Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 27 Desember 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (20)


Tetapi, apakah karena Wirapati  juga seorang panglima perang dan memiliki tradisi keprajuritan  seperti dirinya, sehingga hubungan yang ada terasa kurang mesra bahkan terkesan terlalu formal? Jika memikirkan itu semua, Sekarmenur sering merasa sedih. Apalagi dia merasa sudah lama kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Pikiran-pikiran yang demikian, akhir-akhir ini sering mengganggunya.
Sindiran dan olok-olok Silihwara pada rapat tadi pagi pada Wirapati, seakan-akan Wirapati kurang memperhatikan dirinya, dalam pandangan Sekarmenur sepenuhnya benar. Sekalipun Wirapati mengatakan lupa. Dan hal itu berarti dilakukan secara tidak sengaja. Namun sikap demikian itu bagi Sekarmenur menunjukkan pribadi Wirapati yang belum sepenuhnya mencintai dirinya. Bahkan kini, sekalipun dalam keadaan sepi, karena Mayangsari, Ratna Pamekas dengan kedua adiknya sedang pergi berbelanja ke Pasar Karanglewas menemani Khandegwilis, toh Wirapati  tidak berani masuk ke dalam kamar. Padahal dia akan senang sekali jika Wirapati masuk dan menemaninya dirinya yang sedang menulis surat di atas meja tulis Sang Dewi. Wirapati lebih suka duduk melamun di teras luar menunggu surat yang sedang ditulisnya. Diam-diam Sekarmenur agak kesal juga.
Selesai Sekarmenur menulis, surat segera dilipatnya, dan dimasukkannya ke dalam sampul surat. Dengan perasaan agak jengkel dipanggilnya Wirapati. “Kanda, masuk !” Sekarmenur memberi perintah dengan kata-kata yang tegas kepada Wirapati yang sedang duduk di teras luar. Tiba-tiba kebiasaan Sekarmenur selaku mantan komandan pasukan wanita Kerajaan Nusakambangan muncul.
Sekarmenur duduk di atas kursi menghadap meja tulis, menatap tajam wajah Wirapati yang berdiri di depannya terhalang meja tulis. Wirapati menatap wajah Sekarmenur sebentar, kemudin menunduk. Sikap Wirapati yang demikian itu membuat darah Sekarmenur naik.
“Kanda Wirapati! Apakah Kanda tidak bisa melupakan Dyah Ayu Niken Gambirarum?” tuduhnya sambil tetap menatap wajah Wirapati.
Wirapati sedikit terkejut, lalu mengangkat wajahnya. “Ada masalah apa, Dinda?“ tanya Wirapati  bingung bercampur heran. Wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah.
“Aku tanya! Apakah Kanda Wirapati tidak bisa melupakan Dyah Ayu Niken Gambirarum?”
“Dua malam berturut-turut aku mimpi didatangi Dyah Ayu Gambirarum…,” jawab Wirapati.
Belum selesai mengucapkan kata-kata itu, Sekarmenur membanting sampul berisi surat yang baru ditulisinya ke atas meja. Kemudian berdiri, meninggalkan tempat duduknya. Sekarmenur lari ke tempat tidur. Lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Tak lama kemudian terdengar isak tangsinya.


Tentu saja Wirapati jadi bingung dan terkejut. Dia segera mendekati tempat tidur. Sekarmenur yang sedang tengkurap memeluk guling sambil menangis itu,  dipeluknya dari belakang.
“Maafkan aku, Dinda Sekarmenur. Jika ada kata-kataku menyakiti hati Dinda,” bisik Wirapati seraya beberapa kali mencium leher dan pipi Sekarmenur. Sesungguhnya itulah pertama kali Wirapati memiliki keberanian untuk memeluk dan mencium puteri sulung Adipati Banakeling itu. Bahkan itulah pertama kali, Wirapati memeluk dan mencium seorang wanita yang dicintainya.
“Dinda salah paham. Aku belum selesai bicara,” kata Wirapati. Kembali diciumnnya gadis cantik berkulit kuning yang tengah dipeluknya itu.
Setelah bertubi-tubi dihujani ciuman, pelan-pelan isak tangis Sekarmenur menghilang. Air matanya yang bening masih meleleh membasahi bantal dan guling yang dipeluknya. Hanya air mata yang menetes dari sudut-sudut pelupuk matanya itu, kini berubah menjadi air mata kebahagiaan. Entah sudah berapa tahun, dia belum pernah merasakan lagi sebuah pelukan kasih sayang yang pernah diberikan ayah dan ibundanya. Pelukan kasih sayang ayah dan ibunya telah lenyap dari sisinya ketika musibah yang mengerikan itu menimpa seluruh keluarganya. Kini Sekarmenur merasakan pelukan kasih sayang yang telah lama hilang itu, hadir kembali. Hadir kembali karena dihadirkan oleh Wirapati. Sekarmenur, berharap Wirapati benar-benar tulus mencintai dirinya.
“Dinda Sekarmenur, dengarkan baik-baik kataku,” kata Wirapati, sambil kembali mencium lembut pipi kekasihnya itu. ”Aku mimpi Dyah Ayu Niken Gambirarum mendatangi aku didampingi Raja Pulebahas. Seakan-akan Dyah Ayu Niken Gambirarum akan mengatakan kepadaku, agar agar melupakan dia dan agar aku secepatnya menjadikan Dinda Sekarmenur, istriku,” kata Wirapati jujur.
“Apakah Kanda masih suka mengingat-ingat Dyah Ayu Niken Gambirarum?” tanya Sekarmenur setelah isak tangisnya menghilang.
“Sejak Dinda menerima cintaku dan kita sepakat melanjutkan hubungan kita ke arah yang lebih serius, yakni membangun  mahligai rumah tangga, sejak itulah aku sudah melupakannya sama sekali. Hanya Dinda Sekarmenur yang senantiasa bersemayam di hatiku,” kata Wirapati.
“Sungguh agak mengherankan,” Wirapati melanjutkan, “akhir-akhir ini dia sering muncul dalam mimpiku. Tetapi tidak pernah sendirian, selalu berdua dengan Raja Pulebahas. Aku sebenarnya sudah tahu, mereka sudah menjadi sepasang suami istri di alam sana. Hanya tampaknya ruh mereka masih kesulitan menemukan jalan untuk mencapai moksa. Mungkin Pendeta Muda atau Kanda Kamandaka bisa menjelaskan mimpi aneh itu.”
Sekarmenur membalikkan badannya setelah Wirapati melepaskan pelukannya. Mereka berdua duduk berdampingan di atas ranjang. Sekarmenur sudah mampu menguasai perasaannya kembali. Kini perasaan senang dan bahagia menggelayuti seluruh tubuhnya.
“Aku sebenarnya menyimpan dua benda pusaka Sang Raja Pulebahas. Yang pertama adalah stoples berisi kembang Wijayakusuma yang direndam dalam cairan air tape dimurnikan. Pusaka kedua adalah guci porselin kecil berisi kapas darah perawan suci Dyah Ayu Niken Gambirarum yang kalau dibuka memiliki aroma harum abadi,” kata Dyah Sekarmenur sambil menjatuhkan kepalanya ke dada kanan Wirapati yang duduk di samping kirinya. Wirapati melingkarkan tangan kanannya di atas bahu Sekarmenur yang sedang bermanja-manja kepadanya sambil terus menceriterakan kedua pusaka warisan Raja Pulebahas itu.


“Aku sebenarnya menyimpan dua benda pusaka Sang Raja Pulebahas. Yang pertama adalah stoples berisi kembang Wijayakusuma yang direndam dalam cairan air tape dimurnikan. Pusaka kedua adalah guci porselin kecil berisi kapas darah perawan suci Dyah Ayu Niken Gambirarum yang kalau dibuka memiliki aroma harum abadi,” kata Dyah Sekarmenur sambil menjatuhkan kepalanya ke dada kanan Wirapati yang duduk di samping kirinya. Wirapati melingkarkan tangan kanannya di atas bahu Sekarmenur yang sedang bermanja-manja kepadanya sambil terus menceriterakan kedua pusaka warisan Raja Pulebahas itu.
“Ada beban berat pada diriku, karena aku merasa bukan ahli waris mereka berdua. Sempat terpikir untuk melarung saja kedua pusaka itu bersama abu jasad Sang Raja yang telah selesai diperabukan di muara Sungai Ciserayu. Tetapi tiba-tiba dalam kondisi bingung itu, malam harinya aku bermimpi. Sang Raja Pulebahas memberikan bisikan gaib kepadaku dengan nada setengah memohon. Aku masih ingat, Sang Raja mendatangi aku dengan wajah duka didampingi Dyah Ayu Niken Gambirarum yang memang sudah jadi Permaisuri Sang Raja.”
“Apa isi bisikan Raja Pulebahas, Dinda?” tanya Silihwarna.
“Sang Raja berpesan agar pusaka berupa stoples berisi bunga Wijayakusuma diserahkan kepada Ayunda Dewi, yang dulu gagal diperistrinya. Pesan berikutnya agar guci porselin dengan isinya bisa dikuburkan di tanah kelahiran Dyah Ayu Niken Gambirarum. Kanda lebih tahu, dimana tempat kelahiran Dyah Ayu Niken Gambirarum?” tanya Sekarmenur.
“Di Kalipucang. Dia kan putri Adipati Kalipucang sebelum kadipaten itu dibumihanguskan Kerajaan Nusakambangan,” jawab Wirapati sambil mencium bibir lembut Sekarmenur yang membuat Sekarmenur merasa senang.
“Kita harus secepatnya memberitahu Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka mengenai kedua pusaka itu. Lalu langkah-langkah apakah yang harus diambil untuk melaksanakan pesan Raja Pulebahas dalam mimpiku itu?” kata Sekarmenur yang telah menyadari bahwa mereka ternyata sering mengalami mimpi dalam waktu yang bersamaan. Didatangi Raja Pulebahas dan istrinya, Dyah Ayu Niken Gambirarum.
“Selama pesan dalam mimpi belum dilaksanakan, bisa jadi ruh keduanya masih tersandera di dekat kedua benda pusaka itu. Dimana kedua benda pusaka itu disimpan?” tanya Wirapati.
“Di lemari hias dalam kamar peraduan Sang Raja Pulebahas. Hanya aku yang bisa masuk ke dalamnnya karena kunci kamar aku yang menyimpannya,” jawab Sekarmenur.
Tiba-tiba mereka berdua mendengar langkah-langkah adik-adiknya yang baru pulang dari Pasar Karanglewas. Mereka telah tiba kembali. Terdengar langkah-langkah mereka makin lama makin dekat. Juga suara canda dan tawa di antara mereka. Khandegwilis, Mayangsari, Ratna Pamekas, Sekarmelati, dan Sekarcempaka.
Wirapati cepat berdiri meninggalkan ranjang tempat tidur. Demikian pula Sekarmenur, cepat merapihkan rambutnya dan pakaiannya, menghapus sisa-sisa air mata yang sempat membasahi pelupuk matanya. Dengan cekatan Sekarmenur kembali ke meja tulis memungut dan merapikan sampul berisi surat yang tadi dibantingnya. Lalu keduanya keluar kamar, dan duduk-duduk di teras depan kamar, seakan-akan sedang menanti kedatangan adik-adiknya itu.
“Eee, Ndara Wirapati dan Ndara Sekarmenur. Sudah lama? Kasihan tidak ada yang membuatkan minum. Biyung Emban baru saja pulang dari Pasar Karanglewas. Ini mengantarkan Ndara-Ndara yang cantik-cantik ini,” kata Khandegwilis kepada Wirapati dan Sekarmenur, sambil menunjuk gadis-gadis cantik adik-adiknya itu. Mereka semua akhirnya duduk di teras Taman Kaputren, melepas lelah.
Sekarmelati segera membagikan bungkusan makanan kueh jajan pasar yang baru saja dibeli dari Pasar Karanglewas. ”Menemani Emban Khandegwilis yang berbelanja bumbu-bumbu keperluan dapur,” kata Sekarmelati.
“Ada yang mengawal, Ndara. Itu Pendeta Muda,” kata Emban Khandegwilis seakan-akan memberikan laporan kepada Wirapati. “Pendeta Muda mengawal kita semua. Sambil jalan-jalan, demikian kata Pendeta Muda. Dia yang memborong kueh-kueh itu. Katanya di Pakuan Pajajaran tidak ada,” kata Khandegwilis.
“Oh, Pendeta Muda ikut? Kemana sekarang? Tadi kelihatannya ikut rapat di Pendapa. Pantas tahu-tahu sudah menghilang. Berani juga Pendeta Muda mengawal sendirian empat gadis sekaligus!” kata Wirapati sambil tertawa. Emban Khandegwilis dan keempat gadis cantik itu pun ikut tertawa. Pendeta Muda Amenglayaran langsung menuju Pendapa setelah pulang dari Pasar Karanglewas.
“Tidak ada Kanjeng Ayu Adipati rasanya sepi. Sebab biasanya Kaneng Ayu Adipati yang suka bikin heboh bila berkumpul ramai-ramai seperti ini,” kata Khandegwilis.
“Biyung Emban, jangan ganggu Ayunda Dewi, ya. Dia dengan suaminya sedang bertapa,” kata Mayangsari pura-pura mengingatkan Khandegwilis yang ditugasi mengurus semua keperluan Sang Dewi yang sedang istirahat total di Puri Permatabiru.
“Mana berani Biyung Emban mengganggu Kanjeng Ayu Adipati yang sedang menikmati masa-masa pengantin baru? Tadi pagi Biyung Emban masuk ke dalam puri membawakan makanan kecil dan sarapan pagi.”
“Sedang apa Ayunda Dewi?” tanya Mayangsari.
“Kalau biasanya pagi-pagi benar, Kanjeng Ayu Adipati sudah bangun dan duduk di depan meja rias. Tapi tadi pagi ketika Biyung Emban masuk pelan-pelan, Kanjeng Ayu Adipati masih di atas ranjang pengantin.”
“Tahu tidak kalau Biyung Emban masuk?” tanya Mayangsari pula.
“Ya tahu, soalnya Kanjeng Ayu Adipati dari balik kelambu ranjang pengantin berwarna biru muda itu, pesan agar Biyung Emban tidak lupa membawa pakaian Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati yang telah kotor untuk dicuci.”
“Kapan Emban Khandegwilis akan ke sana lagi?”
“Tentu sebentar lagi, mengantarkan makanan dan minuman untuk santap siang.”
“Ayunda Dewi masih di ranjang pengantin tidak, ya?” tanya Mayangsari.
“Ah, mana Biyung Emban tahu? Ndara Mayangsari penasaran ingin tahu saja. Sebulan lagi kan Ndara Mayangsari akan mengikuti jejak Kanjeng Ayu Adipati. Benar bukan? Hehehe…,“ Khandegwilis berkata sambil tertawa.
Mayangsari tersenyum dengan wajah agak tersipu-sipu karena kakak-kakaknya dan adik-adiknya ikut tertawa. Emban Khadeg Wilis buru-buru meninggalkan mereka mencari bujang yang akan disuruh menyediakan minuman untuk mereka yang tengah berbincang-bincang di teras Taman Kaputren.
Wirapati segera meninggalkan Taman Kaputren sambil membawa surat yang telah dibuat Sekarmenur, ketika matahari sudah hampir mencapai puncak langit biru bersih dengan sejumlah gumpalan awan putih. Tiba di Pendapa Wirapati menyerahkan surat yang dibuat Sekarmenur kepada Tumenggung Maresi. Sekalipun rapat sudah ditutup, mereka masih berkumpul memperbincangkan persiapan pemberangkatan rombongan yang akan mengikuti bulan madu Sang Dewi dan Kamandaka ke Nusakambangan.
Tumenggung Maresi cepat-cepat menyerahkan surat dari Wirapati kepada empat orang kurir yang sudah siap dengan dua ekor kudanya. Siang itu juga setelah diberi sejumlah bekal oleh Tumenggung Maresi, keempat kurir memacu kudanya meninggalkan Pendapa Kadipaten Pasirluhur. Mereka berempat naik dua kuda, menuju Nusakambangan.(bersambung)