Ketika hari beranjak
siang, seperti biasa, Kamandaka turun ke sungai yang bening airnya untuk mandi pagi. Bajunya diletakkan di atas
batu, dan dia beberapa kali menyelam lalu menggosok-gosok tubuhnya dengan daun dilem
yang harum segar mewangi. Kamandaka yakin benar bahwa keadaan sekeliling sangat
sepi, apalagi hari masih pagi, sehingga tak mungkin ada orang yang akan
melihatnya. Tetapi, di balik pohon yang rimbun, di tebing sebelah barat, tanpa
disadari Kamandaka sudah sejak kemarin ada sepasang mata melakukan pengintaian.
Gerak-gerik Kamandaka terus diawasi, sampai Kamandaka selesai mandi lalu
kembali naik ke tebing sebelah timur dan kembali masuk ke tempat persembunyiannya.
Yakni sebuah lubang di bawah pohon trengguli
besar yang tidak mudah dikenali orang.
Ki Wiradhustha,
lelaki yang bersembunyi di balik rimbunnya pohon-pohon di sisi barat tebing itu
tersenyum puas. Dia adalah salah satu dari prajurit Kadipaten Pasirluhur yang
mendapat perintah dari Ki Patih Reksanata untuk mencari tempat persembunyian
Kamandaka. Dia segera meninggalkan tempat pengintaian itu, bergegas akan
melaporkan hasilnya kepada Kanjeng Adipati dan Ki Patih Reksanata. Dia tahu,
bahwa mereka pastilah masih rapat di pendapa Kadipaten. Maka ke sanalah dia
cepat-cepat melangkah untuk melaporkan hasilnya.
***
Kanjeng Adipati
Kandhadaha sudah tiga hari berturut-turut memimpin pertemuan di Pendapa
Kadipaten dihadiri Ki Patih Reksanata serta seluruh aparat dan punggawa
Kadipaten. Wajah Kanjeng Adipati masih menyimpan murka dan amarah atas perilaku
anak angkat Ki Patih Reksanata yang bernama Kamandaka. Apalagi sudah dua hari
seluruh prajurit bahkan seluruh penduduk dikerahkan untuk melakukan pencarian
tempat persembunyian Kamandaka. Tetapi hasilnya sampai hari itu belum ada.
Kanjeng Adipati sudah mengancam Ki Patih Reksanata. Jika sampai hari ketiga,
tempat persembunyian Kamandaka belum juga ditemukan, Sang Adipati akan memecat
Ki Patih Reksanata.
“Bagaimana Ki Patih,
apakah anak angkatmu sudah kau temukan?” tanya Kanjeng Adipati pada Ki Patih
Reksanata. Ki Patih duduk tertunduk
karena perasaan sedih dan malu atas kelakuan anak angkatnya yang sangat tidak
senonoh itu.
“Ki Patih sudah
menyebar puluhan prajurit untuk mencari tempat persembunyian Kamandaka, tapi
sampai hari ini belum ada laporan yang menggembirakan, Kanjeng Adipati,” jawab
Ki Patih Reksanata setelah lama terdiam.
“Ingat, hari ini hari
terakhir. Jika belum juga ketemu, kamu aku pecat sebagai patih. Mengerti?”
Ki Patih Reksanata
tidak menjawab. Tetapi kepalanya mengangguk pertanda dia mengaku salah dan siap
menerima risikonya. Kesalahan terbesar yang dituduhkan kepadanya, sebagai ayah
angkat, Ki Patih Reksanata dianggap tidak mampu memberikan pendidikan yang baik
kepada anak angkatnya itu. Ki Patih sendiri menyesalkan kelakuan anak angkatnya
yang memalukan, yang telah melanggar adat serta undang-undang yang berlaku.
Apalagi dalam sesumbarnya, Kamandaka dengan bangga menyebutkan bahwa dirinya adalah
anak angkat Ki Patih Reksanata. Padahal andai kata anak angkatnya itu berterus
terang ingin punya istri, niscaya Ki Patih Reksanata akan mencarikannya.
“Ingat juga Ki Patih,
jika engkau ketahuan menyembunyikan anak angkatmu, engkau pun bukan hanya kupecat.
Tetapi engkau juga akan dipidana mati, seperti anak angkatmu itu. Aku
sebenarnya kagum juga kepada kedigdayaan anak angkatmu. Pada waktu pesta marak,
dia menjadi bintang dengan segudang keterampilan yang mengagumkan. Ternyata dia
juga menguasai seni beladiri tingkat tinggi. Bayangkan, dikepung dua puluh
prajurit, dia bisa lolos. Malah prajurit pengepung, lima orang menderita luka
parah, tiga orang tewas. Bukankah itu suatu bukti anak angkatmu itu sebenarnya
seorang pria semuda itu sudah memiliki ilmu bela diri tingkat tinggi?
Sayang sekali, dia tidak memiliki budi pekerti luhur. Apakah dia tidak tahu,
mendatangi dan bermain asmara dengan gadis sedang dipingit itu suatu perbuatan
memalukan, terkutuk, dimurkai para Dewa, dan hukumannya sangat berat, yakni
pidana mati?”
Semua yang hadir di
pendapa itu diam bagaikan orong-orong terinjak, tak terdengar suara berisik
sedikit pun. Suara yang terdengar hanyalah suara Kanjeng Adipati. Bukan hanya pengarahan
yang disampaikan, tetapi juga ancaman kepada mereka yang melanggar adat dan
undang-undang yang berlaku. Sisa-sisa amarah Kanjeng Adipati masih dirasakan
mereka semua yang hadir di pendapa ketika datang Ki Wiradhustha menghadap
Kanjeng Adipati. Dia segera melaporkan hasil temuannya. Sebuah laporan yang
membuat Kanjeng Adipati merasa senang.
“Si Macan muda itu,
Kanjeng Adipati, sudah hamba temukan tempat persembunyiannya. Di bawah sebuah
pohon trengguli besar, di hulu Sungai Logawa ke arah utara. Memang tempatnya
sangat tersembunyi. Hamba melihatnya tadi pagi waktu dia turun mandi ke Sungai
Logawa. Sekarang sejumlah teman hamba terus mengawasi tempat itu agar jangan
sampai dia lolos,” kata Ki Wiradhustha. “Sebaiknya cepat dilakukan pengepungan
dan penangkapan, Kanjeng Adipati. Sebab bila tidak, hamba khawatir Si Macan
muda pindah dari tempat itu dan menghilang lagi, sehingga akan semakin sulit
untuk menangkapnya,” ujar Ki Wiradhustha. Tentu saja laporan itu membuat Kanjeng
Adipati berbinar-binar karena senang. Demikian pula mereka semua yang hadir di
pendapa, tak terkecuali Ki Patih Reksanata.
“Untunglah Kamandaka
bersembunyi di tepi hutan di pinggir Sungai Logawa. Hilanglah kecurigaan
padaku. Terbukti aku tidak menyembunyikannya. Coba kalau Kamandaka ditemukan
sembunyi di Kepatihan. Pastilah aku akan terseret-seret juga,” ujar Ki Patih
Reksanata di dalam hatinya. Tetapi Ki Patih Reksanata merasa sedih juga. Dia
tidak sampai hati bila anak angkat yang amat disayanginya itu, harus menjalani
pidana mati.
“Baiklah kalau begitu.
Ki Patih, engkau sudah dengar sendiri laporan anak buahmu. Sekarang silahkan
engkau pimpin operasi penangkapan Si Macan Muda, hidup atau mati. Gunakan seluruh
kekuatan yang ada. Libatkan penduduk Kadipaten Pasirluhur sebanyak mungkin.”
Kanjeng Adipati cepat-cepat menutup pertemuan setelah menugaskan Ki Patih
Reksanata melakukan operasi penangkapan Si Macan muda yang tidak lain adalah
Kamandaka, anak angkat kesayangan Ki Patih Reksanata sendiri.
Siang hari ketika
matahari hampir mencapai puncak kubah langit, pohon trengguli tempat
persembunyian Kamandaka sudah dikepung prajurit Kadipaten Pasirluhur. Jumlah
prajurit pengepung mencapai ratusan. Mereka juga dibantu
penduduk yang penasaran hendak ikut menangkap anak angkat Ki Patih Reksanata.
Dikepunglah pohon trengguli itu dari segala penjuru. Ada yang mengepung dari
sisi utara, dari sisi selatan dan dari sisi seberang sungai sebelah barat.
Pokoknya setiap celah yang memberikan jalan untuk lolos, ditutup rapat-rapat.
Kamandaka baru menyadari bahwa dirinya dikepung ratusan prajurit itu, setelah
mendengar teriakan riuh rendah dari para prajurit pengepungnya yang meminta
agar Kamandaka lebih baik menyerahkan diri secara suka rela. Karena tak ada
jawaban dari Kamandaka, maka tempat itu segera dihujani dengan berbagai macam
jenis senjata, mulai dari tombak, panah, bahkan batu. Semuanya dilemparkan ke
tempat Kamandaka bersembunyi. Para prajurit pengepung itu bahkan mengancam akan
segera membakar tempat persembunyian itu, apabila Kamandaka tidak mau menyerah.
Bagi Kamandaka
sebenarnya hanya ada dua jalan. Melawan mereka yang jumlahnya ratusan atau
menyelamatkan diri. Jalan untuk menyelamatkan diri pun ada dua. Masuk ke hutan
di sebelah timur laut atau terjun ke dalam Sungai Logawa yang ada di depannya.
Kamandaka masih terus berpikir keras untuk memilih jalan mana yang terbaik.
Sementara itu hujan batu, anak panah dan tombak seperti datangnya hujan yang
tak henti-hentinya. Para pengepung dari sisi utara dan sisi selatan pun sudah
mulai mendekat. Jika Kamandaka melawan mereka yang jumlahnya ratusan itu,
walaupun Kamandaka mampu, tetapi korban akan banyak sekali berjatuhan. Lagi
pula tenaga Kamandaka pun lama-lama akan terkuras habis. Jika masuk hutan,
pengepungan pastilah akan dilakukan terus-menerus dan bisa berlangsung
berbulan-bulan.
“Hanya loncat ke dalam
sungai dan bersembunyi di dalam ceruk besar di selatan kedung itulah cara paling
aman. Leluhurku keturunan bangsa Galuh. Luh berarti sungai, air yang mengalir
dari sebuah mata air. Bangsa Galuh adalah bangsa yang berperadaban sungai.
Sungai adalah Ibu leluhurku. Wahai Sungai Logawa, Ibu leluhurku, selamatkan
diriku ini!” ujar Kamandaka di dalam hati.
Tepat saat matahari
mencapai puncak kulminasinya dan ketika terik matahari sedang kuat-kuatnya
memanggang lereng Gunung Agung dan Lembah Sungai Logawa, Kamandaka membuat
loncatan sangat indah. Dia meloncat terjun ke dalam Sungai Logawa, disaksikan
ratusan pasang mata prajurit pengepung. Tubuh Kamandaka segera lenyap di dasar
Sungai Logawa dan tak pernah lagi muncul ke permukaan. Dia kini berada dalam
pelukan Sang Ibu.
Para prajurit
menunggu-nunggu kemunculan Kamandaka dari tengah hari sampai matahari hampir
terbenam. Ternyata orang yang ditunggu-tunggu tidak muncul juga. Padahal para
prajurit sudah disebar di kiri kanan sungai sampai jauh ke arah hilir. Akhirnya
para prajurit itu berkesimpulan Kamandaka pastilah sudah mati terbenam di dasar
Sungai Logawa. Mana mungkin ada manusia kuat menyelam sampai hampir setengah
hari? Yang paling mungkin, demikian mereka berpikir, Kamandaka pastilah dibawa
Menyangga, hantu Sungai Logawa, yang jahil, tetapi cantik.
Penduduk yang lain lagi
berpikiran Kamandaka telah diminta menjadi tumbal Sungai Logawa. Dengan tumbal
itu, Sungai Logawa akan bermurah hati memberikan kemakmuran kepada penduduk.
Ikan Sungai Logawa akan semakin berlimpah ruah. Sungai Logawa akan menjadi
jinak, tidak pernah liar, tidak pernah banjir.
“Terima kasih Raden.
Engkau telah merelakan dirimu menjadi tumbal Sungai Logawa. Engkau telah
berkorban demi kebahagiaan kita semua!” demikian berkecamuk sejumlah pikiran
dalam benak sebagian penduduk Kadipaten Pasirluhur.
Ki Patih Reksanata
hanya pasrah setelah menerima laporan dari para prajurit komandan lapangan yang
ditugasi memimpin operasi penangkapan Kamandaka. Dalam hati dia tetap berharap
anak angkatnya itu selamat. Sebaliknya Kanjeng Adipati Kandhadaha, dia menerima
laporan hasil penangkapan Si Macan Muda itu dengan wajah dingin. Sedangkan Sang
Dewi menyikapi berita hasil pengejaran Kamandaka dengan sikap penuh harap,
semoga Sungai Logawa menyelamatkannya.
Ketika Kamandaka terjun
ke tengah-tengah Sungai Logawa, dia sadar bahwa dirinya sedang diikuti ratusan
pasang mata prajurit Kadipaten Pasirluhur yang sedang mengepungnya. Dia mencoba
mengelabui prajurit yang hendak menangkapnya yang sebagian besar berdiri
berderet di bibir sungai. Tapi mereka yang berjaga-jaga di tebing barat sungai,
jumlahnya tidak sebanyak prajurit yang menunggu di tebing timur. Dengan
menyelam seolah-olah Kamandaka akan muncul di sisi tebing barat, pastilah
seluruh perhatian prajurit yang penasaran hendak menangkapnya, akan terpusat
pada sisi aliran sungai yang searah dengan matahari terbenam. Padahal di dalam
air, Kamandaka segera mengubah arah. Dia menyelam ke arah hilir dasar tebing
sungai arah matahari terbit.
Matahari sudah
tergelincir sedikit ke barat dari puncak kulminasinya. Kamandaka terus menyelam,
dengan cepat mencapai dasar tebing sungai sebelah timur, menyusuri aliran
Sungai Logawa ke arah hilir menuju selatan. Sesekali wajahnya muncul ke
permukaan sekedar untuk mengambil udara. Akhirnya Kamandaka menemukan ceruk
dalam pada dinding tebing di dasar sungai. Ceruk itu sudah dikenalnya menjelang
pesta marak beberapa waktu yang lalu. Berbeda dengan ceruk-ceruk di tebing
barat, ceruk di tebing timur itu cukup besar, sehingga dengan mudah Kamandaka
bisa masuk ke dalamnya.
Ternyata ceruk itu luar
biasa besarnya. Kamandaka muncul di permukaan semacam telaga kecil di bawah
tanah dengan atap melengkung berbentuk kubah. Di salah satu dinding kubah batu
cadas berwarna hitam kehijau-hijaun terdapat lorong cukup besar. Dengan tidak
banyak kesulitan, Kamandaka naik masuk ke dalam mulut lorong, kemudian merangkak
beberapa lama, sampai akhirnya tiba di sebuah lorong yang panjang di dalam
tanah. Sebagai seorang ksatria putra Raja Pajajaran, tentu saja dia segera tahu
bahwa lorong di dalam tanah yang cukup panjang itu adalah sebuah lorong
rahasia.
“Lorong rahasia sengaja
dibuat untuk menyelamatkan diri. Hanya bangsa Galuh yang mempunyai tradisi membangun
kerajaan di tepi sungai lengkap dengan lorong rahasia untuk menyelamatkan diri
jika Keraton diserang musuh yang tak dapat dilawannya,” pikir Kamandaka. Kini
Kamandaka telah berada di bagian lorong cukup besar, sehingga dia bisa berjalan
maju menyelusuri lorong dengan lantai berlapis batu yang telah lama memadat.
“Bisa jadi tak ada
seorang pun Adipati Pasirluhur yang tahu adanya lorong rahasia ini. Lorong
rahasia ini, dapat dipastikan peninggalan Kerajaan Galuh Purba beberapa abad
lalu. Ayahanda betul. Dia pernah berceritera tentang Kerajaan Sunda Galuh Purba
yang memang pernah mendirikan sebuah kerajaan di lereng selatan Gunung Agung,”
ujar Kamandaka. Dia terus berjalan menyusuri lorong untuk menemukan ujung
lorong kuno itu. Sambil terus melangkah
menyusuri lorong, Kamandaka merasa sedang napak tilas lorong peninggalan leluhurnya.
Ada perasaan bangga dalam dirinya, karena tidak setiap ksatria Pajajaran
mendapat kesempatan langka itu. Ceritera ayahnya, Prabu Siliwangi, tentang
bangsa Galuh, bangsa yang berporos kehidupan di sekitar sungai-sungai besar
itu, tiba-tiba kembali diingatnya.
“Tanah air leluhur
bangsa Galuh itu berada di seberang lautan di daratan Asia sana,“ kata ayahnya,
Sang Prabu Siliwangi pada suatu kesempatan berkumpul dan berbincang-bincang
dengan dirinya dan ketiga adiknya, Banyakngampar, Banyakbelabur, dan Ratna
Pamekas.
Leluhur bangsa Galuh
itu pada mulanya bermukim di Lembah Sungai Sutra yang subur di daerah Funan,
Cochin-China. Lembah Sungai Sutra yang terletak di sebelah timur Lembah Sungai
Gangga itu, sebenarnya merupakan suatu lembah subur karena di situ mengalir
banyak sungai, seperti Menam, Mekhong dan lainnya lagi. Pada masa itu, penduduk
yang bermukim di sekitarnya sudah memiliki peradaban tinggi berbasis sungai.
Karena itu mereka menamakan dirinya sebagai putra-putra sungai. Mereka
menganggapnya sebagai keturunan Dewa Penguasa Gunung dengan Dewi Bidadari
Penguasa Sungai. Karena itu pandangan hidup mereka sangat memuliakan dan
mensucikan gunung dan sungai. Gunung dipandangnya sebagai kekuasaan ayah dan
sungai sebagai lambang kasih sayang seorang ibu.
Di hulu-hulu sungai
yang merupakan pertemuan antara gunung dan sungai, dibangunlah tempat-tempat
pemukiman dan pusat-pusat pemerintahan atau kerajaan. Sebab tempat itu
dipandang sebagai lambang cinta kasih Dewa Penguasa Gunung dan Dewi Bidadari
Penguasa Sungai yang telah melahirkan anak-anak mereka yaitu para putra-putri
sungai. Pasangan Gunung-Sungai itu juga telah menganugerahkan kekayaan alam di
sekitarnya, yang dapat digunakan untuk menopang kehidupan para putra-putri
sungai itu.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar