Begitu bende dipukul,
sebagai tanda dimulainya acara menangkap ikan dengan jaring, maka para penjala
yang ada di atas rakit itu mulai beraksi. Mereka menebarkan jaringnya di
tempat-tempat yang mereka duga banyak ikannya yang mabuk. Banyak sekali ikan
yang berhasil diangkat ke atas rakit. Para bujang kembali sibuk memasukkan
ikan-ikan yang berhasil dijala itu ke dalam terombong
bambu. Berkali-kali terombong bambu
yang telah penuh dengan berbagai jenis ikan Sungai Logawa itu diangkut ke
darat.
Kamandaka termasuk
penangkap ikan dengan jala yang terampil juga. Bahkan di antara para paleka dan
penjala, Kamandakalah yang paling banyak menjala ikan. Gerak gerik dan tingkah
laku Kamandaka dalam menjala ikan sangat unik dan lincah. Cara melemparkan jala
pun sangat indah, sehingga jala itu seperti sebuah payung yang berputar dan
melayang-layang di udara sebelum jatuh ke sungai. Anehnya, walaupun tampaknya
seperti orang sedang bermain-main dengan jala, dengan mudah Kamandaka berhasil
menjala ikan hanya dengan sekali lempar.
Tentu saja tingkah laku
yang unik dari Kamandaka itu menarik perhatian banyak orang. Penduduk yang
menyaksikan atraksi Kamandaka dalam menjala ikan itu bersorak-sorai dan
berteriak-teriak setiap kali Kamandaka menarik jalanya. Karena setiap kali
Kamandaka menarik jalanya, sejumlah besar ikan bergelantungan di dalam
jaringnya. Sudah tentu terombong ikan
Kamandaka cepat sekali penuh. Ketika Kamandaka akan mengakhiri atraksinya
melemparkan jala, penonton dari pinggir sungai berteriak supaya Kamandaka
jangan berhenti.
”Raden! Ayo teruuus!!!”
teriak mereka dari pinggir sungai.
Sekali lagi Kamandaka
melemparkan jalanya. Kembali para penonton bersorak-sorai dan bertepuk tangan
karena kali ini jaringnya berhasil mengangkat sejumlah ikan tambra besar-besar.
Penduduk yang melihat kecakapan Kamandaka banyak yang heran. Karena mereka melihat
para paleka dan penjaring ikan lain yang juga menjala ikan dari atas rakit, walaupun
berhasil juga menjala ikan, tapi tidak sebanyak tangkapan Kamandaka. Andai kata
bende tidak dipukul, sebagai tanda bahwa acara tahap pertama harus dihentikan,
pastilah penduduk yang berkerumun di tepi sungai itu akan terus
berteriak-teriak.
Mereka pasti minta
supaya Kamandaka melanjutkan atraksinya yang menarik itu. Memang cara menjala
ikan yang diperlihatkan Kamandaka belum pernah mereka saksikan. Dalam batin
Kamandaka tersenyum sendiri.
“Sungguh ampuh mantra Aji
Ciung Wanara, mantra penjinak binatang buas yang kubaca. Hasilnya sangat
memuaskan,” bisik Kamandaka dalam hati.
Terdengar bende dipukul
sebanyak lima kali. Itu pertanda penangkapan ikan dengan jala dan seser telah
berakhir. Seorang petugas di atas rakit menghitung siapakah dari para paleka
dan penjala itu yang berhasil menjala ikan paling banyak. Petugas itu kemudian
mengumumkan, bahwa ada tiga orang penjala yang berhasil masuk tiga besar.
Petugas tadi melaporkan kepada Ki Patih, bahwa Kamandaka adalah penjala yang
berhasil mengumpulkan paling banyak ikan, kemudian disusul oleh penjala ke dua
dan ketiga. Tepuk tangan pun pecah
seketika, bergemuruh suaranya menyemarakkan pesta rakyat di tengah-tengah musim
kemarau yang sedang menyinggahi Kadipaten Pasirluhur. Gamelan ditabuh dengan
irama kebo giro untuk merayakan kemenangan para penjala itu.
Sang Dewi yang duduk di
samping ibunya ikut bertepuk tangan juga. Dalam batin bertanya-tanya, siapakah
Kamandaka? Sebuah nama yang asing baginya. Gelar Raden yang ada di depan namanya,
menunjukkan dia itu bukan orang biasa saja. Dari atas panggung kehormatan, Sang
Dewi mencoba melihat orang itu. Tetapi karena jarak yang cukup jauh, dia sulit
mengenali wajahnya. Melihat sosoknya, dia menyimpulkan orang itu tergolong
seorang pria muda dengan tubuh yang tegap mempesona. Tiba-tiba Sang Dewi
seperti ingat sesuatu.
”Hem…, jangan-jangan
pria muda itulah yang selama ini kulihat berenang di Logawa beberapa waktu yang
lalu. Jangan-jangan dialah yang kulihat setiap kali aku mendengar suara burung
prenjak,” kata Sang Dewi dalam hati. Sejak itu Sang Dewi terus menerus mengarahkan
pandangannya ke tempat Kamandaka. Akhirnya, Sang Dewi berhasil mengambil
kesimpulan sementara. Kamandaka adalah seorang pria berwajah tampan, bahu
lebar, dada bidang, kulit kuning cemerlang, dan tinggi semampai seimbang dengan
dirinya.
“Hem…, ksatria dari
mana dia?” kata Sang Dewi dalam benaknya. Dia semakin terpesona kepada pria
dengan wajah tampan dan cekatan itu.
Gamelan berhenti
mengalunkan iramanya. Ki Reksanata kembali memberi komando agar bende siap-siap
dipukul, sebagai pertanda pesta rakyat memasuki tahap ke dua. Di permukaan sungai
sudah tidak tampak ikan-ikan mabuk menggelepar-gelepar di permukaannya, karena
sudah banyak yang ditangkap ramai-ramai. Bahkan berpuluh terombong ikan berhasil dipanen petugas Kadipaten Pasirluhur. Sudah habiskah ikan di Sungai Logawa
dipanen semua? Di permukaan air sungai tak ada lagi ikan menggelepar-gelepar
karena mabuk. Ternyata belum. Masih banyak ikan
bersembunyi di dasar kedung. Mereka ada yang selamat dari air tuba karena
berada di tempat yang dalam. Tetapi ada pula di antara mereka yang baru
seperempat mabuk, hingga masih bisa bersembunyi di dasar kedung maupun di
ceruk-ceruk di dinding dasar kedung. Itu semua tugas para paleka untuk
menggiring mereka semua ke permukaan air sungai sehingga akan bisa dipanen
pula.
Ki Patih Reksanata
berdiri di bibir sungai. Dilihatnya sejumlah paleka sudah berdiri tegap di atas
rakit. Di antara mereka adalah paleka kesayangannya dan anak angkatnya, Raden Kamandaka.
Mereka akan berlomba menunjukkan kepandainnya menyelam dan menangkap ikan
dengan tangan kosong. Paleka yang bisa menangkap ikan dengan ukuran paling
besar, maka diala paleka terbaik.
Ki Patih Reksanata
segera memberi aba-aba agar bende ditabuh. Begitu terdengar suara bende,
serentak para paleka itu berloncatan terjun dari atas rakit, menyelam ke dalam
kedung. Lama mereka menyelam, karena mereka memang penyelam-penyelam yang sudah
sangat terlatih. Para penonton yang berdiri di tepi sungai maupun yang duduk di
panggung kehormatan diam serentak. Mereka semua seakan-akan terbawa arus ikut
menahan napas. Suasana sepi dan hening berlangsung beberapa lama, sampai
akhirnya para paleka itu muncul satu demi satu dari dasar kedung. Tepuk tangan
kembali pecah. Mereka rata-rata
berhasil membawa ikan kancra dengan ukuran cukup besar. Satu demi satu paleka
itu naik ke atas rakit. Kemudian ikan yang berhasil ditangkapnya dari dasar kedung
diangkat tinggi-tinggi untuk ditunjukkan seberapa besar ikan yang berhasil
ditangkap. Setiap paleka berhasil menangkap ikan besar dengan tangan kosong,
gamelan pun dibunyikan guna merayakan keberhasilan para paleka itu. Hampir
semua paleka telah muncul di atas permukaan dan telah menunjukkan hasil
tangkapannya. Tinggal satu orang yang belum muncul, yaitu Kamandaka.
Ke mana Kamandaka? Lama
nian dia berada di dalam kedung? Semakin lama Kamandaka tidak muncul-muncul, membuat
semua orang yang berkumpul di pinggir Sungai Logawa itu semakin cemas. Mereka
ada yang menduga jangan-jangan Kamandaka dibawa hantu Sungai Logawa.Hampir semua sungai
yang pernah memakan korban anak-anak atau orang dewasa, seperti tenggelam atau
terseret arus sungai, selalu dipercaya oleh penduduk bahwa sungai semacam itu
ada hantu penjaganya. Orang-orang menyebut Menyangga adalah hantu Sungai Logawa
yang gemar meminta korban nyawa manusia. Memang pernah ada anak sedang mandi,
tiba-tiba terbawa arus Logawa. Tentu saja anak itu meninggal. Di lain waktu,
ada juga paleka atau penyelam sedang menangkap ikan di dasar kedung, tiba-tiba
juga menghilang. Semua itu oleh penduduk dipercaya sebagai perbuatan Menyangga,
si hantu sungai yang jahil. Ya, hantu Logawa itulah yang diduga membawa Kamandaka,
jika dia tidak muncul juga ke permukaan sungai.
“Jangan-jangan Raden itu
ditaksir Menyangga, hantu Sungai Logawa. Habis cakap sih,” terdengar bisikan di
antara mereka.
Tentu saja
bisikan-bisikan itu terus menyebar dari telinga ke telinga. Bisikan pun sampai
ke telinga Ki Patih Reksanata dan para punggawa yang ada di panggung
kehormatan. Ki Reksanata tentu saja langsung cemas, sebab Ki Patih yang
menugaskan Kamandaka menjadi seorang paleka. Bisikan sampai pula ke telinga
Kanjeng Adipati dan keluarganya. Tentu saja Kanjeng Adipati merasa prihatin,
bila bisik-bisik tadi benar-benar jadi kenyataan. Dari bisik-bisik itu tahulah
Kanjeng Adipati bawah paleka yang belum muncul itu adalah anak angkat Ki Patih
Reksanata yang bernama Kamandaka. Karena dia anak angkat Ki Patih, maka
penduduk menambah sebutan Raden di depan namanya. Tentu saja bisikan itu sampai
pula ke telinga Sang Dewi. Entah mengapa tiba-tiba Sang Dewi merasa amat sedih.
Dia pun berharap pemuda itu segera
muncul ke permukaan dengan selamat. Ya, pemuda yang entah mengapa selama ini
menggoda pikirannya.
“Diakah pemuda yang
suka berenang di Sungai Logawa beberapa waktu yang lalu? Aku yakin dialah
pemuda itu.” Sang Dewi berbicara sendiri dalam benaknya lalu menengok ke
belakang memanggil embannya supaya mendekat. Khandegwilis yang duduk jauh di
belakang, bangkit mendekati Ndara Putrinya.
“Biyung Emban, namanya
Kamandaka, anak angkat Ki Patih Reksanata.”
“Betul, Ndara Putri,
dibawa hantu Sungai Logawa.”
“Husss!!! Jangan
sampai. Kasihan, Biyung Emban.”
“Habis cakap sih, makanya
hantu sungai suka dia dan akan diajaknya kawin.”
Tiba-tiba perbincangan Khandegwilis
yang tengah menggoda Ndara Putrinya terputus. Terdengar sorak sorai dan tepuk
tangan dari penduduk yang berdiri di tepi Sungai Logawa. Kamandaka ternyata
muncul ke permukaan sambil membawa seekor ikan kanca yang sangat besar.
Bersamaan dengan munculnya Kamandaka, muncul pula ikan-ikan yang mulai
menggeliatkan badannya kian kemari. Ikan-ikan itu seakan-akan sedang
menari-nari di permukaan sungai, seolah-olah mengiringi Kamandaka keluar dari
dasar kedung. Bisik-bisik pun lenyap seketika, lenyap bersama kecemasan yang
semula membayangi mereka semua.Gamelan pun di tabuh
untuk menyambut kemunculan Kamandaka. Dia bergegas naik ke atas rakit. Ikan
kancra paling besar yang berhasil ditangkap dengan tangan kosong itu
diangkatnya tingggi-tinggi, seolah-olah hendak dipersembahkan kepada Kanjeng
Adipati. Kanjeng Adipati tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya dari
atas panggung kehormatan. Sang Dewi tak berkedip menatap dari kejauhan pria
muda yang tampan dan kekar itu, yang
sudah berhari-hari mempesona dirinya.
Sementara itu, dalam
benak Kamandaka dia akan meyerahkan ikan hasil tangkapannya dengan tangan kosong
itu, bukan untuk Kanjeng Adipati, tetapi hendak dipersembahkan kepada Sang Dewi.
Sayang sekali jarak rakit yang ada di atas sungai ke tempat duduk Sang Dewi itu
cukup jauh. Akibatnya Kamandaka pun tidak bisa menikmati dengan jelas wajah
cantik gadis pujaannya itu. Gamelan berhenti
berbunyi, Kamandaka menyerahkan ikan kancra itu kepada seorang bujang. Ikan itu
lalu dimasukkannya ke dalam terombong.
Kamandaka pun turun dari rakit. Sebelum acara penutupan, masih ada satu acara lagi. Para
paleka yang memiliki kecakapan terjun dari tebing sungai ke kedung
dipersilahkan menunjukkan keahliannya di depan Kanjeng Adipati dan para tamu
undangan lainnya.
Ternyata ada tiga
paleka yang akan menunjukkan keahlian terjun dari tebing sungai. Paleka pertama
terjun dengan meloncat dari atas tebing ke dalam sungai. Ia jatuh tepat di
tengah kedung, kemudian menyelam, dan muncul di bagian hilir. Paleka kedua
terjun dengan cara meloncat dari tebing, tetapi posisi kepala di bawah,
bagaikan anak panah yang meluncur tepat jatuh di tengah kedung. Akhirnya paleka
ketiga, meloncat dari atas tebing ke atas lebih dulu dengan tangan terentang ke
samping sehingga tampak seperti seekor capung yang tengah terbang. Tiba-tiba
dia berputar di udara sehingga berubah menjadi bentuk seperti anak panah
kepalanya di bawah, kakinya lurus ke atas seperti melesat dari busurnya, tepat
jatuh di tengah kedung pula.
Sorak sorai bergema seketika
diiringi bunyi gamelan, saat usai menyaksikan atraksi terjun bebas dari tebing
Sungai Logawa yang dilakukan oleh paleka pilihan itu. Ternyata salah satu
paleka pilihan itu adalah Kamandaka.
“Hem…, benar dugaanku.
Itulah cara terjun yang berulang kali aku saksikan. Rupanya saat itu dia tengah
berlatih untuk ikut meramaikan pesta ini,“ ujar Sang Dewi tersenyum gembira. Dia
merasa telah memecahkan teka-teki tentang pemuda yang selama ini menggoda
pikirannya.
Sebelum pesta rakyat
ditutup, masih ada acara penyerahan kenang-kenangan dari Kanjeng Adipati kepada
para penjala dan paleka yang telah memperlihatkan kecakapannya dalam pesta rakyat
marak. Ya, pesta rakyat Kadipaten Pasisrluhur yang dilaksanakan setahun sekali pada
puncak musim kemarau. Ketiga paleka dan penjala yang telah ditetapkan oleh Ki
Patih untuk mendapatkan kenang-kenangan adalah paleka dari Kalirajut,
Sidalancar, dan Kepatihan. Kamandaka, paleka dari Kepatihan itu, mendapat
kenang-kenangan paling banyak dari Kanjeng Adipati. Kenang-kenangan pertama
berupa sekantong uang emas yang diserahkan sendiri oleh Kanjeng Adipati kepada
paleka dari Kepatihan, Kamandaka. Kenang-kenangan kedua berupa sekantong uang
perak yang diserahkan oleh Kanjeng Ayu Adipati kepada paleka dari Sida Lancar.
Dan akhirnya kenang-kenangan ketiga berupa sekantong uang perak pula yang
diserahkan Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa kepada paleka dari Kalirajut. Ketika Kamandaka maju
dan berdiri bertiga di depan panggung kehormatan, Sang Dewi berhasil melihat
sosok dan wajah Kamandaka dari jarak dekat. Diam-diam Sang Dewi beberapa kali
mencuri pandang. Sayang sekali, ketika Sang Dewi tampil berjalan di depan
panggung kehormatan dengan disaksikan para adipati yang berminat melamarnya,
Sang Dewi tidak menyerahkan hadiah
kepada Kamandaka. Sebab tugas Sang Dewi menyerahkan hadiah kepada pemenang
ke tiga. Dan pemenang ke tiga, bukan Kamandaka.
Akhirnya Ki Patih
Reksanata menyatakan pesta rakyat telah selesai. Bende dipukul lima kali.
Gamelan segera dibunyikan untuk mengantarkan Kanjeng Adipati, para tamu, dan
para punggawa lainnya. Mereka satu demi satu meninggalkan tempat pesta menuju
Pendapa Kadipaten Pasirluhur untuk menghadiri jamuan santap siang dengan
suguhan ikan bakar Sungai Logawa. Penduduk pun sekarang boleh turun ke sungai
untuk beramai-ramai menangkap sisa-sisa ikan yang masih banyak bermunculan dari
dasar sungai. Ikan-ikan yang masih bermunculan itu memang sengaja disisakan untuk
diambil penduduk Kadipaten Pasirluhur yang belum kebagian. Dalam perjalanan
pulang, kembali Dyah Ayu Dewi Ciptarasa berjalan dengan anggun dalam tatapan
ribuan pasang mata. Tidak terkecuali tatapan mata para adipati tetangga yang
berniat melamar secepatnya Melati Indah dari Pasirluhur itu. Tetapi yang
terpikir dan terbayang dalam benak Sang Dewi hanyalah pria muda yang tampan,
cakap, dan kekar yang telah berhari-hari menggoda dirinya, yakni Kamandaka.
“Ya, Kamandaka, anak
angkat Ki Patih Reksanata. Ya, itulah dia. Duh Dewa, jadikanlah dia
pelindungku, tempat aku bisa berteduh dan menyerahkan sukma dan jiwa ragaku,” Sang
Dewi bergulat asyik dengan lamunannya sendiri dalam perjalan pulang menuju Taman
Kaputren .
Bau amis ikan-ikan
Sungai Logawa yang berhasil ditangkap bertebaran kemana-mana ditiup angin
gunung yang mengusirnya pergi dari lembah Sungai Logawa yang semakin siang
semakin sepi. Pada tengah hari air Sungai Logawa yang jernih kemilau itu
kembali mengalir dengan tenang ke arah selatan menuju muaranya. Ya, air Sungai
Logawa kembali seperti biasa, seakan-akan tak peduli dengan pesta marak yang
baru saja usai.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar