Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 12 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (14)





Berkata demikian Sang Dewi segera memutar tubuhnya memunggungi Kamandaka. Kamandaka diminta melepaskan semua pakaian yang melekat pada tubuh Sang Dewi. Sesungguhnya Kamandaka merasakan semua gejolak gairah asmara yang tengah membakar Sang Dewi. Tetapi Kamandaka masih mampu mengendalikan diri. Dia  merasakan firasat kurang baik. Malam memang sudah sangat larut, melewati tengah malam. Dia mencium bahaya di luar yang mengancam dirinya. Dalam keadaan demikian sudah tentu tidak mungkin dia memenuhi permintaan Sang Dewi. Tetapi dia juga tidak sampai hati membiarkan Sang Dewi diamuk asmara. 

“Dinda Dewi, tataplah wajahku,” kata Kamandaka. 

Sang Dewi membalikkan badannya dan menatap Kamandaka. Kemudian Kamandaka menatap sebuah titik di dahi antara dua alis mata Sang Dewi. Dilepaskan mantra peredam nafsu asmara. Seketika itu juga, tubuh Sang Dewi jatuh dalam pelukan Kamandaka dan  tertidur pulas. Kamandaka segera memanggil Khandegwilis.

“Lihatlah Ndara Putrimu, Biyung Emban, tidur pulas dalam pelukanku. Ayo ikat kembali tali-tali pengikat yang tadi dilepas. Kembalikan seperti semula. Engkau menjadi saksi, Ndara Putrimu masih suci seperti sediakala.“ 

Kamandaka mengangkat Sang Dewi dan membaringkannya di tempat tidur. Khandegwilis cepat mengikat kembali tali korset Sang Dewi dan tali pengikat sabuk yang masih melilit di pinggangnya. Sang Dewi kini tertidur pulas bagaikan dipeluk mimpi indah. 

“Jaga Ndara Putrimu, Biyung Emban,” kata Kamandaka memerintahkan Khandegwilis. Kamandaka menyelipkan kembali di pinggang kirinya, Kujang Pusaka Kencana Shakti yang sempat dilepasnya, kemudin dililitkannya erat-erat dipinggangnya selendang sutra kuning pemberian Sang Dewi.

“Biyung Emban, aku akan kembali ke Dalem Kepatihan. Besok aku akan melakukan perjalanan jauh. Ndara Putrimu sudah tahu ke mana aku akan pergi. Biarkan Ndara Putrimu tidur jangan diganggu, sampai dia bangun sendiri. Sampaikan salamku bila sudah bangun,” ujar Kamandaka.

Ditinggalkannya Sang Dewi di ranjangnya sendirian. Sebelumnya diciumnya Sang Dewi yang tengah tertidur pulas itu dengan segenap cinta dan kasih sayangnya. Kamandaka bergegas menuju daun pintu hendak keluar. Tetapi ketika langkahnya belum mencapai daun pintu, di luar terdengar langkah-langkah kaki mendekati kamar Sang Dewi. Lima prajurit jaga sudah berdiri di depan kamar Sang Dewi di Taman Kaputren. Mereka siap menangkap Kamandaka. Malam merambat dalam sepi, sepertinya tak peduli terhadap apa yang bakal terjadi di Taman Kaputren. Bintang-bintang di langit semakin banyak bertaburan. Dinginnya malam terasa seperti mencubiti kulit. Bintang Mirah pun sudah muncul di pojok tenggara dari langit di atas Kadipaten Pasirluhur.
***
Tengah malam sudah berlalu. Prajurit jaga Dalem Kadipaten Pasirluhur mulai  banyak yang mengantuk. Mereka bergerombol di gardu jaga, di antara mereka banyak pula yang tidur-tiduran di lantai pendapa. Tetapi malam itu memang dirasakan aneh bagi beberapa orang prajurit jaga. Suara burung bence berulang kali terdengar dari arah pohon-pohon besar dan rindang yang tumbuh di tepi Sungai Logawa. Burung malam lain seperti burung hantu dan tuu pun sepertinya ikut-ikutan meramaikan malam yang semakin dingin itu. 

Sepasang burung bence berkejar-kejaran dari arah barat Tamansari, berputar-putar beberapa kali di taman kaputren. Seekor burung bence betina menukik dan hinggap di tangkal pohon jambu. Mungkin bermaksud bersembunyi dari kejaran bence jantan yang terus-menerus mencarinya. Tentu saja bence jantan kebingungan karena kehilangan jejak. Dia terus-menerus berputar-putar memanggil sang kekasih. Bence betina diam-diam sembunyi di tangkal pohon jambu. Bolak balik bence jantan berputar-putar di atas taman kaputren sambil mengeluarkan bunyi khas dan keras, yang mampu memecahkan kesunyian malam. Suara burung bence itu, ditelinga para penduduk yang suka tidur larut malam berbunyi ”Benceeeeeeee!!!” 

Tetapi entah mengapa bagi telinga para peronda malam, suara burung bence itu terdengar seperti sedang meneriakkan kata Maliiiiing!!! Akibatnya mereka percaya, bahwa suara burung bence itu merupakan peringatan dini kepada penduduk yang tengah tidur lelap maupun  peronda malam agar hati-hati, karena kemungkinan besar ada pencuri tengah gentayangan mencari mangsa.

“He! Jangan ngantuk. Dengar! Ada suara burung bence!” kata komandan prajurit jaga kepada anak buahnya yang duduk di gardu jaga.

“Aku sudah mendengarnya dari tadi,” kata seorang prajurit jaga yang badannya agak kurus dan tinggi itu. Dia biasa dipanggil Si Kerempeng oleh komandan jaga.

“Pertanda buruk!” komentar komandan jaga.

“Pertanda apa?”

“Dengarkan saja nada suaranya. Dia berteriak, ada pencuri atau maling,” jawab komandan jaga.

“Ah, itu hanya hasil menduga-duga saja. Bagiku suara burung malam itu bukan maling, tetapi banci. Artinya penakut!”

“Penakut? Siapa yang dituduh burung malam itu penakut? Dirikukah?” tanya Sang Komandan Jaga bertubuh kekar itu.

“Tentu saja bukan!” jawab Si Kerempeng. 

“Lalu siapa?”

“Burung malam itu sedang bermain asmara. Burung betina lari tetapi terus dikejar oleh burung jantan. Burung betina lari karena ketakutan diajak kawin oleh burung jantan. Makanya burung jantan itu berteriak-teriak mengeluarkan kata-kata Banci!!! Artinya Penakut!!! Tapi oleh telinga penduduk suara burung malam itu terdengar Bence!!! Makanya penduduk di sini menamai burung malam itu Bence. Padahal sebenarnya kata-kata yang diucapkan burung malam tadi ialah banci. Artinya Si Penakut.”

“Hahaha…, burung betina itu hanya pura-pura takut. Padahal akhirnya mau juga kan?” komandan jaga itu tertawa mendengar penjelasan anak buahnya, Si Kerempeng.

Tetapi tiba-tiba terdengar lagi suara burung bence kembali memecahkan keheningan malam. Kali ini burung malam itu melesat melewati gardu jaga sambil meninggalkan suara khas dengan lengkingan tinggi. Seakan-akan memang burung malam itu hendak memberitahu kepada prajurit jaga yang bergerombol di situ agar berhati-hati karena ada pencuri masuk ke Dalem Kadipaten. 

“Kata orang tua kita di sini, jika ada suara burung bence tengah malam masuk desa, konon desa itu sedang ada pencuri. Tetapi pencuri itu bukan pencuri harta. Pencuri itu sedang mencuri hati seorang wanita bukan istrinya. Dia sering disebut maling aguno, artinya maling sakti berilmu tinggi. Dia tidak butuh harta benda. Yang dia butuhkan hanya cinta seorang wanita yang hendak dicurinya. Makanya benar kata Si Kerempeng tadi, burung bence itu sesungguhnya sedang bermain asmara, berkejar-kejaran sebelum memadu kasih. Persis maling aguno atau maling sakti, sedang mengejar-ngejar wanita yang dicintainya itu,” kata komandan jaga kepada sejumlah anak buahnya yang mengerumuninya, termasuk Si Kerempeng.

Tetapi kembali mereka dikejutkan suara burung bence jantan yang kini bergembira karena bisa menemukan kekasihnya, burung bence betina yang tengah sembunyi. Burung bence betina itu bersembunyi di tangkal pohon jambu di halaman bangsal Pancaniti, tidak jauh dari Taman Kaputren. Ke sanalah burung bence jantan menukik.

“Wah, gawat burung bence sialan itu menuju pohon jambu di halaman bangsal Pancaniti. Dari sana Taman Kaputren tidak terlalu jauh,” kata komandan jaga.

”Coba Krempeng, ajak empat temanmu! Cepat periksa! Jangan-jangan ada tukang taman malam-malam begini merayap ke kamar para emban pengasuh!” kata komandan jaga sambil menunjuk empat anak buahnya.

“Temani Si Kerempeng ini. Cepat lapor kepadaku jika ada masalah. Dan engkau,  Kerempeng, jika engkau ingin naik pangkat menjadi wakilku, laksanakan perintahku ini dengan baik. Awasi semua kamar di Taman Kaputren. Tapi ingat, jangan masuk kamar Emban Pengasuh Ndara Putri, jika tidak ingin aku pecat!” kata komandan jaga memberi perintah.

“Hahaha…, tidaklah Bos. Itu bagian khusus untuk Komandan. Mana aku berani?” Si Kerempeng tertawa sambil  mengajak empat temannya meninggalkan gardu jaga. 

Dia memimpin empat prajurit yang membawa tombak menembus malam kelam menuju Taman Kaputren. Prajurit jaga yang tinggi kurus dan dijuluki Si Kerempeng itu, nama sebenarnya adalah Sindusari. Walaupun tubuhnya kurus, tetapi otot dan tulangnya kuat. Dia juga menguasai ilmu beladiri lumayan baik. Sebaliknya dengan komandannya yang bertubuh kekar. Sekalipun begitu, dia pun menguasai ilmu beladiri yang tidak bisa diremehkan juga. Namanya Jigjayuda. Memang dia lebih lama bertugas dari pada Sindusari. Keduanya bersaing bukan hanya memperebutkan posisi jabatan komandan. Tetapi bersaing juga memperebutkan emban pengasuh Khandegwilis yang memang masih cantik walaupun usinya sudah melewati tiga puluh tahun. Usia yang memang sebaya dengan Jigjayuda maupun Sindusari.

Malam agak pekat, hanya diterangi cahaya bintang di langit. Tidak mudah bagi orang yang tidak terlatih berjalan menembus malam kelam itu. Ketika tiba di Taman Kaputren, mereka melihat kamar paling barat masih menyala. Padahal waktu tengah malam sudah lewat. Mereka tahu itu kamar Sang Dewi, Putri Bungsu, putri kesayangan Kanjeng Adipati Pasirluhur. 

“Wah, gawat! Kamar Ndara Putri!” ujar Si Kerempeng kepada keempat temannya. Mereka bukan hanya melihat kamar itu masih terang, tetapi mereka juga mendengar suara samar-samar seorang laki-laki tengah asyik berbincang-bincang dengan Sang Dewi.

“Hem…, tampaknya Ndara Putri punya kekasih gelap. Tetapi siapa dia?” kata Si Kerempeng kepada keempat anak buahnya. Keempat anak buah Si Kerempeng  mempererat tombak yang dipegangnya.

“Awas, jangan gegabah! Tunggu perintahku!” kata Si Kerempeng pula.

Mereka pun mengendap-endap mendekati kamar Sang Dewi, mengawasi dari tempat gelap. Suara seorang laki-laki tengah bercakap-cakap di dalam kamar Sang Dewi terdengar makin jelas. Mereka bertambah heran, saat melihat pintu terbuka, Khandegwilis keluar, lalu duduk sendirian di depan pintu, seakan-akan sedang berjaga-jaga.

“He! Sedang apa itu Mbakyu Khandegwilis duduk di luar pintu?” tanya salah seorang prajurit pemegang tombak, ”Agaknya dia sedang menunggu Kakang Jigjayuda, Komandan kita hehehe….“

“Huss! Jangan keras-keras. Nanti dia dengar sedang kita intai. Kamu pemuda ingusan belum tahu rahasia cinta seorang wanita,” ujar Sindusari, Si Kerempeng itu.

“Jika kamu tahu, bagaimana sih rahasia cinta seorang wanita?” tanya prajurit tadi penasaran.

“Mbakyumu Khandegwilis adalah wanita pecinta romantis model Banowati dalam kisah Mahabharata. Banowati itu tidak suka lelaki seperti Duryudana, Dursasana, atau Kakrasana. Lelaki yang disukai Banowati itu lelaki berbadannya kurus seperti Narayana, Arjuna, atau Karna. Karena itu Mbakyumu Khandegwilis tidak akan mau dengan Kakang Jigjayuda, sekalipun Kakang Jigjayuda berusaha mengejarnya sampai ke ujung dunia,” kata Sindusari menjelaskan.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar