Berkata demikian Sang
Dewi segera memutar tubuhnya memunggungi Kamandaka. Kamandaka diminta
melepaskan semua pakaian yang melekat pada tubuh Sang Dewi. Sesungguhnya
Kamandaka merasakan semua gejolak gairah asmara yang tengah membakar Sang Dewi.
Tetapi Kamandaka masih mampu mengendalikan diri. Dia merasakan firasat kurang baik. Malam memang
sudah sangat larut, melewati tengah malam. Dia mencium bahaya di luar yang
mengancam dirinya. Dalam keadaan demikian sudah tentu tidak mungkin dia
memenuhi permintaan Sang Dewi. Tetapi dia juga tidak sampai hati membiarkan Sang
Dewi diamuk asmara.
“Dinda Dewi, tataplah
wajahku,” kata Kamandaka.
Sang Dewi membalikkan badannya
dan menatap Kamandaka. Kemudian Kamandaka menatap sebuah titik di dahi antara
dua alis mata Sang Dewi. Dilepaskan mantra peredam nafsu asmara. Seketika itu
juga, tubuh Sang Dewi jatuh dalam pelukan Kamandaka dan tertidur pulas. Kamandaka segera memanggil Khandegwilis.
“Lihatlah Ndara Putrimu,
Biyung Emban, tidur pulas dalam pelukanku. Ayo ikat kembali tali-tali pengikat
yang tadi dilepas. Kembalikan seperti semula. Engkau menjadi saksi, Ndara
Putrimu masih suci seperti sediakala.“
Kamandaka mengangkat Sang
Dewi dan membaringkannya di tempat tidur. Khandegwilis cepat mengikat kembali
tali korset Sang Dewi dan tali pengikat sabuk yang masih melilit di pinggangnya.
Sang Dewi kini tertidur pulas bagaikan dipeluk mimpi indah.
“Jaga Ndara Putrimu,
Biyung Emban,” kata Kamandaka memerintahkan Khandegwilis. Kamandaka menyelipkan
kembali di pinggang kirinya, Kujang Pusaka Kencana Shakti yang sempat
dilepasnya, kemudin dililitkannya erat-erat dipinggangnya selendang sutra
kuning pemberian Sang Dewi.
“Biyung Emban, aku akan
kembali ke Dalem Kepatihan. Besok aku akan melakukan perjalanan jauh. Ndara
Putrimu sudah tahu ke mana aku akan pergi. Biarkan Ndara Putrimu tidur jangan
diganggu, sampai dia bangun sendiri. Sampaikan salamku bila sudah bangun,” ujar
Kamandaka.
Ditinggalkannya Sang
Dewi di ranjangnya sendirian. Sebelumnya diciumnya Sang Dewi yang tengah tertidur
pulas itu dengan segenap cinta dan kasih sayangnya. Kamandaka bergegas menuju
daun pintu hendak keluar. Tetapi ketika langkahnya belum mencapai daun pintu,
di luar terdengar langkah-langkah kaki mendekati kamar Sang Dewi. Lima prajurit
jaga sudah berdiri di depan kamar Sang Dewi di Taman Kaputren. Mereka siap menangkap Kamandaka. Malam
merambat dalam sepi, sepertinya tak peduli terhadap apa yang bakal terjadi di
Taman Kaputren. Bintang-bintang di langit
semakin banyak bertaburan. Dinginnya malam terasa seperti mencubiti kulit.
Bintang Mirah pun sudah muncul di pojok tenggara dari langit di atas Kadipaten
Pasirluhur.
***
Tengah malam sudah
berlalu. Prajurit jaga Dalem Kadipaten Pasirluhur mulai banyak yang mengantuk. Mereka bergerombol di
gardu jaga, di antara mereka banyak pula yang tidur-tiduran di lantai pendapa.
Tetapi malam itu memang dirasakan aneh bagi beberapa orang prajurit jaga. Suara
burung bence berulang kali terdengar dari arah pohon-pohon besar dan rindang
yang tumbuh di tepi Sungai Logawa. Burung malam lain seperti burung hantu dan
tuu pun sepertinya ikut-ikutan meramaikan malam yang semakin dingin itu.
Sepasang burung bence
berkejar-kejaran dari arah barat Tamansari, berputar-putar beberapa kali di
taman kaputren. Seekor burung bence betina menukik dan hinggap di tangkal pohon
jambu. Mungkin bermaksud bersembunyi dari kejaran bence jantan yang
terus-menerus mencarinya. Tentu saja bence jantan kebingungan karena kehilangan
jejak. Dia terus-menerus berputar-putar memanggil sang kekasih. Bence betina
diam-diam sembunyi di tangkal pohon jambu. Bolak balik bence jantan
berputar-putar di atas taman kaputren sambil mengeluarkan bunyi khas dan keras,
yang mampu memecahkan kesunyian malam. Suara burung bence itu, ditelinga para
penduduk yang suka tidur larut malam berbunyi ”Benceeeeeeee!!!”
Tetapi entah mengapa
bagi telinga para peronda malam, suara burung bence itu terdengar seperti
sedang meneriakkan kata Maliiiiing!!! Akibatnya mereka percaya, bahwa suara
burung bence itu merupakan peringatan dini kepada penduduk yang tengah tidur lelap
maupun peronda malam agar hati-hati,
karena kemungkinan besar ada pencuri tengah gentayangan mencari mangsa.
“He! Jangan ngantuk.
Dengar! Ada suara burung bence!” kata komandan prajurit jaga kepada anak
buahnya yang duduk di gardu jaga.
“Aku sudah mendengarnya
dari tadi,” kata seorang prajurit jaga yang badannya agak kurus dan tinggi itu.
Dia biasa dipanggil Si Kerempeng oleh komandan jaga.
“Pertanda buruk!”
komentar komandan jaga.
“Pertanda apa?”
“Dengarkan saja nada
suaranya. Dia berteriak, ada pencuri atau maling,” jawab komandan jaga.
“Ah, itu hanya hasil
menduga-duga saja. Bagiku suara burung malam itu bukan maling, tetapi banci.
Artinya penakut!”
“Penakut? Siapa yang
dituduh burung malam itu penakut? Dirikukah?” tanya Sang Komandan Jaga bertubuh
kekar itu.
“Tentu saja bukan!”
jawab Si Kerempeng.
“Lalu siapa?”
“Burung malam itu
sedang bermain asmara. Burung betina lari tetapi terus dikejar oleh burung jantan.
Burung betina lari karena ketakutan diajak kawin oleh burung jantan. Makanya
burung jantan itu berteriak-teriak mengeluarkan kata-kata Banci!!! Artinya Penakut!!!
Tapi oleh telinga penduduk suara burung malam itu terdengar Bence!!! Makanya
penduduk di sini menamai burung malam itu Bence. Padahal sebenarnya kata-kata
yang diucapkan burung malam tadi ialah banci. Artinya Si Penakut.”
“Hahaha…, burung betina
itu hanya pura-pura takut. Padahal akhirnya mau juga kan?” komandan jaga itu
tertawa mendengar penjelasan anak buahnya, Si Kerempeng.
Tetapi tiba-tiba terdengar
lagi suara burung bence kembali memecahkan keheningan malam. Kali ini burung
malam itu melesat melewati gardu jaga sambil meninggalkan suara khas dengan lengkingan
tinggi. Seakan-akan memang burung malam itu hendak memberitahu kepada prajurit
jaga yang bergerombol di situ agar berhati-hati karena ada pencuri masuk ke Dalem
Kadipaten.
“Kata orang tua kita di
sini, jika ada suara burung bence tengah malam masuk desa, konon desa itu
sedang ada pencuri. Tetapi pencuri itu bukan pencuri harta. Pencuri itu sedang
mencuri hati seorang wanita bukan istrinya. Dia sering disebut maling aguno, artinya maling sakti berilmu
tinggi. Dia tidak butuh harta benda. Yang dia butuhkan hanya cinta seorang
wanita yang hendak dicurinya. Makanya benar kata Si Kerempeng tadi, burung
bence itu sesungguhnya sedang bermain asmara, berkejar-kejaran sebelum memadu
kasih. Persis maling aguno atau
maling sakti, sedang mengejar-ngejar wanita yang dicintainya itu,” kata
komandan jaga kepada sejumlah anak buahnya yang mengerumuninya, termasuk Si
Kerempeng.
Tetapi kembali mereka
dikejutkan suara burung bence jantan yang kini bergembira karena bisa menemukan
kekasihnya, burung bence betina yang tengah sembunyi. Burung bence betina itu
bersembunyi di tangkal pohon jambu di halaman bangsal Pancaniti, tidak jauh
dari Taman Kaputren. Ke sanalah burung bence jantan menukik.
“Wah, gawat burung
bence sialan itu menuju pohon jambu di halaman bangsal Pancaniti. Dari sana
Taman Kaputren tidak terlalu jauh,” kata komandan jaga.
”Coba Krempeng, ajak
empat temanmu! Cepat periksa! Jangan-jangan ada tukang taman malam-malam begini
merayap ke kamar para emban pengasuh!” kata komandan jaga sambil menunjuk empat
anak buahnya.
“Temani Si Kerempeng
ini. Cepat lapor kepadaku jika ada masalah. Dan engkau, Kerempeng, jika engkau ingin naik pangkat
menjadi wakilku, laksanakan perintahku ini dengan baik. Awasi semua kamar di
Taman Kaputren. Tapi ingat, jangan masuk kamar Emban Pengasuh Ndara Putri, jika
tidak ingin aku pecat!” kata komandan jaga memberi perintah.
“Hahaha…, tidaklah Bos.
Itu bagian khusus untuk Komandan. Mana aku berani?” Si Kerempeng tertawa
sambil mengajak empat temannya
meninggalkan gardu jaga.
Dia memimpin empat
prajurit yang membawa tombak menembus malam kelam menuju Taman Kaputren.
Prajurit jaga yang tinggi kurus dan dijuluki Si Kerempeng itu, nama sebenarnya
adalah Sindusari. Walaupun tubuhnya kurus, tetapi otot dan tulangnya kuat. Dia
juga menguasai ilmu beladiri lumayan baik. Sebaliknya dengan komandannya yang
bertubuh kekar. Sekalipun begitu, dia pun menguasai ilmu beladiri yang tidak
bisa diremehkan juga. Namanya Jigjayuda. Memang dia lebih lama bertugas dari
pada Sindusari. Keduanya bersaing bukan hanya memperebutkan posisi jabatan
komandan. Tetapi bersaing juga memperebutkan emban pengasuh Khandegwilis yang
memang masih cantik walaupun usinya sudah melewati tiga puluh tahun. Usia yang
memang sebaya dengan Jigjayuda maupun Sindusari.
Malam agak pekat, hanya
diterangi cahaya bintang di langit. Tidak mudah bagi orang yang tidak terlatih
berjalan menembus malam kelam itu. Ketika tiba di Taman Kaputren, mereka
melihat kamar paling barat masih menyala. Padahal waktu tengah malam sudah
lewat. Mereka tahu itu kamar Sang Dewi, Putri Bungsu, putri kesayangan Kanjeng
Adipati Pasirluhur.
“Wah, gawat! Kamar
Ndara Putri!” ujar Si Kerempeng kepada keempat temannya. Mereka bukan hanya
melihat kamar itu masih terang, tetapi mereka juga mendengar suara samar-samar seorang
laki-laki tengah asyik berbincang-bincang dengan Sang Dewi.
“Hem…, tampaknya Ndara
Putri punya kekasih gelap. Tetapi siapa dia?” kata Si Kerempeng kepada keempat
anak buahnya. Keempat anak buah Si Kerempeng
mempererat tombak yang dipegangnya.
“Awas, jangan gegabah!
Tunggu perintahku!” kata Si Kerempeng pula.
Mereka pun mengendap-endap
mendekati kamar Sang Dewi, mengawasi dari tempat gelap. Suara seorang laki-laki
tengah bercakap-cakap di dalam kamar Sang Dewi terdengar makin jelas. Mereka
bertambah heran, saat melihat pintu terbuka, Khandegwilis keluar, lalu duduk
sendirian di depan pintu, seakan-akan sedang berjaga-jaga.
“He! Sedang apa itu
Mbakyu Khandegwilis duduk di luar pintu?” tanya salah seorang prajurit pemegang
tombak, ”Agaknya dia sedang menunggu Kakang Jigjayuda, Komandan kita hehehe….“
“Huss! Jangan
keras-keras. Nanti dia dengar sedang kita intai. Kamu pemuda ingusan belum tahu
rahasia cinta seorang wanita,” ujar Sindusari, Si Kerempeng itu.
“Jika kamu tahu, bagaimana
sih rahasia cinta seorang wanita?” tanya prajurit tadi penasaran.
“Mbakyumu Khandegwilis
adalah wanita pecinta romantis model Banowati dalam kisah Mahabharata. Banowati
itu tidak suka lelaki seperti Duryudana, Dursasana, atau Kakrasana. Lelaki yang
disukai Banowati itu lelaki berbadannya kurus seperti Narayana, Arjuna, atau
Karna. Karena itu Mbakyumu Khandegwilis tidak akan mau dengan Kakang Jigjayuda,
sekalipun Kakang Jigjayuda berusaha mengejarnya sampai ke ujung dunia,” kata Sindusari
menjelaskan.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar