Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 07 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (09)




Begitu bende dipukul, sebagai tanda dimulainya acara menangkap ikan dengan jaring, maka para penjala yang ada di atas rakit itu mulai beraksi. Mereka menebarkan jaringnya di tempat-tempat yang mereka duga banyak ikannya yang mabuk. Banyak sekali ikan yang berhasil diangkat ke atas rakit. Para bujang kembali sibuk memasukkan ikan-ikan yang berhasil dijala itu ke dalam terombong bambu. Berkali-kali terombong bambu yang telah penuh dengan berbagai jenis ikan Sungai Logawa itu diangkut ke darat.

Kamandaka termasuk penangkap ikan dengan jala yang terampil juga. Bahkan di antara para paleka dan penjala, Kamandakalah yang paling banyak menjala ikan. Gerak gerik dan tingkah laku Kamandaka dalam menjala ikan sangat unik dan lincah. Cara melemparkan jala pun sangat indah, sehingga jala itu seperti sebuah payung yang berputar dan melayang-layang di udara sebelum jatuh ke sungai. Anehnya, walaupun tampaknya seperti orang sedang bermain-main dengan jala, dengan mudah Kamandaka berhasil menjala ikan hanya dengan sekali lempar. 

Tentu saja tingkah laku yang unik dari Kamandaka itu menarik perhatian banyak orang. Penduduk yang menyaksikan atraksi Kamandaka dalam menjala ikan itu bersorak-sorai dan berteriak-teriak setiap kali Kamandaka menarik jalanya. Karena setiap kali Kamandaka menarik jalanya, sejumlah besar ikan bergelantungan di dalam jaringnya. Sudah tentu terombong ikan Kamandaka cepat sekali penuh. Ketika Kamandaka akan mengakhiri atraksinya melemparkan jala, penonton dari pinggir sungai berteriak supaya Kamandaka jangan berhenti.

”Raden! Ayo teruuus!!!” teriak mereka dari pinggir sungai. 

Sekali lagi Kamandaka melemparkan jalanya. Kembali para penonton bersorak-sorai dan bertepuk tangan karena kali ini jaringnya berhasil mengangkat sejumlah ikan tambra besar-besar. Penduduk yang melihat kecakapan Kamandaka banyak yang heran. Karena mereka melihat para paleka dan penjaring ikan lain yang juga menjala ikan dari atas rakit, walaupun berhasil juga menjala ikan, tapi tidak sebanyak tangkapan Kamandaka. Andai kata bende tidak dipukul, sebagai tanda bahwa acara tahap pertama harus dihentikan, pastilah penduduk yang berkerumun di tepi sungai itu akan terus berteriak-teriak. 

Mereka pasti minta supaya Kamandaka melanjutkan atraksinya yang menarik itu. Memang cara menjala ikan yang diperlihatkan Kamandaka belum pernah mereka saksikan. Dalam batin Kamandaka tersenyum sendiri.
“Sungguh ampuh mantra Aji Ciung Wanara, mantra penjinak binatang buas yang kubaca. Hasilnya sangat memuaskan,” bisik Kamandaka dalam hati.

Terdengar bende dipukul sebanyak lima kali. Itu pertanda penangkapan ikan dengan jala dan seser telah berakhir. Seorang petugas di atas rakit menghitung siapakah dari para paleka dan penjala itu yang berhasil menjala ikan paling banyak. Petugas itu kemudian mengumumkan, bahwa ada tiga orang penjala yang berhasil masuk tiga besar. Petugas tadi melaporkan kepada Ki Patih, bahwa Kamandaka adalah penjala yang berhasil mengumpulkan paling banyak ikan, kemudian disusul oleh penjala ke dua dan ketiga. Tepuk tangan pun pecah seketika, bergemuruh suaranya menyemarakkan pesta rakyat di tengah-tengah musim kemarau yang sedang menyinggahi Kadipaten Pasirluhur. Gamelan ditabuh dengan irama kebo giro untuk merayakan kemenangan para penjala itu. 

Sang Dewi yang duduk di samping ibunya ikut bertepuk tangan juga. Dalam batin bertanya-tanya, siapakah Kamandaka? Sebuah nama yang asing baginya. Gelar Raden yang ada di depan namanya, menunjukkan dia itu bukan orang biasa saja. Dari atas panggung kehormatan, Sang Dewi mencoba melihat orang itu. Tetapi karena jarak yang cukup jauh, dia sulit mengenali wajahnya. Melihat sosoknya, dia menyimpulkan orang itu tergolong seorang pria muda dengan tubuh yang tegap mempesona. Tiba-tiba Sang Dewi seperti ingat sesuatu.

”Hem…, jangan-jangan pria muda itulah yang selama ini kulihat berenang di Logawa beberapa waktu yang lalu. Jangan-jangan dialah yang kulihat setiap kali aku mendengar suara burung prenjak,” kata Sang Dewi dalam hati. Sejak itu Sang Dewi terus menerus mengarahkan pandangannya ke tempat Kamandaka. Akhirnya, Sang Dewi berhasil mengambil kesimpulan sementara. Kamandaka adalah seorang pria berwajah tampan, bahu lebar, dada bidang, kulit kuning cemerlang, dan tinggi semampai seimbang dengan dirinya.

“Hem…, ksatria dari mana dia?” kata Sang Dewi dalam benaknya. Dia semakin terpesona kepada pria dengan wajah tampan dan cekatan itu. 

Gamelan berhenti mengalunkan iramanya. Ki Reksanata kembali memberi komando agar bende siap-siap dipukul, sebagai pertanda pesta rakyat memasuki tahap ke dua. Di permukaan sungai sudah tidak tampak ikan-ikan mabuk menggelepar-gelepar di permukaannya, karena sudah banyak yang ditangkap ramai-ramai. Bahkan berpuluh terombong ikan berhasil dipanen petugas Kadipaten Pasirluhur. Sudah habiskah ikan di Sungai Logawa dipanen semua? Di permukaan air sungai tak ada lagi ikan menggelepar-gelepar karena mabuk. Ternyata belum. Masih banyak ikan bersembunyi di dasar kedung. Mereka ada yang selamat dari air tuba karena berada di tempat yang dalam. Tetapi ada pula di antara mereka yang baru seperempat mabuk, hingga masih bisa bersembunyi di dasar kedung maupun di ceruk-ceruk di dinding dasar kedung. Itu semua tugas para paleka untuk menggiring mereka semua ke permukaan air sungai sehingga akan bisa dipanen pula.

Ki Patih Reksanata berdiri di bibir sungai. Dilihatnya sejumlah paleka sudah berdiri tegap di atas rakit. Di antara mereka adalah paleka kesayangannya dan anak angkatnya, Raden Kamandaka. Mereka akan berlomba menunjukkan kepandainnya menyelam dan menangkap ikan dengan tangan kosong. Paleka yang bisa menangkap ikan dengan ukuran paling besar, maka diala  paleka terbaik. 

Ki Patih Reksanata segera memberi aba-aba agar bende ditabuh. Begitu terdengar suara bende, serentak para paleka itu berloncatan terjun dari atas rakit, menyelam ke dalam kedung. Lama mereka menyelam, karena mereka memang penyelam-penyelam yang sudah sangat terlatih. Para penonton yang berdiri di tepi sungai maupun yang duduk di panggung kehormatan diam serentak. Mereka semua seakan-akan terbawa arus ikut menahan napas. Suasana sepi dan hening berlangsung beberapa lama, sampai akhirnya para paleka itu muncul satu demi satu dari dasar kedung. Tepuk tangan kembali pecah. Mereka rata-rata berhasil membawa ikan kancra dengan ukuran cukup besar. Satu demi satu paleka itu naik ke atas rakit. Kemudian ikan yang berhasil ditangkapnya dari dasar kedung diangkat tinggi-tinggi untuk ditunjukkan seberapa besar ikan yang berhasil ditangkap. Setiap paleka berhasil menangkap ikan besar dengan tangan kosong, gamelan pun dibunyikan guna merayakan keberhasilan para paleka itu. Hampir semua paleka telah muncul di atas permukaan dan telah menunjukkan hasil tangkapannya. Tinggal satu orang yang belum muncul, yaitu Kamandaka.

Ke mana Kamandaka? Lama nian dia berada di dalam kedung? Semakin lama Kamandaka tidak muncul-muncul, membuat semua orang yang berkumpul di pinggir Sungai Logawa itu semakin cemas. Mereka ada yang menduga jangan-jangan Kamandaka dibawa hantu Sungai Logawa.Hampir semua sungai yang pernah memakan korban anak-anak atau orang dewasa, seperti tenggelam atau terseret arus sungai, selalu dipercaya oleh penduduk bahwa sungai semacam itu ada hantu penjaganya. Orang-orang menyebut Menyangga adalah hantu Sungai Logawa yang gemar meminta korban nyawa manusia. Memang pernah ada anak sedang mandi, tiba-tiba terbawa arus Logawa. Tentu saja anak itu meninggal. Di lain waktu, ada juga paleka atau penyelam sedang menangkap ikan di dasar kedung, tiba-tiba juga menghilang. Semua itu oleh penduduk dipercaya sebagai perbuatan Menyangga, si hantu sungai yang jahil. Ya, hantu Logawa itulah yang diduga membawa Kamandaka, jika dia tidak muncul juga ke permukaan sungai.

“Jangan-jangan Raden itu ditaksir Menyangga, hantu Sungai Logawa. Habis cakap sih,” terdengar bisikan di antara mereka.

Tentu saja bisikan-bisikan itu terus menyebar dari telinga ke telinga. Bisikan pun sampai ke telinga Ki Patih Reksanata dan para punggawa yang ada di panggung kehormatan. Ki Reksanata tentu saja langsung cemas, sebab Ki Patih yang menugaskan Kamandaka menjadi seorang paleka. Bisikan sampai pula ke telinga Kanjeng Adipati dan keluarganya. Tentu saja Kanjeng Adipati merasa prihatin, bila bisik-bisik tadi benar-benar jadi kenyataan. Dari bisik-bisik itu tahulah Kanjeng Adipati bawah paleka yang belum muncul itu adalah anak angkat Ki Patih Reksanata yang bernama Kamandaka. Karena dia anak angkat Ki Patih, maka penduduk menambah sebutan Raden di depan namanya. Tentu saja bisikan itu sampai pula ke telinga Sang Dewi. Entah mengapa tiba-tiba Sang Dewi merasa amat sedih. Dia pun  berharap pemuda itu segera muncul ke permukaan dengan selamat. Ya, pemuda yang entah mengapa selama ini menggoda pikirannya.

“Diakah pemuda yang suka berenang di Sungai Logawa beberapa waktu yang lalu? Aku yakin dialah pemuda itu.” Sang Dewi berbicara sendiri dalam benaknya lalu menengok ke belakang memanggil embannya supaya mendekat. Khandegwilis yang duduk jauh di belakang, bangkit mendekati Ndara Putrinya.

“Biyung Emban, namanya Kamandaka, anak angkat Ki Patih Reksanata.”

“Betul, Ndara Putri, dibawa hantu Sungai Logawa.”

“Husss!!! Jangan sampai. Kasihan, Biyung Emban.”

“Habis cakap sih, makanya hantu sungai suka dia dan akan diajaknya kawin.” 

Tiba-tiba perbincangan Khandegwilis yang tengah menggoda Ndara Putrinya terputus. Terdengar sorak sorai dan tepuk tangan dari penduduk yang berdiri di tepi Sungai Logawa. Kamandaka ternyata muncul ke permukaan sambil membawa seekor ikan kanca yang sangat besar. Bersamaan dengan munculnya Kamandaka, muncul pula ikan-ikan yang mulai menggeliatkan badannya kian kemari. Ikan-ikan itu seakan-akan sedang menari-nari di permukaan sungai, seolah-olah mengiringi Kamandaka keluar dari dasar kedung. Bisik-bisik pun lenyap seketika, lenyap bersama kecemasan yang semula membayangi mereka semua.Gamelan pun di tabuh untuk menyambut kemunculan Kamandaka. Dia bergegas naik ke atas rakit. Ikan kancra paling besar yang berhasil ditangkap dengan tangan kosong itu diangkatnya tingggi-tinggi, seolah-olah hendak dipersembahkan kepada Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya dari atas panggung kehormatan. Sang Dewi tak berkedip menatap dari kejauhan pria muda yang  tampan dan kekar itu, yang sudah berhari-hari mempesona dirinya. 

Sementara itu, dalam benak Kamandaka dia akan meyerahkan ikan hasil tangkapannya dengan tangan kosong itu, bukan untuk Kanjeng Adipati, tetapi hendak dipersembahkan kepada Sang Dewi. Sayang sekali jarak rakit yang ada di atas sungai ke tempat duduk Sang Dewi itu cukup jauh. Akibatnya Kamandaka pun tidak bisa menikmati dengan jelas wajah cantik gadis pujaannya itu. Gamelan berhenti berbunyi, Kamandaka menyerahkan ikan kancra itu kepada seorang bujang. Ikan itu lalu dimasukkannya ke dalam terombong. Kamandaka pun turun dari rakit. Sebelum  acara penutupan, masih ada satu acara lagi. Para paleka yang memiliki kecakapan terjun dari tebing sungai ke kedung dipersilahkan menunjukkan keahliannya di depan Kanjeng Adipati dan para tamu undangan lainnya. 

Ternyata ada tiga paleka yang akan menunjukkan keahlian terjun dari tebing sungai. Paleka pertama terjun dengan meloncat dari atas tebing ke dalam sungai. Ia jatuh tepat di tengah kedung, kemudian menyelam, dan muncul di bagian hilir. Paleka kedua terjun dengan cara meloncat dari tebing, tetapi posisi kepala di bawah, bagaikan anak panah yang meluncur tepat jatuh di tengah kedung. Akhirnya paleka ketiga, meloncat dari atas tebing ke atas lebih dulu dengan tangan terentang ke samping sehingga tampak seperti seekor capung yang tengah terbang. Tiba-tiba dia berputar di udara sehingga berubah menjadi bentuk seperti anak panah kepalanya di bawah, kakinya lurus ke atas seperti melesat dari busurnya, tepat jatuh di tengah kedung pula.

Sorak sorai bergema seketika diiringi bunyi gamelan, saat usai menyaksikan atraksi terjun bebas dari tebing Sungai Logawa yang dilakukan oleh paleka pilihan itu. Ternyata salah satu paleka pilihan itu adalah Kamandaka. 

“Hem…, benar dugaanku. Itulah cara terjun yang berulang kali aku saksikan. Rupanya saat itu dia tengah berlatih untuk ikut meramaikan pesta ini,“ ujar Sang Dewi tersenyum gembira. Dia merasa telah memecahkan teka-teki tentang pemuda yang selama ini menggoda pikirannya.

Sebelum pesta rakyat ditutup, masih ada acara penyerahan kenang-kenangan dari Kanjeng Adipati kepada para penjala dan paleka yang telah memperlihatkan kecakapannya dalam pesta rakyat marak. Ya, pesta rakyat Kadipaten Pasisrluhur yang dilaksanakan setahun sekali pada puncak musim kemarau. Ketiga paleka dan penjala yang telah ditetapkan oleh Ki Patih untuk mendapatkan kenang-kenangan adalah paleka dari Kalirajut, Sidalancar, dan Kepatihan. Kamandaka, paleka dari Kepatihan itu, mendapat kenang-kenangan paling banyak dari Kanjeng Adipati. Kenang-kenangan pertama berupa sekantong uang emas yang diserahkan sendiri oleh Kanjeng Adipati kepada paleka dari Kepatihan, Kamandaka. Kenang-kenangan kedua berupa sekantong uang perak yang diserahkan oleh Kanjeng Ayu Adipati kepada paleka dari Sida Lancar. Dan akhirnya kenang-kenangan ketiga berupa sekantong uang perak pula yang diserahkan Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa kepada paleka dari Kalirajut. Ketika Kamandaka maju dan berdiri bertiga di depan panggung kehormatan, Sang Dewi berhasil melihat sosok dan wajah Kamandaka dari jarak dekat. Diam-diam Sang Dewi beberapa kali mencuri pandang. Sayang sekali, ketika Sang Dewi tampil berjalan di depan panggung kehormatan dengan disaksikan para adipati yang berminat melamarnya, Sang Dewi tidak menyerahkan hadiah  kepada Kamandaka. Sebab tugas Sang Dewi menyerahkan hadiah kepada pemenang ke tiga. Dan pemenang ke tiga, bukan Kamandaka.

Akhirnya Ki Patih Reksanata menyatakan pesta rakyat telah selesai. Bende dipukul lima kali. Gamelan segera dibunyikan untuk mengantarkan Kanjeng Adipati, para tamu, dan para punggawa lainnya. Mereka satu demi satu meninggalkan tempat pesta menuju Pendapa Kadipaten Pasirluhur untuk menghadiri jamuan santap siang dengan suguhan ikan bakar Sungai Logawa. Penduduk pun sekarang boleh turun ke sungai untuk beramai-ramai menangkap sisa-sisa ikan yang masih banyak bermunculan dari dasar sungai. Ikan-ikan yang masih bermunculan itu memang sengaja disisakan untuk diambil penduduk Kadipaten Pasirluhur yang belum kebagian. Dalam perjalanan pulang, kembali Dyah Ayu Dewi Ciptarasa berjalan dengan anggun dalam tatapan ribuan pasang mata. Tidak terkecuali tatapan mata para adipati tetangga yang berniat melamar secepatnya Melati Indah dari Pasirluhur itu. Tetapi yang terpikir dan terbayang dalam benak Sang Dewi hanyalah pria muda yang tampan, cakap, dan kekar yang telah berhari-hari menggoda dirinya, yakni Kamandaka.

“Ya, Kamandaka, anak angkat Ki Patih Reksanata. Ya, itulah dia. Duh Dewa, jadikanlah dia pelindungku, tempat aku bisa berteduh dan menyerahkan sukma dan jiwa ragaku,” Sang Dewi bergulat asyik dengan lamunannya sendiri dalam perjalan pulang menuju Taman Kaputren . 

Bau amis ikan-ikan Sungai Logawa yang berhasil ditangkap bertebaran kemana-mana ditiup angin gunung yang mengusirnya pergi dari lembah Sungai Logawa yang semakin siang semakin sepi. Pada tengah hari air Sungai Logawa yang jernih kemilau itu kembali mengalir dengan tenang ke arah selatan menuju muaranya. Ya, air Sungai Logawa kembali seperti biasa, seakan-akan tak peduli dengan pesta marak yang baru saja usai.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar