Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 21 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (18)




Tiba-tiba wajah Sang Dewi terbayang kembali di depan mata Kamandaka. Dirabanya selendang kuning pemberian Sang Dewi yang melilit di pinggangnya. Tentu saja selendang sutra kuning itu basah juga. Pelan-pelan dilepasnya, lalu diciuminya beberapa kali, seakan dia sedang menciumi Sang Dewi. Kemudian selendang itu dibentangkannya di atas batu agar cepat kering. Kembali Kamandaka berbaring di samping selendang sutra kuning yang tengah dibentangkannya itu. Diam-diam Kamandaka membayangkan, dia tengah berbaring berdua berdampingan dengan Sang Dewi di atas batu di pinggir Sungai Ciserayu. Tanpa disadari oleh Kamandaka, ada seorang lelaki sedang memancing ikan, memperhatikan semua gerak-gerik Kamandaka. Lelaki pemancing ikan itu sangat heran dan takjub.

“Benar-benar dia pria hebat luar biasa,” kata lelaki pemancing ikan itu di dalam hati. ”Selama ini tidak pernah ada orang berani masuk ke dalam Goa Surup Lawang dan bisa keluar dengan selamat.” Lelaki itu menduga Kamandaka baru saja keluar dari Goa Surup Lawang.

Goa Surup Lawang adalah sebuah goa di pinggir Sungai Ciserayu, tidak jauh dari pertemuan muara Sungai Logawa dengan Sungai Ciserayu. Penduduk di sekitarnya menganggap Goa Surup Lawang sebagai tempat keramat. Orang yang berani masuk ke sana niscaya tidak mungkin akan bisa keluar dengan selamat. Mereka percaya di situlah bertempat tinggal aneka macam mahluk halus penghuni goa sungai, seperti jin, setan, iblis, dan hantu Sungai Ciserayu lainnya. Perahu yang melintasi Goa Surup Lawang pun harus sangat hati-hati, agar perahu dan penumpangnya tidak tersedot masuk ke dalamg goa. Agar mahluk halus penghuni Goa Surup Lawang tidak menganggu aktivitas penduduk di Sungai Ciserayu, penduduk yang tinggal di sekitarnya secara rutin membuat sesajian. Dan biasanya sesajian itu diletakkan di atas batu yang kini sedang digunkan untuk tidur-tiduran sambil menjemur badan, pakaian, dan selendang oleh Kamandaka. 

“Tentu hanya orang sakti yang berani dengan seenaknya tidur-tiduran sambil berjemur di atas batu altar pemujaan,” pikir lelaki pemancing ikan itu pula. Dia segera bangkit meninggalkan bilah pancing ikan di tempatnya. Pelan-pelan dia berjalan mendekati orang yang sedang asyik melamun sambil tiduran membayangkan kekasih jantung hati, Sang Dewi.

“Selamat siang, Raden. Hamba Rekajaya, seorang pemancing ikan,” sapa lelaki bertubuh kekar, berdada bidang, memiliki wajah bundar, dan kulit coklat kehitam-hitaman sambil tersenyum ramah. 

Kamandaka mula-mula agak terkejut dan cemas juga. Jangan-jangan lelaki itu salah seorang prajurit Kadipaten Pasirluhur yang berhasil mengejarnya. Sambil bangkit dan turun dari batu, dijawabnya salam Rekajaya. Setelah melihat sepintas kilas, Kamandaka tahulah bahwa lelaki itu bukan prajurit Kadipaten Pasirluhur yang tengah mencarinya. Mereka berdua pun saling bersalaman.

“Raden, hamba tahu nama Raden. Bila tebakan hamba benar. Maukah Raden mengabulkan permohonan hamba?” tanya Rekajaya.

“Sebenarnya jika tebakanmu benar, tak banyak gunanya, karena itu berarti kamu memang sudah tahu namaku. Tetapi jika tebakanmu salah, tentu saja permintaanmu itu akan sia-sia. Walapun begitu, apa permintaanmu kepadaku?” tanya Kamandaka.

“Nama Raden adalah Kamandaka, putra angkat Patih Kadipaten Pasirluhur,” kata Rekajaya tanpa memberikan jawaban apa yang akan dimintanya kepada Kamandaka, ”Seorang paleka, penjala ikan, dan penyelam hebat pada acara pesta marak di tepi Sungai Logawa beberapa hari lalu. Tetapi tiba-tiba Raden masuk ke Taman Kaputren Sang Dewi pada malam hari, sehingga membuat murka Sang Adipati. Ki Patih, ayah angkat Raden mengerahkan segenap prajuritnya dan berusaha menangkap Raden yang berhasil lolos dari kepungan. Ki Patih memang mendapat tugas berat dari Kanjeng Adipati.”

Kamandaka menatap Rekajaya sekejap. Tapi tak ada tanda-tanda Rekajaya membahayakan dirinya. Wajahnya malah menimbulkan rasa belas kasihan yang mendalam, seakan memang ada sesuatu yang sangat diharapkan dari Kamandaka. Dia kagum juga, lelaki yang baru muncul itu mengetahui siapa dirinya.

“Rekajaya, kau sudah tahu siapa aku. Sekarang aku bertanya apa keinginanmu kepadaku?” tanya Kamandaka, sambil menatap tajam wajah lawan bicaranya.

“Hamba hanya ingin mengabdikan diri hamba kepada Raden,” kata Rekajaya dengan nada penuh harap.

“Mengabdi kepadaku? Engkau tahu aku seorang buron dan kini aku sudah jadi orang miskin, tak punya apa-apa lagi, selain yang menempel pada diriku. Harta bendaku tertinggal di Dalem Kepatihan. Bukankah menurut pandangan umum aku telah mencemarkan nama Kanjeng Adipati dan Rama Patih, karena aku telah masuk tanpa ijin ke Taman Kaputren, pada  malam hari pula?”

“Hamba pun hanya seorang pemancing miskin, Raden. Lagi pula hamba ingin mengabdi pada Raden, bukan ingin mengabdi pada kekayaan, harta, maupun pada kedudukan, Raden.”

“Tetapi aku seorang buron, menurutmu apakah aku bersalah?”

“Menurut hamba, Raden menjadi buron hanya karena dianggap bersalah melanggar adat, tradisi, dan hukum yang berlaku. Tetapi sebenarnya Raden tidak bersalah.”

“Apa alasanmu, Rekajaya?”

“Tidak mungkin Raden bisa masuk Taman Kaputren pada malam hari, jika tidak mendapat persetujuan dan bantuan Sang Dewi.”

“Hem, benar juga kamu Rekajaya. Kalau begitu Dinda Dewikah yang bersalah?”

“Tidak juga, Raden. Menurut hamba tidak ada yang bersalah, baik Raden maupun Sang Dewi. Sudah banyak Adipati yang melamar Sang Dewi. Tetapi Sang Dewi, masih menolaknya. Rupanya Sang Dewi telah menemukan calon suami pilihannya, yaitu Raden. Agaknya Sang Dewi telah menemukan jodohnya, seorang pria pendamping hidup yang dapat diandalkan untuk mengendalikan Kadipaten Pasirluhur, kelak di kemudian hari.”

“Aku kagum kepadamu, Rekajaya. Tetapi apakah menurutmu aku pantas menjadi pendamping Dinda Dewi? Bukankah aku hanyalah seorang anak angkat Ki Patih?” tanya Kamandaka menguji kecerdasan Rekajaya.

“Sangat pantas, Raden.”

“Apa sebabnya?” tanya Kamandaka.

“Sebab hamba tidak percaya, bahwa Raden hanya anak angkat Ki Patih. Hamba pastikan Raden adalah seorang ksatria bangsawan entah dari Keraton mana hamba tidak tahu.”

“Kamu ini aneh juga, Rekajaya. Kamu mengaku tidak tahu tetapi kamu malah menebak aku seorang ksatria berdarah bangsawan. Bagaimana penjelasanmu, Rekajaya?”

“Begini, Raden. Hanya seorang ksatria dengan ilmu tinggi yang bisa keluar dari Gua Surup Lawang Sungai Ciserayu dengan selamat. Ada kepercayaan dari penduduk di sini, barang siapa bisa masuk dan keluar dengan selamat ke dalam Gua Surup Lawang, dia adalah calon penerima wahyu penerus tahta Kadipaten Pasirluhur kelak di kemudian hari,” ujar Rekajaya.

“Hamba menjadi saksi, Radenlah yang berhasil keluar dengan selamat dari Gua Surup Lawang Sungai Ciserayu dengan mudah. Itu berarti Radenlah calon penguasa Kadipaten Pasirluhur di masa depan.”

“Berapa orang yang pernah mencoba masuk ke dalam Gua Surup Lawang Sungai Ciserayu?” tanya Kamandaka.

“Seingat hamba sudah banyak, Raden. Kebanyakan para punggawa yang ingin naik derajatnya, atau mendambakan jabatan adipati bagi dirinya, ataupun keturunannya kelak di kemudian hari. Mereka biasanya mengawali dengan bertapa di atas batu besar ini,” kata Rekajaya sambil menunjuk batu besar yang ada di dekat mereka berdua.

“Dan penduduk pun sering menempatkan sesajian di atas batu itu. Tidak ada seorang pun penduduk di sini yang berani naik dan tiduran di atas batu. Hanya Raden saja yang berani.”

Kamandaka tersenyum mendengar penuturan Rekajaya, lalu berkata, ”Engkau salah lihat, Kakang Rekajaya. Aku tak pernah masuk Goa Surup Lawang. Tetapi sudahlah. Aku sudah lapar, Kakang Rekajaya. Aku tidak lagi punya tempat untuk berteduh.”

Betapa gembira Rekajaya. Kamandaka tidak hanya menerima pengabdian Rekajaya. Tetapi juga menjadikan dirinya sahabat dan saudaranya tuanya. Memang usia Rekajaya terpaut jauh. Dia lebih tua dari Kamandaka. Rekajaya segera membungkukkan badannya hendak bersujud. Tetapi Kamandaka cepat mencegahnya.

“Tidak baik menyembah manusia, Kakang. Aku hanyalah manusia biasa seperti Kakang,”  kata Kamandaka. Dipeluknya Rekajaya, sebagai tanda Kamandaka menganggapnya bukan hanya sekedar sahabat. Mereka berdua adalah saudara yang dipertemukan oleh takdir.

Matahari musim kemarau sudah condong ke arah barat, daun-daun jati kering terbang kian kemari dibawa angin yang bertiup kencang dari arah hulu Sungai Ciserayu. Beberapa daun jati kering melayang-layang melintasi mereka berdua, kemudian jatuh di tengah Sungai Ciserayu yang dengan tenang mengalirkan airnya ke arah hilir menuju Lautan Selatan.

“Jangan khawatir, Raden. Di gubug hamba, masih tersedia nasi yang cukup. Kebetulan hari ini hamba berhasil memancing tiga ekor ikan baceman besar-besar. Cukup untuk lauk santap siang bertiga, yaitu hamba, kakak perempuan hamba, dan Raden.”

“Siapa nama kakak perempuanmu, Kakang Rekajaya?”

“Ah, hanya seorang perempuan setengah baya, hidup terjerat dalam kemiskinan bersama hamba, Raden. Namanya Nyai Kertisara,” jawab Rekajaya, sambil beranjak dari tempatnya. 

Mereka berdua segera berjalan menyusuri pinggir Sungai Ciserayu ke arah timur, sampai tibalah mereka di desa Kaliwedi, desa tempat Rekajaya bersama kakak perempuannya, Nyai Kertisara tinggal di sebuah gubuk tua beratap rumbia, berlantai tanah, berdinding bambu yang sudah reyot, nyaris seperti hampir roboh.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar