Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 07 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (08)





“Anakmu Diajeng, bandel dan keras kepala, tetapi sesungguhnya cerdas,” Kanjeng Adipati masih melanjutkan perbincangan dengan istrinya Kanjeng Ayu Adipati. ”Pasti tiru Ibunya,”

“Bukannya tiru Bapaknya?” ujar Kanjeng Ayu Adipati menimpali. “Makanya jangan suka menyakiti wanita. Kini anakmu membalas dengan menolak lamaran semua pria. Pastilah pria yang ditolak lamarannya oleh anakmu itu sakit hatinya. Itu namanya hukum Karma Pala,” kata Kanjeng Ayu Adipati melanjutkan.

”Hukum Karma? Aku tak pernah menyakiti wanita. Makanya tak ada wanita yang pernah menolak lamaranku. Bahkan bapakmu dulu pun menerima lamaranku.”

“Kalau begitu sana tidur dengan bapakku,” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil bangkit dan meninggalkan Kanjeng Adipati sendirian di meja makan. 

Kanjeng Adipati sadar, kesibukannya dalam urusan pekerjaan akhir-akhir ini menyebabkan dia jarang tidur di kamar istri termudanya itu. Kanjeng Adipati Kandhadaha mempunyai tujuh orang istri. Dari enam istrinya yang terdahulu masing-masing lahir empat putri. Dengan demikian dari ke-enam istrinya Kanjeng Adipati mempunyai 24 putri. Dan semuanya sudah bersuami. Sedang Kanjeng Ayu Adipati adalah istri termudanya. Dari Kanjeng Ayu Adipati itulah lahir putri bungsunya Sang Dewi. Tentu saja Kanjeng Ayu Adipati itulah istri yang paling disayanginya, karena dia bukan hanya cantik. Tetapi juga masih muda. 

Pelan-pelan Kanjeng Adipati Kandhadaha bangkit dari tempat duduknya. Diseretnya trumpah menuju kamar tidur Kanjeng Ayu Adipati. Dia tahu, istri mudanya itu tengah menunggunya di sana. Waktu istirahat siang bagi Kanjeng Adipati Kandhadaha memang telah tiba.
***
Sementara itu pada malam harinya, di kamar Sang Dewi, Khandegwilis duduk di atas tilam di bawah ranjang Ndara Putrinya. Ndara Putrinya tiduran di atas ranjang sambil memeluk guling.

“Ayo Biyung Emban, ceriterakan padaku kisah Gadis Kutaliman itu," Sang Dewi berkata dari atas tempat tidurnya.

“Baik, Ndara Putri. Tapi janji jangan tidur, ya.“ Khandegwilis itu pun mulai berceritera. “Dahulu, ada seorang ksatria dari Kediri yang melarikan diri sebagai pengungsi ke arah barat, ketika Keraton Kediri jatuh akibat diserbu dan diduduki musuh dari Singasari. Setelah berhari-hari melarikan diri, akhirnya tibalah ksatria tadi di suatu desa di kaki Gunung Agung. Oleh penduduk setempat ksatria tadi diangkat sebagai kepala desa. Karena kecakapannya didalam membangun desanya, lama-lama desa itu berkembang menjadi sebuah kota kadipaten. Penduduk pun mengangkat satria tadi sebagai Adipati. Sang Adipati ini mempunyai kebiasaan yang unik. Dia berhasil mendapatkan seekor gajah. Kemanapun Sang Adipati tadi pergi selalu naik gajah. Maka kota kadipaten tadi dikenal sebagai Kota Gajah atau Kutaliman. Kadipaten Kutaliman bisa berkembang menjadi kadipaten yang makmur, karena Sang Adipatinya pandai memimpin rakyatnya membangun daerahnya. Sang Adipati tadi punya anak gadis yang cantik jelita. Tentu saja banyak pemuda yang ingin melamarnya. Mereka berharap bisa menyunting gadis ayu tersebut. Sekaligus juga berharap menjadi menantu Sang Adipati. Namun, sayang sekali gadis ayu putri Sang Adipati tadi menolak semua lamaran para pemuda. Kanjeng Adipati pun heran sekali. Kenapa anak gadisnya yang cantik itu tidak mau menerima lamaran para pemuda? Tetapi akhirnya, Sang Adipati tahu. Maka murkalah Sang Adipati. Diusirnya gadis ayu tadi keluar dari Kadipaten oleh Sang Adipati Kutaliman.”

“Ndara Putri?“ Khandegwilis menghentikan ceriteranya, mengira Ndara Putrinya tidur.

“Biyung Emban, kenapa Sang Adipati mengusir putrinya? Ayo teruskan!“ terdengar suara Ndara Putrinya dari atas ranjang.

“Baiklah, Biyung Emban teruskan, Ndara Putri,” ujar Khandegwilis melanjutkan ceriteranya.

“Gadis Ayu Putri Sang Adipati tadi, ternyata telah menjalin asmara dengan pembantu Sang Adipati yang hanya bertugas sebagai perawat kuda milik Sang Adipati. Gadis Ayu Putri Sang Adipati tadi telah jatuh cinta pada pembantunya. Tentu saja mereka berdua diusir. Ya, memang seperti itulah kebanyakan nasib anak gadis yang melawan adat dan tradisi, tidak patuh pada orang tuanya,” kata Khandegwilis sambil sekali-kali melirik Ndara Putrinya, takut ditinggal tidur.

“Akhirnya mereka berdua pergi ke arah utara Kutaliman, mendaki lereng bukit, dan masuk hutan, membuka ladang dan membangun pondok di situ,” kata Khandegwilis.” Pada mulanya mereka berdua hidup sengsara dan menderita, lebih-lebih setelah lahir putri mereka yang juga cantik jelita. Padahal bayi perempuan yang cantik jelita itu hanyalah anak dari seorang ayah yang  hanya seorang pembantu dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan yang tentu saja bergelar raden. Sayang sekali Putri Sang Adipati tadi, setelah melahirkan tidak lama kemudian meninggal. Terpaksalah Sang Pembantu tadi mengasuh dan membesarkan anaknya itu, yang merupakan cucu dari Sang Raden, yakni Adipati Kutaliman.”

“Agar dapat menghidupi, membesarkan, dan mengasuh putrinya itu, Sang Pembantu tadi terpaksa bekerja keras membanting tulang, memeras keringat siang dan malam. Jerih payahnya tidak sia-sia. Hasil panennya melimpah ruah, ladang yang dimilikinya semakin luas. Sang Pembantu tadi pun hidup makmur dan berkecukupan. Lebih-lebih setelah datang pula penduduk  yang ikut berladang di situ, sehingga tempat tadi berkembang jadi sebuah desa yang makmur. Padahal pendiri desa tadi hanyalah seorang pembantu yang mempunyai istri anak seorang raden. Sang Pembantu tadi pun diangkat sebagai kepala desa. Untuk menghormati jasa pendiri desa tadi, penduduk setempat memberi nama desa tadi Batur Raden. Ya, dari kata batur dan raden. Batur itu sebenarnya artinya sama dengan batir, yaitu teman.”

“Sang Pembantu tadi telah menjadi batir tidur raden ayu atau menjadi suami raden ayu. Itulah kisah asal muasal nama desa Baturaden yang ada di utara Kadipaten Kutaliman, Ndara Putri. Menurut hamba, ceritera Gadis Kutaliman tadi, mengandung pesan dan peringatan kepada masyarakat, bahwa dalam memilih jodoh itu, restu dan doa dari orang tua memang perlu. Janganlah melakukan perselingkuhan dalam urusan cinta,” Emban Khandegwilis mengakhiri ceriteranya.

“Ndara Putri?” Khandegwilis memanggil Ndara Putrinya. Tetapi yang dipanggil diam saja. “Wah, Ndara Putri sudah tidur, tidak bilang-bilang,” gerutu Khandegwilis lalu segera merebahkan dirinya di atas tilam yang tergelar di bawah ranjang Ndara Putrinya, menyusul Ndara Putrinya pergi ke alam mimpi.
***
Puncak musim kemarau telah tiba. Pesta Marak, pesta ramai-ramai menangkap ikan di Sungai Logawa selalu meriah dan ditunggu-tunggu siapa saja. Jauh-jauh hari Kanjeng Adipati sudah menetapkan, kapan pesta marak akan diselenggarakan. Petugas kadipaten di bawah perintah Ki Patih telah melakukan banyak pekerjaan persiapan seperti memasang rumpon,  membersihkan tebing sungai, dan membuat bendungan agar air sungai sedikit naik. Bahkan alat-alat untuk menangkap ikan, seperti ayakan, seser, jala, wuwu, ayab, dan sirib, juga sudah tersedia. Tak ketinggalan pula rakit dari bambu dan air tuba untuk membuat ikan mabuk. 

Sehari sebelum pelaksanaan pesta marak, panggung kehormatan sudah berdiri di pinggir Sungai Logawa. Semuanya disiapkan tiga buah panggung dengan hiasan bendera dan umbul-umbul berwarna-warni. Panggung tengah adalah panggung yang disiapkan khusus untuk Kanjeng Adipati beserta keluarga besarnya. Panggung sebelah kirinya tempat untuk tamu undangan khusus Sang Adipati. Panggung sebelah kanan, khusus untuk Ki Patih beserta mantri, lurah, dan para punggawa Kadipaten Pasirluhur. Masih ada lagi sebuah pangggung kecil yang digunakan untuk menempatkan seperangkat gamelan lengkap dengan gong dan bende. Di kiri dan kanan sungai didirikan pula umbul-umbul berwarna warni yang berkibar-kibar di atas tiang bambu. 

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Langit di pagi hari itu sangat cerah. Puncak Gunung Agung di sebelah utara Kadipaten Pasir yang biasanya tertutup awan pun ikut-ikutan menampakkan diri, seakan ingin ikut menyaksikan pesta rakyat itu. Pelan-pelan matahari bergerak naik di atas kaki langit. Cahayanya terasa lembut diiringi angin pagi menyejukkan yang bertiup dari arah hulu sungai. Tetapi air Sungai Logawa sendiri seperti tidak peduli, mengalir tenang menuju hilir yang akan berakhir di Sungai Ciserayu. Logawa seakan-akan tidak  menyadari bahwa pesta yang meriah sebentar  lagi akan berlangsung di situ.

Tak lama kemudian bende pun ditabuh bertalu-talu. Penduduk  mulai berduyun-duyun menuju tempat pesta. Mereka menyemut berdiri di tebing sungai. Lalu gamelan dengan irama kebo giro ditabuh pula. Itu pertanda tamu undangan dan rombongan Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati yang diiringi putri-putrinya serta menantu-menantunya telah tiba dan sedang menuju panggung kehormatan. Kemudian tiba pula tamu-tamu undangan yang terdiri dari para adipati sahabat Kanjeng Adipati Kandhadaha.

Para tamu ada yang datang dari Cukangakar, Bongas, Bonjok, bahkan dari Cukang Leuleus, Dayeuhluhur, Ayah, Kaleng, dan Patanahan. Terakhir tiba Ki Patih bersama mantri, lurah, dan para punggawa Kadipaten Pasirl. Mereka semua telah tiba dan memenuhi panggung kehormatan yang telah disediakan. Gamelan panyambutan tamu masih terus dibunyikan untuk menghibur para undangan yang telah hadir sambil menunggu dimulainya acara. Ketika Sang Dewi tiba bersama rombongan Kanjeng Adipati Pasirluhur, semua mata penduduk yang menyemut di sepanjang tebing Sungai Logawa memandang tak berkedip Melati dari Kadipaten Pasirluhur yang cantik jelita itu. 

Mereka melihat Sang Dewi itu bagaikan Dewi Supraba yang sedang turun dari Kahyangan. Dia berjalan pelan menuju tempat duduknya di panggung kehormatan. Wajahnya bulat cemerlang bak rembulan, hidungnya mancung, alisnya seperti bulan sabit, rambutnya hitam mengkilat disanggul indah dengan hiasan bunga melati yang menyebarkan harum semerbak mewangi. Dadanya dibalut kain sutra berwarna kuning, melindungi buah dadanya yang padat berisi bak sepasang kelapa muda berwarna kuning gading. Kain yang dikenakannya berwarna hijau gadung dengan hiasan burung merak, membuat Sang Dewi tampak semakin anggun. Siapakah gerangan pria beruntung yang kelak akan menjadi Sang Arjuna pemetik kembang melati dari Pasirluhur itu? 

“Mudah-mudahan Ndara Putriku kelak dipetik seorang adipati yang tampan dan menyayangi Ndara Putriku dengan sepenuh hati,” ujar Khandegwilis yang ikut mengiringi Ndara Putrinya. 

Bunyi gamelan berhenti, acara penyambutan tamu selesai, maka tibalah acara yang ditunggu-tunggu. Ki Patih Reksanata turun dari tempat duduknya, menghadap  Kanjeng Adipati untuk mohon ijin memulai acara.“Kanjeng Adipati, apakah acara bisa segera dimulai?” tanya Ki Patih dengan khidmat di depan Kanjeng Adipati.

Kanjeng Adipati hanya mengangguk. Ki Patih Reksanata pun berjalan mendekati bibir sungai. Ki Patih sejenak melihat kesiapan peralatan dan petugas yang akan memeriahkan pesta rakyat itu. Tiga buah rakit bambu tampak mengambang di permukaan sungai di sisi barat, persis di seberang panggung papalayan atau panggung kehormatan. Sejumlah orang yang telah ditugaskan untuk menjala ikan dari atas rakit sudah siap berdiri di atasnya, lengkap dengan jalanya. 

Di antara para penjala itu juga ada para penyelam atau paleka yang siap menggiring ikan dari tempat persembunyiannya. Para paleka trampil itu juga akan mempertontonkan keahliannya menangkap ikan dengan tangan kosong. Kamandaka termasuk di antara paleka dan penjala yang ikut berdiri berbaris di atas rakit menunggu perintah Ki Patih Reksanata. 

Pandangan Ki Patih Reksanata kini diarahkan ke sebuah kedung yang berada di bagian hulu tidak jauh dari tempat rakit ditambatkan. Ki Patih Reksanata melihat sejumlah rumpon bambu yang dulu dipasang  di sekitar kedung sudah dibersihkan sehingga nyaman bagi para paleka untuk menyelam guna menggiring ikan-ikan yang bersembunyi di dasar kedung. Akhirnya pandangan Ki Patih Reksanata diarahkan ke bagian hilir. Di sana tampak sejumlah batu dipasang melintang untuk membendung Sungai Logawa. Sejumlah petugas sudah siap di sana, menunggu komando dari Ki Patih, kapan batu-batu yang membendung sungai itu harus disingkirkan agar air sungai di tempat pesta itu surut. Ki Patih Reksanata merasa puas setelah melihat semuanya. Dia pun yakin, pesta marak bisa segera dimulai.

Ki Patih Reksanata segera mengangkat tangannya tinggi-tingggi memberi komando agar bendungan segera dibuka. Komando Ki Patih itu segera dilaksanakan, ditandai dengan bunyi bende yang ditabuh tiga kali. Sorak sorai pun bergema mengiringi pembukaan pesta rakyat itu. Kemudian beberapa petugas menuangkan puluhan ember berisi cairan tuba di bagian hulu sungai, tidak jauh dari tempat penyelenggaraan pesta. Dalam waktu singkat sejumlah ikan penghuni Sungai Logawa pun menggelepar-gelepar muncul ke permukaan karena mabuk. Pengunjung mulai berteriak-teriak riuh rendah melihat ikan kancra, mangut, melem, soca, bibrih, tempulung, baceman, dan lainnya lagi bermunculan ke permukaan sungai. Udang yang berwarna merah pun ikut-ikutan mabuk hingga membuat gemas pengunjung yang ingin segera menangkap ikan-ikan itu. Tahap pertama hanya keluarga Sang Adipati dan tamu undangan yang diperbolehkan turun ke sungai untuk mengambil ikan-ikan yang menggelepar-gelepar itu dengan seser yang telah disediakan. Sedangkan penduduk baru boleh turun ke dasar sungai yang berada di bawah bagian sungai yang baru saja di bendung. Para penduduk, tua muda, laki-laki perempuan pun turun menyerbu sungai dibagian hilir. 

Para tamu undangan, keluarga Kanjeng Adipati dan para punggawa pun tidak mau ketinggalan. Mereka ramai-ramai turun ke sungai di bagian atas yang bekas dibendung. Hampir semua putri dan menantu Sang Adipati dengan bergembira turun ke tepi sungai untuk menangkap ikan. Demikian pula para tamu undangan. Hanya Kanjeng Adipati Kandhadaha yang tetap duduk di tempat didampingi Kanjeng Ayu Adipati. Demikian pula putri bungsu tercintanya Sang Dewi, beserta sejumlah emban pengiringnya. Wajah Kanjeng Adipati tampak sangat gembira melihat para tamu dan keluarga besarnya turun ke tepi sungai untuk nyeser ikan-ikan mabuk yang terdampar di pinggir sungai. Kanjeng Adipati menyaksikan sejumlah bujang yang telah disiagakan sibuk kian kemari. Para bujang itu menerima perintah para tamu undangan maupun para putri dan menantu Sang Adipati yang turun ke tepi sungai.

Mereka sangat bergembira bisa menyeser ikan, tetapi tak mau menangkapnya. Para bujang itulah yang membantu mengambilkan ikan yang berhasil diseser para tamu dan keluarga Kanjeng Adipati. Dengan cekatan ikan-ikan yang berhasil diseser itupun diambilkan.Sirip ikan itu langsung ditusuk dengan tali dari bambu yang telah disiapkan. Banyak pula ikan yang bisa disunduk pada seutas tali bambu. Rata-rata setiap penyeser sudah puas dengan tiga atau empat sundukan ikan sebesar telapak tangan. Dengan gembira mereka menerima tali bambu yang sudah bersisi sundukan ikan hasil tangkapan mereka sendiri. Diangkatnya tinggi-tinggi sundukan ikan itu seraya diperlihatkan kepada sesama tamu maupun sesama keluarganya. Sambil membawa sundukan ikan mereka satu persatu kembali ke tempat duduknya masing-masing. Para bujang kembali sibuk. Mereka mengumpulkan tali-tali bambu berisi sundukan ikan yang dibawa para tamu, dibungkus dengan daun pisang, diberi tanda, kemudian dimasukkan ke dalam terombong. Lalu para bujang itu membawa terombong yang penuh dengan ikan hasil tangkapan para tamu undangan ke dapur Dalem Kadipaten untuk dimasak jadi ikan bakar. 

Sementara itu di atas rakit berdiri beberapa orang yang ditugaskan Ki Patih Reksanata menjala ikan khusus untuk keperluan jamuan makan siang di Pendapa Kadipaten. Juga ikan yang akan dibawakan sebagai oleh-oleh bagi keluarga Kanjeng Adipati, para punggawa kadipaten, dan juga para tamu. Kamandaka termasuk salah seorang yang ditugaskan untuk menjala ikan dari atas rakit.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar