Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 09 November 2016

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (04)





Jika orang biasa, perjalanan dari Pakuan ke Tatar Ukur dengan menunggang kuda memerlukan waktu enam hari. Tetapi karena Banyakcatra seorang ksatria yang pandai menunggang kuda, setelah menempuh perjalanan dua hari, pada sore harinya dia telah sampai di tepi hutan Raja Mandala dan telah berhasil menyeberang Sungai Citarum. 


Dipandangnya matahari sudah sangat condong ke barat, tidak lama lagi malam akan segera tiba untuk menyelimuti bumi. Banyakcatra segera mencari rumah penduduk untuk bermalam. Esok paginya pada hari ketiga, Banyakcatra akan meneruskan perjalannya. Diperkirakan menjelang tengah hari dia sudah akan tiba di Tatar Ukur. Dari sana perjalanan ke lereng Gunung Tangkuban Perahu bisa ditempuh hanya dalam beberapa jam. Sebelum sore, Banyakcatra akan tiba di Padepokan Ki Ajar Wirangrong. 


Esok harinya tepat ketika matahari sedang berada di atas kepala, Banyakcatra sudah tiba di Tatar Ukur yang kelak menjadi Tatar Bandung. Dia meninggalkan hutan Raja Mandala pagi-pagi benar, sebelum matahari terbit. Jarak Raja Mandala-Tatar Ukur tidak terlalu jauh. Tetapi, jalannya berkelak kelok terkadang agak licin dan menyusuri lereng-lereng bukit kapur dengan gua pawonnya, menyebabkan kuda tidak bisa dipacu dengan cepat. 


Dari Tatar Ukur Banyakcatra memacu kudanya ke arah utara. Gunung Tangkuban Perahu yang membujur dari arah barat ke arah timur itu terlihat bagaikan perahu raksasa tengah ditengkurabkan di muka bumi oleh para dewa. Aroma belerang berasal dari kepundan kadang menyinggahi hidung Banyakcatra, terbawa angin gunung yang bertiup menuruni lereng sebelah selatan menyebar ke seluruh lembah Jaya Giri yang subur.


Gunung Tangkuban Perahu sejak jaman dahulu dianggap sebagai salah satu gunung yang disucikan. Sri Baginda Prabu Siliwangi telah mengukuhkan wilayah Lembah Tangkuban Perahu lereng selatan sebagai lemah dewasana, lemah kawikuan, atau tanah perdikan yang dibebaskan dari kewajiban membajar pajak dan upeti kepada raja. Di sisi timur lereng Tangkuban Perahu terdapat semacam ngarai yang sangat indah. Tidak jauh dari sana Ki Ajar Wirangrong mendirikan padepokan yang diberi nama Padepokan Sangkuriang.

Ki Ajar Wirangrong adalah mantan perwira komandan pasukan pilihan Kerajaan Galuh yang pernah mengabdikan dirinya pada Raja Galuh Rahyang Niskala Wastu Kancana. Padepokan Sangkuriang didirikan sebagai bentuk pengabdian Ki Ajar Wirangrong untuk mendidik para ksatria Kerajaan Sunda menjadi ksatria yang tangguh di bidang olah keprajuritan, seni bela tanah air, dan seni bela diri. Para cantriknya juga dididik hidup mandiri dengan mengolah tanah-tanah pertanian subur yang terhampar di kaki Gunung Tangkuban Perahu.


Pada waktu masih muda, Ki Ajar Wirangrong juga bersahabat bahkan sempat menjadi teman seperguruan Ayah Sri Baginda, Rahyang Dewa Niskala. Mereka berdua kemudian berpisah untuk menempuh jalan takdirnya masing-masing. Ki Ajar Wirangrong mendirikan padepokan untuk mendidik para ksatria Galuh, sedangkan Rahyang Dewa Niskala mendirikan Kerajaan Pajajaran di Pakuan. 


Ki Ajar Wirangrong kemudian dipercaya oleh Sri Baginda menjaga gunung suci Tangkuban Perahu, sekaligus menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di puncak Gunung yang ditujukan kepada Dewa Syiwa. Ki Ajar Wirangrong adalah seorang brahmana mantan ksatria yang tekun dalam mendalami kitab-kitab suci agama, menguasai yoga, dan gemar menjalankan tapa brata untuk meningkatkan ketajaman mata batin dan kualitas spiritualnya.


Di padepokannya banyak berdatangan para cantrik dan mentrik dari berbagai kawasan di wilayah Pajajaran. Banyak pula putra adipati yang sengaja datang dari tempat jauh untuk menimba ilmu di Padepokan Ajar Wirangrong. Para Adipati sendiri tidak sedikit yang sengaja menyempatkan diri mengunjungi Padepokan Ajar Wirangrong untuk meminta saran dan petunjuk bermacam hal. Biasanya yang ditanyakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan ajaran suci, seperti praktek penyelenggaraan acara-acara ritual keagamaan. Tetapi tidak jarang mereka bertanya tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan pribadi para adipati. Semua itu menunjukkan bahwa Ki Ajar Wirangrong memang seorang brahmana mantan ksatria yang mumpuni dan disegani serta dianggap memiliki daya lebih dari seorang brahmana yang disayangi para dewa. Sore itu Ki Ajar Wirangrong memanggil salah seorang cantrik kepercayaanya. 


“Cantrik, sebentar lagi akan datang seorang tamu yang sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Dia adalah seorang ksatria muda. Siapkanlah tempat bermalam untuk beristirahat, jamuan makan malam, dan keperluan lainnya. Setelah selesai makan antarkan dia menemui aku di beranda samping bangsal pertemuan. Tugaskan salah seorang temanmu untuk menjemputnya di gerbang padepokan,” ujar Ki Ajar Wirangrong memberi perintah.


“Baik Yang Mulia Bapa Wiku, hamba akan segera laksanakan,”  jawab Cantrik jaga lalu segera mundur dari hadapan Ki Ajar. Ketika dua orang cantrik jaga bergegas ke pintu gerbang akan melaksanakan perintah Ki Ajar, seorang ksatria tampan, bertubuh kekar, dan berwajah cemerlang, sudah turun dari kudanya hendak masuk ke dalam gerbang.


“Selamat sore Raden, ada salam dari Ki Ajar Wirangrong. Hamba ditugaskan untuk menjemput Raden. Marilah ikuti hamba, Raden,” ujar salah seorang cantrik dengan cekatan, kemudian mengantarkan Banyakcatra ke pondokan untuk beristirahat. Cantrik yang lain menuntun kuda Banyakcatra dan dibawanya ke tempat penambatan.


“Sampaikan salam kembali kepada Yang Suci Eyang Ajar Wirangrong, Cantrik. Sampaikan pula terima kasihku atas segala keramahtamahan yang aku terima, yang belum tentu aku bisa membalas segala budi mulianya,” jawab Banyakcatra sambil berjalan mengikuti cantrik penjemput tamu itu, menuju asrama yang khusus disediakan untuk para tamu padepokan yang hendak bermalam.


Banyakcatra kagum dengan keramahtamahan penyambutan kepadanya. Sambil berjalan melewati sejumlah bangunan komplek padepokan yang teratur dan tertata dengan baik itu,  dia berkata di dalam benaknya, ”Sungguh Ki Ajar Wirangrong seorang brahmana kekasih dewa. Dia dianugerahi ilmu yang luar biasa. Dari mana dia tahu kedatanganku? Adakah Ayahanda memberitahukannya?”


Sebuah pertanyaan yang akhirnya lenyap sendiri karena dia tidak bisa menjawabnya. Yang muncul kemudian adalah rasa hormat dan kagum kepada Ki Ajar yang dipandangnya sebagai seorang brahmana berilmu tinggi. Tidak salah bila ayahnya menyuruhnya menghadap guna memohon petunjuk, di manakah gerangan ada seorang gadis cantik mirip ibundanya.

***

Sekalipun baru saja menempuh perjalalanan jauh, Banyakcatra tidak merasa lelah. Lebih-lebih setelah mandi air hangat di pancuran di belakang padepokan. Dia merasakan tubuhnya semakin segar. Di lereng Gunung Tangkuban Perahu banyak ditemukan sumber mata air hangat mengandung belerang. Dari sumber mata air itulah, melalui buluh-buluh bambu, air hangat dialirkan ke belakang pedepokan untuk keperluan mandi para cantrik dan penghuni padepokan lainnya. Air hangat yang mengandung belerang itu dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit kulit, menyegarkan tubuh, dan meremajakan sel-sel kulit, sehingga mereka yang sering mandi air hangat itu akan selalu tampak muda. Diam-diam Banyakcatra ingat legenda Danyang Sumbi yang tubuhnya selalu muda tidak termakan usia. 


“Bisa jadi karena Danyang Sumbi itu rajin mandi di pancuran air hangat berkhasiat meremajakan kulit yang banyak ditemukan di lereng Gunung Tangkuban Perahu. Wajar saja jika Sangkuriang setelah puluhan tahun berpisah, tidak lagi mengenali wajah Ibunya yang tetap awet muda dan cantik jelita. Tetapi sungguh aneh dan mustahil  Sangkuriang yang maha sakti itu sampai tidak tahu bahwa Danyang Sumbi adalah ibunya sendiri,” gumam Banyakcatra di dalam hati. 


“Jangan-jangan sebenarnya Sangkuriang sudah tahu. Sangkuriang ingin menikahi Danyang Sumbi yang cantik jelita, sekalipun wanita itu Ibunya sendiri. Wajar jika dewa tidak mengijinkannya. Keinginan Sangkuriang itu jelas melanggar ajaran suci. Tetapi Danyang Sumbi memang pantas dihukum para dewa. Sebab Danyang Sumbi memilih menguji kesaktian Sangkuriang dari pada berterus terang menjelaskan kepada Sangkuriang, siapa sebenarnya dirinya. Danyang Sumbi minta Sangkuriang membuatkan sebuah perahu dan danau buatan dengan cara  membendung Sungai Citarum yang harus diselesaikan hanya dalam waktu semalam.”


Kisah Sangkuriang-Danyang Sumbi terus berkecamuk di benak Banyakcatra saat dia mandi di bawah pancuran. Entah mengapa Banyakcatra ingin tahu lebih mendalam makna tersembunyi di balik kisah cinta tidak sampai antara anak dan ibunya itu. Dia pun menduga, bisa jadi itulah maksud ayahnya menyuruh agar dirinya  menemui Ki Ajar Wirangrong. 


Sangkuriang akhirnya marah. Danyang Sumbi yang menolak cinta Sangkuriang, dikejarnya. Saat hendak tertangkap, dewa menyelamatkan sekaligus menghukum Danyang Sumbi dengan mengubahnya menjadi sebuah gunung. Itulah sebabnya penduduk di Tatar Ukur menyebut gunung itu, Gunung Putri, gunung yang dipercaya sebagai jelmaan Danyang Sumbi. 


Sangkuriang pun murka bukan main. Perahu hasil ciptaannya yang sedang berlabuh di tepi danau buatan hasil membendung Sungai Citarum dengan bantuan jin itu ditendangnya hingga terbang dan jatuh ke arah utara. Perahu itu pun berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Batu pembendung Sungai Citarum pun ditendangnya ke arah timur, hingga menjelma menjadi Gunung Manglayang. Sumbat bendungan dirusak oleh Sangkuriang, sehingga terbentuklah saluran Sungai Citarum yang menembus kaki gunung yang disebutnya Sang Hiyang Tikoro. Melalui saluran Sang Hiyang Tikoro itulah danau buatan itu surut kembali.


Sangkuriang benar-benar sangat kecewa dan  putus asa. Impiannya bisa  berlayar ke tengah Danau Bandung untuk bermain asmara di atas perahu di tengah danau buatannya, berantakan seketika karena ulah Danyang Sumbi. Dalam keputusasaannya dan dirundung cinta berat, Sangkuriang pun lenyap ditelan bumi di tengah hutan di Tatar Ukur. Rakyat di sekitar Tatar Ukur kemudian mempercayai tempat lenyapnya Sangkuriang itu dengan memberi nama Ujung Beurung.


“Sesungguhnya Gunung Tangkuban Perahu adalah simbol seorang wanita sedang tertelungkup sehingga tidak bisa diajak bermain cinta oleh siapa pun. Bukankah perahu itu simbol dari wanita dalam kepercayaan bangsa apa pun?” Banyakcatra tersenyum sendiri saat memikirkan itu semua. Pikirannya tentang legenda itu terus terbawa sampai ke kamar pondokannya setelah selesai mandi. Pergulatan di dalam benak Banyakcatra tentang hubungan cinta Sangkuriang–Danyang Sumbi, baru terputus saat di depannya terlihat hidangan santap malam yang telah disediakan seorang cantrik. 


Usai santap malam, seorang cantrik menghampirinya dan memberitahu bahwa Ki Ajar telah menunggunya di beranda dekat bangsal pertemuan. Beranda itu merupakan tempat khusus menerima para tamu yang akan bertemu dengan Ki Ajar.


“Cucunda Banyakcatra menyampaikan sembah bakti, Yang Suci Eyang Ajar Wirangrong, teriring salam dari Ayahanda Sri Baginda di Keraton Pajajaran,” ujar Banyakcatra dengan takzim menyampaikan salam hormat kepada Ki Ajar Wirangrong yang duduk di depannya. 


Mereka hanya duduk berdua di beranda samping bangsal pertemuan, tempat biasanya Ki Ajar menemui tamu-tamunya. Tidak jauh dari mereka berdua ada seorang cantrik bertugas menjaga nyala api dari sebuah tungku, sehingga meskipun udara malam di luar dinginnya terasa seperti mencubiti kulit,  tetapi di beranda tetap terasa hangat. 


“Salam bakti Cucu, Eyang terima dengan baik. Demikian pula salam dari Sri Baginda di  Pajajaran. Ada persoalan berat apakah gerangan Cucu hadapi, hingga jauh-jauh dari Pajajaran mengunjungi Eyang di sini?”

“Ampunilah cucunda Eyang Wiku, cucunda telah merepotkan Eyang. Cucunda tahu, Eyang Wiku niscaya sudah tahu persoalan rumit yang membelit cucunda. Hanya pertolongan dari Eyang Wiku yang bisa menyelamatkan nasib cucunda yang malang ini, Eyang,” ujar Banyakcatra. “Cucunda ingin langsung pada persoalan saja, Eyang. Cucunda telah jatuh cinta pada seorang gadis. Tetapi cucunda sendiri tidak tahu di mana gadis itu berada. Gadis itu selalu muncul dalam benak cucunda, wajah dan perilakunya sungguh mirip sekali dengan mendiang Ibunda. Cucunda sudah bertekad untuk menemukan gadis mirip wajah Ibunda yang senantiasa muncul dalam benak dan pikiran cucunda. Cucunda bahkan telah bersumpah tidak akan berumah tangga dengan seorang gadis manapun, bila gadis itu tidak mirip Ibunda. Itulah yang membuat Ayahanda juga bingung. Kiranya hanya Eyang Wiku yang tahu di mana gerangan gadis yang wajahnya mirip Ibund berada? Cucunda memohon dan menunggu petunjuk dari Eyang Wiku.” 


Ki Ajar langsung tersenyum mendengar penuturan Banyakcatra yang disampaikan secara langsung dan terus terang, tidak berlika-liku, dan terkesan cerdas.


“Cucuku, kamu sebenarnya cukup pantas menjadi pengganti Ayahmu kelak menduduki singgasana Kerajaan Pajajaran. Tetapi Cucuku, kamu telah memilih takdirmu sendiri. Sekalipun begitu Cucuku, kamu adalah seorang ksatria sejati, karena kamu lebih suka memilih cinta dari pada tahta. Gadis yang kamu cari itu memang sudah ditakdirkan akan menjadi pendamping hidupmu. Tetapi jalan untuk mendapatkannya bukan jalan yang mudah. Gadis yang mirip Ibumu itu bernama Dewi Ciptarasa, putri bungsu Adipati Kadipaten Pasirluhur di lereng selatan Gunug Agung sebelah timur Sungai Citanduy. Untuk menaklukan gadis idaman hatimu itu, hanya ada satu cara, kamu harus melakukan penyamaran sebagai orang biasa saja. Tentu tidak mudah sebagai orang biasa  ingin meraih cinta seorang putri  adipati berwajah cantik.”


“Tetapi justru itulah pria idaman Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Dengan melamar sebagai ksatria putra raja, peluang lamaran Cucu ditolak justru cukup besar. Sudah banyak adipati dan putra adipati ingin menyunting gadis cantik yang wajahnya mirip Ibumu itu. Tetapi tidak satu pun lamaran diterimanya.”


“Terima kasih Eyang Wiku, cucunda sangat berhutang budi kepada Eyang Wiku atas segala petunjuk yang sangat berguna. Apakah kelak dewa akan mengutuk cucunda, karena cucunda hanya ingin menikah dengan seorang wanita yang wajahnya mirip dengan Ibunda, Eyang Wiku?”


“Tidak usah khawatir, Cucuku. Kamu bukan Sangkuriang dan Dewi Ciptarasa juga bukan Danyang Sumbi. Kamu dan Dewi Ciptarasa sama sekali tidak ada hubungan darah. Cucuku tentunya ingat kisah Sangkuriang-Dayang Sumbi, bukan?”


Banyakcatra mengangguk membenarkan Ki Ajar Wirangrong yang tak pernah meleset itu. “Benar, Eyang Wiku. Terkadang hati kecil cucunda sedikit cemas memikirkan masalah itu.”


“Pada jaman dulu, penduduk di sekitar wilayah ini banyak yang melakukan perkawinan sedarah karena ketidaktahuan mereka. Untuk mencegah terjadinya perkawinan sedarah itulah kisah Sangkuriang diciptakan orang, sebagai nasihat dan sekaligus peringatan agar penduduk jangan melakukan perkawinan sedarah yang dilarang ajaran suci. Dinamakan Tangkuban Perahu karena perahu itu simbol wanita. Perahu yang dalam keadaan tengkurap pastilah tidak bisa dinaiki oleh seorang nelayan manapun, sekalipun nelayan tadi sesakti Sangkuriang. Apabila dilanggar, pastilah akan mendapat murka para dewa. Sedangkan kamu, Cucuku, tidak ada hubungan darah dengan Dewi Ciptarasa. Karena itu dewa tidak akan mengutukmu, malah akan memudahkan usahamu, jika kamu tetap melaksanakan ajaran suci yang merupakan petunjuk para dewa. Janganlah kamu melakukan hubungan badan dengan seorang wanita yang belum secara sah menjadi istrimu,” kata Ki Ajar Wirangrong memberi nasihat.


Banyakcatra merasa tenteram dan tenang setelah mendapat petunjuk dari Ki Ajar Wirangrong. Semangatnya semakin berkobar-kobar ingin segera meneruskan perjalanan ke Kadipaten Pasirluhur. Malam itu Banyakcatra tidur pulas dipondokannya dipeluk udara dingin berkabut yang menyelimuti seluruh penghuni Padepokan Sangkuriang. [ Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar