernikahan Sang Adipati dengan Kanjeng Ayu
Adipati harus merupakan pernikahan terakhir. Kedua, Kanjeng Ayu Adipati hanya
mau diperistri jika dialah yang menjadi permaisuri Kadipaten Pasirluhur. Dan
ketiga, jika anak pertamanya lahir, tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan,
dialah pewaris tahta Kadipaten Pasirluhur. Ternyata pernikahan Kanjeng Adipati
Kandhadaha dengan Kanjeng Ayu Adipati hanya dikarunia seorang anak perempuan
yang cerdas dan cantik, Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa.
Sebagai pewaris tahta
Kadipaten Pasirluhur tentu Sang Dewi harus pandai-pandai memilih seorang calon suami
pendamping hidupnya, yang kelak juga akan
mewarisi tahta Kadipaten Pasirluhur. Usia Sang Dewi sudah menginjak tujuh belas
tahun. Sudah banyak adipati dan putra adipati yang mencoba melamarnya. Tetapi
entah mengapa Sang Dewi merasa belum ada kecocokan terhadap pria yang
melamarnya. Bahkan putra Adipati Dayeuhluhur, Raden Wirapati yang masih saudara
sepupunya, pernah mengutarakan keinginan untuk menyunting dirinya. Dengan halus
Sang Dewi menolaknya.
“Dinda Wirapati, Dinda
memang usianya lebih tua dari aku. Tetapi Dinda Wirapati adalah putra dari adik
Ibuku. Rasanya tidak mungkin, Dinda,” kata Sang Dewi pada saat itu, menolak
secara halus keinginan putra Adipati Dayeuhluhur yang ingin menyuntingnya.
Cinta memang aneh dan
rumit. Bukan hanya cinta Raden Wirapati yang ditolaknya. Sejumlah Adipati yang
berusaha melamar Sang Dewi juga mengalami nasib sama. Sang Dewi belum berkenan
menerima cinta pria manapun.Tetapi sungguh aneh. Begitu melihat sosok Kamandaka
Sang Dewi tiba-tiba menjadi gelisah. Selalu terbayang-bayang wajah pemuda tampan
dan perkasa yang dilihatnya pada pesta rakyat marak di tepi Sungai Logawa.
“Hem, apakah aku akan
mengalami nasib sama seperti gadis Kutaliman? Benarkah Kamandaka hanya seorang
paleka, anak angkat Ki Patih Reksanata?” tanya Sang Dewi pada dirinya sendiri. Gelisah, bingung, ragu,
dan rindu campur aduk menjadi satu membuat Sang Dewi tidak segera terlelap ke
dalam mimpi indah. Ya, mimpi indah macam apa lagi yang diharapkannya, kalau
bukan bertemu dengan Kamandaka? Akhirnya, Sang Dewi memang jatuh tertidur
setelah letih memikirkan misteri cinta yang mulai melanda dirinya. Bunyi jengkerik
dan orong-orong di halaman taman sudah tidak terdengar lagi. Sebagai gantinya
terdengar suara belalang malam melengking tinggi memecah kesunyian malam yang
merambat hendak menjemput fajar.
***
Pagi itu pendapa
kepatihan tampak lengang. Setelah penyelenggaraan pesta marak, kesibukan
pekerjaan Dalem Kepatihan agak berkurang. Khandegwilis dengan tenang melangkah
melewati gerbang Dalem Kepatihan bermaksud menemui Kamandaka untuk menyampaikan
pesan Ndara Putrinya. Sementara itu,
Kamandaka masih tiduran di atas ranjangnya. Sejak kemarin dia masih menyesali
keberuntungannya gara-gara menjadi penerima hadiah pertama dalam pesta rakyat. Dia
gagal menerima hadiah langsung dari Dyah Ayu Dewi. Usahanya untuk bisa bertemu
dengan Sang Dewi di pendapa kadipaten pada acara santap siang bersama para
punggawa dan tamu undangan juga gagal. Pada saat diamuk gelisah seperti itu,
dia merasa alangkah bodoh dirinya. Berbagai persoalan tiba-tiba terus
berkecamuk.
“Aku kan putra raja
besar Prabu Siliwangi,”
katanya di dalam hati. “Apa sulitnya jika hanya ingin bersaing dengan para
adipati yang berminat melamar Melati
dari Pasirluhur itu? Aku tinggal melapor kepada ayahanda. Niscaya ayahanda akan
melamarkannya. Tapi kenapa Ki Ajar Wirangrong menyuruh agar aku menyamar
begini? Ya, bagaimanapun Ki Ajar Wirangrong seorang brahmana yang tahu kehendak
Dewa. Sang Dewi ini sungguh aneh. Dia sudah berusia tujuh belas tahun, sudah
sangat terlambat bila belum juga punya suami. Aku dengar sudah banyak adipati
yang pernah melamarnya tetapi ditolak. Pria bagaimanakah yang dikehendaki oleh Sang
Dewi ini? Tahtakah? Hartakah? Ketampanankah? Jika hanya itu yang Sang Dewi cari,
niscanya sudah banyak calon yang memenuhi syarat. Ah, betul juga Ki Ajar Wirangrong.
Dengan melakukan penyamaran begini, aku akan tahu banyak apa yang sebenarnya
sedang engkau cari, wahai gadis pujaan hatiku?”
Kamandaka membalikkan
tubuhnya ke kiri, kembali mempererat guling yang ada dalam dekapannya. Pikiran
nakalnya mulai membuat khayalan, andai kata guling itu Sang Dyah Ayu Dewi
Ciptarasa, ah, alangkah bahagianya, katanya dalam hati. Kemudian dia tersenyum
sendiri. Tapi tak lama kemudian senyumnya kembali menghilang dari bibirnya. Dia
kembali membalikkan tubuhnya ke kanan dan berpikir lagi.
“Bagaimana aku bisa
mengetahui isi hatinya jika aku tak pernah bertemu dan berbincang-bincang
dengannya? Ya, bagaimana caranya aku bisa bertemu dengannya? Masa aku harus menemuinya
ke Taman Kaputren tanpa sepengetahuannya? Tak mungkin aku menyamar sebagai
penyabit rumput di halaman, sebab kini gara-gara pesta rakyat itu, hampir semua
orang di Kadipaten Pasirluhur sudah mengenal wajahku, namaku, dan kecakapanku
sebagai seorang paleka dan penjala ikan yang jarang ada tandingannya, anak
angkat Ki Patih Reksanata.
“Memang aku bisa
mendatangi kamar pada malam hari. Apa susahnya bagiku, jika hanya meloncat
tembok penghalang Dalem Kadipaten dan mengelabui penjaga, kemudian masuk ke
Taman Kaputren?
Tetapi namaku pastilah akan hancur. Ya, itu tidak mungkin aku lakukan. Aku
seorang ksatria, putra Sri Baginda Prabu Siliwangi, masa aku harus melakukan
perbuatan hina seperti itu? Oh, Dewa, berilah aku jalan untuk bisa bertemu dengan
Sang Dewi pujaanku itu.” Kamandaka
terus berkeluh kesah.
“Aku seorang ksatria,
lebih baik aku bertarung di medan laga melawan para adipati yang sama-sama
hendak menyunting Sang Dewi daripada aku harus melakukan perbuatan tercela,
‘Menjadi pencuri seorang gadis.’ Tidak! aku tidak mau melakukan perbuatan
terkutuk yang pasti akan dimurkai para Dewa.”
Kembali Kamandaka membalikkan
tubuhnya ke kiri. Perasaan gundah, bingung, rindu bercampur jadi satu,
seakan-akan benang ruwet yang membeliti sekujur tubuhnya. Tiba-tiba dia
mendengar daun pintu diketuk dari luar.
“Raden, ada tamu dari
Dalem Kadipaten, ada perlu dengan Raden,” terdengar suara dari balik pintu.
Kamandaka bergegas
melemparkan guling yang tengah dipeluknya, bangun dari tempat tidur dan
merapihkan dirinya. Cepat-cepat dia melangkah membuka pintu. Dalam benaknya
sempat tersirat, Sang Dewikah yang mengunjunginya setelah dia mendengar
kalimat, ‘Ada tamu dari Dalem Kadipaten’ dari balik pintu. Ketika pintu dibuka
dilihatnya dua orang wanita. Yang satu dari Dalem Kepatihan yang sudah
dikenalnya. Yang satunya lagi Kamandaka belum pernah melihatnya.
“Raden, ini Emban Khandegwilis,
pengasuh Sang Dewi Dyah Ayu Ciptarasa. Ingin berbincang-bincang dengan Raden,”
setelah berkata demikian, wanita pembantu Dalem Kepatihan itu pergi
meninggalkan mereka berdua.
“Ada keperluan apa
Emban, pagi-pagi
begini menemuiku?” tanya Kamandaka setelah mempersilahkan tamunya itu duduk.
“Begini Raden. Singkat
saja. Hamba diutus oleh Ndara Putri, Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Melalui
hamba, Ndara Putri menyampaikan salam persahabatan untuk Raden. Ndara Putri
ingin mengenal Raden lebih dekat. Jika Raden memang seorang yang pemberani dan
tidak takut menghadapi rintangan, Ndara Putri berkenan mengundang Raden ke
Taman Kaputren. Tunjukkan bahwa Raden memang seorang pemberani, mampu mengatasi
segala rintangan, bagaimanapun sulitnya. Ndara Putri ingin nanti malam Raden
bisa menemuinya di taman bangsal Pancaniti Dalem Kadipaten. Waktunya kira-kira
seperempat malam setelah matahari terbenam atau seperempat malam menjelang tengah
malam. Ndara Putri akan menunggu Raden. Terserah, bagaimana caranya, Raden
harus bisa lolos dari penjagaan pasukan keamanan Dalem Kadipaten yang jumlahnya
pasti tidak sedikit. Itu saja Raden, pesan Ndara Putri. Hati-hati Raden, jaga
rahasia ini jangan sampai bocor,” kata Khandegwilis.
“Emban, kuterima salam
persahabatan Ndara Putrimu. Terima kasih pula atas undangan Ndara Putrimu.
Sampaikan juga salam persahabatan dari aku. Bila Dewa Candra mengijinkan nanti
malam aku akan berada di taman bangsal Pancaniti, seperti yang dikehendaki
Ndara Putrimu.”
“Terima kasih, Raden,“
berkata demikian Khandegwilis segera meninggalkan Kamandaka. Dia bergegas
kembali ke Dalem Kadipaten.
Sepeninggal Khandegwilis
hati Kamandaka berbunga-bunga. Ah, betapa lamanya hari ini. Dan menunggu selalu
merupakan pekerjaan membosankan. Dia ingin matahari berjalan cepat, sehingga
siang segera bertukar dengan malam. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Seorang pembantu baru saja mengantarkan baki berisi sarapan pagi. Dia pun
melihat, matahari pagi baru sepenggalah meninggalkan horison kaki langit
sebelah timur. Kamandaka pun pasrah pada kehendak alam semesta.
“Segalanya seperti
serba kebetulan,. Ki Ajar Wirangrong tak pernah meleset. Semoga para Dewa melindungiku.” Kamandaka berharap nanti
malam Dewa Candra dan Kartika akan melindunginya.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar