Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 24 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(59)



“Siap, Raden. Banyak punggawa Kadipaten yang bisa dikerahkan, baik untuk Baturagung maupun Kendalisada.”
“Baiklah kalau begitu. Selanjutnya menjadi tanggung jawab Dimas Arya Baribin selaku penanggung jawab sektor timur. Selalu hubungi aku bila ada kesulitan. Tumenggung Maresi, antarkan Rekajaya ke Kaliwedi,” kata Kamandaka sambil bersiap akan kembali ke Dalem Kadipaten Pasirluhur.
Kegiatan meninjau lokasi pelatihan prajurit sektor utara dan sektor timur telah selesai. Kamandaka segera meloncat naik ke atas kudanya, disusul Silihwarna dan Arya Baribin. Jigjayuda selaku petunjuk jalan memacu kudanya kembali ke Kaliwedi. Berturut-turut mengikuti di belakangnya, Arya Baribin dengan Ratna Pamekas, Silihwarna dengan Mayangsari disusul Kamandaka dengan Sang Dewi. Paling belakang Tumenggung Maresi selaku pengawal rombongan sambil membawa Rekajaya yang hanya akan ikut sampai Kaliwedi saja.
Dari Kaliwedi para ksatria Kadipaten Pasirluhur itu memacu kudanya ke arah utara, lalu belok kiri menuju Kadipaten Pasirluhur. Dengan mudah rombonga Sang Dewi melewati Sungai Banjaran. Matahari akhir musim kemarau akan segera-terbenam, tampak bagaikan bola tembaga raksasa tergantung di langit sebelah barat. Sang Dewi dari atas kudanya melihat bola tembaga raksasa yang sinarnya berpendaran kemana-mana. Sebentar lagi bola tembaga raksasa akan segera lenyap di balik kaki langit. Sebagian dari sinar matahari warna merah tembaga singgah di wajah Sang Dewi,sehingga menjadikan Sang Dewi tampak semakin cantik. Kamandaka yang mengendalikan kudanya, gelisah seketika. Bagi Kamandaka kecantikan Sang Dewi saat-itu-sangat indah alami, bagaikan bidadari dalam balutan cahaya warna merah senja yang sedang-turun dari Kahyangan. Kamandaka pun berbisik lirih.
“Dinda Dewi, dalam balutan cahaya matahari senja hari, tampak semakin cantik.”
“Kenapa Kanda tidak....,?” tanya Sang Dewi, sambil menjatuhkan kepalanya ke belakang, sehingga pipi kiri Sang Dewi langsung berimpitan dengan pipi kanan Kamandaka. Kesempatan itu dimanfaatkan Kamandaka untuk memberikan ciuman lembut kepada Sang Dewi. Tetapi tak lama kemudian Sang Dewi menarik kepalanya ke depan kembali.
“Kenapa, Dinda Dewi?” tanya Kamandaka-penasaran.
“Kanjeng Ibu melarang sepasang kekasih, bahkan sepasang suami istri berkasih-kasihan pada saat senjakala tiba seperti ini. Orang bilang sekarang ini saat candikkala, saat energi negatip muncul di permukaan bumi. Bahkan Dewa Syiwa dan Dewi Uma pun pernah mendapat kutukan alam semesta karena melanggar larangan bermain cinta pada saat senja kala tiba,” kata Sang Dewi mengingatkan Kamandaka kepada kisah para dewa yang sempat dibacanya.
“Tapi, Dinda Dewi yang tadi...,” sanggah Kamandaka.
“Ya, karena Kanda memuji aku,”
“Lagi?” goda Kamandaka.
“Tidak ah, nanti bikin iri Tumenggung Maresi yang ada di belakang kita,” katanya. Tetapi, Sang Dewi kembali menjatuhkan kepalanya kebelakang, sehingga kedua pipi sepasang kekasih itu saling bertemu kembali. Bahkan Sang Dewi memejamkan matanya seakan-akan tertidur dalam pelukan tangan kanan Kamandaka yang sedang mengendalikan tali kekang kuda. Kamandaka tersenyum dalam hati. Dia tidak pernah menyesal. Rasa rindunya kepada Sang Dewi, tak pernah lenyap. Tepat saat matahari terbenam di kaki langit, rombongan para Ksatria Kadipaten Pasirluhur itu tiba kembali di halaman Pendapa Kadipaten.
“Dinda Dewi, sudah sampai,” bisik Kamandaka pada Sang Dewi yang masih memejamkan matanya. Kamandaka tidak melewatkan kesempatan untuk memberikan ciuman selagi mereka masih berada di atas pelana kuda. Kamandaka segera meloncat turun. Kemudian membimbing Sang Dewi turun dari atas pelana kuda.Seorang bujang yang sedang berjaga dekat pintu gerbang berlari-lari dan mengambil alih kuda dari Kamandaka, lalu membawanya ke kandang kuda.
***
Matahari terbit dan terbenam silih berganti. Pagi bertukar dengan siang. Siang bertukar dengan malam. Kembali malam bertukar dengan pagi. Bumi pun terus berputar. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Akhirnya waktu 120 hari yang dijanjikan untuk  pertemuan dan penjemputan calon mempelai wanita Kadipaten Pasirluhur oleh calon mempelai pria  Kerajaan Nusakambangan, tinggal tersisa lima hari lagi.
Tepat pada saat itu datanglah utusan dari Nusakambangan. Mereka segera menghadap Kanjeng Adipati dan-menyatakan siap memenuhi semua persyaratan yang diminta calon mempelai putri. Bahkan permintaan 1000 kodi mori putih bersih telah dibawa dan untuk diserahkan hari itu juga.
Utusan juga minta kepastian janji Kadipaten Pasirluhur mengenai tempat dan waktu penjemputan calon mempelai wanita oleh calon mempelai pria. Kemudina dilanjutkan dengan acara ritual pernikahan kedua calon mempelai-dan pesta pernikahan.
Pihak Kadipaten Pasirluhur memberikan jaminan, bahwa tidak ada perubahan tempat dan waktu yang sudah dijanjikan. Utusan Nusakambangan pun kembali dengan membawa kabar menggembirakan bagi Sang Raja Kerajaan Nusakambangan.
Dua hari sebelum waktu yang telah disepakati,  Sang Dewi dan Kamandaka beserta seluruh pasukan dari tiga sektor segera bertolak dari pangkalannya masing-masing. Esok siang harinya semua pasukan sudah tiba  dan menempati sektornya sendiri-sendiri.Prajurit dari Padepokan Baturagung menempati jalan sektor utara dengan komandan Silihwarna. Prajurit dari Padepokan Dayeuhluhur, menempati jalan sektor barat dengan komandan Wirapati. Sedangkan prajurit dari Padepokan Kendalisada, menempati jalur sektor timur dengan komandan Arya Baribin.
Tenda-tenda pasukan didirikan pada jarak sekitar lima pal dari jalan simpang empat yang sudah disepakati. Tujuannya agar kehadiran pasukan itu tidak mencurigakan Kerajaan Nusakambangan. Memang kehadiran pasukan  sengaja disamarkan sedemikian rupa sehingga seakan-akan mereka hanyalah pasukan pengiring calon mempelai putri, yang sama sekali tidak membahayakan rombongan pengiring mempelai pria Nusakambangan. Kamandaka dan Sang Dewi menempati tenda tersendiri ditemani juru rias yang telah siap dengan tandu calon pengantin putri.  Si Lutung Kasarung ikut menjadi penghuni tenda Sang Dewi.Sore hari pun tiba. Angin dari lereng-lereng bukit yang ada di kanan kiri jalan, menyinggahi tempat perkemahan. Sang Dewi melihat pucuk-pucuk pohon raksasa yang berdiri tegak tidak jauh dari pinggir jalan, bergerak-gerak seakan-akan sedang menari digoyang angin sore.
“Kanda Kamandaka, lihat langit di atas pohon-pohon yang menjulang ke angkasa itu,” kata  Sang Dewi kepada Kamandaka yang duduk di sampingnya sambil memangku si Lutung Kasarung.
“Apakah Kanda melihat keanehan dari burung hitam itu? Elangkah atau burung gagakkah?”
Kamandaka menatap langit di atas pohon yang ditunjukkan Sang Dewi. Sejumlah burung elang berputar-putar membentuk lingkaran di udara. Anehnya makin lama elang yang berkumpul makin banyak. Kumpulan elang itu membentuk banyak lingkaran-lingkaran hitam di langit. Mula-mula hanya satu lingkaran. Datang lagi sekumpulan elang membentuk lingkaran tersendiri. Datang lagi yang lain lagi, juga membentuk lingkaran tersendiri lagi, demikian seterusnya.


“Itu burung elang,” kata Kamandaka
“Bagaimana kalau bukan burung elang, tetapi burung gagak?” tanya Sang Dewi. Kamandaka tidak menjawab, karena dia berpendapat burung gagak dan burung elang memang berbeda.
“Ya, kalau itu burung gagak menurut Dinda Dewi ada masalah apa?”
“Penciuman burung gagak tajam. Dia mampu mencium bau amis darah yang akan tertumpah dalam medan pertempuran, sebelum ada darah tertumpah.”
“Bukan penciuman burung gagak yang tajam,” kata Kamandaka mencoba menjelaskan perilaku burung-burung buas pemakan bangkai itu. “Tapi memang burung-burung itu tahu perilaku manusia sejak jaman dulu hingga sekarang. Mereka tahu, manusia yang berkumpul sambil membawa senjata, kemudian mendirikan perkemahan, bagi burung gagak atau pun elang pemakan bangkai adalah suatu pertanda akan ada peperangan. Dan setiap peperangan pasti akan ada korban, ada darah tumpah, dan ada mayat-mayat bergelimpangan yang segera akan menjadi bangkai. Dan bangkai, memang makanan lezat bagi burung gagak maupun burung elang pemakan bangkai.”
“Kanda, benar sekali. Lihat itu lingkaran-lingkaran hitam semakin banyak saja. Mereka tampaknya sedang berpesta pora dengan tarian ritual menyambut darah, mayat, bangkai, dan kematian,” kata Sang Dewi.
“Kalau pestanya belum. Itu baru tarian ritual mereka agar besok perang benar-benar menjadi kenyataan. Usai peperangan besok sore barulah mereka berpesta pora merayakan kematian, tanpa peduli dari pihak mana kematian itu menjemput para prajurit,” Kamandaka meluruskan anggapan Sang Dewi.
“Perang sebenarnya sesuatu yang problematis. Akibat peperangan bisa merusak peradaban manusia yang sebenarnya cinta damai. Tetapi anehnya, tanpa peperangan tidak akan pernah tercipta keadilan, kebenaran, dan perdamaian sejati. Bisakah manusia hidup tanpa peperangan?” tanya Sang Dewi.
“Itulah masalah yang sejak berpuluh-puluh abad lalu dan pada abad-abad yang-akan datang selalu dipikirkan oleh para brahmana, pendeta, nabi, pujangga, dan para pemikir yang cerdik pandai,” jawab Kamandaka.
“Tetapi Dinda  Dewi, selama  orang hidup di dunia ini masih memperebutkan harta, tahta dan wanita, selama itu akan tetap ada peperangan. Dan selama itu pula para ksatria akan tetap ada. Sebab tugas para ksatria memang berperang. Adalah suatu pandangan keliru jika orang membenci para ksatria karena mengira para ksatria adalah penyebab timbulnya peperangan. Karena menganggap para ksatrialah penyebab timbulnya peperangan, maka ada yang berpendapat, hanya dengan memusnahkan para ksatria maka dunia akan terbebaskan dari peperangan. Dan terwujudlah perdamaian abadi di antara umat manusia. Tapi-sebenarnya-pendapat itu hanyalah romantisme dan khayalan tidak berdasarkan kenyataan di dunia yang terkadang membingungkan.”
“Dalam kisah Mahabharata, Rama Parasu adalah contoh dari sosok brahmana yang menganggap bahwa di dunia ini  tidak akan pernah ada kehidupan yang  tertib dan damai  selama masih ada golongan ksatria dalam masyarakat,” kata Kamandaka melanjutkan.
“Karena golongan ksatria telah dijadikan kambing hitam orang-orang semacam Rama Parasu, maka golongan ksatria itu harus dimusnahkan. Dia menganggap golongan ksatrialah biang kerok kekacauan, penyulut peperangan, demi ambisinya yang-tak-pernah-terpuaskan akan harta, tahta, dan wanita.” 
“Ya, benar sekali,” kata Sang Dewi menanggapi Kamandaka yang menyinggung seorang brahmana sakti, Rama Parasu. “Aku pernah baca kisah Ramaparasu, brahmana yang bersumpah untuk membunuh para ksatria. Dengan kampaknya yang menakutkan, dia memenggal leher setiap ksatria yang dijumpainya. Tetapi para ksatria tidak pernah musnah. Boleh dikatakan patah tumbuh hilang berganti. Kenapa para ksatria tidak pernah musnah?” tanya Sang Dewi. 
“Karena tanpa ksatria justru dunia ini akan kacau balau,” Sang Dewi menjawab pertanyaannya sendiri. “Tanpa peran para ksatria, tidak mungkin tercipta masyarakat tertib damai. Hanya para ksatria dan bukan para brahmana yang bisa mewujudkan tertib damainya masyarakat. Perang akan hilang dengan sendirinya bila para ksatria bisa mewujudkan masyarakat tertib damai. Tertib yang sesungguhnya tidak akan ada bila tidak ada perdamaian. Dan damai dalam masyrakat hanya akan ada apabila setiap warga masyarakat tidak dihalang-halangi dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya atas dasar prinsip keadilan, kebenaran, dan persamaan.(bersambung)

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(58)



“Kanjeng Ibu, Dewi mau pamit sambil pinjam kuda Kanjeng Rama. Dewi bersama Dinda Ratna Pamekas dan Dinda Mayangsari akan menemani Kanda Kamandaka, Dinda Silihwarna dan Dimas Arya Baribin meninjau rencana lokasi tempat pelatihan prajurit di Baturagung dan Kendalisada,” kata Sang Dewi seraya memeluk Kanjeng Ayu Adipati.
“Baiklah, Nduk Dewi, tapi sore hari harus sudah kembali ke Kadipaten. Jangan sampai bermalam di tempat lain, ya, Nduk Dewi,” pesan Kanjeng Ayu Adipati. Sang Dewi tersenyum sambil mengangguk.
“Percayalah Kanjeng Ibu, aku bisa menjaga diri. Lagi pula Kanda Kamandaka tidak seperti Kanjeng Rama,”  kata Sang Dewi sambil menyindir Ibundanya.
Kanjeng Ayu Adipati hanya tersenyum mendengar sindiran halus Sang Dewi. Air matanya sudah kering. Dia membenarkan sepenuhnya kata-kata putri kesayangannya itu. Dia pun bertekad untuk melaksanakan saran-saran yang disampaikan Sang Dewi kepadanya.
“Benar juga Nduk Dewi, jika Kanda Adipati tak cepat dikendalikan, bisa-bisa nafsu untuk mencari daun muda akan terus berlanjut tak kenal lelah. Oh, Kanda Adipati!” keluh Kanjeng Ayu Adipati kesal juga memikirkan adat suaminya.
Sang Dewi segera bergegas menemui Kamandaka.Dia dapat pinjaman satu ekor kuda dari Ki Patih. “Kuda Kanda Kamandaka biar dipakai Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Kanda Kamandaka pakai kuda Kanjeng Rama dengan aku. Dinda Silihwarna pakai kudanya sendiri dengan Dinda Mayangsari,” kata Sang Dewi yang langsung mengusulkan penggunaan kuda.
“Tumenggung Maresi bawa kuda sendiri. Pinjaman kuda Ki Patih biar dipakai Jigjayuda” Usul Sang Dewi langsung disetujui Kamandaka dan adik-adiknya.
Jarak Kadipaten Pasirluhur ke Baturagung di lereng Gunung Agung tidak terlalu jauh. Matahari masih bersinar lembut dan angin gunung bertiup sayup-sayup ketika lima ekor kuda para ksatria dan punggawa  Kadipaten Pasirluhur itu tiba di tepi sebuah hutan lebat di lereng Gunung Agung. Wakil Tumenggung Jigjayuda, selaku penunjuk jalan mengendarai kuda paling depan.Tiba-tiba-dia-berhenti-dan meloncat turun. Disusul kuda yang membawa Arya Baribin dan Ratna Pamekas.Mereka-telah tiba di lokasi. Kemudian menyusul di belakangnya kuda Silihwarna dengan Mayangsari, kuda Kamandaka dengan Sang Dewi. Terakhir tiba di lokasi adalah kuda Tumenggung Maresi yang membawa perbekalan sambil mengawal rombongan. Kamandaka dan Silihwarna segera mencari lokasi yang nyaman untuk kelak dibangun tenda dan tempat pelatihan prajurit. Setelah lokasi ditemukan, Jigjayuda disuruh menandai tempat itu sebaik-baiknya.
“Tumenggung Maresi, lima hari cukup untuk menyiapkan lokasi perkemahan dan lokasi pelatihan?” tanya Kamandaka kepada Tumenggung Maresi.
“Siap, Raden!” jawab Tumenggung Maresi.
“Hari keenam 400 prajurit harus sudah tiba di lokasi,” kata Kamandaka pula
“Siap, Raden!” Tumenggung Maresi-menjawab-lagi.
“Jigjayuda, benar daerah ini namanya Baturagung?” tanya Kamandaka yang dibenarkan oleh Jigjayuda dan Tumenggung Maresi.
“Baiklah, aku namakan tempat-pelatihan ini Mandala  Baturagung,” kata Kamandaka.
Setelah dirasa cukup, Kamandaka mengajak rombongan meninggalkan lokasi menuju Kendalisada. Dalam perjalanan ke Kendalisada, rombongan menyempatkan diri mencari lokasi di Sungai Logawa dan Kabunan yang akan dijadikan tempat latihan dasar keprajuritan berbasis sungai. Kembali Kamandaka dan Silihwarna menentukan lokasi yang telah dipilih dan menugaskan Jigjayuda untuk menandainya. Lokasi di Sungai Kabunan tidak jauh dari Sungai Logawa, dekat dengan hutan yang dikenal penduduk sebagai hutan Kabunan. Disebut demikian, sebab hutan itu  berembun sepanjang malam.
“Daerah tebing Sungai Kabunan di bawah hutan Kabunan yang banyak batu-batu besarnya itu cocok untuk berlatih yoga, Dinda Silihwarna dan Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka sambil menunjukkan  sebuah batu besar dekat tebing di sisi barat Sungai Kabunan.
“Betul sekali, Kanda. Nanti akan dinda atur sehingga nyaman digunakan untuk berlatih yoga dan ilmu pernapasan bagi para prajurit yang berlatih di Baturagung,” kata Silihwarna.
“Nanti aku-juga akan mencobanya barang semalam untuk lebih mempertajam daya kekebalan tubuh. Embun yang turun sepanjang malam dan melewati pohon-pohon hutan lebat itu, mengandung energi positip luar biasa yang-berguna-kepada tubuh kita,” kata Kamandaka menjelaskan manfaat embun hutan untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh.

“Dinda pun ingin mencobanya,” kata Arya Baribin setelah mendengar penjelasan Kamandaka. Dari tepi Sungai Kabunan yang mengalir sejajar dengan Sungai Logawa itu, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kaliwedi. Tepat pada tengah hari rombongan sudah tiba sampai. Kamandaka menentukan agar rombongan istirahat di kediaman Nyai Kertisara lebih dulu  untuk santap siang. Direncanakan usai istirahat dan santap siang baru menuju ke lokasi.
Nyai Kertisara dan Rekajaya menyambut kedatangan tamunya dengan wajah  berseri-seri. Semakin sering para ksatria dan punggawa kadipaten mengunjungi rumah Nyai Kertisara, kedudukan Nyai Kertisara di mata penduduk Kaliwedi semakin terangkat. Apalagi jika para ksatria dan punggawa itu mau bermalam. Tak heran bila Nyai Kertisara siap kapan saja menerima tamu. Apa lagi, bangunan rumah Nyai Kertisara dalam waktu relatip singkat telah berubah jadi bangunan rumah paling menonjol di desa Kaliwedi. Itu semua berkat bimbingan dan bantuan Kamandaka.
“Bermalam lagi Raden?” tanya Nyai Kertisara kepada Kamandaka di tengah-tengah jamuan santap siang yang disediakannya.
“Aku sebenarnya ingin sekali bermalam di sini, Nyai. Dinda Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas sudah pernah bermalam tiga hari yang lalu, bukan?” kata Sang Dewi menjawab tawaran menginap Nyai Kertisara kepada Kamandaka. Kamandaka  yang duduk di samping Sang Dewi hanya senyum-senyum saja.
“Oh, gembira sekali hamba, Ndara Putri, jika malam ini berkenan menginap di sini. Raden  Kamandaka pasti menyetujui. Kamar cukup banyak. Kamar yang pernah ditinggali Raden Kamandaka masih utuh, belum dirubah. Rekajaya selalu merawat dan menjaganya,” kata Nyai Kertisara yang mengira semua tamunya itu akan bermalam lagi. “Tapi, ya itu, tidak selengkap kamar-kamar di Kadipaten.”
“Terima-kasih, Nyai. Sayang Kanjeng Ibu sudah berpesan, sore ini aku harus sudah kembali ke Dalem Kadipaten,” kata Sang Dewi  menjelaskan kepada Nyai Kertisara. “Mudah-mudahan di lain kesempatan aku bisa bermalam di sini.” Mendengar janji Sang Dewi kelak mau menginap di rumah Nyai Kertisara saja sudah membuat dirinya gembira bukan alang kepalang. Beberapa kali Nyai Kertisara mengucapkan terimakasih pada Sang Dewi.
“Justru aku yang seharusnya banyak terimakasih pada Nyai. Kiriman gula kelapa dan gula aren yang tiap minggu mengalir lima keranjang-lima keranjang ke kadipaten membuat dapur kadipaten tak pernah kekurangan gula kelapa dan gula aren,” kata Sang Dewi memuji Nyai Kertisara yang tentu saja  membuat senang pengusaha wanita yang sukses itu.Tiba-tiba Rekajaya muncul mendekati Kamandaka. Dia baru disuruh Kamandaka mengantarkan Tumenggung Maresi dan Jigjayuda mencari lokasi untuk mendirikan tempat pelatihan prajurit di Kendalisada.
“Mana Tumenggung Maresi dan Jigjayuda? Ditunggu Nyai Kertisara, suruh makan dulu,” tanya Kamandaka setelah menerima laporan bahwa lokasi yang dimaksud di Kendalisada tinggal menunggu persetujuannya saja. Tak lama kemudian Tumenggung Maresi dan Jigjayuda masuk dan segera disambut Nyai Kertisara. Keduanya saling bersalaman. Tumenggung Maresi pernah jadi kakak ipar Nyai Kertisara, karena Lurah Karangjati, mantan suami Nyai Kertisara adalah adik Tumenggung Maresi.
Cukup lama rombongan para ksatria Kadipaten Pasirluhur itu saling melepas rindu dan lelah di kediaman Nyai Kertisara. Menjelang sore hari, barulah rombongan meninggalkan rumah Nyai Kertasara menuju lokasi yang akan dipersiapkan sebagai pusat pelatihan prajurit sektor timur.
“Dimas Arya Baribin, lokasinya sangat bagus sekali,” kata Kamandaka dari atas kudanya kepada Arya Baribin. Mereka semua sudah tiba di lokasi. Arya Baribin yang naik kuda bersama Ratna Pamekas menghentikan kudanya di sebelah kanan kuda Kamandaka. Tak lama kemudian Silihwarna yang naik kuda bersama Mayangsari, menghentikan kudanya di sebelah kiri kuda Kamandaka.
”Lihatlah di sebelah utara deretan perbukitan hijau yang memanjang ke timur. Di kakinya membentang padang yang luas ke selatan dan ke timur.” kata Kamandaka kepada Sang Dewi.
“Kanda, sungguh lokasi ini tepat sekali dijadikan mandala pelatihan prajurit. Perbukitannya tidak terlalu tinggi, memanjang jauh ke timur, demikian pula hamparan padang rumput dan perdu di kakinya yang luas dan datar. Aku jadi teringat Padang Kurusetra dalam kisah Mahabharata,” kata Sang Dewi sambil memandang kagum keindahan perbukitan yang ada di depannya.
 “He! Dinda Ratna Pamekas! Dinda Mayangsari! Lihat ke selatan! Itu Sungai Ciserayu yang mengalir dari timur ke barat. Oh, alangkah indahnya. Lebih besar dari Sungai Logawa,” Sang Dewi berteriak kegirangan ketika menengok ke selatan melihat Sungai Ciserayu. Bukan hanya Ratna Pamekas dan Mayangsari saja yang mengikuti Sang Dewi memandang ke arah selatan untuk melihat Sungai Ciserayu. Kamandaka, Arya Baribin, dan Silihwarna pun iku menikmati pemandangan indah Sungai Ciserayu dilihat dari ketinggian tempat duduknya, di atas pelana kuda. Tampak Sungai Ciserayu mengalir tenang tak beriak seakan-akan tidak peduli kepada mereka yang sedang mengaguminya.
“Pegunungan yang memanjang dari timur ke barat di selatan Sungai Ciserayu itu, namanya Pegunungan Ciserayu,” kata Kamandaka memberi penjelasan.
“Kalau jalan ini terus ke timur akan sampai di mana, Kanda?” tanya Sang Dewi kepada Kamandaka. Arya Baribin yang mendengar pertanyaan Sang Dewi langsung menjawab.
“Ayunda Dewi, kalau jalan ini terus ke timur akan sampai ke sebuah sungai juga, namanya Cingcinggoling,” kata Arya Baribin yang masih duduk di atas kuda bersama Ratna Pamekas. “Hanya jalannya agak sempit, naik turun,” kata Arya Baribin.
“Kangmas Arya, aku mau kalau diajak ke sana,” kata Ratna Pamekas.
 “Aku juga mau, " kata Mayangsari. "Kanda Silihwarna, mau kan mengantarkan aku ke sana, melihat sungai yang namanya aneh itu?” Mayangsari tiba-tiba ikut mendukung usul Ratna Pamekas. Silihwarna yang masih agak malu-malu, sedikit demi sedikit memperlihatkan kemajuannya.
“Dinda Mayangsari, aku pasti mau mengantarkan. Tetapi ijin dulu kepada Ayunda Dewi,” kata Silihwarna yang mulai pandai berbicara dengan Mayangsari.
Sang Dewi dan Kamandaka tersenyum mendengar usul kedua adik perempuannya itu. Lebih-lebih Sang Dewi yang melihat adik-adiknya itu sudah mulai lancar berkomunikasi dengan Arya Baribin maupun Silihwarna. Padahal mereka baru kenal belum terlalu lama, tetapi sudah memperlihatkan keakraban.
“Aku juga senang diantarkan Kanda Kamandaka ke tepi Sungai Cingcinggoling. Lebih-lebih sungai itu merupakan batas paling timur Kadipaten Pasirluhur. Tetapi matahari sudah sangat condong ke barat. Pesan Kanjeng Ibu, sore ini aku harus sudah tiba kembali ke kadipaten. Lagi pula tujuan utama kita sebenarnya menemani para panglima perang yang sudah dilantik Kanjeng Rama meninjau  tempat pelatihan prajurit. Tujuan itu sudah tercapai. Jadi, lain kali saja, ya, Adindaku sayang?” kata Sang Dewi menghibur kedua adik perempuannya itu. Satu adik sepupu, satu lagi calon adik ipar.
“Benar, bukan, Kanda ?” Sang Dewi bertanya kepada Kamandaka, meminta persetujuan. Kamandaka yang duduk di atas pelana kuda di belakang Sang Dewi membenarkannya.
Tiba-tiba Tumenggung Maresi, Jigjayuda, dan Rekajaya yang sudah turun sejak tadi dan sudah selesai menandai lokasi tempat pelatihan, datang-melapor. Kamandaka meloncat turun, diikuti Silihwarna dan Arya Baribin. Sang Dewi, Mayangsari, dan Ratna Pamekas tetap duduk di atas pelana kudanya.
“Bagaimana Raden, lokasi ini?” tanya Tumenggung Maresi.
“Setuju sekali. Malah sangat ideal. Dimas Arya Baribin, lokasi pelatihan prajurit ini aku namakan Mandala Kendalisada. Lima hari harus sudah siap untuk digunakan,” kata Kamandaka yang disanggupi Tumenggung Maresi dan Jigjayuda.

”Pusat-pelatihan di sektor timur ini lebih sulit dari pada sektor utara. Sebab pesertanya terdiri-dari-200 prajurit yang sudah terlatih-dan-sudah biasa dikomandani Dinda Silihwarna. Sedang yang 200 adalah-calon-prajurit-yang-belum-siap.Mereka-adalah para penyadap binaan Rekajaya dan Nyai Kertisara yang ingin ikut berbakti-demi kepentingan Kadipaten Pasirluhur. Kakang Rekajaya, sudah dapat berapa penyadap yang mau jadi sukarelawan? “
“Empat ratus penyadap, Raden.”
“Empat ratus? Kebanyakan. Harus pilih hanya 200 orang-saja. Tak boleh lebih!” saran Kamandaka.
“Sudah Raden, tepat 200 orang,” jawab Rekajaya mantap.
 “Tumenggung Maresi, Kakang Rekajaya ikutkanlah untuk-membantu mempersiapkan lokasi. Dia punya banyak tenaga yang bisa diperbantukan mempercepat penyelesaian tempat pelatihan,” Kamandaka memberikan perintah kepada Tumenggung Maresi.(bersambung)

Senin, 23 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(57)



“Pasukan kepala udang justru harus bisa membiarkan pasukan Gajah Nusakambangan terus bergerak maju ke utara mengikuti tandu calon mempelai pria yang bergerak masuk jalur utara dengan diiringi barisan gadis kembar. Tugas pasukan penjepit kanan, adalah segera memotong dan memisahkan barisan gadis kembar dan ketiga prajurit wanita pengawalnya dari pasukan Gajah yang mengikuti dari belakang. Setelah  barisan gadis kembar dan tiga prajurit wanita berhasil dipisahkan dengan pasukan Gajah yang ada dibelakangnya, barulah pertempuran yang sesungguhnya bisa dimulai, sebagaimana yang sudah aku jelaskan pada pelaksanaan operasi perang,” kata Sang Dewi mengakhiri uraiannya yang ditanggapi dengan wajah-wajah yang sepenuhnya dapat mengerti.
“Terima-kasih. Dinda Dewi telah memberikan gambaran lengkap formasi perang pasukan Pasirluhur dan Dayeuhluhur dalam menghadapi pasukan Nusakambangan. Langkah berikutnya, mulai besok panglima lapangan harus sudah menyusun rencana pelatihan pasukan di lokasi-lokasi yang telah ditetapkan. Terimakasih atas perhatian semuanya,” kata Kamandaka. Dia bermaksud akan segera menutup pertemuan kordinasi itu. Tetapi Sang Dewi yang duduk di samping Kamandaka segera membisikkan sesuatu.
“Oh, ya maaf lupa. Terimakasih Dinda Dewi telah mengingatkan. Masih ada dua acara lagi. Silahkan Dimas Arya Baribin jika ingin menyampaikan sesuatu,” kata Kamandaka kepada Arya Baribin. Ksatria Majaphit itu segera berdiri dan berjalan menghadap Kanjeng Adipati Kandhadaha. Setelah menghormat dengan membungkukkan badan dengan berdiri tegak, Arya Baribin mengucapkan janji setia.
“Sahaya  Arya Baribin, melalui Kanjeng Adipati Kandhadaha,Kanjeng-Adipati-Kadipaten Pasirluhur, dengan ini sahaya-menyatakan sumpah setia sahaya kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran. Sahaya bersedia mengorbankan jiwa dan raga sahaya untuk membela para kawula Kerajaan Pajajaran di bagian mana pun, demi kebesaran dan keagungan Kerajaan Pajajaran,” kata Arya Baribin mengucapkan janji sumpah setia kepada Kerajaan Pajajaran. Sang Adipati  mewakil Sri Baginda Prabu Siliwangi  menerima janji setia Arya Baribin.
“Saya, Adipati Kandhadaha dari Kadipaten Pasirluhur, dalam kesempatan ini mewakili Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran menerima sumpah setia Ananda Arya Baribin,” kata Kanjeng Adipati yang berdiri di depan Arya Baribin, kemudian menyalaminya sebagai ucapan selamat. Sejak saat itu Arya Baribin  telah diterima sebagai anggota keluarga besar para Kstaria Kerajaan Pajajaran. Tepuk tangan terdengar mengiringi selesainya pengucapan janji setia Arya Baribin.
“Selanjutnya Dinda Ratna Pamekas, dipersilahkan jika ingin menyampaikan sesuatu kepada Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka kepada Ratna Pamekas yang hari itu tampil cantik dengan wajah  ceria dan menyungging senyum di bibir mungilnya.
“Kangmas Arya Baribin, terimalah pusaka Kujang Kancana Shakti Kerajaan Pajajaran dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk membela kepentingan Kerajaan Pajajaran di manapun Kangmas Arya berada,” kata Ratna Pamekas sambil menyerahkan pusaka Kerajaan Pajajaran yang segera diterima Arya Baribin dengan suka-cita.
Arya Baribin segera mencium punggung telapak tangan kanan Ratna Pamekas. Gelang emas yang melilit pergelang tangan Ratna Pamekas dan cincin emas bermata berlian yang ada di jari manisnya, berkilau-kilauan memantulkan cahayanya kian kemari.  Tepuk tangan kembali terdengar mengiringi kegembiraan Arya Baribin dan Ratna Pamekas. Sebab sesuai dengan amanat Sri Baginda Prabu Siliwangi, dengan menyerahkan pusaka Kujang Kancana Shakti kepada Arya Baribin, berarti Ratna Pamekas telah menjatuhkan pilihannya. Dia telah memilih dan menerima Arya Baribin, Ksatria trah Majapahit itu, sebagai calon suaminya. Kamandaka dan Silihwarna terharu sekaligus bangga kepada adiknya yang mereka cintai itu. Sebab, Ratna Pamekas telah berhasil menemukan pria calon pendamping hidupnya.
Acara siang hari itu diakhiri dengan pelantikan para panglima perang dan panglima pasukan gabungan Pasirluhur dan Dayeuhluhur oleh Kanjeng Adipati Pasirluhur. Mereka yang dilantik adalah Kamandaka, Silihwarna, Wirapati, dan Arya Baribin. Selesai pelantikan, pertemuan ditutup, dilanjutkan dengan ramah tamah dan santap siang bersama di Dalem Kadipaten.
***
Pagi setelah santap sarapan bersama, Wirapati mohon diri kepada Kanjeng Adipati, Kanjeng Ayu Adipati,-Sang-Dewi,Kamandaka,Ratna-Pamekas-dan-Arya-Baribin, untuk kembali ke Dayeuhluhur. Dia memang harus segera pulang karena harus menyiapkan pelatihan pasukan dan menyambut-kedatangan-pasukan Kadipaten Galuh yang-akan-diperbantuan-dalam-perang-melawan-Nusakambangan.
“Dinda Silihwarna, Kanda titip Dinda Mayangsari,” kata Wirapati saat berpamitan kepada Silihwarna yang pagi itu didampingi Mayangsari. Mayangsari sengaja ditinggal di Kadipaten Pasirluhur untuk menemani Ratna Pamekas. Lagi pula, Mayangsari sudah dilamar Silihwarna.
“Baik, Kanda Wirapati. Pasti Dinda Mayangsari akan aku jaga sebaik-baiknya. Selamat jalan dan selamat berjuang, teriring salam untuk Ayah dan-Bunda Kanjeng Adipati Dayeuhluhur,” kata Silihwarna sambil memeluk Wirapati. Mayangsari menatap kakaknya dengan senyum bahagia, ketika kedua ksatria itu saling berpelukan. Wirapati segera memacu kudanya meninggalkan saudara-saudaranya yang sedang berbahagia diiringi tatapan mata para Kstaria Kadipaten Pasirluhur, sampai kuda yang membawa Wirapati itu lenyap di sebuah tikungan.
“Kasihan juga nasib Dinda Wirapati. Semoga segera menemukan pengganti Niken Gambirarum, kekasihnya tercinta yang telah tewas,” bisik Kamandaka kepada Sang Dewi yang berdiri di sampingnya.  Sang Dewi menjawab dengan anggukan dan tatapan mata sedih.
‘‘Kanda, kapan kita meninjau rencana lokasi pelatihan prajurit di Baturagung dan Kendalisada?”
“Asal Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu mengijinkan, hari ini juga tidak apa-apa. Memang hal itu sudah aku pikirkan, Dinda Dewi.”
“Urusan ijin dari Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, biar aku yang mengurusnya. Tugas Kanda sekarang cari kuda yang bagus,” kata Sang Dewi. Dia segera meninggalkan Kamandaka. Sang Dewi bergegas  menemui Kanjeng Ayu Adipati untuk minta ijin.
Sementara-itu,Kamandaka menemui Silihwarna dan Arya Baribin untuk membicarakan usul Sang Dewi. Tentu saja Silihwarna dan Arya Baribin langsung menyambut gembira. Apa lagi Mayangsari dan Ratna Pamekas  akan diajak. “Tinggal cari satu kuda lagi untuk Dimas Arya Baribin. Biar aku minta tolong Tumenggung Maresi mencarikan kuda dan mempersiapkan perbekalan,” kata Silihwarna yang disetujui Kamandaka. Silihwarna segera pergi ke Pendapa Kadipaten untuk menemui Tumenggung Maresi.

 Sementara itu Sang Dewi langsung masuk kamar Kanjeng Ayu Adipati dan melihat Ibunya sedang duduk di depan meja rias sambil memandang wajahnya yang cantik itu di dalam cermin rias.
“Lho, Kanjeng Ibu pagi-pagi begini malah menangis. Pasti baru bertengkar dengan Kanjeng Rama!” kata Sang Dewi yang segera tahu ibunya sedang menangis karena matanya basah oleh air mata. ”Kemana Kanjeng Rama? Pagi-pagi begini sudah pergi?”
Kanjeng Ayu Adipati tidak menjawab, tetapi Sang Dewi segera tahu, kemana Kanjeng Adipati itu pergi. Padahal tadi pagi masih ikut mengantarkan Wirapati. Rupanya Kanjeng Adipati pergi secara diam-diam. “Berapa malam dalam seminggu Kanjeng Rama meninggalkan Kanjeng Ibu sendirian?”
“Empat malam,” jawab Kanjeng Ayu Adipati sambil menahan isak tangisnya.
“Empat malam tiap minggu tidak bersama Ibu? Kanjeng Rama bilang kepada Dewi hanya dua malam?”
“Ya, itulah Kanjeng Ramamu, suka berbohong.”
“Salah Ibu juga sih, lemah mengendalikan Kanjeng Rama. Padahal Kanjeng Ibu itu istri paling cantik dan paling cerdas dibanding istri-istri Kanjeng Rama yang lain. Katakan pada Kanjeng Rama kalau sudah kembali, Dewi tidak ingin punya Ibu tiri lagi! Tidak ingin punya adik tiri lagi! Kanjeng Ibu juga jangan gampang larut dalam kesedihan. Kanjeng Rama punya istri muda lagi, betul Kanjeng Ibu?” Kembali Kanjeng Ayu Adipati diam tak menjawab. Tetapi tangisnya malah meledak.
“Sudahlah Kanjeng Ibu, sabar saja,” kata Sang Dewi sambil memeluk dengan segenap kasih sayang pada ibundanya yang amat dicintainya itu.
“Mudah-mudahan kelak Ananda Kamandaka tidak seperti Kanjeng Ramamu,”
“Dewi sudah meminta Kanda Kamandaka untuk bersumpah disaksikan Yang Maha Menguasai Jagad ini, bahwa Kanda Kamandaka akan menjadikan aku sebagai satu-satunya istri sampai maut memisahkan kami berdua. Kewajiban  Dewi hanyalah menjaga agar Kanda Kamandaka selalu memegang teguh sumpah yang pernahkan diucapkannya itu,” kata Sang Dewi menghibur Ibundanya.
“Bagi seorang suami,” kata Sang Dewi lagi, “Istri itu sering disebutnya sebagai garwa, yang berarti belahan jiwa. Sebagai belahan jiwa, seorang istri itu harus tahu kemana saja suami pergi. Bila perlu istri selalu mendampingi suami kemana saja. Bahkan seandainya suami pergi ke lubang semut istri pun harus ikut. Perlunya agar supaya istri tahu kesulitan apa yang dihadapi suami dan ikut membantu suami memecahkan masalah yang timbul,” kata Sang Dewi pula.
“Kesalahan Kanjeng Ibu barang kali, Kanjeng Ibu membiarkan Kanjeng Rama kemana saja pergi, tanpa Kanjeng Ibu mengetahuinya. Seharusnya Kanjeng Ibu bisa mengendalikan Kanjeng Rama. Jangan biarkan Kanjeng Rama berjalan sendiri. Kalau perlu dampingi Kanjeng Rama, sekalipun Kanjeng Rama mau pegi ke istri-istri Kanjeng Rama yang lain. Seharusnya Kanjeng Ibu yang memegang kunci kandang kuda. Coba, Dewi tanya sekarang, di kandang kuda ada berapa ekor? Kanjeng Ibu pasti tidak tahu kuda-kuda Kanjeng Rama. Seharusnya Kanjeng Rama tidak bisa pergi menggunakan kuda tanpa ijin Kanjeng Ibu. Kanjeng Ibu tahu berapa ekor kuda Kanjeng Rama?” tanya Sang Dewi.
“Tiga ekor,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Baik, Kanjeng Rama pagi ini pergi memakai kuda. Menurut Ibu ada berapa ekor kuda Kanjeng Rama di kandang?”
“Dua ekor,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanjeng Ibu kurang teliti. Seharusnya pagi ini di kandang ada empat ekor kuda, karena Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna menitipkan dua kudanya di kandang Kanjeng Rama. Tetapi kalau Kanjeng Ibu lihat di kandang kuda, hanya ada tiga ekor kuda. Satu milik Kanjeng Rama, dua lagi milik Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna. Tadi Kanjeng Ibu bilang kuda Kanjeng Rama ada tiga. Ditambah dua kuda titipan, harusnya ada lima ekor kuda. Dipakai satu oleh Kanjeng Rama. Seharusnya pagi ini di kandang kuda ada empat  ekor kuda. Kenyataannya hanya ada tiga ekor kuda. Menurut Ibu kemana satu ekor kuda Kanjeng Rama?”
“Satu kuda telah hilang,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Bukan hilang, Kanjeng Ibu! Tetapi Kanjeng Rama telah melepasnya untuk menikahi istri barunya! Coba Kanjeng Ibu ingat-ingat, sejak kapan Kanjeng Rama jarang tidur dengan Kanjeng Ibu?”
“Kira-kira sejak tiga bulan lalu.”
“Sekarang aku panggil tukang perawat kuda Kanjeng Rama,” kata Sang Dewi sambil melangkah keluar menyuruh seorang bujang untuk memanggil tukang perawat kuda menghadap Sang Dewi dan Kanjeng Ayu Adipati. Tak lama kemudian seorang perawat kuda yang sudah dikenal Sang Dewi menghadap.
“Patik, berapa jumlah kuda Kanjeng Rama?” tanya Sang Dewi kepada tukang perawat kuda disaksikan Kanjeng Ayu Adipati.
“Dulu ada tiga, kini tinggal dua. Tadi pagi dipakai Kanjeng Adipati satu. Titipan Ndara Kamandaka dan Silihwarna dua. Jadi sekarang di kandang kuda ada tiga ekor kuda,” jawab tukang perawat kuda.
“Kuda Kanjeng Rama berkurang satu?”
“Betul, Ndara Putri?”
“Sejak kapan?”
“Kira-kira sejak tiga bulan yang lalu,” jawab tukang perawat kuda.
“Kanjeng Ibu, benar bukan? Sejak tiga bulan  lalu!” kata Sang Dewi sambil menyuruh tukang perawat kuda kembali ke kandang untuk mempersiapkan tiga ekor kuda yang akan segera dipakai, termasuk kuda Kamandaka dan Silihwarna. Kanjeng Ayu Adipati diam saja. Bahkan akan menangis lagi. Sang Dewi kembali memeluknya.
“Sudahlah, Kanjeng Ibu. Katakan kepada Kanjeng Rama pesan Dewi tadi. Dewi tidak ingin Kanjeng Rama punya istri muda lagi. Katakan kalau tidak segera dicerai, dewi akan mengadakan pesta untuk merayakan pernikahan Kanjeng Rama dengan istri terbarunya, agar seluruh punggawa dan rakyat Kadipaten Pasirluhur tahu, bahwa Kanjeng Rama yang sudah sepuh itu, masih suka pada daun muda,”  kata Sang Dewi kepada ibundanya.(Bersambung)