Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 17 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (16)





Ketika hari beranjak siang, seperti biasa, Kamandaka turun ke sungai yang bening airnya   untuk mandi pagi. Bajunya diletakkan di atas batu, dan dia beberapa kali menyelam lalu menggosok-gosok tubuhnya dengan daun dilem yang harum segar mewangi. Kamandaka yakin benar bahwa keadaan sekeliling sangat sepi, apalagi hari masih pagi, sehingga tak mungkin ada orang yang akan melihatnya. Tetapi, di balik pohon yang rimbun, di tebing sebelah barat, tanpa disadari Kamandaka sudah sejak kemarin ada sepasang mata melakukan pengintaian. Gerak-gerik Kamandaka terus diawasi, sampai Kamandaka selesai mandi lalu kembali naik ke tebing sebelah timur dan kembali masuk ke tempat persembunyiannya. Yakni sebuah lubang di bawah pohon trengguli  besar yang tidak mudah dikenali orang. 

Ki Wiradhustha, lelaki yang bersembunyi di balik rimbunnya pohon-pohon di sisi barat tebing itu tersenyum puas. Dia adalah salah satu dari prajurit Kadipaten Pasirluhur yang mendapat perintah dari Ki Patih Reksanata untuk mencari tempat persembunyian Kamandaka. Dia segera meninggalkan tempat pengintaian itu, bergegas akan melaporkan hasilnya kepada Kanjeng Adipati dan Ki Patih Reksanata. Dia tahu, bahwa mereka pastilah masih rapat di pendapa Kadipaten. Maka ke sanalah dia cepat-cepat melangkah untuk melaporkan hasilnya.
***
Kanjeng Adipati Kandhadaha sudah tiga hari berturut-turut memimpin pertemuan di Pendapa Kadipaten dihadiri Ki Patih Reksanata serta seluruh aparat dan punggawa Kadipaten. Wajah Kanjeng Adipati masih menyimpan murka dan amarah atas perilaku anak angkat Ki Patih Reksanata yang bernama Kamandaka. Apalagi sudah dua hari seluruh prajurit bahkan seluruh penduduk dikerahkan untuk melakukan pencarian tempat persembunyian Kamandaka. Tetapi hasilnya sampai hari itu belum ada. Kanjeng Adipati sudah mengancam Ki Patih Reksanata. Jika sampai hari ketiga, tempat persembunyian Kamandaka belum juga ditemukan, Sang Adipati akan memecat Ki Patih Reksanata. 

“Bagaimana Ki Patih, apakah anak angkatmu sudah kau temukan?” tanya Kanjeng Adipati pada Ki Patih Reksanata. Ki Patih  duduk tertunduk karena perasaan sedih dan malu atas kelakuan anak angkatnya yang sangat tidak senonoh itu.

“Ki Patih sudah menyebar puluhan prajurit untuk mencari tempat persembunyian Kamandaka, tapi sampai hari ini belum ada laporan yang menggembirakan, Kanjeng Adipati,” jawab Ki Patih Reksanata setelah lama terdiam.

“Ingat, hari ini hari terakhir. Jika belum juga ketemu, kamu aku pecat sebagai patih. Mengerti?”

Ki Patih Reksanata tidak menjawab. Tetapi kepalanya mengangguk pertanda dia mengaku salah dan siap menerima risikonya. Kesalahan terbesar yang dituduhkan kepadanya, sebagai ayah angkat, Ki Patih Reksanata dianggap tidak mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak angkatnya itu. Ki Patih sendiri menyesalkan kelakuan anak angkatnya yang memalukan, yang telah melanggar adat serta undang-undang yang berlaku. Apalagi dalam sesumbarnya, Kamandaka dengan bangga menyebutkan bahwa dirinya adalah anak angkat Ki Patih Reksanata. Padahal andai kata anak angkatnya itu berterus terang ingin punya istri, niscaya Ki Patih Reksanata akan mencarikannya. 

“Ingat juga Ki Patih, jika engkau ketahuan menyembunyikan anak angkatmu, engkau pun bukan hanya kupecat. Tetapi engkau juga akan dipidana mati, seperti anak angkatmu itu. Aku sebenarnya kagum juga kepada kedigdayaan anak angkatmu. Pada waktu pesta marak, dia menjadi bintang dengan segudang keterampilan yang mengagumkan. Ternyata dia juga menguasai seni beladiri tingkat tinggi. Bayangkan, dikepung dua puluh prajurit, dia bisa lolos. Malah prajurit pengepung, lima orang menderita luka parah, tiga orang tewas. Bukankah itu suatu bukti anak angkatmu itu sebenarnya seorang  pria semuda itu sudah  memiliki ilmu bela diri tingkat tinggi? Sayang sekali, dia tidak memiliki budi pekerti luhur. Apakah dia tidak tahu, mendatangi dan bermain asmara dengan gadis sedang dipingit itu suatu perbuatan memalukan, terkutuk, dimurkai para Dewa, dan hukumannya sangat berat, yakni pidana mati?”

Semua yang hadir di pendapa itu diam bagaikan orong-orong terinjak, tak terdengar suara berisik sedikit pun. Suara yang terdengar hanyalah suara Kanjeng Adipati. Bukan hanya pengarahan yang disampaikan, tetapi juga ancaman kepada mereka yang melanggar adat dan undang-undang yang berlaku. Sisa-sisa amarah Kanjeng Adipati masih dirasakan mereka semua yang hadir di pendapa ketika datang Ki Wiradhustha menghadap Kanjeng Adipati. Dia segera melaporkan hasil temuannya. Sebuah laporan yang membuat Kanjeng Adipati merasa senang.

“Si Macan muda itu, Kanjeng Adipati, sudah hamba temukan tempat persembunyiannya. Di bawah sebuah pohon trengguli besar, di hulu Sungai Logawa ke arah utara. Memang tempatnya sangat tersembunyi. Hamba melihatnya tadi pagi waktu dia turun mandi ke Sungai Logawa. Sekarang sejumlah teman hamba terus mengawasi tempat itu agar jangan sampai dia lolos,” kata Ki Wiradhustha. “Sebaiknya cepat dilakukan pengepungan dan penangkapan, Kanjeng Adipati. Sebab bila tidak, hamba khawatir Si Macan muda pindah dari tempat itu dan menghilang lagi, sehingga akan semakin sulit untuk menangkapnya,” ujar Ki Wiradhustha. Tentu saja laporan itu membuat Kanjeng Adipati berbinar-binar karena senang. Demikian pula mereka semua yang hadir di pendapa, tak terkecuali Ki Patih Reksanata. 

“Untunglah Kamandaka bersembunyi di tepi hutan di pinggir Sungai Logawa. Hilanglah kecurigaan padaku. Terbukti aku tidak menyembunyikannya. Coba kalau Kamandaka ditemukan sembunyi di Kepatihan. Pastilah aku akan terseret-seret juga,” ujar Ki Patih Reksanata di dalam hatinya. Tetapi Ki Patih Reksanata merasa sedih juga. Dia tidak sampai hati bila anak angkat yang amat disayanginya itu, harus menjalani pidana mati. 

“Baiklah kalau begitu. Ki Patih, engkau sudah dengar sendiri laporan anak buahmu. Sekarang silahkan engkau pimpin operasi penangkapan Si Macan Muda, hidup atau mati. Gunakan seluruh kekuatan yang ada. Libatkan penduduk Kadipaten Pasirluhur sebanyak mungkin.” Kanjeng Adipati cepat-cepat menutup pertemuan setelah menugaskan Ki Patih Reksanata melakukan operasi penangkapan Si Macan muda yang tidak lain adalah Kamandaka, anak angkat kesayangan Ki Patih Reksanata sendiri. 

Siang hari ketika matahari hampir mencapai puncak kubah langit, pohon trengguli tempat persembunyian Kamandaka sudah dikepung prajurit Kadipaten Pasirluhur. Jumlah prajurit pengepung mencapai ratusan. Mereka juga dibantu penduduk yang penasaran hendak ikut menangkap anak angkat Ki Patih Reksanata. Dikepunglah pohon trengguli itu dari segala penjuru. Ada yang mengepung dari sisi utara, dari sisi selatan dan dari sisi seberang sungai sebelah barat. Pokoknya setiap celah yang memberikan jalan untuk lolos, ditutup rapat-rapat. Kamandaka baru menyadari bahwa dirinya dikepung ratusan prajurit itu, setelah mendengar teriakan riuh rendah dari para prajurit pengepungnya yang meminta agar Kamandaka lebih baik menyerahkan diri secara suka rela. Karena tak ada jawaban dari Kamandaka, maka tempat itu segera dihujani dengan berbagai macam jenis senjata, mulai dari tombak, panah, bahkan batu. Semuanya dilemparkan ke tempat Kamandaka bersembunyi. Para prajurit pengepung itu bahkan mengancam akan segera membakar tempat persembunyian itu, apabila Kamandaka tidak mau menyerah.

Bagi Kamandaka sebenarnya hanya ada dua jalan. Melawan mereka yang jumlahnya ratusan atau menyelamatkan diri. Jalan untuk menyelamatkan diri pun ada dua. Masuk ke hutan di sebelah timur laut atau terjun ke dalam Sungai Logawa yang ada di depannya. Kamandaka masih terus berpikir keras untuk memilih jalan mana yang terbaik. Sementara itu hujan batu, anak panah dan tombak seperti datangnya hujan yang tak henti-hentinya. Para pengepung dari sisi utara dan sisi selatan pun sudah mulai mendekat. Jika Kamandaka melawan mereka yang jumlahnya ratusan itu, walaupun Kamandaka mampu, tetapi korban akan banyak sekali berjatuhan. Lagi pula tenaga Kamandaka pun lama-lama akan terkuras habis. Jika masuk hutan, pengepungan pastilah akan dilakukan terus-menerus dan bisa berlangsung berbulan-bulan. 

“Hanya loncat ke dalam sungai dan bersembunyi di dalam ceruk besar di selatan kedung itulah cara paling aman. Leluhurku keturunan bangsa Galuh. Luh berarti sungai, air yang mengalir dari sebuah mata air. Bangsa Galuh adalah bangsa yang berperadaban sungai. Sungai adalah Ibu leluhurku. Wahai Sungai Logawa, Ibu leluhurku, selamatkan diriku ini!” ujar Kamandaka di dalam hati.

Tepat saat matahari mencapai puncak kulminasinya dan ketika terik matahari sedang kuat-kuatnya memanggang lereng Gunung Agung dan Lembah Sungai Logawa, Kamandaka membuat loncatan sangat indah. Dia meloncat terjun ke dalam Sungai Logawa, disaksikan ratusan pasang mata prajurit pengepung. Tubuh Kamandaka segera lenyap di dasar Sungai Logawa dan tak pernah lagi muncul ke permukaan. Dia kini berada dalam pelukan Sang Ibu.

Para prajurit menunggu-nunggu kemunculan Kamandaka dari tengah hari sampai matahari hampir terbenam. Ternyata orang yang ditunggu-tunggu tidak muncul juga. Padahal para prajurit sudah disebar di kiri kanan sungai sampai jauh ke arah hilir. Akhirnya para prajurit itu berkesimpulan Kamandaka pastilah sudah mati terbenam di dasar Sungai Logawa. Mana mungkin ada manusia kuat menyelam sampai hampir setengah hari? Yang paling mungkin, demikian mereka berpikir, Kamandaka pastilah dibawa Menyangga, hantu Sungai Logawa, yang jahil, tetapi cantik. 

Penduduk yang lain lagi berpikiran Kamandaka telah diminta menjadi tumbal Sungai Logawa. Dengan tumbal itu, Sungai Logawa akan bermurah hati memberikan kemakmuran kepada penduduk. Ikan Sungai Logawa akan semakin berlimpah ruah. Sungai Logawa akan menjadi jinak, tidak pernah liar, tidak pernah banjir.

“Terima kasih Raden. Engkau telah merelakan dirimu menjadi tumbal Sungai Logawa. Engkau telah berkorban demi kebahagiaan kita semua!” demikian berkecamuk sejumlah pikiran dalam benak sebagian penduduk Kadipaten Pasirluhur. 

Ki Patih Reksanata hanya pasrah setelah menerima laporan dari para prajurit komandan lapangan yang ditugasi memimpin operasi penangkapan Kamandaka. Dalam hati dia tetap berharap anak angkatnya itu selamat. Sebaliknya Kanjeng Adipati Kandhadaha, dia menerima laporan hasil penangkapan Si Macan Muda itu dengan wajah dingin. Sedangkan Sang Dewi menyikapi berita hasil pengejaran Kamandaka dengan sikap penuh harap, semoga Sungai Logawa menyelamatkannya. 

Ketika Kamandaka terjun ke tengah-tengah Sungai Logawa, dia sadar bahwa dirinya sedang diikuti ratusan pasang mata prajurit Kadipaten Pasirluhur yang sedang mengepungnya. Dia mencoba mengelabui prajurit yang hendak menangkapnya yang sebagian besar berdiri berderet di bibir sungai. Tapi mereka yang berjaga-jaga di tebing barat sungai, jumlahnya tidak sebanyak prajurit yang menunggu di tebing timur. Dengan menyelam seolah-olah Kamandaka akan muncul di sisi tebing barat, pastilah seluruh perhatian prajurit yang penasaran hendak menangkapnya, akan terpusat pada sisi aliran sungai yang searah dengan matahari terbenam. Padahal di dalam air, Kamandaka segera mengubah arah. Dia menyelam ke arah hilir dasar tebing sungai arah matahari terbit. 

Matahari sudah tergelincir sedikit ke barat dari puncak kulminasinya. Kamandaka terus menyelam, dengan cepat mencapai dasar tebing sungai sebelah timur, menyusuri aliran Sungai Logawa ke arah hilir menuju selatan. Sesekali wajahnya muncul ke permukaan sekedar untuk mengambil udara. Akhirnya Kamandaka menemukan ceruk dalam pada dinding tebing di dasar sungai. Ceruk itu sudah dikenalnya menjelang pesta marak beberapa waktu yang lalu. Berbeda dengan ceruk-ceruk di tebing barat, ceruk di tebing timur itu cukup besar, sehingga dengan mudah Kamandaka bisa masuk ke dalamnya.

Ternyata ceruk itu luar biasa besarnya. Kamandaka muncul di permukaan semacam telaga kecil di bawah tanah dengan atap melengkung berbentuk kubah. Di salah satu dinding kubah batu cadas berwarna hitam kehijau-hijaun terdapat lorong cukup besar. Dengan tidak banyak kesulitan, Kamandaka naik masuk ke dalam mulut lorong, kemudian merangkak beberapa lama, sampai akhirnya tiba di sebuah lorong yang panjang di dalam tanah. Sebagai seorang ksatria putra Raja Pajajaran, tentu saja dia segera tahu bahwa lorong di dalam tanah yang cukup panjang itu adalah sebuah lorong rahasia. 

“Lorong rahasia sengaja dibuat untuk menyelamatkan diri. Hanya bangsa Galuh yang mempunyai tradisi membangun kerajaan di tepi sungai lengkap dengan lorong rahasia untuk menyelamatkan diri jika Keraton diserang musuh yang tak dapat dilawannya,” pikir Kamandaka. Kini Kamandaka telah berada di bagian lorong cukup besar, sehingga dia bisa berjalan maju menyelusuri lorong dengan lantai berlapis batu yang telah lama memadat.

“Bisa jadi tak ada seorang pun Adipati Pasirluhur yang tahu adanya lorong rahasia ini. Lorong rahasia ini, dapat dipastikan peninggalan Kerajaan Galuh Purba beberapa abad lalu. Ayahanda betul. Dia pernah berceritera tentang Kerajaan Sunda Galuh Purba yang memang pernah mendirikan sebuah kerajaan di lereng selatan Gunung Agung,” ujar Kamandaka. Dia terus berjalan menyusuri lorong untuk menemukan ujung lorong kuno itu. Sambil terus melangkah menyusuri lorong, Kamandaka merasa sedang napak tilas lorong peninggalan leluhurnya. Ada perasaan bangga dalam dirinya, karena tidak setiap ksatria Pajajaran mendapat kesempatan langka itu. Ceritera ayahnya, Prabu Siliwangi, tentang bangsa Galuh, bangsa yang berporos kehidupan di sekitar sungai-sungai besar itu, tiba-tiba kembali diingatnya.

“Tanah air leluhur bangsa Galuh itu berada di seberang lautan di daratan Asia sana,“ kata ayahnya, Sang Prabu Siliwangi pada suatu kesempatan berkumpul dan berbincang-bincang dengan dirinya dan ketiga adiknya, Banyakngampar, Banyakbelabur, dan Ratna Pamekas. 

Leluhur bangsa Galuh itu pada mulanya bermukim di Lembah Sungai Sutra yang subur di daerah Funan, Cochin-China. Lembah Sungai Sutra yang terletak di sebelah timur Lembah Sungai Gangga itu, sebenarnya merupakan suatu lembah subur karena di situ mengalir banyak sungai, seperti Menam, Mekhong dan lainnya lagi. Pada masa itu, penduduk yang bermukim di sekitarnya sudah memiliki peradaban tinggi berbasis sungai. Karena itu mereka menamakan dirinya sebagai putra-putra sungai. Mereka menganggapnya sebagai keturunan Dewa Penguasa Gunung dengan Dewi Bidadari Penguasa Sungai. Karena itu pandangan hidup mereka sangat memuliakan dan mensucikan gunung dan sungai. Gunung dipandangnya sebagai kekuasaan ayah dan sungai sebagai lambang kasih sayang seorang ibu.

Di hulu-hulu sungai yang merupakan pertemuan antara gunung dan sungai, dibangunlah tempat-tempat pemukiman dan pusat-pusat pemerintahan atau kerajaan. Sebab tempat itu dipandang sebagai lambang cinta kasih Dewa Penguasa Gunung dan Dewi Bidadari Penguasa Sungai yang telah melahirkan anak-anak mereka yaitu para putra-putri sungai. Pasangan Gunung-Sungai itu juga telah menganugerahkan kekayaan alam di sekitarnya, yang dapat digunakan untuk menopang kehidupan para putra-putri sungai itu.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar