Tiba-tiba wajah Sang
Dewi terbayang kembali di depan mata Kamandaka. Dirabanya selendang kuning
pemberian Sang Dewi yang melilit di pinggangnya. Tentu saja selendang sutra
kuning itu basah juga. Pelan-pelan dilepasnya, lalu diciuminya beberapa kali,
seakan dia sedang menciumi Sang Dewi. Kemudian selendang itu dibentangkannya di
atas batu agar cepat kering. Kembali Kamandaka berbaring di samping selendang
sutra kuning yang tengah dibentangkannya itu. Diam-diam Kamandaka membayangkan,
dia tengah berbaring berdua berdampingan dengan Sang Dewi di atas batu di
pinggir Sungai Ciserayu. Tanpa disadari oleh
Kamandaka, ada seorang lelaki sedang memancing ikan, memperhatikan semua
gerak-gerik Kamandaka. Lelaki pemancing ikan itu sangat heran dan takjub.
“Benar-benar dia pria
hebat luar biasa,” kata lelaki pemancing ikan itu di dalam hati. ”Selama ini
tidak pernah ada orang berani masuk ke dalam Goa Surup Lawang dan bisa keluar
dengan selamat.” Lelaki itu menduga Kamandaka baru saja keluar dari Goa Surup
Lawang.
Goa Surup Lawang adalah
sebuah goa di pinggir Sungai Ciserayu, tidak jauh dari pertemuan muara Sungai
Logawa dengan Sungai Ciserayu. Penduduk di sekitarnya menganggap Goa Surup
Lawang sebagai tempat keramat. Orang yang berani masuk ke sana niscaya tidak
mungkin akan bisa keluar dengan selamat. Mereka percaya di situlah bertempat tinggal
aneka macam mahluk halus penghuni goa sungai, seperti jin, setan, iblis, dan hantu
Sungai Ciserayu lainnya. Perahu yang melintasi Goa Surup Lawang pun harus
sangat hati-hati, agar perahu dan penumpangnya tidak tersedot masuk ke dalamg
goa. Agar mahluk halus
penghuni Goa Surup Lawang tidak menganggu aktivitas penduduk di Sungai
Ciserayu, penduduk yang tinggal di sekitarnya secara rutin membuat sesajian. Dan
biasanya sesajian itu diletakkan di atas batu yang kini sedang digunkan untuk
tidur-tiduran sambil menjemur badan, pakaian, dan selendang oleh Kamandaka.
“Tentu hanya orang
sakti yang berani dengan seenaknya tidur-tiduran sambil berjemur di atas batu
altar pemujaan,” pikir lelaki pemancing ikan itu pula. Dia segera bangkit
meninggalkan bilah pancing ikan di tempatnya. Pelan-pelan dia berjalan
mendekati orang yang sedang asyik melamun sambil tiduran membayangkan kekasih jantung
hati, Sang Dewi.
“Selamat siang, Raden.
Hamba Rekajaya, seorang pemancing ikan,” sapa lelaki bertubuh kekar, berdada
bidang, memiliki wajah bundar, dan kulit coklat kehitam-hitaman sambil
tersenyum ramah.
Kamandaka mula-mula
agak terkejut dan cemas juga. Jangan-jangan lelaki itu salah seorang prajurit
Kadipaten Pasirluhur yang berhasil mengejarnya. Sambil bangkit dan turun dari
batu, dijawabnya salam Rekajaya. Setelah melihat sepintas kilas, Kamandaka
tahulah bahwa lelaki itu bukan prajurit Kadipaten Pasirluhur yang tengah
mencarinya. Mereka berdua pun saling bersalaman.
“Raden, hamba tahu nama
Raden. Bila tebakan hamba benar. Maukah Raden mengabulkan permohonan hamba?”
tanya Rekajaya.
“Sebenarnya jika
tebakanmu benar, tak banyak gunanya, karena itu berarti kamu memang sudah tahu
namaku. Tetapi jika tebakanmu salah, tentu saja permintaanmu itu akan sia-sia.
Walapun begitu, apa permintaanmu kepadaku?” tanya Kamandaka.
“Nama Raden adalah
Kamandaka, putra angkat Patih Kadipaten Pasirluhur,” kata Rekajaya tanpa
memberikan jawaban apa yang akan dimintanya kepada Kamandaka, ”Seorang paleka,
penjala ikan, dan penyelam hebat pada acara pesta marak di tepi Sungai Logawa
beberapa hari lalu. Tetapi tiba-tiba Raden masuk ke Taman Kaputren Sang Dewi
pada malam hari, sehingga membuat murka Sang Adipati. Ki Patih, ayah angkat
Raden mengerahkan segenap prajuritnya dan berusaha menangkap Raden yang
berhasil lolos dari kepungan. Ki Patih memang mendapat tugas berat dari Kanjeng
Adipati.”
Kamandaka menatap
Rekajaya sekejap. Tapi tak ada tanda-tanda Rekajaya membahayakan dirinya.
Wajahnya malah menimbulkan rasa belas kasihan yang mendalam, seakan memang ada
sesuatu yang sangat diharapkan dari Kamandaka. Dia kagum juga, lelaki yang baru
muncul itu mengetahui siapa dirinya.
“Rekajaya, kau sudah
tahu siapa aku. Sekarang aku bertanya apa keinginanmu kepadaku?” tanya Kamandaka,
sambil menatap tajam wajah lawan bicaranya.
“Hamba hanya ingin
mengabdikan diri hamba kepada Raden,” kata Rekajaya dengan nada penuh harap.
“Mengabdi kepadaku?
Engkau tahu aku seorang buron dan kini aku sudah jadi orang miskin, tak punya
apa-apa lagi, selain yang menempel pada diriku. Harta bendaku tertinggal di
Dalem Kepatihan. Bukankah menurut pandangan umum aku telah mencemarkan nama
Kanjeng Adipati dan Rama Patih, karena aku telah masuk tanpa ijin ke Taman Kaputren,
pada malam hari pula?”
“Hamba pun hanya
seorang pemancing miskin, Raden. Lagi pula hamba ingin mengabdi pada Raden, bukan
ingin mengabdi pada kekayaan, harta, maupun pada kedudukan, Raden.”
“Tetapi aku seorang
buron, menurutmu apakah aku bersalah?”
“Menurut hamba, Raden
menjadi buron hanya karena dianggap bersalah melanggar adat, tradisi, dan hukum
yang berlaku. Tetapi sebenarnya Raden tidak bersalah.”
“Apa alasanmu,
Rekajaya?”
“Tidak mungkin Raden
bisa masuk Taman Kaputren pada malam hari, jika tidak mendapat persetujuan dan
bantuan Sang Dewi.”
“Hem, benar juga kamu
Rekajaya. Kalau begitu Dinda Dewikah yang bersalah?”
“Tidak juga, Raden.
Menurut hamba tidak ada yang bersalah, baik Raden maupun Sang Dewi. Sudah
banyak Adipati yang melamar Sang Dewi. Tetapi Sang Dewi, masih menolaknya.
Rupanya Sang Dewi telah menemukan calon suami pilihannya, yaitu Raden. Agaknya Sang
Dewi telah menemukan jodohnya, seorang pria pendamping hidup yang dapat
diandalkan untuk mengendalikan Kadipaten Pasirluhur, kelak di kemudian hari.”
“Aku kagum kepadamu,
Rekajaya. Tetapi apakah menurutmu aku pantas menjadi pendamping Dinda Dewi? Bukankah
aku hanyalah seorang anak angkat Ki Patih?” tanya Kamandaka menguji kecerdasan
Rekajaya.
“Sangat pantas, Raden.”
“Apa sebabnya?” tanya
Kamandaka.
“Sebab hamba tidak
percaya, bahwa Raden hanya anak angkat Ki Patih. Hamba pastikan Raden adalah
seorang ksatria bangsawan entah dari Keraton mana hamba tidak tahu.”
“Kamu ini aneh juga,
Rekajaya. Kamu mengaku tidak tahu tetapi kamu malah menebak aku seorang ksatria
berdarah bangsawan. Bagaimana penjelasanmu, Rekajaya?”
“Begini, Raden. Hanya
seorang ksatria dengan ilmu tinggi yang bisa keluar dari Gua Surup Lawang Sungai
Ciserayu dengan selamat. Ada kepercayaan dari penduduk di sini, barang siapa
bisa masuk dan keluar dengan selamat ke dalam Gua Surup Lawang, dia adalah
calon penerima wahyu penerus tahta Kadipaten Pasirluhur kelak di kemudian
hari,” ujar Rekajaya.
“Hamba menjadi saksi,
Radenlah yang berhasil keluar dengan selamat dari Gua Surup Lawang Sungai
Ciserayu dengan mudah. Itu berarti Radenlah calon penguasa Kadipaten Pasirluhur
di masa depan.”
“Berapa orang yang
pernah mencoba masuk ke dalam Gua Surup Lawang Sungai Ciserayu?” tanya
Kamandaka.
“Seingat hamba sudah banyak,
Raden. Kebanyakan para punggawa yang ingin naik derajatnya, atau mendambakan
jabatan adipati bagi dirinya, ataupun keturunannya kelak di kemudian hari.
Mereka biasanya mengawali dengan bertapa di atas batu besar ini,” kata Rekajaya
sambil menunjuk batu besar yang ada di dekat mereka berdua.
“Dan penduduk pun
sering menempatkan sesajian di atas batu itu. Tidak ada seorang pun penduduk di
sini yang berani naik dan tiduran di atas batu. Hanya Raden saja yang berani.”
Kamandaka tersenyum
mendengar penuturan Rekajaya, lalu berkata, ”Engkau salah lihat, Kakang Rekajaya.
Aku tak pernah masuk Goa Surup Lawang. Tetapi sudahlah. Aku sudah lapar, Kakang
Rekajaya. Aku tidak lagi punya tempat untuk berteduh.”
Betapa gembira
Rekajaya. Kamandaka tidak hanya menerima pengabdian Rekajaya. Tetapi juga
menjadikan dirinya sahabat dan saudaranya tuanya. Memang usia Rekajaya terpaut
jauh. Dia lebih tua dari Kamandaka. Rekajaya segera membungkukkan badannya
hendak bersujud. Tetapi Kamandaka cepat mencegahnya.
“Tidak baik menyembah
manusia, Kakang. Aku hanyalah manusia biasa seperti Kakang,” kata Kamandaka. Dipeluknya Rekajaya, sebagai
tanda Kamandaka menganggapnya bukan hanya sekedar sahabat. Mereka berdua adalah
saudara yang dipertemukan oleh takdir.
Matahari musim kemarau
sudah condong ke arah barat, daun-daun jati kering terbang kian kemari dibawa
angin yang bertiup kencang dari arah hulu Sungai Ciserayu. Beberapa daun jati
kering melayang-layang melintasi mereka berdua, kemudian jatuh di tengah Sungai
Ciserayu yang dengan tenang mengalirkan airnya ke arah hilir menuju Lautan
Selatan.
“Jangan khawatir,
Raden. Di gubug hamba, masih tersedia nasi yang cukup. Kebetulan hari ini hamba
berhasil memancing tiga ekor ikan baceman besar-besar. Cukup untuk lauk santap
siang bertiga, yaitu hamba, kakak perempuan hamba, dan Raden.”
“Siapa nama kakak
perempuanmu, Kakang Rekajaya?”
“Ah, hanya seorang
perempuan setengah baya, hidup terjerat dalam kemiskinan bersama hamba, Raden.
Namanya Nyai Kertisara,” jawab Rekajaya, sambil beranjak dari tempatnya.
Mereka berdua segera
berjalan menyusuri pinggir Sungai Ciserayu ke arah timur, sampai tibalah mereka
di desa Kaliwedi, desa tempat Rekajaya bersama kakak perempuannya, Nyai Kertisara
tinggal di sebuah gubuk tua beratap rumbia, berlantai tanah, berdinding bambu
yang sudah reyot, nyaris seperti hampir roboh.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar