Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 28 Agustus 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(38)




Sementara itu, matahari yang menyilaukan mata baru sepenggalah tingginya ketika Ki Sulap Pangebatan tiba di lapangan Desa Pangebatan. Rekajaya yang mengiringinya, berjalan di belakang sambil membawa sang jawara tak terkalahkan, si Mercu. Ki Sulap Pangebatan menyaksikan sejumlah orang terus-menerus mengalir menuju lapangan Desa Pangebatan. Mereka semua berkumpul mengitari gelanggang sabung adu ayam yang didirikan di pinggir lapangan. Mereka sudah tidak sabar lagi menunggu pertandingan istimewa antara jawara juara bertahan si Mercu dengan penantangnya si Gelapngampar. Apa lagi nilai taruhannya unik, yaitu 2 - 1 untuk si Mercu. Artinya, jika si Mercu menang akan mendapatkan nilai taruhan sebanyak dua kali nilai taruhan si Gelapngampar. Sebaliknya jika si Gelapngampar menang hanya akan mendapatkan nilai taruhan satu kali saja.
Tumenggung Silihwarna sengaja tiba lebih awal langsung masuk gelanggang, lalu duduk di kursi sebelah kanan. Mengikuti di belakangnya, Ngabehi Nitipraja membawa jago aduan berwarna merah, si Gelapngampar. Tumenggung Silihwarna tampak gagah bak Ksatria Pasirluhur. Dia mengenakan surjan lurik garis-garis lurus hitam coklat, bercelana panjang hitam, dan memakai ikat kepala hitam coklat. Diam-diam Tumenggung Silihwarna membawa 200 tentara anak buahnya. Semuanya menyamar sebagai penonton, tak satu pun prajurit itu diperkenankan membawa senjata. Di pinggir kalangan, kentongan sudah disiapkan dan wasit pertandingan pun sudah tiba ditemani seorang pembantunya.
Ketika penduduk yang berkerumun melihat Ki Sulap Pangebatan tiba di pinggir lapangan, sorak sorai membahana membuat suasana lapangan Desa Pangebatan itu hingar bingar. Terdengar suara tepuk tangan dan teriakan menyambut kedatangan sang jawara si Mercu. Sang Jawara itu dibawa Rekajaya, pembantu Ki Sulap Pangebatan. Rumput di atas lapangan sudah lama mengering,-dan semakin terkulai karena ribuan kali diinjak-injak kaki penonton yang berbondong-bondong mendatangi tanah lapang. Bau rumput kering bercampur debu tanah bertebaran kemana-mana memenuhi udara yang berputar-putar di atas tanah lapang.
“Mercu! Mercu! Mercu!” demikian suara orang-orang yang berkerumun di pinggir gelanggang sabung ayam dengan semangat. Mereka berteriak-teriak mengelu-elukan jawara pujaan mereka. Angin dari arah utara bertiup lembut menggoyang daun pohon angsana, belimbing, sawo, asam, dan mangga yang banyak tumbuh di sekitar tanah lapang.
Ki Sulap Pangebatan segera memasuki gelanggang disambut dengan jabat tangan Tumenggung Silihwarna yang menatapnya tanpa berkedip. Ada perasaan aneh yang menyelinap dalam benak Silihwarna tatkala menatap wajah Ki Sulap Pangebatan. Apalagi saat berjabatan tangan. Dia seperti merasakan sesuatu yang pernah dikenalnya. Tetapi, perasaan itu cepat lenyap ditelan hiruk pikuk sekelilingnya dan suara kokok sang jawara yang mulai terdengar bersahut-sahutan.
Si Wasit berdiri di tepi kalangan, dia mempersilahkan Ki Sulap Pangebatan duduk di kursi sebelah kiri. Tanpa sengaja Ki Sulap Pangebatan mengenakan baju surjan lurik dengan garis-garis biru hitam, celana hitam panjang, dan ikat kepala biru hitam, sehingga mengingatkan orang kepada ksatria dari lereng Gunung Tangkuban Perahu. Orang-orang yang menyaksikan penampilan keduanya berdecak kagum. Mereka berdua bagaikan sepasang ksatria kembar, hanya berbeda corak warna ikat kepala dan baju yang dikenakannya.
Tak terbayangkan sama sekali oleh semua yang hadir, bahwa usai si Mercu dan si Gelapngampar berlaga akan terjadi peristiwa mengerikan. Bahkan Ki Sulap Pangebatan pun tidak menduganya sama sekali peristiwa apa yang akan menimpa dirinya. Namun demikian, pengalaman yang dimilikinya selama ini membuatnya dia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan.
Di pinggang kiri Ki Sulap Pangebatan terselip pusaka Pajajaran Kujang Kancana Shakti. Selendang sutra kuning kenang-kenangan dari Sang Dewi meliliti pinggangnya. Semuanya terlindung di balik baju surjannya sehingga tak seorang pun yang mengetahuinya. Lama Ki Sulap Pangebatan menatap wajah tumenggung yang diduganya gemar jadi botoh adu ayam itu. Dia mencoba merekam wajah Tumenggung Silihwarna yang baru dilihatnya. Aneh sekali, setiap kali Ki Sulap Pangebatan hendak merekam wajah Tumenggung Silihwarna dalam benaknya, setiap saat itu pula bayangan seorang pendeta muda gundul, mengenakan jubah warna kuning, dan membawa seuntai kalung untuk berdoa, muncul dalam benaknya.
“Hem, Banyakngampar. Malang benar pilihan hidupmu. Jadi pendeta gundul, sebagai pelarian saja. Coba kalau kamu mengikuti saranku, barang kali kamu akan secakap dan setampan Tumenggung Silihwarna yang bodohnya bukan main ini. Tumenggung, tetapi gemar main judi sabung ayam yang merusak,” kata Ki Sulap Pangebatan dalam batinnya.
Ki Sulap Pangebatan, seperti Tumenggung Silihwarna, juga gagal menangkap sinyal-sinyal batiniah yang muncul di dalam benaknya. Apalagi ketika Ngabehi Nitipraja melepaskan sang jawara kebanggaannya, si Gelapngampar, ke tengah gelanggang. Bayangan pendeta gundul dalam benaknya lenyap seketika digantikan oleh amarah yang mulai berkobar-kobar.
Hampir saja Ki Sulap Pangebatan meloncat dari tempat duduknya untuk menangkap si Gelapngampar dan ingin membantingnya sampai tewas. Untung saja, Ngabehi Nitipraja cepat menangkapnya kembali setelah mendapat peringatan keras dari wasit yang akan memimpin pertandingan. Tindakan Ngabehi Nitipraja itu bisa dianggap sebagai penghinaan kepada si Mercu. Sebab, si Merculah yang menyandang gelar juara bertahan. Karena itu si Merculah yang berhak turun lebih dahulu ke tengah gelanggang. Si Merculah Sang Penguasa Gelanggang, bukan si Gelapngampar sebagai sang penantang.
Tetapi yang membuat Ki Sulap Pangebatan hampir meledak amarahnya, sebenarnya bukan karena perbuatan Ngabehi Nitipraja yang hanya bermaksud berkelakar. Ki Sulap Pangebatan hampir marah,  karena si Gelapngampar dianggapnya telah mencemarkan nama baik adiknya, Banyakngampar.
Tak terasa matahari musim kemarau terus bergerak merangkak naik. Para penonton adu sabung ayam sudah gelisah menunggu. Semakin siang jumlah orang yang berkerumun semakin membludag. Mereka banyak yang tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya mengurus ladang, menggembalakan ternak, mengelola kolam ikan, berdagang di pasar, dan pekerjaan rutin lainnya agar bisa menyaksikan pertandingan besar yang jarang  ada itu. Bau keringat penonton yang berlelehan mulai bertebaran kemana-mana, karena matahari musim kemarau terus menerus memanggang tanah lapang Desa Pangebatan. Untunglah banyak pohon-pohon besar dan rindang yang tumbuh di sekelilingnya sehingga bau asam dari keringat yang bercampur debu itu cepat kabur. Sebagian diserap daun-daun pohon-yang hijau dan rindang. Sebagian lagi diusir angin yang bertiup mengisi relung-relung lembah Sungai Logawa.
Si Wasit dan pembantunya segera berdiri, ketika dia mendongak ke atas dan dilihatnya matahari telah tergelincir dari atas ubun-ubun. Si Wasit menyuruh agar kentongan dipukul sebagai tanda pertandingan sabung ayam akan segera dimulai. Kentongan pun dipukul, suaranya menyebar kemana-mana diiringi sorak-sorai dan tepuk tangan bergemuruh.
“Tenang! Tenang! Saudara sekalian. Tepuk tangannya harap diakhiri. Pertandingan akan segera dimulai,” kata Si Wasit pertandingan meminta agar penonton tidak ribut. Tetapi, tepuk tangan terus menerus terdengar dan tidak segera berhenti. Suara penonton pun membuat bising dan ribut. Tapi-akhirnya semua penonton diam-dengan-sendirinya. Si Wasit pun mulai angkat bicara.
”Di sebelah kiri saya adalah Ki Sulap Pangebatan sebagai botoh dengan jawara bertahan belum terkalahkan si Mercu. Sebagai kopoh adalah Ki-Rekajaya. Tepuk tangan untuk mereka!” kata Si Wasit mengenalkan Ki Sulap Pangebatan, pembantunya, dan ayam jago aduannya. Penonton mengikuti perintah Si Wasit dan tepuk tangan penonton terdengar kembali, ramai bergemuruh. Tak lama kemudian suasana kembali tenang. Si Wasit kembali angkat bicara.
“Di sebelah kanan saya adalah Tumenggung Silihwarna sebagai botoh dengan jawara sang penantang si Gelapngampar. Sebagai kopoh adalah Ngabehi Nitipraja. Tepuk tangan untuk mereka!” kembali Si Wasit memberi perintah. Tepuk tangan kembali bergemuruh.Tetapi kalah meriah dengan tepuk tangan pertama.
“Nilai taruhan adalah 2 bau sawah untuk si Mercu bila menang dan 1 bau sawah untuk si Gelapngampar bila menang. Kesepakatan ini telah disetujui oleh ke dua belah pihak. Betul Ndara Tumenggung?“ tanya Si Wasit kepada Tumenggung Silihwarna yang dijawab dengan anggukan.
”Betul, Ki Sulap?“ tanya Si Wasit. Dia berpaling dari Tumenggung Silihwarna ke arah Ki Sulap Pangebatan. Ki Sulap Pangebatan juga menganggukkan membenarkan. Si Wasit lalu bertanya kepada  Pembantu Wasit, apakah sudah mengecek lokasi sawah-sawah yang akan dipertaruhkan.
“Lokasi sudah di cek dan benar adanya,” jawab Pembantu Wasit. ”Satu bau sawah  gadai milik Nyai Kertisara. Dua bau sawah milik Ngabehi Nitipraja yang sudah beralih menjadi tanah gadai milik Tumenggung Silihwarna.”
“Baiklah, kalau begitu. Sekarang saya kenalkan lebih dulu, Ki Sulap Pangebatan. Dia tinggal di desa Kaliwedi, keponakan Nyai Kertisara. Pekerjaan tetap penasihat bisnis pengusaha kaya dan sukses, Nyai Kertisara. Usia 20 tahun dan belum punya istri. Silahkan berdiri Ki Sulap Pangebatan!” kata Si Wasit memperkenalkan Ki Sulap Pangebatan yang sudah banyak dikenal namanya oleh sebagian besar penduduk Kadipaten Pasirluhur. Tetapi, mereka banyak yang belum pernah melihatnya. Ki Sulap Pangebatan berdiri sejenak sambil tersenyum, diiringi tepuk tangan penonton. Kini Si Wasit berpaling kepada Tumenggung Silihwarna.
“Di sebelah kanan saya, Tumenggung Silihwarna. Usia 18 tahun, sudah beristri, menantu Adipati Dayeuhluhur. Pekerjaan tumenggung diperbantukan di Kadipaten Pasirluhur, membantu Tumenggung Maresi. Silahkan berdiri Ndara Tumenggung!”
Dengan wajah merah padam Tumenggung Silihwarna berdiri. Tepuk tangan pun bergemuruh. Si Wasit memberi waktu jeda sejenak sebelum kentongan ke dua dipukul. Waktu jeda ini dimanfatkan penonton untuk berbincang-bincang dan bersiap-siap melakukan taruhan sendiri di antara mereka. Tetapi, kali ini diiringi bisik-bisik di antara para penonton yang bermulut usil. 
“Oh, Tumenggung Silihwarna menantu Adipati Dayeuhluhur?“ kata salah seorang penonton berbadan gemuk agak pendek dan berdiri tidak jauh di belakang tempat duduk Ki Sulap Pangebatan. ”Masih muda, ya. Siapa sih nama istrinya, putri Adipati Dayeuhluhur itu?” Si Gemuk bertanya kepada teman yang berdiri di sampingnya.
“Hem, tak tahu kamu, ya? Adipati Dayeuhluhur itu ipar Kanjeng Adipati Kandhadaha. Putra sulungnya, Wirapati. Adiknya, Dyah Ayu Mayangsari. Berarti Tumenggung Silihwarna adalah suami Dyah Ayu  Mayangsari,” kata teman lelaki  tadi yang berdiri di samping Si Gemuk. Lelaki itu badannya kurus, tetapi agak tinggi.
“Lho, dengar-dengar bukankah Raden Wirapati  pernah melamar Sang Dewi?” tanya Si Gemuk pula.
“Iya, betul. Tapi Sang Dewi menolaknya,” Si Kurus menjelaskan.
“Kenapa menolak?” tanya Si Gemuk pula penasaran.
Tentu saja Ki Sulap Pangebatan terkejut, saat mendengar secara samar-samar nama Sang Dewi disebut-sebut dalam perbincangan itu. Ki Sulap Pangebatan segera membaca mantra Ciung Wanara untuk mempertajam pendengarannya agar bisa mengikuti pembicaraan kedua orang penonton yang berdiri di-belakangnya. Kedua orang itu agak jauh  dari Ki Sulap Pangebatan karena terhalang palang bambu pembatas penonton. Kembali Ki Sulap Pangebatan mendengarkan dengan jelas perbincangan kedua lelaki itu.
“Mana aku tahu? Mungkin Sang Dewi kurang nyaman menikah dengan putra adik ipar Ayahnya, sekalipun usia Raden Wirapati lebih tua,” jawab Si Kurus.
“Ya, tapi Sang Dewi malah jatuh cinta pada tukang jala dan paleka anak angkat Ki Patih Reksanata,” kata lelaki yang gemuk tadi.
“Itulah cinta. Tapi, sepertinya sekarang Sang Dewi sakit,” kata Si Kurus.
“Sakit? Sakit apa?”
“Mana aku tahu?”
“Hamil kali?” kata Si Gemuk sambil tertawa dengan maksud berkelakar.(bersambung)

Jumat, 25 Agustus 2017

Novel:-Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(37)





“Ampun sahaya Yang Mulia Raja, bila mana saran sahaya tidak berkenan bagi Yang Mulia,” jawab Sekarmenur.

“Tidak apa-apa. Ayo, katakan apa saranmu?”

“Sahaya mendengar,” kata Sekarmenur, ”ada seorang gadis cantik jelita di tanah daratan Pulau Jawa di utara sana di Lembah Ciserayu di Lereng Selatan Gunung Agung. Namanya Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, putri bungsu Adipati Pasirluhur. Sahaya dengar sudah banyak adipati dan putra adipati yang melamarnya. Tapi Sang Dewi belum berkenan. Menurut sahaya, sangat tepat jika Yang Mulia Paduka Raja segera melamarnya. Siapa tahu Sang Dewi berkenan menjadi Permaisuri Yang Mulia Paduka Raja.”

Sang Raja tersenyum menyetujui usul Sekarmenur. Soal adanya gadis cantik di Kadipaten Pasirluhur, Sang Raja sudah pernah mendengarnya. Sang Raja berkata, ”Adakah putra raja atau raja yang pernah melamarnya, Sekarmenur? Barangkali saja kamu bisa menjelaskan dari apa yang sempat kamu dengar.”

“Justru itulah, sahaya usulkan agar Yang Mulia Paduka Raja cepat mengirimkan utusan untuk melamar Sang Dewi. Dari bisik-bisik yang sempat sahaya dengar di pasar daratan yang selalu ramai itu, belum ada seorang putra raja atau seorang raja sempat melamar Sang Dewi, Dyah Ayu Ciptarasa. Sahaya yakin bila Yang Mulia Paduka Raja cepat melamarnya, kemungkinan besar akan diterima. Adipati Kandhadaha, Ayah Sang Dewi pasti juga bangga bila punya menantu raja perkasa seperti Yang Mulia Paduka Raja.”

“Terima kasih, Sekarmenur. Saran dan pendapatmu aku terima. Kadipaten yang kaya dan makmur itu akan segera menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Nusakambangan jika aku berhasil memboyong Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Wirasaba akan lebih mudah aku taklukkan bila Kadipaten Pasirluhur sudah aku kuasai. Adinda Puletembini, sudah dengar saran cerdas dari calon istrimu, bukan? Apa pendapatmu sekarang?”

“Jika Kanda Yang Mulia Paduka Raja mengijinkan,” jawab Patih Puletembini, ”Dinda akan segera menghadap Adipati Pasirluhur atas nama Kanda untuk melamar Dyah Ayu Dewi Ciptarasa.”

“Baiklah, aku ijinkan. Besok berangkatlah ditemani Tumenggung Surajaladri. Sekarmenur, kamu buatkan surat lamaran yang bagus, ya. Katakan jika lamaranku ditolak, aku akan mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Kadipaten Pasirluhur. Adinda Patih Puletembini, berangkatlah pagi-pagi dan bawa bekal yang cukup. Cari kuda yang baik di daratan agar cepat sampai ke Pasirluhur. Jika Adipati Pasirluhur menolak engkau kuberi wewenang untuk mengancamnya dan menyatakan perang dengan Kadipaten Pasirluhur, seperti yang tersebut dalam surat yang akan disiapkan Sekarmenur. Apakah perlu pasukan pengawal?” 

“Tidak usah, Kanda Yang Mulia Raja. Kecuali Adinda Sekarmenur dan Sekarmelati  diijinkan ikut.”

“Ngawur kamu, Puletembini! Sekarmenur dan Sekarmelati belum jadi istri kalian, tentu saja tidak boleh. Tapi kalau hanya mengantarkan menyeberang sampai daratan, silahkan saja,” kata Sang Raja disambut dengan gembira Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri. 

Tiba-tiba Sekarmenur berkata, ”Yang Mulia Paduka Raja, sebaiknya Kanda Patih Puletembini jangan diijinkan pergi. Siapa yang akan membantu Yang Mulia Raja bila Kanda Patih Puletembini pergi?”

Sang Raja tertawa mendengar usul Sekarmenur. ”Hahaha…, betul juga usulmu. Hem, Tumenggung Surajaladri, perintahku untuk Patih Puletembini aku cabut. Engkau saja yang aku tugaskan mewakili aku menyampaikan surat lamaran ke Pasirluhur. Tumenggung Surajaladri, cari anak buahmu yang bisa menemanimu.”

“Baiklah, Yang Mulia Paduka Raja, hamba akan ajak Rangga Singalaut sebagai teman.”

“Rangga Singalaut, sudah punya calon istri?” tanya Sang Raja.

“Sudah, Yang Mulia, Sekarcempaka namanya.”

“Baiklah, kalau begitu. Semuanya boleh menikah, setelah Rajamu berhasil menyunting Dyah Ayu Dewi Ciptarasa,” kata Sang Raja. 

Matahari bagaikan bola perak yang tengah meleleh berkilau-kilauan tergantung di puncak langit, ketika Sang Raja Pulebahas menutup pertemuan dan mengijinkan mereka semua meninggalkan ruangan. Sekarmenur tampak berseri-seri wajahnya, karena dia tak perlu khawatir ditinggal Puletembini. Puletembini memuji Sekarmenur yang banyak akalnya itu.

“Aku pun senang tidak jadi diutus Kanda Raja. Ayo, cepat dibuat surat lamaran ke Kadipaten Pasirluhur. Kanda Raja pasti menunggu-nunggu. Nanti sore harus sudah selesai,” kata Patih Puletembini mengajak Sekarmenur.

“Baiklah, Kanda Puletembini. Ayo, temani aku ke Pondok Tamanbidadari. Surat lamaran Yang Mulia Raja akan segera aku siapkan.” 

Mereka berjalan beriringan. Di belakang mereka menyusul Tumenggung Surajaladri dengan Sekarmelati. Sang Raja sendiri menuju ruang sanggar pemujaan. Di situ terdapat stoples kaca tembus pandang berisi bunga Wijayakusuma yang diawetkan di dalam larutan pengawet terbuat dari cairan alkohol berbahan air tape. Bunga pusaka berwarna putih bersih itu tampak bercahaya berkilau-kilauan menerangi sanggar pamujan, karena cahaya yang dipancarkannya bersipantulan ke mana-mana. Di samping stoples yang berisi bunga pusaka Wijayakusuma terletak guci porselin Niken Gambirarum. Sang Raja segera meraihnya, kemudian membuka tutupnya. Lipatan kapas bersisi darah perawan suci Niken Gambirarum masih utuh di dalam guci porselin. Aroma harum segar mewangi muncul dari dalam guci porselin menyebar keluar terhirup hidung Sang Raja. Sang Raja tidak asing lagi dengan aroma harum yang segera menghadirkan di pelupuk matanya sosok permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum yang sangat dicintainya.

“Adinda Ratu Ayu Niken Gambirarum,” kata Sang Raja Pulebahas kepada guci porselin yang tengah dipegangnya itu. “Aku telah memenuhi semua janjiku kepadamu. Semoga aku dibebaskan dari semua kutukan. Aku sudah menjadi pemeluk Sang Hyang Syiwa, mengikuti kehendakmu. Aku juga sudah hapuskan semua ritual sesat persembahan darah perawan suci. Aku tidak ingin lebih buruk dari monyet atau kera seperti yang pernah engkau katakan kepadaku.”

“Permaisuriku Ratu Ayu, semoga engkau bahagia berada di sisi Sang Hyang Syiwa dan para Dewa. Ijinkanlah aku mempersunting Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, Putri Kadipaten Pasirluhur sebagai permaisuriku menggantikan dirimu. Atau, Adindaku akan menitis menjadi satu ke dalam raga Dyah Ayu Dewi Ciptarasa? Oh, tentu aku sangat gembira sekali bila itu terjadi. Aku akan selalu menganggap Dyah Ayu Dewi Ciptarasa adalah inkarnasi dirimu. Bukankah Adindaku juga putri Adipati? Adipati Kalipucang, bukan?”

Setelah puas melakukan dialog imajinatif dengan mendiang Ratu Ayu Niken Gambirarum, Sang Raja menempatkan guci porselin kembali ke tempatnya. Sang Raja pun meninggalkan sanggar pamujan.Sore hari, Sekarmenur diantar Patih Puletembini menemui Sang Raja menyerahkan konsep surat lamaran yang telah dibuatnya atas perintah Sang Raja. Sang Raja segera membaca isi surat lamaran.

Yang Mulia Paman Adipati Kandhadaha di Pasirluhur. Salam dan bahagia. Inilah surat dari saya, Raja Pulebahas yang memerintah negeri agung Kerajaan Nusakambangan, dihaturkan ke hadapan Paman Adipati Kandhadaha yang memerintah Kadipaten Pasirluhur. Adapun maksud dan isi surat ini adalah, saya bermaksud melamar putri bungsu Paman Adipati Kandhadaha, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Itupun apabila Paman Adipati mengijinkan. Adapun apa saja yang akan diminta, saya akan menyanggupinya. Akan tetapi, apabila Paman Adipati menolak lamaran saya ini, maka dengan berat hati, terpaksa saya akan mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Kadipaten Pasirluhur. Demikian, ditunggu jawaban Paman Adipati Kandhadaha. Salam. Saya, Sang Raja Kerajaan Nusakambangan, Pulebahas.”

Selesai membaca surat lamaran itu, Sang Raja tersenyum puas.-”Bagus sekali tulisan dan susunan kalimatmu, Sekarmenur. Cocok menjadi penulis kerajaan membantu Patih Puletembini,” puji Sang Raja kepada Sekarmenur. Sekarmenur tersenyum tersipu-sipu.

”Bungkuslah dengan kain kuning dan ikat dengan benang sutra hijau. Adinda Puletembini, serahkan surat lamaran itu pada Tumenggung Surajaladri. Besok Tumenggung Surajaladri dan Rangga Singalaut harus sudah berangkat ke Kadipaten Pasirluhur.”

Setelah surat lamaran diberi stempel kerajaan dan dibungkus rapi, Patih Puletembini bersama Sekarmenur mengundurkan diri dari hadapan Sang Raja. Kemudian mereka berdua bergegas menemui Tumenggung Surajaladri dan Rangga Singalaut.-Esoknya, fajar sudah merekah di kaki langit sebelah timur. Permukaan Laut Segara Anakan tampak berwarna kelabu dengan riak-riak putih, sedang bergoyang-goyang dimainkan gelombang. Tumenggung Surajaladri dan Rangga Singalaut meluncur di atas perahu ke arah utara, melintasi air laut yang tersibak menyingkir ke kanan dan kiri perahu. Tak lama kemudian, mereka berdua sudah sampai di pantai daratan Pulau Jawa. Dari sana dengan menggunakan kuda, mereka berdua memacunya ke arah utara, menyusuri pinggir Sungai Ciserayu yang bermuara di Teluk Penyu menuju Kadipaten Pasirluhur.[] (bersambung)







Selasa, 22 Agustus 2017

Novel:-Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(36)




Ketika Patih Puletembini bergerak sendirian hendak menangkap Nyai Gede Wulansari, sesungguhnya dia melakukan tindakan ceroboh. Nyai Gede Wulansari cepat meloncat dan memasang posisi kuda-kuda. Wanita Serigala itu sadar akan bahaya yang mengancam dirinya. Dan baginya memang mati dengan bertarung mempertahankan nyawa lebih terhormat dari pada mati dengan menyerahkan lehernya untuk dipancung pedang Sang Raja. 

Nyai Gede Wulansari, Si Wanita Serigala itu menantang duel Patih Puletembini di hadapan Sang Raja. Patih Puletembini mendekat, dengan sembrono melepaskan tamparan ke wajah Nyai Gede Wulansari. Tapi di luar dugaan Patih Puletembini, dengan mudah Nyai Gede Wulansari memiringkan wajahnya. Tamparan meleset menemui angin. Nyai Gede Wulansari yang pandai gulat itu tidak menyia-nyiakan lengan Patih Puletembini yang lewat di depanya. Tangannya yang kekar bak tangkai penjepit, menangkap lengan Patih Puletembini. Dengan sentakan kuat luar biasa tubuh Patih Puletembini yang tinggi besar tertarik ke arah Wanita Serigala itu. Tubuhnya pun terhuyung-huyung bagaikan pohon yang kelapa akan segera tumbang. 

Secepat kilat Nyai Gede Wulansari memuntir tangan Patih Puletembini. Tubuh yang akan jatuh karena kehilangan keseimbangannya itu tiba-tiba jatuh dalam cengkeraman Nyai Gede Wulansari yang menjepitnya dari belakang. Tangan kirinya mengunci leher, tangan kanannya mengunci lengan kanan Patih Puletembini yang dipuntir ke belakang. Kalau mau, Wanita Serigala itu sebenarnya dengan mudah bisa mematahkan lengan dan leher Patih Puletembini. Tetapi Wanita Serigala itu memilih menjadikan Patih Puletembini yang nyaris terkunci itu menjadi tameng bagi dirinya dan mulai mendorong bergerak mendekati Sang Raja.

Untunglah Tumenggung Surajaladri dengan mudah melumpuhkan Pendeta Raga Pitar. Dengan melepaskan suatu tendangan maut, tapak kaki Tumenggung Surajaladri mengenai lempengan emas dengan lambang phalus, lambang agama Ditya Kala Rembu Culung yang menggantung di leher Yang Suci Raga Pitar. Pendeta Yang Suci Raga Pitar langsung roboh setelah terlempar jatuh ke belakang. Kepala bagian belakang membentur dinding batu, membuat Yang Suci Raga Pitar mencium lantai dengan mulut mengeluarkan darah segar. Pendeta sesat itu langsung tewas seketika.

Tumenggung Surajaladri segera melihat Nyai Gede Wulansari bergerak akan mendekati Sang Raja dengan tameng Patih Puletembini yang praktis sudah jadi kartu mati. Tumenggung Surajaladri tidak mungkin meloncat mendekati Wanita Serigala yang sudah menangkap mangsanya itu untuk membantu Sang Raja maupun Patih Puletembini. Sebab tindakan demikian adalah tindakan bodoh. Bukan hanya nyawa Patih Puletembini yang terancam. Tetapi juga nyawa Sang Raja. 

Seorang pegulat handal seperti Nyai Gede Wulansari tidak mungkin dilayani berkelahi dengan jarak dekat. Tumenggung Surajaladri bisa mengalami nasib konyol seperti Patih Puletembini. Peluang Wanita Serigala untuk mendapatkan tiga mangsa sekaligus memang besar. Tumenggung Surajaladri segera memutar otaknya guna menyelamatkan keadaan yang sudah sangat kritis. Nyai Gede Wulansari memang nekat melakukan pemberontakan dan pembangkangan secara terang-terangan di hadapan Sang Raja. 

Tiba-tiba Tumenggung Surajaladri melihat sisi kanan leher Nyai Gede Wulansari yang terbuka. Tanpa pikir panjang, Tumenggung Surajaladri yang ahli melempar pisau itu, menarik pisau bermata dua yang terselip di pinggangnya dan dilemparkannya sekuat tenaga ke arah sisi leher kanan Wanita Serigala yang terbuka itu. Pisau meluncur cepat bagaikan anak panah menuju sasaran. Ujung pisau tepat mengenai sisi leher kanan tembus ke sisi leher kiri. Tubuh Wanita Serigala itu langsung roboh tanpa sempat mengeluarkan teriakan dan tewas seketika. Darah merah segar mengalir dari lehernya yang tertembus pisau. Patih Puletembini dan Raja dapat diselamatkan dari ancaman Wanita Serigala itu. 

Para penjaga baru berdatangan dan ramai-ramai masuk ruangan setelah Nyai Gede Wulansari dan Yang Suci Raga Pitar menjadi mayat. Sang Raja kemudian memerintahkan agar kedua mayat pembangkang dan pendeta sesat itu dibungkus, dimasukkan ke dalam jaring, lalu dilemparkan ke tengah laut di sebelah selatan Pulau Nusakambangan. Sang Raja Pulebahas kemudian mengeluarkan perintah.

“Aku Sang Raja Pulebahas, Penguasa dan Raja Kerajaan Nusakambangan. Dengan ini menyatakan sejak hari ini, aku melarang agama yang menyembah Ditya Kala Rembu Culung. Aku juga menghapus semua ritual persembahan darah perawan suci di seluruh wilayah Kerajaan Nusakambangan. Aku nyatakan agama Syiwa menjadi agama resmi Raja Kerajaan Nusakambangan. Aku menganjurkan rakyatku menyembah Sang Hyang Syiwa. Agama selain Syiwa yang aku ijinkan dipeluk oleh rakyat Kerajaan Nusakambangan hanyalah agama Wisynu, Brahma, Indra, Sambu, dan Kala. Selain agama yang aku sebutkan di atas adalah terlarang, kecuali sudah mendapat persetujuan dari aku, Sang Raja.” 

Sang Raja Pulebahas merasa puas setelah menyampaikan perintah kepada para kawulanya. Sebab dengan perintah itu Sang Raja merasa telah melaksanakan janjinya kepada Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum. Dengan melaksanakan janjinya itu Sang Raja berharap kutukan terhadap dirinya dan kerajaannya tidak akan terjadi. Pada kesempatan itu Sang Raja bekenan memberikan ampunan kepada Sekarmenur dan Sekarmelati. Keduanya menyatakan bertobat dan bersedia memeluk agama baru yang dipeluk Sang Raja Pulebahas. Keduanya juga telah mengucapkan janji sumpah setia kepada Sang Raja.

Karena itu Sang Raja kemudian mengangkat Sekarmenur dan Sekarmelati menjadi ketua dan wakil ketua pengelola Pondok Tamanbidadari yang dialihkan menjadi taman pendidikan bagi gadis-gadis penghuninya. Mereka dididik dengan berbagai ketrampilan wanita agar kelak gadis-gadis itu bisa menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik. Status mereka tetap diakui sebagai adik kembar Sang Raja. Seratus hari setelah Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum dianggap moksa, Sang Raja mengumpulkan Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Sekarmenur, dan Sekarmelati.

“Adindaku Patih Puletembini, aku dengar engkau mau minta ijin padaku melamar Sekarmenur?” tanya Sang Raja pagi itu di Istana Sang Raja.

“Betul, Kanda Yang Mulia Paduka Raja,” jawab Patih Puletembini dengan wajah memerah karena malu.

“Hem, engkau dulu tidak berani melamar Sekarmenur karena takut pada Si Gila Wulansari, ya?” tanya Sang Raja menggoda Patih Puletembini yang hampir saja tewas diterkam Wanita Serigala Nyai Gede Wulansari. Patih Puletembini hanya tersenyum malu-malu.

“Makanya engkau harus banyak berlatih agar kemampuan bela dirimu tetap prima. Jangan hanya mengandalkan anak buah saja,” kata Sang Raja memberi nasihat.

“Tumenggung Surajaladri, aku juga dengar kamu mau minta ijin untuk melamar Sekarmelati?” tanya Sang Raja pada Tumenggung Surajaladri.

“Benar, Yang Mulia Raja,” jawab Tumenggung Surajaladri singkat.

“Sekarmenur dan Sekarmelati, aku sudah mendengar sendiri keinginan Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri untuk melamarmu. Aku setuju sekali. Engkau berdua cantik, lincah, cekatan, dan perkasa pula. Aku kira cocok jika menjadi pendamping Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri. Aku mengijinkan kamu berdua membangun rumah tangga dengan Puletembini dan Tumenggung Surajaladri.”

“Terima kasih, Yang Mulia Paduka Raja,” jawab Sekarmenur dan Sekarmelati bersamaan.

“Ya, tapi nanti dulu, aku belum selesai bicara. Adinda Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Sekarmenur, dan Sekarmelati. Aku ijinkan kalian membentuk rumah tangga menjadi pasangan suami istri sah. Tapi, masa kalian biarkan Rajamu menjadi duda sendirian saja?”

Mereka semua diam, tetapi dalam hati tertawa, karena rupanya Sang Raja juga tidak mau kalah dengan anak buahnya. Memang penguasa Kerajaan Nusakambangan itu masih muda-muda, termasuk Sang Raja sendiri yang gagal mewujudkan mimpi-mimpinya membangun rumah tangga dan ingin punya delapan anak dengan Niken Gambirarum.

Tumenggung Surajaladri mengajukan usul kepada Sang Raja. ”Yang Mulai Paduka Raja, bagaimana kalau Adinda Sekarmelati mencarikan salah seorang gadis dari Pondok Tamanbidadari? Bukankah banyak gadis-gadis cantik di sana?”

“Jangan!” jawab Sang Raja cepat. ”Aku sudah bersumpah pada Sang Hyang Syiwa dan berjanji pada mendiang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum bahwa semua gadis di Pondok Tamanbidadari itu aku angkat sebagai adik-adiku. Tidak mungkin kakak kawin dengan adik, bukan? Aku adalah Raja Kerajaan Nusakambangan. Semua raja Penguasa pulau mengambil permaisuri dari tanah daratan. Karena itu calon permaisuriku harus dari tanah Jawa. Mendiang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum, seperti sudah aku ceriterakan kepada kalian semua, adalah putri Adipati Kalipucang. Adinda Puletembini, apa sumbang saranmu?”

Patih Puletembini melirik Sekarmenur yang duduk di sampingnya sambil mencolek pinggang Sekarmenur, lalu berkata, ”Adinda Sekarmenur mungkin bisa memberikan saran, Kanda Yang Mulia Raja.”

“Hem, Sekarmenur. Kamu kasihan apa tidak pada Rajamu? Tiap malam kedinginan selalu, terbayang-bayang dan ingat pada Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum. Coba, apa saranmu?” tanya Sang Raja sambil berpaling memandang Sekarmenur.(Bersambung)