Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 13 April 2017

[1] Patih Aria Wirjaatmadja (1831 - 1909 ), Sang Perintis Bank Rakyat Indonesia


Raden Aria Wirjaatmaja adalah Patih Kabupaten Purwokerto. Namanya terus berkibar dan bersinar, sehingga dikenang orang hingga jaman kita sekarang ini. Dia adalah seorang tokoh dengan menyandang banyak nama pujian. Seorang perintis, pelopor, pembaharu, birokrat professional, sampai seorang budayawan dengan kualitas pujangga. Namun di antara nama besar yang disandangnya, Patih Kabupaten Purwokerto di penghujung abad ke-19 M dan di awal abad ke-20 M itu, sangat termashur sebagai perintis lumbung desa, rumah gadai, dan Bank Perkreditan Rakyat di daerah Lembah Serayu, Banyumas. 

Kepeloporannya dalam perintisan Bank Rakyat, menyebabkan sosok Patih Kabupaten Purwokerto itu, diabadikan dalam bentuk patung di samping Gedung Musium Bank Rakyat Indonesia di Kota Purwokerto. Memang Bank Rakyat yang dirintis Patih Raden Arya Wiryaatmaja bersama-sama Wakil Residen Banyumas pada tahun 1895 M itu, menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sekarang BRI telah berkembang menjadi salah satu bank papan atas. Pada tahun buku 2014 total asset BRI mampu menembus angka Rp778 triyun. Kisah Patih Raden Arya Wiryaatmaja menjadi perintis berdirinya Bank Rakyat di Purwokerto itu begitu populernya  sehingga nyaris telah menjadi semacam legenda yang yang selalu  lekat dalam ingatan memori publik, khususnya publik masyarakat Banyumas dan keluarga besar BRI tentunya.

Alkisah pada suatu ketika pada tahun 1894, Patih Arya Wiryaatmaja menghadiri undangan pesta khitanan  seorang guru. Tentu bagi guru tersebut merupakan suatu kehormatan besar, bisa didatangi oleh Kanjeng Patih. Tidak disebutkan apakah Sang Bupati Kanjeng Purwokerto juga diundang dan hadir dalam acara hajatan anak lelaki kesayangan guru tersebut. Tetapi yang membuat Sang Patih terhenyak dan bertanya-tanya selama hadir dalam acara itu adalah dari mana guru itu memperoleh biaya untuk bisa menyelenggarakan pesta yang begitu meriah? Gajih seorang guru gubernemen pada saat itu hanyalah sekitar 75 gulden/bulan. Sedang gajih seorang mantri guru sekitar 150 gulden per bulan.

Penasaran dengan teka-teki itu, Sang Patih mencoba melakukan penyelidikan. Beberapa hari setelah selesai hajatan, guru tadi dipanggil. Ternyata hasil investigasi Sang Patih membuat dirinya terhenyak. Guru itu ternyata mendapatkan beaya untuk menyelenggarakan perayaan hajatan dengan cara meminjam kepada seorang rentenir China dengan bunga sangat tinggi. Sang Patih pun menduga pastilah banyak para pegawai gubernemen yang terjerat menjadi mangsa lintah darat sehingga bernasib malang seperti guru itu.

Akhirnya Sang Patih memberikan solusi. Ditawarkannya pinjaman dengan bunga rendah guna melunasi hutang guru tersebut. Jangka waktu pelunasannya pun cukup panjang, yakni 20 bulan, sehingga cicilan bulanannya sangat ringan dan terjangkau oleh kemampuan gajih sang guru. Dengan senang hati guru itu menyutujui tawaran Sang Patih. Patih Wirjaatmadja pun menggunakan uang pribadinya untuk melunasi hutang guru tersebut, sehingga hutangnya beralih kepada Sang Patih. Dengan uluran tangan ini, guru itu pun terbebas dari jeratan rentenir..

Patih Wirjaatmaadja menduga tidak hanya guru tersebut yang terjerat hutang rentenir dan Sang Patih yang berhati mulia itu berniat tidak ingin hanya menolong guru itu saja. Memang setelah melakukan penelitian secara seksama, terlihat fakta memprihatinkan. Banyak di antara pejabat pangreh praja dan  pegawai negeri Pribumi terlibat hutang dengan bunga tinggi dan menghadapi kesulitan dalam pengangsurannya.Kebetulan Sang Patih adalah aktivis masjid. Dia dikenal sebagai ahli keuangan yang cakap. Maka Patih Wirjaatmadja pun mendapat kepercayaan untuk mengelola uang kas masjid dengan jumlah mencapai 4000 gulden. Bayangkan, gajih seorang bupati saat itu sekitar 1000 gulden. Dengan gambaran itu, dapat disimpulkan bahwa masjid yang dikelola Sang Patih itu cukup makmur.

Dengan terlebih dahulu minta ijin atasannya, ,Patih Wirjaatmadja memperluas penggunaan kas masjid itu untuk dipinjamkan kepada para pegawai negeri, para petani, dan tukang yang terjerat hutang. Selanjutnya untuk menampung angsuran dari para peminjam uang kas masjid itu, Patih Wirjaatmadja membentuk lembaga semacam bank yang diberi nama " DE POERWOKERTOSCHE HULPEN SPAARBANK DER INLANDSCHE HOOFDEN " (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Pribumi Purwokerto). 

Dengan demikian gagasan Patih Wirjaatmadja menggunakan dana talangan uang pribadi dan  kas masjid untuk dipinjamkan  dengan angsuran bunga ringan tersebut, pelan-pelan berkembang menjadi aktivitas semacam  kegiatan perbankan. Yakni aktivitas  membantu pembiayaan bagi rakyat pribumi yang memerlukannya. Secara tidak sadar, Sang Patih telah mengawali dan merintis  kegiatan awal "Bank Perkreditan Rakyat"Hindia Belanda. Atasan Sang Patih yang khawatir  penggunaan uang kas masjid akan menimbulkan protes dari para ulama dan pemuka agama daerah Banyumas,  misalnya dengan alasan uang kas masjid hanya boleh digunakan untuk kepentingan masjid, dengan cekatan segera turun tangan. Dikeluarkan Surat Perintah tanggal 21 April 1894 agar Sang Patih secepatnya mengembalikan uang kas masjid tersebut.

Namun atasan Sang Patih, seorang Belanda yang memiliki pandangan maju yang telah terpengaruh gagasan dan ide-ide pencerahan. Dia dapat memahami maksud dan tujuan baik Sang Patih, kecakapan dan juga kejujurannya, sehingga dia segera turun tangan untuk menyelamatkan proyek rintisan Sang Patih. Akhirnya setelah konsultasi dengan Tuan Residen, dia menyebarkan surat edaran untuk mengumpulkan "dana penolong" guna menyelamatkan proyek Sang Patih. Ternyata surat edaran itu mendapat sambutan luar biasa. Bukan hanya kaum birokrat pribumi saja yang berpartisipasi. Orang Eropa yang duduk dalam Pemerintahan Hindia Belanda, banyak juga yang ikut berpartisipasi. Akhirnya dalam waktu singkat dapat terkumpullah dana lebih dari 4000 gulden.

Dana itu segera digunakan untuk mengembalikan kas masjid. Kemudian  sisa dana yang terkumpul dari masyarakat Purwokerto itu, termasuk sumbangan orang-orang Eropa, dimanfaatkan untuk meneruskan "kegiatan bank" yang telah dirintis oleh Patih Wirjaatmadja. Dengan modal dana itu, ditambah uang hasil angsuran para peminjam uang kas masjid, maka pada tanggal 16 Desember 1895, didirikanlah secara resmi bank perkreditan rakyat pertama di Hindia Belanda  dengan nama :
" HULP EN SPAARBANK DER INLANDSCHE BESTUURS AMBTENAREN " (Bank Bantuan dan Simpinan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi). 

Bank tersebut kemudian berkembang manjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan tanggal 16 Desember 1895 dijadikan sebagai hari kelahiran BRI. Atas jasa-jasanya tersebut di atas, maka Patih Wirjaatmadja dikenal sebagai "Bapak Perkreditan Rakyat". Tanggal 16 Desember 2015 ini, genap BRI berusia 120 tahun. Dirgayahu 120 tahun BRI, yang dilahirkan hasil kreatifitas Wong Banyumas tempo doeloe, Raden Arya Wiryaatmaja, Patih Kabupaten Purwokerto.

Demikianlah Patih Raden Arya Wiryaatmaja, dikenang dengan manis setiap tanggal 16 Desember, sebagai perintis dan pionir bank perkreditan rakyat. Patih Wirjaatmadja memasuki masa pensiun setelah selama lebih dari 40 tahun menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah secara patuh dan jujur. Pada usia enam puluh tahun dia dianugrahi sebutan "Rangga" dan kemudian "Raden Arya". Sedangkan di kalangan masyarakat luas ia dikenal dengan sebutan "Kyai Patih".Dalam perkembangan selanjutnya, berkat jasa-jasa Patih Wirjaatdadja di bidang perkoperasian, pada tahun 1989 Patih Raden Arya Wiryaatmaja  mendapat penghargaan "HATTA NUGRAHA" dari DEKOPIN besama-sama dengan tokoh koperasi lainnya yaitu Margono Djojohadikoesoemo.

Disamping bakatnya sebagai ahli ekonomi dan keuangan, ada pula bakat dan sumbangan Patih Raden Arya Wiryaatmaja lainnya yang banyak dilupakan orang. Bahkan oleh orang Banyumas sendiri. Sumbangan Patih Raden Arya Wiryaatmaja yang banyak dilupakan oleh orang Banyumas sendiri adalah peran Raden Patih Arya Wiryaatmaja sebagai seorang pujangga dalam konsep kekuasaan tradisional Jawa di daerah Banyumas. Apakah dan bagaimanakah Sumbangan Ki Patih Raden Arya Wiryaatmaja dalam bidang kebudayaan dan kebangkitan sastra di daerah  Banyumas? 

 Sumbangan terbesar Raden Patih Arya Wiryaatmaja di bidang kebudayaan dimulai pada tahun 1898 M, ditengah-tengak kesibukannya sebagai seorang patih, pengurus masjid dan pengawas proyek perkreditan rakyat yang dirintisnya. Sang Patih ternyata  masih menyempatkan diri menulis sebuah kitab Babad Banyumas, yang ditulisnya  atas perintah tuan wakil Residen Banyumas. 

Karya Babad Banyumas tulisan Raden Arya Wiryaatmaja, telah diteliti oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum, sebagai suatu karya rintisan Babad Banyumas yang kemudian berkembang menjadi karya tradisi besar atau arus utama  sastra babad daerah Banyumas. Perlu dicacat, Patih Raden Arya Wiryaatmaja, sebagai seorang pujangga dalam menulis kitab babadnya, sesuai dengan watak pribadinya yang kuat. Dia telah menulis kitab babad dengan cara  rasional, ilmiyah ,jujur, sedapat mungkin menjauhi hal-hal yang spekulatip dan berbau mitos. Padahal sebagai seorang pujangga penulis sastra babad, dia punya kebebasan sepenuhnya menuliskan semua gagasanya dan semua yang dapat dipikirkannya. Ternyata  ketika dia harus menceriterakan berdirinya Kabupaten Banyumas, dia telah bertindak dengan jujur dan cukup hati-hati, sehingga karena kejujurannya dia tidak pernah mau melakukan rekonstruksi kapan tahun berdirinya Kabupaten Banyumas. 

Barangkali, hal ini disebabkan Patih Raden Wiryaatmaja yang cerdas itu, tidak mau terjebak dalam suatu rekonstruksi historografi sejarah tradisional yang tidak dikuasainya. Tugasnya sebagai seorang pujangga, hanyalah memotivasi, melakukan rintisan dan meletakan landasan, dasar dan fondasi bagi penulisan Babad Banyumas yang lebih mendekati fakta sejarah dan menjauhi mitos dan logika mistik. Generasi peneruslah yang dia harapkan mampu melakukan rekonstruksi ilmiyah dan rasional kapan Kabupaten Banyumas didirikan. Memang sebuah fenomena yang aneh, jika Pemerintah Hindia Belanda lebih mempercayai Patih Wiryaatmaja menuliskan kitab Babad Banyumas yang oleh Sugeng Priyadi disebut Babad Banyumas versi Wiryaatmajan. Padahal Patih Wiryaatmaja bukan Patih Kabupaten Banyumas. Tapi Patih Kabupaten Purwokerto. 

Saat itu Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purwokerto merupakan kabupaten yang berdiri sendiri bersama Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara,  Majenang. Kelima kabupaten itu  berada dalam satu kesatuan wilayah karesidenan yang dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, yakni Karesidenan Banyumas. Karesidenan Banyumas yang terdiri dari 5 kabupaten itu terbentuk pada tahun 1831 M, satu tahun setelah Perang Jawa selesai ( 1825 – 1830 M). 

Tetapi justru karena itu, Babad Banyumas karya Patih Wiryaatmaja memiliki bobot tersendiri. Karyanya lebih memiliki obyaktivitas yang tinggi karena tidak memiliki konflik kepentingan untuk memuja Adipati Mrapat Joko Kahiman sebagai tokoh legenda. Patih Wiryaatmaja, berusaha menempatkan Sang Adipati Mrapat sebagai tokoh sejarah, sebagaimana diajarkan para mentornya orang-orang Belanda yang telah memiliki tradisi berpikir ilmiyah rasional, dan menjauhkan diri dari tradisi logika mistik yang bersifat subyektik, spekulatip dan personal. 

Barang kali inilah warisan terbesar lainnya dari Patih Wiryaatmaja, yakni tradisi berpikiri rasional. Sungguh sayang sekali, jika warisan tradisi yang berharga itu, belakangan ini malah  dilupakan oleh orang-orang Banyumas sendiri. Lebih menyedihkan jika sikap yang demikian itu justru dilakukan oleh kalangan elit dan lapisan atas masyarakat Kabupaten Banyumas.Wallahualam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar