Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 13 Desember 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (74-Tamat-Epiode-1)






“Kasihan benar Putri Ayunglarang Sakean,”  kata Sang Dewi.
“Lebih kasihan lagi, karena setelah menerima surat penolakan cinta, Putri Ayunglarang Sakean, paginya langsung bunuh diri dengan menerjunkan dirinya ke Sungai Ciliwung,” kata Kamandaka mengakhiri kisah malang seorang putri yang masih saudaranya juga. Kamandaka, Sang Dewi, Mayang Sari, dan Ratna Pamekas, terdiam beberapa saat.
“Sesungguhnya, kalau Kanda Amenglayaran boleh punya istri seperti seorang pendeta Islam, Aku akan carikan,” kata Kamandaka setelah semuanya  lama terdiam.
“Mana ada istilah pendeta dalam agama Islam? Bukankah  kata Dimas Arya Baribin, dalam agama Islam tidak dikenal istilah pendeta. Yang ada adalah ulama, yang berarti orang yang paham agama Islam. Dia kadang-kadang mempunyai gelar Syekh, Ustad, Sunan, atau Kiyai,” kata Sang Dewi.
“Wah, aku malah sudah lupa,” kata Kamandaka.
“Aku juga hanya dengar dari Dimas Arya Baribin,” kata Sang Dewi, ”Praktek peribadatan dalam agama Islam mudah, murah, tidak memberatkan, dan  bisa dilaksanakan sendiri secara mandiri, tidak mengenal kasta, karena semua manusia di hadapan Tuhan dianggap sama. Dan mereka tidak mengenal dewa-dewa untuk disembah. Mereka hanya menyembah dan memohon pertolongan kepada satu-satunya Tuhan mereka, yakni Tuhan  Yang Maha Kuasa, yang mereka sebut Allah.”
“Aku jadi ingin tahu lebih banyak soal agama yang baru itu, Diajeng,” kata Kamandaka. Perbincangan terhenti saat ada rombongan tamu datang untuk menyampaikan ucapan selamat kepada kedua mempelai yang berbahagia itu.
Seluruh penduduk Kadipaten Pasirluhur menyambut penobatan Kamandaka dan Sang Dewi sebagai pergantian kepemimpinan di Kadipaten Pasirluhur yang menggembirakan. Adipati yang baru  dengan istrinya  dianggap akan mampu mewujudkan masa depan yang lebih cerah, aman, sejahtera, lebih makmur, dan lebih berkelimpahan. Lebih-lebih karena penduduk tahu, Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati yang baru dinobatkan itu, merupakan pasangan serasi, ideal, dan memiliki sejumlah keunggulan yang jarang ada bandingannya.
Apalagi pada saat upacara pernikahan dan penobatan kedua pasangan yang tampan dan cantik itu, bintang Kejora tiap sore menjelang matahari terbenam sudah muncul. Cahayanya yang indah tampak kemilau di atas kaki langit sebelah barat daya.
“Bintang Kejora melambangkan kemakmuran, kejayaan, dan kehidupan yang berkelimpahan bagi Kadipaten Pasirluhur di waktu yang akan datang, Kanjeng Adipati,” kata Ki Patih pada saat berbincang-bincang dengan Kanjeng Adipati Sepuh Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh di halaman Pendapa Kadipaten. Mereka berdiri sambil menatap bintang paling cemerlang yang ada di atas kaki langit sebelah barat daya itu. Para tamu yang hadir sudah agak berkurang, sebab sudah hari ke-enam.
“Mangsa apakah sekarang, Ki Patih?” tanya Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Dia  tahu Ki Patih menguasai ilmu perbintangan yang memadai.
“Sekarang mangsa Kaso, Kanjeng Ayu. Pesta dan upacara pernikahan dan penobatan Ananda Raden Kamandaka Banyakcatra dan Ananda Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa, terjadi pada waktu yang tepat,” kata Ki Patih. Dia ikut bangga karena anak angkatnya itu akhirnya berhasil menyunting putri Kanjeng Adipati Kandhadaha. Dengan demikian Ki Patih merasa telah menjadi besan Kanjeng Adipati pula.
“Kedua mempelai yang sedang berbahagia itu, pada mangsa Kaso ini berada dalam lindungan Batara Antaboga dan  Dewi Nagagini, Kanjeng Ayu,”  kata Ki Patih pula.mulai mengeluarkan Ilmu firasat dan watak yang dikuasainya.
“Watak Ananda Kamandaka memang seperti Batara Antaboga,” kata Ki Patih melanjutkan. “Cita-citanya tinggi, kadang-kadang muluk-muluk, gemar pada proyek-proyek mercusuar, tetapi cenderung boros, tidak bisa memegang uang, mudah jatuh hati, dan menaruh simpati kepada orang yang dianggapnya menderita. Sementara itu, Ananda Sang Dyah Ayu  Dewi, punya watak sebaliknya yang bisa menutupi kelemahan suaminya.”

“Sang Dewi itu, cerdas, tegas, teliti, pandai memegang harta benda dan uang, tidak boros, tetapi juga gemar menolong seseorang yang memang pada tempatnya untuk ditolong. Sang Dewi paling benci pada orang yang tidak jujur, suka ingkar janji, pemalas, dan orang yang ingin mencapai hasil, tetapi dengan cara-cara yang mudah, atau malah dengan cara-cara yang curang. Itulah watak Dewi Nagagini. Itu sebabnya Dewi Nagagini sangat mengagumi Bima, karena watak Bima  cenderung jujur, lurus, ulet, dan pejuang  pantang menyerah. Disamping itu mangsa Kaso dilukiskan dengan kata-kata simbolis, ’Sotya Murca Ing Embanan’. Artinya permata lepas dari cincin pengikatnya. Alam semesta melepaskan atau menurunkan kebahagiaan dan keberlimpahan kepada umat manusia. Pertanda dan alamat baik, Kanjeng Ayu.” kata Ki Patih pula.
“Bagaimana menurut Ki Patih kesetiaan mempelai pria kepada mempelai putri?” tanya Kanjeng Ayu Adipati Sepuh masih penasaran.
“Kesetiaannya tak perlu diragukan. Tak mungkin Ananda  Kamandaka berpaling kepada wanita lain. Bagi Ananda Kamandaka, Ananda Dewi adalah segalanya. Istri, kekasih, sekaligus sahabat dan bayangan Ibunya, tidak mungkin ada yang bisa menggantikannya. Ananda Dewi juga pandai mengendalikan suaminya, sehingga kecil kemungkinan Ananda Kamandaka bisa selingkuh mencari wanita idaman lain. Ki Patih yakin, Ananda Kamandaka tak akan berani selingkuh, di samping karena cintanya yang tulus kepada Ananda Dewi,” jawab Ki Patih mantap, membuat Kanjeng Ayu Adipati Sepuh tersenyum, sangat puas, gembira, dan bahagia.
Dia percaya sepenuhnya apa yang dikatakan Ki Patih yang ahli ilmu firasat dan ahli membaca watak manusia itu. Kanjeng Adipati Sepuh dan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, tidak perlu cemas terhadap masa depan Kadipaten Pasirluhur, setelah keduanya lengser dengan rela, ikhlas, dan penuh suka cita itu. Alih generasi dan proses pergantian kepemimpinan Kadipaten Pasirluhur berjalan aman, lancar, dan alami.
Kanjeng Ayu Adipati  Sepuh memang selalu mengingatkan suaminya, bahwa setiap orang yang berjalan menuju puncak karir, langkah berikutnya yang harus dilalui tidak ada jalan  lain kecuali melangkah turun. Melepaskan jabatan yang pernah digenggamnya. Dan menyerahkannya kepada generasi baru penggantinya.
“Aku selalu ingat nasihatmu, Diajeng,” kata Kanjeng Adipati Kandhadaha saat akan melepaskan jabatan sebagai Adipati.
“Nasihat? Aku malah sudah lupa, Kanda Adipati”
“Bukankah Diajeng pernah menceriterakan Kisah Perjalanan Sri Kresna dan Sadewa, setelah Perang Bharatayudha selesai?”
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh lalu ingat ceritera itu. Alkisah, Sadewa mengikuti Sri Kresna yang Kerajaannya hancur diamuk badai dan ditenggelamkan ke dasar samudra. Dengan sedih Sri Kresna melangkah pergi diikuti Sadewa yang segera bertanya, ”Kanda Prabu, kemanakah gerangan Kanda Prabu hendak pergi?”
“O, Adikku Sadewa. Hidup di dunia ini sebenarnya adalah sebuah perjalanan dan pendakian. Apakah yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah jauh melangkah  dan mendaki tinggi sampai di puncak pendakiannya?”
Sadewa menjawab, ”Duh, Kanda Sri Batara Kresna.  Orang harus terus berjalan sebagaimana hidup ini mengharuskannya. Oleh sebab itu sekalipun seseorang dalam perjalannya sudah mencapai puncak pendakian. Tetapi  oleh karena dia harus terus berjalan, maka tidak ada pilihan lain. Baginya hanya ada satu-satunya jalan  yang  harus dipilihnya, yaitu melangkah turun!” Kanjeng Ayu Adipati Sepuh tersenyum ketika ingat ceritera itu lalu berkata kepada suaminya,
”Ya, Aku ingat ceritera itu, Kanda Adipati.”
 Kanjeng Adipati Sepuh Kandhadaha lalu memeluk istrinya sambil berbisik dengan kata-kata lembut tapi mantap, ”Diajeng, dampingi  aku selalu  agar perjalanan turun kita dari puncak pendakian senantiasa berlangsung selamat, salam,  dan bahagia.”

Kanjeng Ayu Adipati Sepuh menganggukkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca. Dia bangga karena suaminya ikhlas melepaskan tahta Kadipaten Pasirluhur kepada penggantinya yang lebih muda, Raden Kamandaka  Banyakcatra dan  Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa.[Tamat,Episode-1,12-12-2017]


 














Senin, 11 Desember 2017

Novel:Melati Kadipaten Pasirluhur (73)




“Kanda Amenglayaran, aku pernah membayangkan Dinda Silihwarna pulang dari Megamendung sudah jadi Pendeta muda seperti Kanda. Eh, tahunya malah menyusul ke Pasirluhur,” kata Kamandaka yang selalu ingin tertawa bila ingat kejadian sebelum bertemu dengan adik kandung satu-satunya itu. Dulu Kamandaka sering membayangkan adiknya itu kepalanya plontos, mengenakan jubah kuning, sambil berjalan kemana-mana membawa kalung biji pendoa.
”Ah, aku sudah menduga ketika dulu di Padepokan Megamendung, Dinda Silihwarna bakal gagal. Dulu sering menangis sendiri kalau tengah malam. Katanya ingat…..” kata Pendeta Muda yang sempat menjadi senior Silihwarna di Megamendung.
“Pasti ingat Ibundaku!” kata Kamandaka memotong kalimat Pendeta Muda yang belum selesai diucapkan.
Kamandaka khawatir Pendeta Muda itu akan menyebut nama adik tirinya, Ratna Pamekas sebagai penyebab kegagalan Silihwarna menjadi seorang brahmacharin. Apa lagi Kamandaka melihat Silihwarna mengedip-ngedipkan matanya kepadanya. Dia memberi kode agar Pendeta Muda itu tidak membicarakan masa lalunya di Megamendung di depan Mayangsari maupun Sang Dewi.
“Beruntung dia menyusul ke Pasirluhur, Kanda Amenglayaran,” kata Kamandaka melanjutkan. ”Kalau tidak, mana mungkin akan dapat calon istri secantik Dinda Mayangsari?” Mayangsari yang dipuji Kamandaka, tersenyum malu-malu. Silihwarna alias Banyakngampar tersenyum bangga.
“Hayo, Kanda tak boleh menggoda seorang brahmacharin,” kata Sang Dewi yang berdiri di samping Kamandaka, mengingatkan suaminya.
Tentu saja kata-kata Sang Dewi itu membuat Pendeta Muda merah wajahnya. Karena lingkungan kesehariannya yang selalu sepi dari pergaulan dengan wanita, mengakibatkan Pendeta Muda itu selalu canggung dan kikuk bila berhadap-hadapan dengan wanita. Apalagi dengan wanita secantik Mayangsari dan Sang Dewi.
“Ah, tidak apa-apa. Diajeng belum tahu, ya?  Kanda Amenglayaran sudah sering digoda Maneka  Dewi. Dan lulus. Buktinya sudah jadi Pendeta muda. Dulu di Pakuan Pajajaran, ada juga seorang gadis cantik yang jatuh cinta pada Kanda Amenglayaran. Tetapi Kanda Amenglayaran menolaknya. Padahal Putri Ayunglarang Sakean, cantik lho,” kata Kamandaka kembali menggoda Pendeta Muda yang baru tiba itu. Pendeta Muda yang digoda itu tambah merah wajahnya. Tetapi dia  cepat bisa menguasai dirinya, lalu tersenyum.
“Bukannya Dinda Ayunglarang Sakean yang jatuh cinta pada Dinda Banyakcatra?” Pendeta Muda itu mulai melakukan serangan balik yang membuat Sang Dewi berdebar-debar dan langsung berkata.
“Oh, masih ada gadis yang menunggu Kanda Banyakcatra di Pajajaran?” tangan Sang Dewi langsung mencubit pinggang Kamandaka.
“Ah, Diajeng jangan percaya. Faktanya Putri Ayunglarang Sakean mengirim tempat sirih lengkap dengan isinya, minyak wangi dari negeri China, baju-baju yang bagus, serta sebilah keris, lewat Emban Jompong Larang langsung kepada Kanda Amenglayaran. Bukan kepada aku!” kata Kamandaka sambil menahan sakit di pinggangnya karena dicubit istrinya.
“Lho, Dinda Banyakcatra tahu?” tanya Amenglayaran.
“Ya, jelas tahu. Bukankah Dinda Ratna Pamekas yang disuruh Kanda supaya mengembalikan barang-barang kiriman Putri Ayunglarang Sakean? Eh, Kanda sudah ketemu Dinda Ratna Pamekas belum ?” tanya Kamandaka. “Dinda Silihwarna, tolong panggil Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Katakan ada tamu dari Pakuan Pajajaran!”
“Lho, Dinda Ratna Pamekas ada di sini?” tanya Pendeta Muda itu terkejut. Dia sama sekali tidak menduga Ratna Pamekas ikut kakak-kakak tirinya ke Pasirluhur.
”Aku mengira Dinda Ratna Pamekas  masih dipingit di Taman Kaputren Pakuan Pajajaran,” kata Pendeta Muda.
“Ya, dia sudah punya calon suami, Arya Baribin, ksatria trah Majapahit,” kata Kamandaka.
“Calon suami Dinda Ratna Pamekas  dari trah Majapahit? Wah, kebetulan sekali,” kata Pendeta Muda itu. “Aku mendapat amanat dari Sri Baginda. Selain mewakili Sri Baginda menghadiri pesta pernikahan Dinda, aku supaya melanjutkan perjalanan ke bekas Ibu Kota Majapahit di Trowulan, kemudian agar ke Kediri dan dilanjutkan ke Demak.”
Pendeta Muda Amenglayaran itu pun berceritera. Dia mendapat tugas dari Sang Raja Sri Baginda Prabu Siliwangi. Selain ditugaskan menghadiri pernikahan agung Sang Dewi dengan Kamandaka, dia juga ditugaskan untuk melakukan muhibah sebagai duta Sang Raja mengunjungi kerajaan-kerajaan yang baru muncul pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit, yakni Kerajaan Hindu Kediri dan Kerajaan Islam Demak. Hanya soal waktu kapan mengunjungi kerajaan-kerajaan itu, Sri Baginda menyerahkan sepenuhnya kepada Pendeta Muda.
“Sultan Demak belum lama ini  mengirim surat kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi mengajak  memeluk agama Islam. Sultan Demak juga mengundang Sri Baginda untuk mengunjungi Demak.”
“Bagaimana sikap Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi?”
“Sikapnya positip. Sri Baginda mengajak saling toleransi, hormat menghormati, dan perlu dijajagi kemungkinan bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Islam, mengingat di kawasan Asia Tenggara sudah bermunculan kerajaan Islam yang kuat. Misalnya, Kerajaan Islam Malaka. Sekalipun resminya Samudra Pasai  tunduk kepada Majapahit ( sejak tahun 1357 M) nyatanya Pasai masih cukup kuat sebagai salah satu pusat Islam. Kini di Jawa juga sudah muncul Kerajaan Islam Demak yang cukup kuat juga,”  kata Pendeta Muda itu.
“Sikap Dinda Banyakbelabur selaku Putra Mahkota?” tanya Kamandaka.
“Ya, itulah yang menyebabkan Sri Baginda sakit. Putra Mahkota memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Kerajaan Demak. Sepertinya dia sedang menjalin komunikasi dengan Kerajaan Kediri untuk memaklumkan perang melawan Demak. Antara Sri Baginda dan Putra Mahkota terdapat perbedaan sikap yang tajam.”
“Semoga tugas Kanda Amenglayaran sebagai duta perdamaian di Pulau Jawa kelak berhasil,” kata Kamandaka.
Tiba-tiba Arya Baribin dengan Ratna Pamekas datang. Pendeta Muda itu menyambut hangat Arya Baribin. Lebih-lebih setelah dia mengetahui Ksatria Majapahit itu adalah calon suami Ratna Pamekas.
“Kanda tidak mengira Dinda Ratna Pamekas ada  di Pasirluhur,” kata Pendeta Muda itu kepada Ratna Pamekas yang langsung saling berpelukan. Ratna Pamekas sudah lama tidak berjumpa dengan Amenglayaran. Dulu waktu di Pakuan Pajajaran,  Amenglayaran sering kali bertemu  Ratna Pamekas, bila kebetulan dia mampir ke Keraton Pajajaran.
“Boleh lho, memeluk seorang calon brahmacharin, tidak apa-apa, Dinda,” kata Kamandaka menggoda Ratna Pamekas.
“Lho, Kanda Amenglayaran ini bukan hanya seorang calon brahmacharin muda. Dia juga diharapkan bisa jadi Pendeta Muda Kerajaan Pakuan Pajajaran  kepercayaan Ayahanda. Dulu pun sering aku peluk waktu masih di Pajajaran,” kata Ratna Pamekas tidak kalah tangkas, sambil memuji Pendeta Muda itu. Pujian itu membuat Pendeta Muda itu merasa nyaman dan senang. Lebih-lebih karena Ratna Pamekas tidak menyinggung soal gadis cantik sepupunya yang jatuh cinta kepadanya, Putri Ayunglarang Sakean.
“Dinda, kenapa Dimas Arya Baribin tidak dipeluk? Nanti cemburu lho?” kata Sang Dewi ikut-ikutan menggoda Arya Baribin. Kali ini ganti Arya Baribin yang merah wajahnya. Untunglah  Ratna Pamekas langsung mencium Arya Baribin, yang membuat Arya Baribin malu tersipu-sipu.
Tetapi sesungguhnya dirinya merasa senang. Benih-benih cinta Arya Baribin kepada Ratna Pamekas pelan-pelan memang mulai tumbuh dengan subur. Bahkan Arya Baribin diam-diam menambahkan kata Kirana pada nama calon istrinya yang lincah dan cantik jelita itu. Rupanya putri Pajajaran itu juga senang dengan tambahan nama baru. Denga demikian namanya lengkapnya adalah Dyah Ayu Ratna Kirana Pamekas.
“Dimas Arya Baribin, tadi Kanda Amenglayaran berkata, kapan-kapan ingin banyak berdiskusi dengan Dimas tentang agama Islam,” kata Kamandaka. “Dia memerlukan sedikit bekal pengetahuan agama Islam. Karena dia mendapat tugas dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk mengunjungi Demak, menemui Sultan Demak yang sempat kirim surat ke Pajajaran.”
Arya Baribin menyambut gembira keinginan Pendeta Muda itu. Arya Baribin sendiri memiliki minat cukup tinggi untuk mempelajari sejumlah agama sehingga dia mendapat julukan Pandita Putra. Arya Baribin juga  sudah beberapa kali melakukan diskusi dan pertemuan dengan seorang ulama agama Islam, Syekh Maghribi. Syekh ini adalah  seorang ulama asal Pasai yang tinggal di Muarajati. Syekh Maghribi beberapa kali mengunjungi Kademangan Kejawar dalam rangka mengenalkan ajaran agama Islam ke wilayah Lembah Ciserayu. Syekh Maghribi juga mendirikan sebuah pesantren di Banjarcahyana, lereng timur Gunung Agung.
“Kanda Amenglayaran, sudah ketemu Kanjeng Rama Adipati?” tanya Kamandaka. Pendeta Muda itu menggeleng. “Dinda Silihwarna, antarkan Kanda Amenglayaran menemui Kanjeng Rama Adipati. Disana ada Dinda Wirapati, Dinda Sekarmenur, dan kedua adiknya, Sekarmelati dan Sekarcempaka,” kata Kamandaka.
Silihwarna dan Amenglayaran segera meninggalkan kedua mempelai untuk menemui Kanjeng Adipati Kandhadaha di Dalem Gede. Arya Baribin, Mayangsari, dan Ratna Pamekas ikut-ikutan meninggalkan kedua mempelai yang masih saja menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang sekalipun tidak sepadat hari-hari sebelumnya.

“Dinda Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas, di sini saja. Temani  aku!” kata Sang Dewi mencegah kedua adiknya itu pergi meninggalkannya. Mayangsari dan Ratna Pamekas tentu saja tidak berani menolak perintah Sang Dewi.
“Dinda Silihwarna, tolong Dinda Sekarmenur dan kedua adiknya panggil ke sini, untuk menemani  aku juga,” pesan  Sang Dewi.
“Dinda Silihwarna, tidak boleh menolak perintah Kanjeng Ayu Adipati, ya!”  pesan Kamandaka seperti biasa berkata sambil berkelakar.
“Baik Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati,” jawab Silihwarna sambil tertawa. Dia tidak mau kalah ganti menggoda kakaknya. Begitu Silihwarna pergi, Sang Dewi kembali mencubit   pinggang Kamandaka. Sang Dewi tidak suka dipanggil Kanjeng Ayu Adipati oleh adik-adiknya. Melihat Kamandaka kesakitan, Mayangsari dan Ratna Pamekas tertawa berkepanjangan.
“Kalau tidak sedang ada tamu, sudah aku balas,” kata Kamandaka. Seperti biasa, Sang Dewi langsung mengusap-usap pinggang suaminya yang baru dicubitnya itu.
“Kasihan juga Kanda Amenglayaran, seorang pendeta muda yang kesepian,” kata Kamandaka membicarakan Pendeta Muda yang masih kakak sepupu lewat ibunya itu.
“Kenapa dia menolak cinta putri saudaranya yang cantik?” tanya Sang Dewi.
“Aku sendiri tidak pernah tahu apa sebab Kanda Amenglayaran menolak cinta adik sepupunya. Padahal adik sepupu boleh dinikah kakak sepupu. Rupanya Kanda Amenglayaran lebih suka memilih jadi seorang brahmacharin. Konon, kalimat penolakan kepada adik sepupunya itu sangat menyakitkan hati.”
“Bagaimana bunyi kalimatnya?” tanya Sang Dewi.
“Aku pun diberitahu Dinda Ratna Pamekas. Dinda Ratna, bagaimana bunyi surat  yang berujung pada kematian Ayunda Putri Ayunglarang Sakean?” Kamandaka berpaling pada Ratna Pamekas.
“Kanda Amenglayaran menulis, bahwa cita-citanya dalam hidup ini adalah dia ingin berkelana ke Jawa Timur untuk mencari tempat dimana dia akan dikuburkan, untuk mencari laut tempat dimana dia bisa hanyut, untuk mencari suatu tempat yang bisa menjemput kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya selama-lamanya.” kata Ratna Pamekas yang dulu dititipi surat oleh Amenglayaran.(bersambung)

Minggu, 10 Desember 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (72)





“Nyai Kertisara dengan menggunakan sedikit kecerdasannya memanfaatkan pohon kelapa yang banyak tumbuh di Kaliwedi dan sepanjang Sungai Ciserayu, bisa menjadi orang kaya yang memiliki kekuasaan atas harta. Padahal Kademangan Kejawar jauh lebih luas dari Kaliwedi. Kekayaan alam Kejawar juga  jauh lebih luar biasa dari Kaliwedi. Tetapi, kenapa Kakang tetap miskin? “tanya Nyi Demang.
“Itu karena Kakang tidak memiliki kekuasaan duniawi. Kakang hanya punya kekuasaan atas ritual-ritual keagamaan saja!” kata Nyi Demang menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya kepada suaminya.
“Benar sekali apa yang engkau katakan, Istriku. Maafkan aku atas segala ketidakberdayaanku”  kata Ki Demang pasrah.
“Kakang! Aku rela hidup miskin mendampingi Kakang, karena itu memang kewajiban sebagai seorang istri. Tetapi aku tidak rela anak kita Bagus kelak hanya mewarisi sebuah kemiskinan yang sama dengan kita. Aku tidak ingin Bagus hanya menjadi seorang pandita seperti Ayahnya. Bagus harus menjadi seorang pandita sinatria. Itulah sebabnya aku sangat berharap Bagus kelak bisa belajar ilmu keprajuritan kepada Raden Arya. Syukur-syukur bila kelak Bagus bisa jadi menantu Raden Arya. Jika Raden Arya kelak bisa membangun Kadipaten Kalipucang, kenapa Bagus kelak tidak  bisa membangun Kademangan Kejawar menjadi sebuah Kadipaten?“ kata Nyi Demang dengan semangat menggebu-gebu.
“Kalau toh Bagus belum berhasil mencapainya, setidak-tidaknya ada anaknya Bagus atau cucu kita yang kelak bisa membangun Kademangan Kejawar menjadi Kadipaten Kejawar. Hanya dengan cara itu, keturunan kita tidak akan pernah mewarisi kemiskinan duniawi!” kata Nyi Demang Kejawar pula, masih dengan nada membangkitkan semangat.
“Aku kira engkau betul, Istriku. Engkau dan Bagus memang hanya satu-satunya kekayaanku yang paling berharga di dunia ini. Engka dan Bagus .juga satu-satunya harapanku. Dan satu-satunya masa depanku. Terimakasih, Istriku. Betapa besar pengorbananmu selama ini kepadaku. Maafkan aku, jika aku belum bisa membahagiakanmu,” kata Ki Demang. Diam-diam di kedalaman jiwanya mulai bangkit semangat untuk melawan kemiskinan duniawi yang selama ini membelenggunya.
“Sekarang langkah jangka pendeknya, kemana kelak Bagus harus belajar ilmu keprajuritan agar dapat menjadi seorang ksatria?  Haruskan magang ke Kalipucang? Apakah tidak terlalu jauh? Seharusnya Kademangan Kejawar memang bisa mendirikan pusat pelatihan prajurit sendiri. Tetapi dijamin tidak akan diijinkan Kanjeng Adipati Wirasaba, bukan?” Nyi Demang Kejawar yang cerdik itu mulai merangsang  gagasa-gagasan baru pada diri Ki Demang.
“Ah, itu gampang. Nanti aku hubungi Rekajaya. Dengar-dengar Raden Arya telah dipercaya Adipati Pasirluhur membangun pusat pelatihan prajurit di Kendalisada. Itulah sebabya Raden Arya kini banyak uangnya. Beberapa bulan sebelum meletus perang Pasirluhur-Nusakambangan, konon Raden Arya dipercaya mendidik 200 orang penderes penjadi prajurit sukarelawan ahli menggunakan sabit sebagai senjata perang. Sebagian besar peserta pelatihan prajurit itu dari Kaliwedi. Namun ternyata secara diam-diam, ada beberapa orang penduduk Kejawar yang ikut dalam latihan keprajuritan di Kendalisada.”
“Aku malah senang jika ada penduduk Kejawar yang pandai dalam ilmu keprajuritan. Mudah-mudahan pusat pelatihan keprajuritan Kendalisada yang telah dirintis Raden Arya, Raden Kamandaka, dan Putri Adipati Pasirluhur itu bisa terus berkembang. Ke sanalah kelak Bagus akan aku titipkan. Bagaimana Istriku? Setujukah?” kata Ki Demang memaparkan rencana memilihkan tempat pendidikan bagi Bagus, apabila kelak Bagus sudah cukup umur untuk mulai belajar ilmu keprajuritan. “Sebuah gagasan sangat masuk akal. Setuju sekali. Siapa dulu Suamiku!” kata Nyi Demang gembira karena suaminya sudah mulai memikirkan jalan baru bagi masa depan anaknya.
“Aku masih punya satu lagi jurus simpanan untuk masa depan Bagus,” kata Ki Demang.
“Apa jurus simpanan itu, Kakang?”
“Kamu pernah dengar Empu Supa?”
“Belum, siapa dia?”
“Empu Supa adalah seorang empu ahli pembuat keris-keris sakti Kerajaan Majapahit. Salah satu keris sakti karyanya adalah Kiai Sengkelat, keris pusaka Kerajaan Majapahit. Pemilik terakhir keris buatan Empu Supa itu adalah Dyah Supaprabhawa, Raja Majapahit terakhir. Ketika Sang Raja mangkat (1478 M), Kerajaan Majapahit diserang Dyah Wijayakarana, penguasa Keling di Pare, Kediri, yang merupakan keponakan Sang Raja yang mangkat itu. Akibatnya Kerajaan Majapahit runtuh, dan Dyah Wijayakarana yang merupakan putra bungsu Raja Sri Kertawijaya (1447- 1451 M), menobatkan dirinya menjadi Raja Kerajaan Keling yang mengaku sebagai pewaris Kerajaan Majapahit. Aku tidak tahu apakah keris Kiyai Sengkelat itu jatuh ke tangan Raja Keling? Raja Kediri sekarang, Dyah Ranawijaya adalah putra bungsu Raja Keling, Dyah Wijayakarana. Dyah Ranawijaya itulah yang memindahkan Kerajaan Keling ke Kediri (1386 M). Kemungkinan besar Kiyai Sengkelat ada di tangan Dyah Ranawijaya,” kata Ki Demang Kejawar.
“Aduh, pusing aku. Kakang ceriteranya muter-muter. Apa hubungannya Mpu Supa, Kakang, dan masa depan Bagus?  Ngapain ceritera Sang Prabu Ranawijaya, Raja Kediri? Aku benci sama dia!”
“Benci? Apa masalahnya?”
“Bukankah Sang Prabu Ranawijaya yang akan memecat Kakang, malah mungkin akan memenggal leher Kakang, jika Kakang dan aku nekad pergi ke Pakuan Pajajaran untuk menghadiri resepsi dan ritual pernikahan Raden Arya? Sudah! Aku males kalau Kakang masih nyebut-nyebut dia lagi!” kata Nyi Demang agak marah dan langsung membalikkan badannya, memunggungi Ki Demang dan kembali memeluk Bagus yang sedang lelap tidurnya.
Ki Demang kelabakan juga ketika istrinya ngambek. Bisa-bisa lebih seminggu dirinya akan dibiarkan saja. Karena itu, Ki Demang bisanya hanya sabar. Dia tahu cara mengatasi  istrinya jika sedang ngambek. Cara itu hanyalah sabar dan berikan pujian pada istrinya.
“Aku pikir betul juga kamu. Mudah-mudahan keris Kiyai Sengkelat karya Mpu Supa itu tidak jatuh ke tangan Ranawijaya. Mpu Supa itu punya anak laki-laki namanya Mpu Sura. Mpu Sura ini seorang ahli membuat sarung keris sakti. Dia seorang maranggi yang punya banyak murid. Ayahku salah seorang murid Mpu Sura dan aku mewarisi ilmu maranggi dari ayahku. Aku akan wariskan ilmuku itu pada Bagus. Dengan demikian disamping Bagus kelak menguasai ilmu keprajuritan, juga punya ilmu membuat sarung keris sakti. Tidak gampang, lho, membuat sarung keris sakti. Tidak sembarang orang,” kata Ki Demang sambil berharap istrinya masih mau mendengarkannya. Ternyata istrinya pelan-pelan membalikkan badannya lagi.
“Nah, begitu. Kalau ceritera jangan mutar-mutar. Aku setuju banget. Itu baru gagasan cemerlang. Kelak akan aku tambahkan sebuah nama di depan nama Bagus, Bagus Mranggi Semu! Aku akan tirakat  agar Bagus jadi pemuda yang mumpuni dan bila Raden Arya kelak punya anak gadis, aku berharap Raden Arya bersedia mengambil Bagus Mranggi Semu jadi menantunya. Dengan demikian ikatan kekeluargaan Kejawar-Kalipucang, tidak akan putus,” kata  Nyi Demang yang kaya dengan cita-cita itu.
“Hem, memang luarbiasa gagasan itu. Aku setuju! Siapa dulu Istriku!” puji Ki Demang pula, ”Tetapi kalau mau tirakat untuk Bagus jangan sering-sering dan beritahu aku. Rugi aku, jika  Istriku yang  cantik sering-sering tirakat. Kapan aku mau……” belum habis kata-kata Ki Demang, istrinya sudah memotong kata-katanya.
“Ya, pastilah, minta ijin suami dulu kalau mau tirakat,” kata Nyi Demang langsung memeluk dan mencium Ki Demang. Ki Demang pun tersenyum, ternyata kesabarannya mendatangkan hasil juga. Nyi Demang memeluk dan mencium suaminya dengan mesra sebagai ungkapan rasa senangnya. Tetapi ketika Ki Demang akan membalas memeluknya, Nyi Demang menahan dada suaminya sambil berbisik, ”Kakang  harus mematikan lampu teplok itu  lebih dulu…,”  

Ki Demang Kejawar segera bangkit dengan senyum kemenangan. Permintaan istrinya adalah isyarat agar perbincangan soal masa depan bagi anak buah hatinya itu, untuk sementara sampai di situ dulu. Lampu teplok yang menempel pada tiang dinding kamar tidurnya segera dimatikan. Pantulan cahaya bulan malam itu menerobos masuk melalui sela-sela lubang angin dinding kamarnya, sehingga Ki Demang secara samar-samar masih bisa melihat tubuh cantik istrinya yang tergolek gelisah. Istrinya sudah tidak sabar menunggu. Malam itu menjadi malam yang sangat indah bagi pasangan suami istri Ki Demang dan Nyi Demang Kejawar.

 ***
  
Hari berbahagia dan ditunggu-tunggu itu pun tiba. Adipati Kandhadaha menyelenggarakan pesta besar-besaran perayaan pernikahan Sang Dewi dengan Kamandaka. Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam. Semua kegiatan dipusatkan di Pendapa Kadipaten Pasirluhur.
Aneka macam pertunjukan dan tontonan menarik lainnya ditampilkan silih berganti untuk menghibur rakyat. Di kiri kanan sepanjang jalan menuju  kadipaten dimeriahkan dengan umbul-umbul aneka macam warna. Di samping memasang umbul-umbul, rakyat yang tinggal di pinggir jalan atas kesadarannya sendiri menghiasi pohon-pohon di sepanjang jalan dengan meliliti batangnya menggunakan kain berwarna biru, kuning, dan hijau sebagai lambangkan cinta, kemakmuran, dan kewibawaan.
Nyai Kertisara di Kaliwedi pun tidak ketinggalan ikut menyelenggarakan pesta menyambut pernikahan agung itu. Di sepanjang jalan menuju rumah Nyai Kertisara juga dipasang umbul-umbul. Para penyadap ikut melampiaskan kegembiraannya dengan meliliti batang pohon kelapa yang disewa Nyai Kertisara di sepanjang Sungai Ciserayu. Tentu saja akibatnya di sepanjang Sungai Ciserayu dari barat ke timur, tampak meriah, karena hampir setiap pohon kelapa yang ada, batangnya dihiasi dengan lilitan kain berwarna biru, kuning, dan hijau.
Usai upacara ritual pernikahan Sang Dewi Ciptarasa dengan Kamandaka, dilanjutkan dengan upacara penobatan Kamandaka dan Sang Dewi. Keduanya dinobatkan  sebagai Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati Kadipaten Pasirluhur menggantikan Adipati Kandhadaha yang menyatakan lengser dari jabatannya. Kanjeng Adipati Kandhadaha memenuhi janjinya kepada Kanjeng Ayu Adipati. Sesuai tradisi, sejak lengser dari jabatannya itu, penduduk akan menyebut Kanjeng Adipati Kandhadaha sebagai Kanjeng Adipati Sepuh. Demikian pula istrinya, akan dipanggil dengan sebutan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh atau Kanjeng Ayu Sepuh saja.
Tiap hari tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat, menyemut di halaman Pendapa Kadipaten. Para tamu undangan datang dari segala penjuru. Para adipati yang hadir bukan hanya dari adipati-adipati di Lembah Ciserayu dan Citanduy saja. Tetapi mereka juga datang dari kadipaten-kadipaten di wilayah Kerajaan Pajajaran lainnya. Sang Raja Sri Baginda Prabu Siliwangi berhalangan hadir, karena sakit. Sedang putra mahkota Banyakbelabur juga tidak bisa hadir. Dia sendiri juga sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan seorang putri dari daerah Banten. Sekalipun begitu, Sang Raja Sri Baginda Siliwangi mengirimkan kemenakannya, seorang pendeta muda alumni Padepokan Megamendung, Bujanggamanik Amenglayaran. Dia pernah tinggal bersama-sama Silihwarna saat berguru di Padepokan Megamendung. Dia mendapat julukan Pendeta Muda.
“Luar biasa! Sebuah pernikahan agung! Selamat Dinda Banyakcatra! Selamat pula Dinda Dewi Kanjeng Ayu Adipati. Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia selalu. Dan cepat mendapatkan keturunan!” kata Pendeta Muda yang kepalanya tampak plontos, sekalipun rambut-rambut tipis mulai bermunculan di sana-sini. Dia, mengenakan jubah kuning, selempang pita hijau. Tentu saja tak lupa dibawanya kalung biji pendoa. Dipeluknya dengan hangat mempelai pria yang masih adik sepupunya itu. Pendeta Muda itu datang pada hari ke-enam pesta.
“Terima kasih, Kanda Amenglayaran. Eh, Bapa Pendeta,” kata Kamandaka sambil berkelakar setelah keduanya saling berpelukan.
“Ah, Dinda Banyakcatra. Masih saja suka berkelakar. Panggil nama saja seperti dulu waktu kita masih sering bertemu di Pakuan Pajajaran,” kata Pendeta Muda itu.
Dia adalah putra kakak ibunya Kamandaka dan Silihwarna. Pendeta Muda itu sebenarnya  sedang disiapkan oleh Sri Baginda Prabu Siliwangi menjadi Pendeta Kerajaan Pajajaran. Tetapi dia sendiri telah bertekad untuk pergi meninggalkan Pajajaran, ingin menjadi pengembara ke arah timur. Tindakan itu dilakukan karena Bujanggamanik Amenglayaran ingin menghindari cinta seorang putri sepupunya yang cantik jelita, Putri Ayunglarang Sakean.
“Dinda Silihwarna, sini!,” Kamandaka memanggil adiknya yang sedang berdiri agak jauh di antara tamu yang hadir. Dia sedang asyik berbincang-bincang dengan Mayangsari. Melihat lambaian tangan Kamandaka, Silihwarna dan kekasihnya datang mendekat.
“Kanda Amenglayaran, sudah kenal dengan Dinda Mayangsari? Ini calon istri Dinda Silihwarna,” Kamandaka memperkenalkan Mayangsari.
“Sudah berkenalan tadi, Kanda,” kata Mayangsari sambil tersenyum. Dia berdiri di samping Silihwarna.(bersambung)