Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 10 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (12)





Angin malam bertiup lembut meyebarkan udara dingin yang merambat dalam sepi. Bulan sabit tanggal tujuh bulan Palguna tahun Saka, tampak sebentar, tapi kemudian menghilang berlindung di balik awan tipis. Kamandaka melangkah masuk gerbang Dalem Kadipaten Pasirluhur dengan mudah. Dia mengelabui prajurit yang bergerombol di gardu pintu gerbang Dalem Kadipaten dengan menyamar mirip prajurit jaga malam, sehingga lolos dari penjagaan. Yang membedakan dengan prajurit jaga malam hanyalah pada pinggang Kamandaka terselip senjata pusaka Kujang Kancana Shakti. 

 Untunglah Kamandaka kemarin sudah menginjakkan kakinya di halaman pendapa saat acara santap siang, sehingga dia tidak terlalu asing dengan sejumlah bangunan yang ada. Karena itu, tanpa banyak kesulitan Kamandaka sudah tiba di taman bangsal Pancaniti. Sebuah pohon jambu cukup besar dengan daunnya yang rimbun tumbuh di sana. Di bawahnya cukup gelap, sangat nyaman untuk berlindung. Di situlah Kamandaka bersembunyi, sambil menunggu kedatangan Sang Dewi. 

 Melaui sebuah lorong, dari taman bangsal Pancaniti, orang dengan mudah akan sampai di halaman Taman Kaputren. Taman Kaputren yang luas itu hanya ditinggali oleh Sang Dewi. Kamar-kamar lain kosong, setelah ditinggalkan oleh kakak-kakaknya yang telah menikah dan ikut suaminya masing-masing. Kamar Sang Dewi berada di ujung paling barat. Tidak jauh dari kamar Sang Dewi berderet kamar para emban wanita, di antaranya kamar Khandegwilis. Prajurit jaga malam jarang yang melakukan ronda keliling dengan mengunjungi Taman Kaputren. Rata-rata mereka beranggapan Taman Kaputren pastilah aman, karena yang tinggal hanyalah putri bungsu Sang Adipati seorang diri. Lagi pula tidak jauh dari kamar Sang Dewi tinggal para pembantu wanita dan para emban, termasuk emban pengasuh Sang Dewi. 

Dua orang prajurit jaga malam sempat melewati jalan yang membelah taman bangsal Pancaniti. Kamandaka yang berdiri dalam kegelapan di bawah pohon jambu itu segera menyiagakan dirinya. Dari bawah pohon jambu Kamandaka melihat dengan jelas kedua prajurit itu membawa tombak. Tapi tampaknya mereka berjalan hanya sekedarnya saja. Yah, sekedar memenuhi kewajibannya. Mereka tak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Dengan cara meronda seperti itu, sebenarnya dengan mudah mereka dapat dilumpuhkan. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa tidak jauh dari mereka dalam kegelapan di bawah pohon jambu, ada orang luar yang berhasil menyusup masuk Dalem Kadipaten. Kalau saja Kamandaka mau, dengan mudah Kamandaka bisa melumpuhkan sejumlah prajurit jaga itu. Bisa jadi dengan sekali loncatan harimau dari bawah kegelapan pohon jambu, kedua prajurit jaga yang sedang ronda itu terkapar di atas tanah. Mereka berdua berjalan sambil membawa tombak, tapi jalannya seperti orang yang sedang mengantuk.

“Sayang sekali Kadipaten yang makmur dan kaya ini sepertinya lalai dalam membangun disiplin, keuletan, dan keterampilan prajurit-prajuritnya. Prajurit yang ada tampaknya kurang terlatih dengan baik.” Kamandaka merenung sendiri dalam gelapnya malam di taman bangsal Pancaniti. Padahal kalau saja Ki Patih Reksanata menugasi dirinya, Kamandaka sanggup melatih mereka, para prajurit Kadipaten Pasirluhur agar menjadi prajurit yang kuat, tangguh dan disiplin seperti prajurit Keraton Pajajaran.

Dalam pikiran Kamandaka berkecamuk banyak hal, ketika dia tiba-tiba saja merenungkan masa depan Kadipaten Pasirluhur. Adipati Kandhadaha punya dua puluh lima putri. Dari ke dua puluh lima putri Sang Adipati itu, kelak hanyalah suami Dyah Ayu Ciptarasa yang paling mempunya peluang menggantikan Sang Adipati. Sebab Kanjeng Adipati telah menetapkan Kanjeng Ayu Adipati, Ibunda Dyah Ayu Ciptarasa sebagai istri utama, maka putra maupun putri yang dilahirkannya, berhak mewarisi jabatan adipati Kadipaten Pasirluhur. Kebetulan Kanjeng Adipati tidak dikaruniai seorang putra.

Wajarlah bila banyak adipati yang mencoba melamar Sang Dewi, demikian Kamandaka menyimpulkan dalam benaknya. Sebab mereka sebenarnya sambil menyelam, tapi juga minum air. Mereka akan dapat istri cantik jelita, sekaligus berhak mewarisi tahta. Dengan hanya mempersunting Sang Dewi, kelak bila saatnya tiba, dia dengan mudah akan menyatukan dua kadipaten di bawah satu kendali. Cepat atau lambat Kadipaten Pasirluhur pasti akan lenyap, karena pasti akan disatukan dengan wilayah kadipaten dari adipati yang berhasil mempersunting Sang Dewi. Peluang Kadipaten Pasirluhur tercabik-cabik kelak juga besar sekali. Terutama bila Sang Dewi meninggalkan Kadipaten Pasirluhur karena diboyong oleh suaminya. Jika Sang Dewi ikut suaminya, pastilah para adipati menantu Kanjeng Adipati Kandhadaha itu, sepeninggal mertuanya akan bertikai memperebutkan wilayah Kadipaten Pasirluhur. Kadipaten atau kerajaan manapun yang tidak memiliki putra mahkota, selalu terancam dicabik-cabik dan terancam diperebutkan oleh ahli warisnya yang merasa sama-sama punya hak.

“Hem…, Diam-diam sebenarnya Kadipaten Pasirluhur ini sedang berada di ambang perpecahan. Bahkan Kanjeng Adipati Kandhadaha tidak menyadari bahaya yang mengancam sepeninggalnya kelak. Bisa jadi soal pewarisan tahta kadipaten itulah yang menjadi pemikiran Sang Dewi, sehingga dia sengaja menunda-nunda perkawinannya, sampai dia mendapatkan seorang calon suami yang pas. Rupanya memang cerdas juga Sang Dewi ini. Dia hendak menyelamatkan masa depan Kadipaten Pasirluhur. Ya, tapi itu kan kepentingan dia. Kepentinganku hanyalah mempersunting seorang istri yang wajahnya mirip wajah ibuku. Kepentinganku bukan soal pewarisan tahta Kadipaten Pasirluhur. Bukankah Kerajaan Pajajaran, jauh lebih besar dari Kadipaten Pasirluhur?”

“Andai kata Dewa merestuiku, dan kelak aku berhasil  mempersunting Sang Dewi, pastilah dia lebih suka memilih menjadi Permaisuri Kerajaan Pajajaran daripada hanya menjadi istri seorang Adipati Kadipaten Pasirluhur.” Demikian benak Kamandaka terus berandai-andai, sehingga tidak terasa sudah cukup lama dia berdiri dalam dinginnya malam yang semakin menggigit. Sang Dewi yang ditunggu-tunggu belum muncul juga.
“Lupakah dia?” pikir Kamandaka sambil menatap langit malam yang semakin banyak ditaburi bintang-bintang musim kemarau. Bintang Juhrah sudah muncul menyusul bintang Syamsu, suatu pertanda seperempat malam sudah dilewati.

Tiba-tiba di dalam kesunyian malam Raden Kamanda mendengar langkah orang berjalan di dalam lorong, kemudian muncul sosok seorang wanita yang sudah dikenal Kamandaka, Khandegwilis. Dia melangkah di atas lantai teras bangsal Pancaniti mendekati pohon jambu yang ada di pinggir halaman. Karena di bawah pohon jambu sangat gelap, Khandegwilis tak berhasil melihat sosok yang dicarinya. Tetapi dia tidak kurang akal, dipanggilnya nama seseorang yang ia duga ada di situ.

“Raden? Hamba Khandegwilis mendapat perintah menjemput Raden. Raden di mana?” panggilnya dengan suara setengah berbisik, takut ada orang lain yang mendengar.

“Biyung Emban, ini aku,” terdengar suara dari kegelapan di bawah pohon jambu.

“Eh, Raden. Mari ikuti hamba. Ndara Putri sudah menunggu dari tadi,“ kata Khandegwilis masih dengan suara berbisik, tapi jelas terdengar.

Khandegwilis berjalan agak cepat kembali memasuki lorong gelap diikuti Kamandaka. Setelah melewati taman yang banyak ditumbuhi aneka macam bunga, mereka tiba di teras bangunan Taman Kaputren. Beberapa langkah lagi mereka sudah berada di depan kamar Sang Dewi. Emban Khandegwilis mengetuk pintu pelan-pelan sambil berbisik. “Ndara Putri, ini Raden Kamandaka.”

“Ajak masuk, Biyung Emban,” terdengar suara lembut dari dalam kamar.

Khandegwilis mengajak Kamandaka masuk ke dalam kamar Sang Dewi. Kamandaka pun melangkah masuk. Itulah pertama kali dalam hidupnya memasuki kamar seorang gadis bukan saudaranya, pada waktu malam pula. Dulu waktu di Keraton Pajajaran, Kamandaka beberapa kali masuk Taman Kaputren menemui adiknya, Ratna Pamekas. Tetapi itu pun dilakukan pada siang hari. Tidak pada malam hari. 

Sang Dewi berdiri menyambut tamunya dengan seulas senyum tersungging di bibir manisnya. Sang Dewi tampak anggun dalam balutan baju dan kain sutra halus berwarna hitam mengkilat. Dadanya yang padat berisi dilindungi dengan kain sutra tipis berwarna hijau daun. Selendang sutra berwarna kuning melilit di lehernya, melindungi seuntai kalung emas berkilauan dalam cahaya temaram melingkari lehernya yang jenjang. Sejenak Kamandaka terpukau dibuatnya. Hem, bidadari dari kahyangan, idaman para ksatria, para adipati, dan para raja di jagat mana saja. Bahkan Dewa pun bisa dibuatnya mabuk kepayang.

“Hamba Kamandaka, meyampaikan salam dan sembah hamba untuk Sang Dewi,” ujar Kamandaka memberi hormat, membungkukkan sedikit badannya, dan mengangkat ke dua tangannya di depan dada.
Sang Dewi menyambutnya dengan mengulurkan tangan kanannya, dengan maksud mengajak Kamandaka bersalaman. Kamandaka cepat menyambut tangan Sang Dewi kemudian mencium punggung telapak tangannya. Alangkah lembut dan halusnya kulit kuning bercahaya bak warna pualam itu, pikir Kamandaka. Aroma harum wangi-wangian dari Sang Dewi menyebar memenuhi udara malam yang dingin di dalam kamar luas itu.

“Panggil saja aku Dewi atau apa sajalah, Raden. Raden toh sudah tahu namaku. Biyung Emban, buatkan minuman dan sajikan pula makanan,” perintah Sang Dewi kepada emban pengasuhnya, sambil mengajak Kamandaka duduk.

“Duh, Sang Dewi, hamba hanyalah anak angkat Ki Patih saja. Nama hamba Kamandaka. Hanya warga Dalem Kepatihan saja yang memberi tambahan nama Raden kepada hamba. Keahlian hamba memang menjala ikan dan menyelam untuk menangkap ikan. Pantaskah hamba memanggil Ndara Putri, Dewi?“

Sang Dewi tersenyum. Dia tahu, tamunya itu sedang menyembunyikan sesuatu tentang dirinya. “Sudahlah Raden, tidak usah berputar-putar. Aku suka kepada seorang pria yang jujur. Bukankah aku sudah mengirimkan salam persahabatan kepada Raden lewat Biyung Emban? Dasar sebuah persahabatan sejati, Raden, adalah kejujujuran. Jika Raden tidak mau jujur kepadaku dan menyembunyikan sesuatu kepadaku lebih baik persahabatan ini kita akhiri sampai di sini saja. Raden boleh meninggalkan kamar ini. Sebab jika Raden tidak mau jujur kepadaku, Raden memang tidak layak menjadi sahabat sejati. Sebenarnya Raden ini ksatria dari mana? Hanya seorang ksatria berilmu tinggi yang memiliki keberanian masuk tanpa diketahui oleh penjaga, bukan?  Silahkan jawab dengan jujur, Raden.”

Kamandaka kini benar-benar terpojok. Dia sungguh tidak mengira akan mendapat pertanyaan yang sangat sulit. Haruskah dia membuka identitas dirinya? Hem, Eyang  Wiku Ajar Wirangrong, maafkanlah hamba, jika hamba harus mengakhiri penyamaran hamba kepada Dinda Dewi. Dia sepenuhnya benar, Eyang Wiku. Hamba tidak mungkin berbohong kepadanya. Bukankah dia itu calon istri hamba, jika Dewa menghendaki?
“Duh, Dinda Dewi, maafkanlah aku,” kata Kamandaka setelah diam beberapa saat. “Namaku sebenarnya adalah Banyakcatra. Aku adalah putra sulung Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Keraton Pajajaran. Adikku tiga orang, Banyakngampar, Banyakbelabur, dan Ratna Pamekas, Si Bungsu.” 

Kemudian Kamandaka menjelaskan kisah pengembaraannya dari awal sampai akhir, dan juga tujuan dari penyamarannya, tidak ada satu pun yang terlewat. “Dinda Dewi, aku sudah memenuhi permintaan Dinda Dewi. Tidak ada lagi yang aku sembunyikan, Dinda Dewi.”

Betapa terkejutnya Sang Dewi ketika mendengar pengakuan Kamandaka. Tentu saja dia merasa gembira, karena dugaannya tidak keliru. Ternyata memang Kamandaka bukan orang kebanyakan, sebagaimana anggapan sebagian besar orang-orang di Kadipaten Pasirluhur. Wajah Sang Dewi semakin bercahaya dan matanya yang bundar semakin berbinar-binar bak bintang malam.

“Terima kasih, Kanda Kamandaka telah jujur kepadaku. Jika Dewa mentakdirkan, niscaya Kanda Kamandaka adalah pria calon suami yang selama ini aku cari. Tetapi aku telah berjanji pada diriku sendiri, aku hanya akan mengabdi dan setia kepada seorang pria, hanya jika pria itu juga setia kepadaku. Adakah pria itu Kanda Kamandaka?”

“Hem…, Dinda Dewi, aku sudah menilai, Dinda Dewi adalah gadis cerdas siswa-siswi Sang Hyang Syiwa, Dewa pemilik sejuta kebijakan dan kecerdasan. Dinda Dewi sangat pantas mendampingi aku, menjadi satu-satunya Permasuri Kerajaan Pajajaran kelak di kemudian hari. Dinda Dewi, aku Banyakcatra putra Prabu Siliwangi, berjanji akan setia kepada Dinda Dewi sampai akhir hayatku.”

“Terima kasih, Kanda Kamandaka. Aku dan Kanda telah sama-sama setia. Aku sangat bergembira. Tetapi janjiku tadi, baru sebatas kesetiaan aku kepada Kanda, sebagai sahabat sejati, sebagai saudara sejati, ibaratnya barulah sebatas hubungan kesetiaan antara kakak dan adik saja. Sedangkan tujuan Kanda menghendaki hubungan aku dan Kanda, tidak sebatas hanya hubungan adik dan kakak. Tetapi hubungan yang lebih jauh lagi yakni sebagai sepasang suami-istri. Betul Kanda?”

“Betul sekali, Dinda Dewi. Aku melamar Dinda Dewi malam ini, disaksikan bintang-bintang di langit. Aku ingin Dinda Dewi menjadi istri pendampingku sampai akhir hidupku. Terimalah lamaranku, Dinda Dewi.” 

“Terima kasih, Kanda Kamandaka. Aku telah berjanji, jangankan hanya menerima lamaran seorang pria seperti Kanda. Aku bahkan bersedia menyerahkan seluruh jiwa dan raga  kepada Kanda malam ini juga, hanya jika Kanda bisa menjelaskan satu masalah yang penting. Jika Kanda tidak mampu menjelaskan dengan memuaskan, aku tidak mungkin menerima lamaran Kanda dan tidak mungkin persahabatan kita meningkat ke arah hubungan sebagai sepasang suami-istri. Siapkah Kanda dengan pertanyaan aku?”

Kamandaka tersenyum. Dugaannya benar adanya. Gadis pujaan hatinya yang wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan ibunya itu mempunyai agenda tersembunyi yang hanya dapat diketahui oleh para ksatria yang cerdas, yakni ksatria yang memiliki kebijakan dan kebajikan seorang brahmana. Apalagi kalau bukan kepentingan masa depan Kadipaten Pasirluhur?

“Dinda Dewi, sebenarnya aku lebih suka melaksanakan darma seorang ksatria, yakni berlaga di medan peperangan karena hendak menegakkan kebenaran, daripada menebak soal-soal yang merupakan darma para wiku, pendeta, dan brahmana. Tetapi, karena Dinda Dewi memintanya, silahkan ajukan pertanyaaan itu. Aku akan mencoba menjawabnya.”

“Baiklah, Kanda Kamandaka.”

Khandegwilis mendekat dengan membawa baki berisi dua cangkir minuman air nira dari buah aren yang masih hangat dan potongan pisang rebus. Diletakkanya apa yang dibawanya itu di atas meja, lalu cepat-cepat menjauh. Di luar, suara burung bence dari pinggir Tamansari terbang melintas  beberapa kali. 

“Kanda Kamandaka, itu suara burung bence. Dia tahu ada ksatria masuk kamar seorang gadis,” ujar Sang Dewi menggoda. 

“Biar saja, ksatria itu bukanlah seorang pencuri yang akan merusak pagar ayu. Dia masuk kamar gadis pujaannya, karena ada yang mengundang,” jawab Kamandaka sambil tersenyum. Tetapi secara naluri, diam-diam dia meraba pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggangnya.

“Baiklah, Kanda Kamandaka. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan tiga tiang utama pendukung pemerintahan kerajaan atau kadipaten manapun, yang akan menyebabkan suatu pemerintahan bisa lestari, berwibawa, dan berkelimpahan? Tolong Kanda jelaskan!” kata  Sang Dewi minta penjelasan.

“Hem…, Dinda Dewi, dengan pertanyaan itu, aku tidak akan bosan-bosannya mengatakan kembali bahwa Dinda Dewi benar-benar sangat pantas menjadi pendampingku kelak jika aku diijinkan para Dewa, menggantikan Ayahanda Prabu Sliwangi. Dinda Dewi, tiga pilar utama suatu pemerintahan manapun di jagat ini adalah harta, tahta, dan wanita.” 

Dengan sabar Kamandaka menjelaskan ilmu mengendalikan sebuah pemerintahan yang banyak diajarkan oleh para brahmana kepada para ksatria putra mahkota calon pengganti raja. Dengan tekun Sang Dewi menyimak kata demi kata yang meluncur dengan lancar dari Kamandaka.

“Pertama adalah pilar harta,” kata Kamandaka mulai memberikan penjelasan. “Tanpa harta atau kekayaan, suatu kadipaten manapun tidak akan mampu mempertahankan keberadaan dan kelestariannya. Kadipaten Pasirluhur, memiliki wilayah yang luas, tanahnya subur, gemah ripah loh jinawi, yang artinya adalah subur makmur berkelimpahan. Banyak sungai yang mengalir mengisi lembah-lembahnya yang hijau. Air sungainya tak pernah kering di musim kemarau dan tak pernah meluap menjadi banjir di musim hujan. Itulah harta yang dimiliki Kadipaten Pasirluhur, yang berupa sumber daya alam yang melimpah ruah. Termasuk potensi harta juga, yaitu potensi penduduknya. Kadipaten Pasirluhur harus mampu mendidik penduduknya agar menjadi orang-orang yang rajin, ulet, tidak malas, dan mau terus belajar menambah ilmu. Penduduk yang berkualitas dipadukan dengan alam yang subur dan kaya, merupakan salah satu pilar yang akan membawa kejayaan dan kemakmuran kadipaten manapun juga, tak terkecuali Kadipaten Pasirluhur.”

“Pilar yang kedua adalah tahta. Tahta disini bermakna kekuasaan. Kadipaten Pasirluhur harus mampu membangun kekuasaan yang berwibawa, agar dapat mewujudkan tertib damainya kehidupan masyarakat, serta melindungi kepentingan masyarakat dari bermacam-macam ancaman. Baik ancaman dari dalam yang berupa gangguan keamanan, seperti perampokan, pencurian, bahkan perjudian. Dengan memiliki kekuasaan yang berwibawa, Kadipaten Pasirluhur juga akan mampu mengatasi ancaman dari luar, yang bisa berupa usaha penaklukan dengan kekuatan senjata oleh kadipaten atau kerajaan lain.”

“Dinda Dewi? Tidak mengantuk, bukan?”

“Teruslah, Kanda. Sungguh menarik uraian Kanda. Satu pilar lagi yang ingin aku dengar dari Kanda,” berkata Sang Dewi yang semakin yakin, Kamandaka nyata-nyata seorang ksatria yang memiliki wawasan kebajikan dan kebijakan seorang brahmana, wiku, dan pendeta. Kamandaka pun melanjutkan uraiannya.

“Pilar ketiga, setelah harta dan tahta adalah pilar yang berupa wanita. Aku yakin, Dinda Dewi sangat paham soal wanita sebagai pilar masyarakat maupun negara. Wanita bukanlah budak nafsu pemuas syahwat para ksatria dan pria dari golongan mana saja. Peran wanita dalam masyarakat Kadipaten Pasirluhur ialah harus bisa menjalankan tugas alamiahnya sebagai seorang wanita sejati. Pernahkah Kanjeng Rama menjelaskan peran wanita sebagai salah satu tiang Kadipaten Pasirluhur?” tanya Kamandaka.

“Belum pernah, Kanda. Padahal Kanjeng Rama menyimpan sejumlah rontal di ruang kerjanya,” jawab Sang Dewi[Bersambung].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar