Angin malam bertiup
lembut meyebarkan udara dingin yang merambat dalam sepi. Bulan sabit tanggal
tujuh bulan Palguna tahun Saka, tampak sebentar, tapi kemudian menghilang
berlindung di balik awan tipis. Kamandaka melangkah masuk gerbang Dalem
Kadipaten Pasirluhur dengan mudah. Dia mengelabui prajurit yang bergerombol di
gardu pintu gerbang Dalem Kadipaten dengan menyamar mirip prajurit jaga malam,
sehingga lolos dari penjagaan. Yang membedakan dengan prajurit jaga malam
hanyalah pada pinggang Kamandaka terselip senjata pusaka Kujang Kancana Shakti.
Untunglah Kamandaka
kemarin sudah menginjakkan kakinya di halaman pendapa saat acara santap siang,
sehingga dia tidak terlalu asing dengan sejumlah bangunan yang ada. Karena itu,
tanpa banyak kesulitan Kamandaka sudah tiba di taman bangsal Pancaniti. Sebuah
pohon jambu cukup besar dengan daunnya yang rimbun tumbuh di sana. Di bawahnya
cukup gelap, sangat nyaman untuk berlindung. Di situlah Kamandaka bersembunyi,
sambil menunggu kedatangan Sang Dewi.
Melaui sebuah lorong,
dari taman bangsal Pancaniti, orang dengan mudah akan sampai di halaman Taman Kaputren. Taman Kaputren yang luas itu hanya ditinggali
oleh Sang Dewi. Kamar-kamar lain kosong, setelah ditinggalkan oleh
kakak-kakaknya yang telah menikah dan ikut suaminya masing-masing. Kamar Sang
Dewi berada di ujung paling barat.
Tidak
jauh dari kamar Sang Dewi berderet kamar para emban wanita, di antaranya kamar Khandegwilis.
Prajurit jaga malam jarang yang melakukan ronda keliling dengan mengunjungi
Taman Kaputren.
Rata-rata mereka beranggapan Taman Kaputren
pastilah aman, karena yang tinggal hanyalah putri bungsu Sang Adipati seorang
diri. Lagi pula tidak jauh dari kamar Sang Dewi tinggal para pembantu wanita
dan para emban, termasuk emban pengasuh Sang Dewi.
Dua orang prajurit jaga
malam sempat melewati jalan yang membelah taman bangsal Pancaniti. Kamandaka yang
berdiri dalam kegelapan di bawah pohon jambu itu segera menyiagakan dirinya.
Dari bawah pohon jambu Kamandaka melihat dengan jelas kedua prajurit itu
membawa tombak. Tapi tampaknya mereka berjalan hanya sekedarnya saja. Yah,
sekedar memenuhi kewajibannya. Mereka tak menyadari bahaya yang mengancam
dirinya. Dengan cara meronda seperti itu, sebenarnya dengan mudah mereka dapat
dilumpuhkan. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa tidak jauh dari mereka
dalam kegelapan di bawah pohon jambu, ada orang luar yang berhasil menyusup
masuk Dalem Kadipaten. Kalau saja Kamandaka mau, dengan mudah Kamandaka bisa
melumpuhkan sejumlah prajurit jaga itu. Bisa jadi dengan sekali loncatan
harimau dari bawah kegelapan pohon jambu, kedua prajurit jaga yang sedang ronda
itu terkapar di atas tanah. Mereka berdua berjalan sambil membawa tombak, tapi
jalannya seperti orang yang sedang mengantuk.
“Sayang sekali
Kadipaten yang makmur dan kaya ini sepertinya lalai dalam membangun disiplin,
keuletan, dan keterampilan prajurit-prajuritnya. Prajurit yang ada tampaknya
kurang terlatih dengan baik.” Kamandaka merenung sendiri dalam gelapnya malam
di taman bangsal Pancaniti. Padahal kalau saja Ki Patih Reksanata menugasi
dirinya, Kamandaka sanggup melatih mereka, para prajurit Kadipaten Pasirluhur
agar menjadi prajurit yang kuat, tangguh dan disiplin seperti prajurit Keraton
Pajajaran.
Dalam pikiran Kamandaka
berkecamuk banyak hal, ketika dia tiba-tiba saja merenungkan masa depan
Kadipaten Pasirluhur. Adipati Kandhadaha punya dua puluh lima putri. Dari ke
dua puluh lima putri Sang Adipati itu, kelak hanyalah suami Dyah Ayu Ciptarasa
yang paling mempunya peluang menggantikan Sang Adipati. Sebab Kanjeng Adipati
telah menetapkan Kanjeng Ayu Adipati, Ibunda Dyah Ayu Ciptarasa sebagai istri
utama, maka putra maupun putri yang dilahirkannya, berhak mewarisi jabatan
adipati Kadipaten Pasirluhur. Kebetulan Kanjeng Adipati tidak dikaruniai
seorang putra.
Wajarlah bila banyak adipati
yang mencoba melamar Sang Dewi, demikian Kamandaka menyimpulkan dalam benaknya.
Sebab mereka sebenarnya sambil menyelam, tapi juga minum air. Mereka akan dapat
istri cantik jelita, sekaligus berhak mewarisi tahta. Dengan hanya mempersunting
Sang Dewi, kelak bila saatnya tiba, dia dengan mudah akan menyatukan dua
kadipaten di bawah satu kendali. Cepat atau lambat Kadipaten Pasirluhur pasti
akan lenyap, karena pasti akan disatukan dengan wilayah kadipaten dari adipati
yang berhasil mempersunting Sang Dewi. Peluang Kadipaten Pasirluhur
tercabik-cabik kelak juga besar sekali. Terutama bila Sang Dewi meninggalkan
Kadipaten Pasirluhur karena diboyong oleh suaminya. Jika Sang Dewi ikut
suaminya, pastilah para adipati menantu Kanjeng Adipati Kandhadaha itu,
sepeninggal mertuanya akan bertikai memperebutkan wilayah Kadipaten Pasirluhur.
Kadipaten atau kerajaan manapun yang tidak memiliki putra mahkota, selalu
terancam dicabik-cabik dan terancam diperebutkan oleh ahli warisnya yang merasa
sama-sama punya hak.
“Hem…,
Diam-diam sebenarnya Kadipaten Pasirluhur ini sedang berada di ambang
perpecahan. Bahkan Kanjeng Adipati Kandhadaha tidak menyadari bahaya yang
mengancam sepeninggalnya kelak. Bisa jadi soal pewarisan tahta kadipaten itulah
yang menjadi pemikiran Sang Dewi, sehingga dia sengaja menunda-nunda
perkawinannya, sampai dia mendapatkan seorang calon suami yang pas. Rupanya
memang cerdas juga Sang Dewi ini. Dia hendak menyelamatkan masa depan Kadipaten
Pasirluhur. Ya, tapi itu kan kepentingan dia. Kepentinganku hanyalah
mempersunting seorang istri yang wajahnya mirip wajah ibuku. Kepentinganku
bukan soal pewarisan tahta Kadipaten Pasirluhur. Bukankah Kerajaan Pajajaran,
jauh lebih besar dari Kadipaten Pasirluhur?”
“Andai
kata Dewa merestuiku, dan kelak aku berhasil
mempersunting Sang Dewi, pastilah dia lebih suka memilih menjadi Permaisuri
Kerajaan Pajajaran daripada hanya menjadi istri seorang Adipati Kadipaten
Pasirluhur.” Demikian benak Kamandaka terus berandai-andai, sehingga tidak
terasa sudah cukup lama dia berdiri dalam dinginnya malam yang semakin
menggigit. Sang Dewi yang ditunggu-tunggu belum muncul juga.
“Lupakah
dia?” pikir Kamandaka sambil menatap langit malam yang semakin banyak ditaburi
bintang-bintang musim kemarau. Bintang Juhrah sudah muncul menyusul bintang
Syamsu, suatu pertanda seperempat malam sudah dilewati.
Tiba-tiba
di dalam kesunyian malam Raden Kamanda mendengar langkah orang berjalan di
dalam lorong, kemudian muncul sosok seorang wanita yang sudah dikenal
Kamandaka, Khandegwilis. Dia melangkah di atas lantai teras bangsal Pancaniti
mendekati pohon jambu yang ada di pinggir halaman. Karena di bawah pohon jambu
sangat gelap, Khandegwilis tak berhasil melihat sosok yang dicarinya. Tetapi
dia tidak kurang akal, dipanggilnya nama seseorang yang ia duga ada di situ.
“Raden?
Hamba Khandegwilis mendapat perintah menjemput Raden. Raden di mana?”
panggilnya dengan suara setengah berbisik, takut ada orang lain yang mendengar.
“Biyung
Emban, ini aku,” terdengar suara dari kegelapan di bawah pohon jambu.
“Eh,
Raden. Mari ikuti hamba. Ndara Putri sudah menunggu dari tadi,“ kata Khandegwilis
masih dengan suara berbisik, tapi jelas terdengar.
Khandegwilis
berjalan agak cepat kembali memasuki lorong gelap diikuti Kamandaka. Setelah
melewati taman yang banyak ditumbuhi aneka macam bunga, mereka tiba di teras bangunan Taman Kaputren.
Beberapa langkah lagi mereka sudah berada di depan kamar Sang Dewi. Emban Khandegwilis
mengetuk pintu pelan-pelan sambil berbisik. “Ndara Putri, ini Raden Kamandaka.”
“Ajak
masuk, Biyung Emban,” terdengar suara lembut dari dalam kamar.
Khandegwilis
mengajak Kamandaka masuk ke dalam kamar Sang Dewi. Kamandaka pun melangkah
masuk. Itulah pertama kali dalam hidupnya memasuki kamar seorang gadis bukan
saudaranya, pada waktu malam pula. Dulu waktu di Keraton Pajajaran, Kamandaka
beberapa kali masuk Taman Kaputren menemui adiknya, Ratna Pamekas.
Tetapi itu pun dilakukan pada siang hari. Tidak pada malam hari.
Sang
Dewi berdiri menyambut tamunya dengan seulas senyum tersungging di bibir
manisnya. Sang Dewi tampak anggun dalam balutan baju dan kain sutra halus berwarna
hitam mengkilat. Dadanya yang padat berisi dilindungi dengan kain sutra tipis
berwarna hijau daun. Selendang sutra berwarna kuning melilit di lehernya, melindungi
seuntai kalung emas berkilauan dalam cahaya temaram melingkari lehernya yang
jenjang. Sejenak Kamandaka terpukau dibuatnya. Hem, bidadari dari kahyangan,
idaman para ksatria, para adipati, dan para raja di jagat mana saja. Bahkan
Dewa pun bisa dibuatnya mabuk kepayang.
“Hamba
Kamandaka, meyampaikan salam dan sembah hamba untuk Sang Dewi,” ujar Kamandaka
memberi hormat, membungkukkan sedikit badannya, dan mengangkat ke dua tangannya
di depan dada.
Sang
Dewi menyambutnya dengan mengulurkan tangan kanannya, dengan maksud mengajak
Kamandaka bersalaman. Kamandaka cepat menyambut tangan Sang Dewi kemudian
mencium punggung telapak tangannya. Alangkah lembut dan halusnya kulit kuning
bercahaya bak warna pualam itu, pikir Kamandaka. Aroma harum wangi-wangian dari
Sang Dewi menyebar memenuhi udara malam yang dingin di dalam kamar luas itu.
“Panggil
saja aku Dewi atau apa sajalah, Raden. Raden toh sudah tahu namaku. Biyung
Emban, buatkan minuman dan sajikan pula makanan,” perintah Sang Dewi kepada
emban pengasuhnya, sambil mengajak Kamandaka duduk.
“Duh,
Sang Dewi, hamba hanyalah anak angkat Ki Patih saja. Nama hamba Kamandaka.
Hanya warga Dalem Kepatihan saja yang memberi tambahan nama Raden kepada hamba.
Keahlian hamba memang menjala ikan dan menyelam untuk menangkap ikan. Pantaskah
hamba memanggil Ndara Putri, Dewi?“
Sang
Dewi tersenyum. Dia tahu, tamunya itu sedang menyembunyikan sesuatu tentang
dirinya. “Sudahlah Raden, tidak usah berputar-putar. Aku suka kepada seorang
pria yang jujur. Bukankah aku sudah mengirimkan salam persahabatan kepada Raden
lewat Biyung Emban? Dasar sebuah persahabatan sejati, Raden, adalah
kejujujuran. Jika Raden tidak mau jujur kepadaku dan menyembunyikan sesuatu
kepadaku lebih baik persahabatan ini kita akhiri sampai di sini saja. Raden
boleh meninggalkan kamar ini. Sebab jika Raden tidak mau jujur kepadaku, Raden
memang tidak layak menjadi sahabat sejati. Sebenarnya Raden ini ksatria dari
mana? Hanya seorang ksatria berilmu tinggi yang memiliki keberanian masuk tanpa
diketahui oleh penjaga, bukan? Silahkan
jawab dengan jujur, Raden.”
Kamandaka
kini benar-benar terpojok. Dia sungguh tidak mengira akan mendapat pertanyaan
yang sangat sulit. Haruskah dia membuka identitas dirinya? Hem, Eyang Wiku Ajar Wirangrong, maafkanlah hamba, jika
hamba harus mengakhiri penyamaran hamba kepada Dinda Dewi. Dia sepenuhnya
benar, Eyang Wiku. Hamba tidak mungkin berbohong kepadanya. Bukankah dia itu
calon istri hamba, jika Dewa menghendaki?
“Duh,
Dinda Dewi, maafkanlah aku,” kata Kamandaka setelah diam beberapa saat. “Namaku
sebenarnya adalah Banyakcatra. Aku adalah putra sulung Sri Baginda Prabu
Siliwangi dari Keraton Pajajaran. Adikku tiga orang, Banyakngampar,
Banyakbelabur, dan Ratna Pamekas, Si Bungsu.”
Kemudian
Kamandaka menjelaskan kisah pengembaraannya dari awal sampai akhir, dan juga
tujuan dari penyamarannya, tidak ada satu pun yang terlewat. “Dinda Dewi, aku
sudah memenuhi permintaan Dinda Dewi. Tidak ada lagi yang aku sembunyikan,
Dinda Dewi.”
Betapa
terkejutnya Sang Dewi ketika mendengar pengakuan Kamandaka. Tentu saja dia
merasa gembira, karena dugaannya tidak keliru. Ternyata memang Kamandaka bukan
orang kebanyakan, sebagaimana anggapan sebagian besar orang-orang di Kadipaten
Pasirluhur. Wajah Sang Dewi semakin bercahaya dan matanya yang bundar semakin
berbinar-binar bak bintang malam.
“Terima
kasih, Kanda Kamandaka telah jujur kepadaku. Jika Dewa mentakdirkan, niscaya
Kanda Kamandaka adalah pria calon suami yang selama ini aku cari. Tetapi aku
telah berjanji pada diriku sendiri, aku hanya akan mengabdi dan setia kepada
seorang pria, hanya jika pria itu juga setia kepadaku. Adakah pria itu Kanda
Kamandaka?”
“Hem…,
Dinda Dewi, aku sudah menilai, Dinda Dewi adalah gadis cerdas siswa-siswi Sang
Hyang Syiwa, Dewa pemilik sejuta kebijakan dan kecerdasan. Dinda Dewi sangat
pantas mendampingi aku, menjadi satu-satunya Permasuri Kerajaan Pajajaran kelak
di kemudian hari. Dinda Dewi, aku
Banyakcatra putra Prabu Siliwangi, berjanji akan setia kepada Dinda Dewi sampai
akhir hayatku.”
“Terima kasih, Kanda
Kamandaka. Aku dan Kanda telah sama-sama setia. Aku sangat bergembira. Tetapi
janjiku tadi, baru sebatas kesetiaan aku kepada Kanda, sebagai sahabat sejati,
sebagai saudara sejati, ibaratnya barulah sebatas hubungan kesetiaan antara
kakak dan adik saja. Sedangkan tujuan Kanda menghendaki hubungan aku dan Kanda,
tidak sebatas hanya hubungan adik dan kakak. Tetapi hubungan yang lebih jauh
lagi yakni sebagai sepasang suami-istri. Betul Kanda?”
“Betul sekali, Dinda Dewi.
Aku melamar Dinda Dewi malam ini, disaksikan bintang-bintang di langit. Aku
ingin Dinda Dewi menjadi istri pendampingku sampai akhir hidupku. Terimalah
lamaranku, Dinda Dewi.”
“Terima kasih, Kanda
Kamandaka. Aku telah berjanji, jangankan hanya menerima lamaran seorang pria
seperti Kanda. Aku bahkan bersedia menyerahkan seluruh jiwa dan raga kepada Kanda malam ini juga, hanya jika Kanda
bisa menjelaskan satu masalah yang penting. Jika Kanda tidak mampu menjelaskan
dengan memuaskan, aku tidak mungkin menerima lamaran Kanda dan tidak mungkin
persahabatan kita meningkat ke arah hubungan sebagai sepasang suami-istri.
Siapkah Kanda dengan pertanyaan aku?”
Kamandaka tersenyum.
Dugaannya benar adanya. Gadis pujaan hatinya yang wajahnya bagaikan pinang
dibelah dua dengan ibunya itu mempunyai agenda tersembunyi yang hanya dapat
diketahui oleh para ksatria yang cerdas, yakni ksatria yang memiliki kebijakan
dan kebajikan seorang brahmana. Apalagi kalau bukan kepentingan masa depan
Kadipaten Pasirluhur?
“Dinda Dewi, sebenarnya
aku lebih suka melaksanakan darma seorang ksatria, yakni berlaga di medan
peperangan karena hendak menegakkan kebenaran, daripada menebak soal-soal yang
merupakan darma para wiku, pendeta, dan brahmana. Tetapi, karena Dinda Dewi
memintanya, silahkan ajukan pertanyaaan itu. Aku akan mencoba menjawabnya.”
“Baiklah, Kanda
Kamandaka.”
Khandegwilis mendekat
dengan membawa baki berisi dua cangkir minuman air nira dari buah aren yang masih
hangat dan potongan pisang rebus. Diletakkanya apa yang dibawanya itu di atas
meja, lalu cepat-cepat menjauh. Di luar, suara burung bence dari pinggir Tamansari
terbang melintas beberapa kali.
“Kanda Kamandaka, itu
suara burung bence. Dia tahu ada ksatria masuk kamar seorang gadis,” ujar Sang Dewi
menggoda.
“Biar saja, ksatria itu
bukanlah seorang pencuri yang akan merusak pagar ayu. Dia masuk kamar gadis pujaannya,
karena ada yang mengundang,” jawab Kamandaka sambil tersenyum. Tetapi secara
naluri, diam-diam dia meraba pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di
pinggangnya.
“Baiklah, Kanda
Kamandaka. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan tiga tiang utama pendukung
pemerintahan kerajaan atau kadipaten manapun, yang akan menyebabkan suatu
pemerintahan bisa lestari, berwibawa, dan berkelimpahan? Tolong Kanda jelaskan!”
kata Sang Dewi minta penjelasan.
“Hem…, Dinda Dewi,
dengan pertanyaan itu, aku tidak akan bosan-bosannya mengatakan kembali bahwa Dinda
Dewi benar-benar sangat pantas menjadi pendampingku kelak jika aku diijinkan
para Dewa, menggantikan Ayahanda Prabu Sliwangi. Dinda Dewi, tiga pilar utama
suatu pemerintahan manapun di jagat ini adalah harta, tahta, dan wanita.”
Dengan sabar Kamandaka
menjelaskan ilmu mengendalikan sebuah pemerintahan yang banyak diajarkan oleh
para brahmana kepada para ksatria putra mahkota calon pengganti raja. Dengan
tekun Sang Dewi menyimak kata demi kata yang meluncur dengan lancar dari
Kamandaka.
“Pertama adalah pilar
harta,” kata Kamandaka mulai memberikan penjelasan. “Tanpa harta atau kekayaan,
suatu kadipaten manapun tidak akan mampu mempertahankan keberadaan dan
kelestariannya. Kadipaten Pasirluhur, memiliki wilayah yang luas, tanahnya
subur, gemah ripah loh jinawi, yang
artinya adalah subur makmur
berkelimpahan. Banyak sungai yang
mengalir mengisi lembah-lembahnya yang hijau. Air sungainya tak pernah kering
di musim kemarau dan tak pernah meluap menjadi banjir di musim hujan. Itulah harta yang dimiliki
Kadipaten Pasirluhur, yang berupa sumber daya alam yang melimpah ruah. Termasuk
potensi harta juga, yaitu potensi penduduknya. Kadipaten Pasirluhur harus mampu
mendidik penduduknya agar menjadi orang-orang yang rajin, ulet, tidak malas, dan
mau terus belajar menambah ilmu. Penduduk yang berkualitas dipadukan dengan
alam yang subur dan kaya, merupakan salah satu pilar yang akan membawa kejayaan
dan kemakmuran kadipaten manapun juga, tak terkecuali Kadipaten Pasirluhur.”
“Pilar yang kedua
adalah tahta. Tahta disini bermakna kekuasaan. Kadipaten Pasirluhur harus mampu
membangun kekuasaan yang berwibawa, agar dapat mewujudkan tertib damainya
kehidupan masyarakat, serta melindungi kepentingan masyarakat dari
bermacam-macam ancaman. Baik ancaman dari dalam yang berupa gangguan keamanan,
seperti perampokan, pencurian, bahkan perjudian. Dengan memiliki kekuasaan yang
berwibawa, Kadipaten Pasirluhur juga akan mampu mengatasi ancaman dari luar,
yang bisa berupa usaha penaklukan dengan kekuatan senjata oleh kadipaten atau
kerajaan lain.”
“Dinda Dewi? Tidak mengantuk,
bukan?”
“Teruslah, Kanda.
Sungguh menarik uraian Kanda. Satu pilar lagi yang ingin aku dengar dari Kanda,”
berkata Sang Dewi yang semakin yakin, Kamandaka nyata-nyata seorang ksatria
yang memiliki wawasan kebajikan dan kebijakan seorang brahmana, wiku, dan
pendeta. Kamandaka pun melanjutkan uraiannya.
“Pilar ketiga, setelah
harta dan tahta adalah pilar yang berupa wanita. Aku yakin, Dinda Dewi sangat paham
soal wanita sebagai pilar masyarakat maupun negara. Wanita bukanlah budak nafsu
pemuas syahwat para ksatria dan pria dari golongan mana saja. Peran wanita
dalam masyarakat Kadipaten Pasirluhur ialah harus bisa menjalankan tugas alamiahnya
sebagai seorang wanita sejati. Pernahkah Kanjeng Rama menjelaskan peran wanita
sebagai salah satu tiang Kadipaten Pasirluhur?” tanya Kamandaka.
“Belum pernah, Kanda. Padahal
Kanjeng Rama menyimpan sejumlah rontal di ruang kerjanya,” jawab Sang Dewi[Bersambung].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar