“Anakmu Diajeng, bandel
dan keras kepala, tetapi sesungguhnya cerdas,” Kanjeng Adipati masih
melanjutkan perbincangan dengan istrinya Kanjeng Ayu Adipati. ”Pasti tiru
Ibunya,”
“Bukannya tiru Bapaknya?”
ujar Kanjeng Ayu Adipati menimpali. “Makanya jangan suka menyakiti wanita. Kini
anakmu membalas dengan menolak lamaran semua pria. Pastilah pria yang ditolak
lamarannya oleh anakmu itu sakit hatinya. Itu namanya hukum Karma Pala,” kata Kanjeng Ayu Adipati
melanjutkan.
”Hukum Karma? Aku tak
pernah menyakiti wanita. Makanya tak ada wanita yang pernah menolak lamaranku.
Bahkan bapakmu dulu pun menerima lamaranku.”
“Kalau begitu sana
tidur dengan bapakku,” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil bangkit dan
meninggalkan Kanjeng Adipati sendirian di meja makan.
Kanjeng Adipati sadar,
kesibukannya dalam urusan pekerjaan akhir-akhir ini menyebabkan dia jarang
tidur di kamar istri termudanya itu. Kanjeng Adipati Kandhadaha mempunyai tujuh
orang istri. Dari enam istrinya yang terdahulu masing-masing lahir empat putri.
Dengan demikian dari ke-enam istrinya Kanjeng Adipati mempunyai 24 putri. Dan semuanya
sudah bersuami. Sedang Kanjeng Ayu Adipati adalah istri termudanya. Dari Kanjeng
Ayu Adipati itulah lahir putri bungsunya Sang Dewi. Tentu saja Kanjeng Ayu
Adipati itulah istri yang paling disayanginya, karena dia bukan hanya cantik.
Tetapi juga masih muda.
Pelan-pelan Kanjeng
Adipati Kandhadaha bangkit dari tempat duduknya. Diseretnya trumpah menuju
kamar tidur Kanjeng Ayu Adipati. Dia tahu, istri mudanya itu tengah menunggunya
di sana. Waktu istirahat siang bagi Kanjeng Adipati Kandhadaha memang telah
tiba.
***
Sementara itu pada
malam harinya, di kamar Sang Dewi, Khandegwilis duduk di atas tilam di bawah
ranjang Ndara Putrinya. Ndara Putrinya tiduran di atas ranjang sambil memeluk
guling.
“Ayo Biyung Emban,
ceriterakan padaku kisah Gadis Kutaliman itu," Sang Dewi berkata dari atas tempat tidurnya.
“Baik, Ndara Putri.
Tapi janji jangan tidur, ya.“ Khandegwilis itu pun
mulai berceritera. “Dahulu, ada seorang ksatria dari Kediri yang melarikan diri
sebagai pengungsi ke arah barat, ketika Keraton Kediri jatuh akibat diserbu dan
diduduki musuh dari Singasari. Setelah berhari-hari melarikan diri, akhirnya
tibalah ksatria tadi di suatu desa di kaki Gunung Agung. Oleh penduduk setempat
ksatria tadi diangkat sebagai kepala desa. Karena kecakapannya didalam
membangun desanya, lama-lama desa itu berkembang menjadi sebuah kota kadipaten.
Penduduk pun mengangkat satria tadi sebagai Adipati. Sang Adipati ini mempunyai
kebiasaan yang unik. Dia berhasil mendapatkan seekor gajah. Kemanapun Sang
Adipati tadi pergi selalu naik gajah. Maka kota kadipaten tadi dikenal sebagai
Kota Gajah atau Kutaliman. Kadipaten Kutaliman bisa berkembang menjadi
kadipaten yang makmur, karena Sang Adipatinya pandai memimpin rakyatnya
membangun daerahnya. Sang Adipati tadi punya anak gadis yang cantik jelita. Tentu
saja banyak pemuda yang ingin melamarnya. Mereka berharap bisa menyunting gadis
ayu tersebut. Sekaligus juga berharap menjadi menantu Sang Adipati. Namun,
sayang sekali gadis ayu putri Sang Adipati tadi menolak semua lamaran para
pemuda. Kanjeng Adipati pun heran sekali. Kenapa anak gadisnya yang cantik itu
tidak mau menerima lamaran para pemuda? Tetapi akhirnya, Sang Adipati tahu.
Maka murkalah Sang Adipati. Diusirnya gadis ayu tadi keluar dari Kadipaten oleh
Sang Adipati Kutaliman.”
“Ndara Putri?“ Khandegwilis
menghentikan ceriteranya, mengira Ndara Putrinya tidur.
“Biyung Emban, kenapa
Sang Adipati mengusir putrinya? Ayo teruskan!“ terdengar suara Ndara Putrinya
dari atas ranjang.
“Baiklah, Biyung Emban
teruskan, Ndara Putri,” ujar Khandegwilis melanjutkan ceriteranya.
“Gadis Ayu Putri Sang
Adipati tadi, ternyata telah menjalin asmara dengan pembantu Sang Adipati yang
hanya bertugas sebagai perawat kuda milik Sang Adipati. Gadis Ayu Putri Sang
Adipati tadi telah jatuh cinta pada pembantunya. Tentu saja mereka berdua
diusir. Ya, memang seperti itulah kebanyakan nasib anak gadis yang melawan adat
dan tradisi, tidak patuh pada orang tuanya,” kata Khandegwilis sambil
sekali-kali melirik Ndara Putrinya, takut ditinggal tidur.
“Akhirnya mereka berdua
pergi ke arah utara Kutaliman, mendaki lereng bukit, dan masuk hutan, membuka
ladang dan membangun pondok di situ,” kata Khandegwilis.” Pada mulanya mereka
berdua hidup sengsara dan menderita, lebih-lebih setelah lahir putri mereka
yang juga cantik jelita. Padahal bayi perempuan yang cantik jelita itu hanyalah
anak dari seorang ayah yang hanya
seorang pembantu dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan yang tentu
saja bergelar raden. Sayang sekali Putri Sang Adipati tadi, setelah melahirkan
tidak lama kemudian meninggal. Terpaksalah Sang Pembantu tadi mengasuh dan
membesarkan anaknya itu, yang merupakan cucu dari Sang Raden, yakni Adipati
Kutaliman.”
“Agar dapat menghidupi,
membesarkan, dan mengasuh putrinya itu, Sang Pembantu tadi terpaksa bekerja
keras membanting tulang, memeras keringat siang dan malam. Jerih payahnya tidak
sia-sia. Hasil panennya melimpah ruah, ladang yang dimilikinya semakin luas.
Sang Pembantu tadi pun hidup makmur dan berkecukupan. Lebih-lebih setelah
datang pula penduduk yang ikut berladang
di situ, sehingga tempat tadi berkembang jadi sebuah desa yang makmur. Padahal
pendiri desa tadi hanyalah seorang pembantu yang mempunyai istri anak seorang
raden. Sang Pembantu tadi pun diangkat sebagai kepala desa. Untuk menghormati
jasa pendiri desa tadi, penduduk setempat memberi nama desa tadi Batur Raden.
Ya, dari kata batur dan raden. Batur itu sebenarnya artinya sama dengan batir,
yaitu teman.”
“Sang Pembantu tadi
telah menjadi batir tidur raden ayu atau menjadi suami raden ayu. Itulah kisah
asal muasal nama desa Baturaden yang ada di utara Kadipaten Kutaliman, Ndara
Putri. Menurut hamba, ceritera Gadis Kutaliman tadi, mengandung pesan dan
peringatan kepada masyarakat, bahwa dalam memilih jodoh itu, restu dan doa dari
orang tua memang perlu. Janganlah melakukan perselingkuhan dalam urusan cinta,”
Emban Khandegwilis mengakhiri ceriteranya.
“Ndara Putri?” Khandegwilis
memanggil Ndara Putrinya. Tetapi yang dipanggil diam saja. “Wah, Ndara Putri
sudah tidur, tidak bilang-bilang,” gerutu Khandegwilis lalu segera merebahkan
dirinya di atas tilam yang tergelar di bawah ranjang Ndara Putrinya, menyusul
Ndara Putrinya pergi ke alam mimpi.
***
Puncak musim kemarau
telah tiba. Pesta Marak, pesta ramai-ramai menangkap ikan di Sungai Logawa
selalu meriah dan ditunggu-tunggu siapa saja. Jauh-jauh hari Kanjeng Adipati
sudah menetapkan, kapan pesta marak akan diselenggarakan. Petugas kadipaten di bawah
perintah Ki Patih telah melakukan banyak pekerjaan persiapan seperti memasang
rumpon, membersihkan tebing sungai, dan membuat
bendungan agar air sungai sedikit naik. Bahkan alat-alat untuk menangkap ikan,
seperti ayakan, seser, jala, wuwu, ayab, dan sirib, juga sudah tersedia. Tak
ketinggalan pula rakit dari bambu dan air tuba untuk membuat ikan mabuk.
Sehari sebelum
pelaksanaan pesta marak, panggung kehormatan sudah berdiri di pinggir Sungai
Logawa. Semuanya disiapkan tiga buah panggung dengan hiasan bendera dan
umbul-umbul berwarna-warni. Panggung tengah adalah panggung yang disiapkan
khusus untuk Kanjeng Adipati beserta keluarga besarnya. Panggung sebelah
kirinya tempat untuk tamu undangan khusus Sang Adipati. Panggung sebelah kanan,
khusus untuk Ki Patih beserta mantri, lurah, dan para punggawa Kadipaten
Pasirluhur. Masih ada lagi sebuah pangggung kecil yang digunakan untuk
menempatkan seperangkat gamelan lengkap dengan gong dan bende. Di kiri dan
kanan sungai didirikan pula umbul-umbul berwarna warni yang berkibar-kibar di
atas tiang bambu.
Hari yang
ditunggu-tunggu pun tiba. Langit di pagi hari itu sangat cerah. Puncak Gunung
Agung di sebelah utara Kadipaten Pasir yang biasanya tertutup awan pun
ikut-ikutan menampakkan diri, seakan ingin ikut menyaksikan pesta rakyat itu.
Pelan-pelan matahari bergerak naik di atas kaki langit. Cahayanya terasa lembut
diiringi angin pagi menyejukkan yang bertiup dari arah hulu sungai. Tetapi air
Sungai Logawa sendiri seperti tidak peduli, mengalir tenang menuju hilir yang
akan berakhir di Sungai Ciserayu. Logawa seakan-akan tidak menyadari bahwa pesta yang meriah
sebentar lagi akan berlangsung di situ.
Tak lama kemudian bende
pun ditabuh bertalu-talu. Penduduk mulai
berduyun-duyun menuju tempat pesta. Mereka menyemut berdiri di tebing sungai. Lalu
gamelan dengan irama kebo giro ditabuh pula. Itu pertanda tamu undangan dan rombongan
Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati yang diiringi putri-putrinya serta
menantu-menantunya telah tiba dan sedang menuju panggung kehormatan. Kemudian
tiba pula tamu-tamu undangan yang terdiri dari para adipati sahabat Kanjeng
Adipati Kandhadaha.
Para tamu ada yang
datang dari Cukangakar, Bongas, Bonjok, bahkan dari Cukang Leuleus,
Dayeuhluhur, Ayah, Kaleng, dan Patanahan. Terakhir tiba Ki Patih bersama
mantri, lurah, dan para punggawa Kadipaten Pasirl. Mereka semua telah tiba dan
memenuhi panggung kehormatan yang telah disediakan. Gamelan panyambutan tamu
masih terus dibunyikan untuk menghibur para undangan yang telah hadir sambil
menunggu dimulainya acara. Ketika Sang Dewi tiba bersama rombongan Kanjeng
Adipati Pasirluhur, semua mata penduduk yang menyemut di sepanjang tebing
Sungai Logawa memandang tak berkedip Melati dari Kadipaten Pasirluhur yang
cantik jelita itu.
Mereka melihat Sang Dewi
itu bagaikan Dewi Supraba yang sedang turun dari Kahyangan. Dia berjalan pelan
menuju tempat duduknya di panggung kehormatan. Wajahnya bulat cemerlang bak
rembulan, hidungnya mancung, alisnya seperti bulan sabit, rambutnya hitam
mengkilat disanggul indah dengan hiasan bunga melati yang menyebarkan harum
semerbak mewangi. Dadanya dibalut kain sutra berwarna kuning, melindungi buah
dadanya yang padat berisi bak sepasang kelapa muda berwarna kuning gading. Kain
yang dikenakannya berwarna hijau gadung dengan hiasan burung merak, membuat Sang
Dewi tampak semakin anggun. Siapakah gerangan pria beruntung yang kelak akan
menjadi Sang Arjuna pemetik kembang melati dari Pasirluhur itu?
“Mudah-mudahan Ndara
Putriku kelak dipetik seorang adipati yang tampan dan menyayangi Ndara Putriku
dengan sepenuh hati,” ujar Khandegwilis yang ikut mengiringi Ndara Putrinya.
Bunyi gamelan berhenti,
acara penyambutan tamu selesai, maka tibalah acara yang ditunggu-tunggu. Ki
Patih Reksanata turun dari tempat duduknya, menghadap Kanjeng Adipati untuk mohon ijin memulai
acara.“Kanjeng Adipati,
apakah acara bisa segera dimulai?” tanya Ki Patih dengan khidmat di depan
Kanjeng Adipati.
Kanjeng Adipati hanya
mengangguk. Ki Patih Reksanata pun berjalan mendekati bibir sungai. Ki Patih
sejenak melihat kesiapan peralatan dan petugas yang akan memeriahkan pesta rakyat
itu. Tiga buah rakit bambu tampak mengambang di permukaan sungai di sisi barat,
persis di seberang panggung papalayan
atau panggung kehormatan. Sejumlah orang yang telah ditugaskan untuk menjala
ikan dari atas rakit sudah siap berdiri di atasnya, lengkap dengan jalanya.
Di antara para penjala
itu juga ada para penyelam atau paleka yang siap menggiring ikan dari tempat
persembunyiannya. Para paleka trampil itu juga akan mempertontonkan keahliannya
menangkap ikan dengan tangan kosong. Kamandaka termasuk di antara paleka dan
penjala yang ikut berdiri berbaris di atas rakit menunggu perintah Ki Patih
Reksanata.
Pandangan Ki Patih
Reksanata kini diarahkan ke sebuah kedung yang berada di bagian hulu tidak jauh
dari tempat rakit ditambatkan. Ki Patih Reksanata melihat sejumlah rumpon bambu
yang dulu dipasang di sekitar kedung
sudah dibersihkan sehingga nyaman bagi para paleka untuk menyelam guna
menggiring ikan-ikan yang bersembunyi di dasar kedung. Akhirnya pandangan Ki
Patih Reksanata diarahkan ke bagian hilir. Di sana tampak sejumlah
batu dipasang melintang untuk membendung Sungai Logawa. Sejumlah petugas sudah
siap di sana, menunggu komando dari Ki Patih, kapan batu-batu yang membendung
sungai itu harus disingkirkan agar air sungai di tempat pesta itu surut. Ki
Patih Reksanata merasa puas setelah melihat semuanya. Dia pun yakin, pesta
marak bisa segera dimulai.
Ki Patih Reksanata
segera mengangkat tangannya tinggi-tingggi memberi komando agar bendungan
segera dibuka. Komando Ki Patih itu segera dilaksanakan, ditandai dengan bunyi
bende yang ditabuh tiga kali. Sorak sorai pun bergema mengiringi pembukaan
pesta rakyat itu. Kemudian beberapa petugas menuangkan puluhan ember berisi
cairan tuba di bagian hulu sungai, tidak jauh dari tempat penyelenggaraan
pesta. Dalam waktu singkat
sejumlah ikan penghuni Sungai Logawa pun menggelepar-gelepar muncul ke permukaan
karena mabuk. Pengunjung mulai berteriak-teriak riuh rendah melihat ikan
kancra, mangut, melem, soca, bibrih, tempulung, baceman, dan lainnya lagi
bermunculan ke permukaan sungai. Udang yang berwarna merah pun ikut-ikutan mabuk
hingga membuat gemas pengunjung yang ingin segera menangkap ikan-ikan itu. Tahap
pertama hanya keluarga Sang Adipati dan tamu undangan yang diperbolehkan turun
ke sungai untuk mengambil ikan-ikan yang menggelepar-gelepar itu dengan seser
yang telah disediakan. Sedangkan penduduk baru boleh turun ke dasar sungai yang
berada di bawah bagian sungai yang baru saja di bendung. Para penduduk, tua
muda, laki-laki perempuan pun turun menyerbu sungai dibagian hilir.
Para tamu undangan,
keluarga Kanjeng Adipati dan para punggawa pun tidak mau ketinggalan. Mereka
ramai-ramai turun ke sungai di bagian atas yang bekas dibendung. Hampir semua
putri dan menantu Sang Adipati dengan bergembira turun ke tepi sungai untuk
menangkap ikan. Demikian pula para tamu undangan. Hanya Kanjeng Adipati
Kandhadaha yang tetap duduk di tempat didampingi Kanjeng Ayu Adipati. Demikian
pula putri bungsu tercintanya Sang Dewi, beserta sejumlah emban
pengiringnya. Wajah Kanjeng Adipati tampak
sangat gembira melihat para tamu dan keluarga besarnya turun ke tepi sungai
untuk nyeser ikan-ikan mabuk yang terdampar di pinggir sungai. Kanjeng Adipati
menyaksikan sejumlah bujang yang telah disiagakan sibuk kian kemari. Para
bujang itu menerima perintah para tamu undangan maupun para putri dan menantu
Sang Adipati yang turun ke tepi sungai.
Mereka sangat
bergembira bisa menyeser ikan, tetapi tak mau menangkapnya. Para bujang itulah
yang membantu mengambilkan ikan yang berhasil diseser para tamu dan keluarga
Kanjeng Adipati. Dengan cekatan ikan-ikan yang berhasil diseser itupun
diambilkan.Sirip ikan itu langsung ditusuk dengan tali dari bambu yang telah
disiapkan. Banyak pula ikan yang bisa disunduk pada seutas tali bambu.
Rata-rata setiap penyeser sudah puas dengan tiga atau empat sundukan ikan
sebesar telapak tangan. Dengan gembira mereka menerima tali bambu yang sudah
bersisi sundukan ikan hasil tangkapan mereka sendiri. Diangkatnya tinggi-tinggi
sundukan ikan itu seraya diperlihatkan kepada sesama tamu maupun sesama
keluarganya. Sambil membawa sundukan ikan mereka satu persatu kembali ke tempat
duduknya masing-masing. Para bujang kembali
sibuk. Mereka mengumpulkan tali-tali bambu berisi sundukan ikan yang dibawa
para tamu, dibungkus dengan daun pisang, diberi tanda, kemudian dimasukkan ke
dalam terombong. Lalu para bujang itu
membawa terombong yang penuh dengan
ikan hasil tangkapan para tamu undangan ke dapur Dalem Kadipaten untuk dimasak
jadi ikan bakar.
Sementara itu di atas
rakit berdiri beberapa orang yang ditugaskan Ki Patih Reksanata menjala ikan
khusus untuk keperluan jamuan makan siang di Pendapa Kadipaten. Juga ikan yang
akan dibawakan sebagai oleh-oleh bagi keluarga Kanjeng Adipati, para punggawa
kadipaten, dan juga para tamu. Kamandaka termasuk salah seorang yang ditugaskan
untuk menjala ikan dari atas rakit.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar