Di luar dugaan saya
bisa berjumpa dengan salah seorang trah generasi ke-3 Patih Purwokerto, Raden Aria Wirjaatmadja,
Drg.Yulistiatri Dartoyo, di Warung Sate Sidareja- Pak Gino, Jl.Sunda 76 Bandung
(15-01-2016 M). Saya bisa bertemu lewat jasa baik Admin Kompasiana.
Ayah Drg. Yulistiatri Dartoyo
adalah seorang Perwira Tinggi Polri yang
berpindah pindah. Terakhir dinas di Polda Jabar-Bandung. Tidak mengherankan jika Ibu yang awet muda dan energik ini,
menghabiskan masa remajanya di Bandung. Tamat dari SMA Negeri 5 Bandung tahun
1974 langsung melanjutkan ke Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Pajajaran. Suami dan putrinya juga berprofesi
sebagai dokter gigi. Kakeknya adalah
putra ke-15 Patih R. Aria Wirjaatmadja.
Ibu Drg.Yulistiatri Dartoyo
menjelaskan bahwa putra-putri Patih R.Aria Wirjaatmadja berjumlah 18 orang,
sehingga keturunannya menjadi keluarga besar trah Wirjaatmadja. Mereka rupanya
banyak mewarisi nilai-nilai semangat perjuangan dan pengabdian Patih R.Aria
Wirjaatmadja, bekerja di berbagai lapangan pengabdian mulai dari profesi
dokter, insinyur, dosen, birokrat, TNI, Polri dan lapangan pengabdian lainnya.
Baru-baru ini trah
Patih R.Aria Wirjaatmadja berhasil
mendirikan sebuah yayasan sosial sebagai bagian dari upaya melestarikan
nilai-nilai, semangat dan cita-cita Patih R. Wirjaatmadja yakni memperjuangkan
kepentingan rakyat kecil yang sebagian besar masih hidup di bawah garis
kemiskinan. Ibu Drg.Yulistiatri Dartoyo, duduk sebagai Wakil Ketua Yayasan
R.Aria Wirjaatmadja yang sejak tahun
2013, mengadakan bakti sosial, antara lain operasi bibir sumbing secara gratis yang
dipusatkan di Purwokerto. Alamat sekretarian Yayasan R.Aria Wirjaatmadja, di
Jl.Pungkuran no.5 Purwokerto. Kita berharap kiprah yayasan ini bisa melanjutkan
cita-cita Patih R. Aria Wirjaatmadja
yang dikenal luas sebagai perintis Bank Pekreditan Rakyat, yang menjadi cikal
bakal BRI.
Patih
R. Wirjaatmadja, Sang Pejuang Ekonomi Kerakyatan.
Lituratur mengenai
perjuangan Patih R. Aria Wirjaatmadja, saya temukan ketika saya masih duduk di
bangku SMP di Purwokerto dari buku yang berjudul Ideologi Koperasi, membentuk
masyarakat adil dan makmur, karangan Drs.Suradjiman, Penerbit NV.Ganaco,
Bandung.
Buku itu membagi sejarah Koperasi di Indonesia menjadi 6
babak antara lain:(1) Masa Pertumbuhan (1900 – 1915 M), (2) Masa Perkembanga
(1915 – 1933), (3) Masa Memperhahankan Diri (1933-1942), (4) Masa Jaman Jepang (1942-1945), (5) Masa
Perjoangan (1945 – 1959 ) (6) Masa Konsolidasi ( 1959 - ).
Kurang jelas apa alasan
buku tersebut menjadikan tahun 1900 sebagai patokan awal pembabakan sejarah
koperasi di Indonesia? Padahal ketika uraiannya membahas Masa Pertumbuhan Koperasi, diawali dengan kisah Patih R. Aria Wirjaatmadja merintis bank penolong dan tabungan
pada tahun 1895. Karena itu pembabakan sejarah koperasi Indonesia, mestinya
bukan dimulai dari tahun 1900 tetapi dimulai dari tahun 1895 M.
Dalam buku itu dimuat kisah
Patih R. Aria Wirjaatmadja merintis bank
perkreditan rakyat,yang diawali dengan
melukiskan kemiskinan yang diderita oleh sebagian besar rakyat yang terjajah, diuraikan
penulisnya denagn cukup menarik sbb,
“Akibat pemerasan kaum penjajah
yang telah dilakukan selama lebih kurang 300 tahun, sebagian besar bangsa
Indonesia hidup dalam keadaan sengsara. Pendapatan yang diterima baik oleh
rakyat maupun pegawai negeri pada umumnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehar-hari. Dengan demikian sewaktu-waktu ada keperluan mendadak atau keperluan yang bersifat
istimewa, terpaksa dipenuhi dengan jalan mencari pinjaman. Tidak sedikit rakyat
yang hidup dibawah timbunan hutang, sehingga keadaannya sangat menyedihkan.
“Usaha untuk dapat
menghindarkan diri dari cengkeraman lintah darat mula-mula dirintis oleh Raden
Aria Wiryatmaja, seorang patih di Purwokerto. Sebagai seorang pegawai negeri
perhatian R. Wirjaatmadja mula-mula ditujukan pada lingkungannya sendiri. Pada
tahun 1895 M didirikanlah Bank Penolong Tabungan untuk membebaskan pegawainya
dari cengkeraman lintah darat. Bank tersebut terkenal sebagai Bank Priyayi,
karena usahanya terbatas pada pegawai negeri. Setelah usaha pertama berhasil,
kemudian lapangan usahanya diperluas di kalangan petani. Nama banknya kemudian
diganti jadi Bank Penolong, Tabungan dan Kredit Pertanian.
Buku itu selanjutnya
menyatakan bahwa,usaha Patih R.Aria Wirjaatmadja itu mendapat bantuan dari
Asisten Residen Banyumas E.Sieburgh. Pada tahun 1898 E.Sieburgh, diganti De Wolf van Westerrode. Ternyata asiten
residen yang baru itu tertarik pada usaha-usaha yang telah dijalankan Patih R. Aria Wirjaatmadja. Setelah Westerrode mempelajari persoalan yang
ingin dipecahkan dengan didirikannya Bank Penolong itu, Westerrode bercita-cita
mengadakan perbaikan dan merubah bank yang didirikan Patih Aria Wirjaatmadja itu menjadi Koperasi Kredit model
Raiffeisen di Jerman. Tetapi usahanya tidak berhasil karena pemerintah tidak
menyetujui rencananya untuk membimbing rakyat ke arah berkoperasi
Maka sebagai gantinya,
demikian tulisan itu melanjutkan, Westerodde
mendapat tugas untuk mendirikan badan-badan kredit untuk rakyat yang langsung
diurus sendiri oleh pemerintah. Pada tahun 1900, pekerjaan Westerrode ini
menghasilkan berdirinya Bank Rakyat (AVB), Rumah Gadai, Bank Desa dan Lumbung
Desa. Nampaknya bank-bank tersebut bertujuan memberikan pertolongan kepada
rakyat. “Tetapi di dalamnnya, tersembunyi maksud buruk, yaitu untuk merintangi
jangan sampai rakyat dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan jalan
berkoperasi!” tulis penulis buku Ideologi Koperasi itu.
Ada beberapa hal aneh
dan ganjil dari buku karya Drs.Suradjiman yang diterbitkan di Bandung itu,
antara lain hal-hal berikut ini:
Pertama, karena Patih
Aria Wirjaatmaja sukses merintis Bank Penolong Tabungan dan Kredit Pertanian
yang didirikan pada tahun 1895, seharusnya pembabakan sejarah koperasi di
Indonesia, dimulai sejak tahun 1895 M, bukan sejak tahun 1900. Jika dimulai
tahun 1900 akan terkesan perintis Bank Perkreditan Rakyat adalah Asisten
Westerrode. Padahal Westerrode pada awalnya justru banyak bertanya dan
berdiskusi dengan Patih Raden Aria Wirjaatmadja.
Ketika mereka saling
berdiskusi dan Westerrode menerima penjelasan dari Patih R.Aria Wirijaatmaja,
Westerrode rupanya teringat pada sosok FW.Raiffeissen, seorang walikota sebuah
kota kecil di Jerman yang memiliki kesamaan cita-cita dengan Patih Purwokerto
yang cekatan dan cerdas itu.
Seperti juga Patih
R.Aria Wirjaatmadja, FW.Raiffeisen sangat terharu menyaksikan nasib kaum tani
yang sangat menderita. Sebagian besar kaum tani rakyatnya terjerat timbunan
utang. Berkali-kali FW.Raifessen mengajukan usul kepada pemrintah pusat di
Jerman disertai usul-usul untuk
mengadakan perbaikan masyarakat tani. Tapi usulnya tak pernah mendapat
perhatian. Terdorong oleh kecintaannnya yang besar kepada rakyat tani,
FW.Raifessen mengambil inisiatip sendiri dengan mendorong kaum tani mendirikan
perkumpulan simpan pinjam.
Pada tahun 1848 dengan
menggunakan pengaruhnya sebagai walikota, FW.Raiffeissen, berhasil mendirikan
perkumpulan yang bertujuan memberikan bantuan kepada kaum tani. Usahanya
dimulai dari mengumpulkan uang dari beberapa orang hartawan. Modal yang telah
terkumpul disediakan bagi petani yang memerlukan pinjaman dengan bunga ringan.
Ternyata dari usaha tersebut, banyak sekali petani yang tertolong. Namun begitu
ada sejumlah hal yang membuat FW.Raiffeisen kecewa, antara lain :
1.
Karena tidak ada pengawasan yang teliti
atas penggunaan uang yang dipinjam, banyak petani yang malah menyalahgunakan
kesempatan meminjam uang untuk kepentingan yang kurang penting.
Keuntungan yang diperoleh dari
pembayaran bunga akhirnya jatuh ke tangan pemilik modal. Singkat ceritera usaha
FW.Raiffeisen gagal. Petani ternyata belum terlepas dari timbunan utang. Malah
ditemukan gejala yang memprihatinkan, para petani lebih gemar meminjam uang
dari pada menabung, karena syarat-syaratnya yang dianggap mudah dan bunganya
yang rendah. Namun begitu FW.Raifeissen tak kenal menyerah. Pengalaman
pertamanya itu membawanya pada suatu hipotese
atau kesimpulan sementara, “Sesungguhnya jalan
satu-satunya untuk memperbaiki nasib seseorang harus dicapai dengan jalan usaha
dan kesadaran mereka sendiri. Bukan dengan bantuan yang diterimanya dari pihak
lain”
Pada tahun 1864, ketika
FW.Raiffeissen dipindahkan ke Kota Heldershof, dia memulai lagi usaha
meningkatkan pendapatan petani tetapi
dengan pendekatan baru dengan langkah-langkah sbb :
1. FW.Raiffeissen
memulai lagi usahanya dengan anjuran agar para petani gemar menabung, meskipun
dalam jumlah sangat kecil. Dari uang yang terkumpul diberikan kesempatan kepada
para petani yang benar-benar memerlukan.
2. Usahanya
dilakukan pada lingkungan terbatas dengan wilayah yang tak terlalu luas, tetapi
anggota-anggotanya saling mengenal agar kerjasama mereka jadi erat.
3. Penggunaan
uang yang dipinjam diawasi dengan teliti, untuk menjaga agar jangan sampai
pinjaman tersebut digunakan untuk hal-hal yang menyimpang.
4. Pimpinan
dipegang oleh anggota sendiri yang dilakukan tanpa pembayaran upah.
5. Keuntungan
yang diperoleh dari pembayaran bunga dijadikan milik perkumpulan dan digunakan
untuk membiayai kepentingan perkumpulan selanjutnya.
Dengan cara bekerja
semacam di atas ternyata perkumpulan dapat bekerja dengan baik. Para petani
dapat menolong anggota-anggotanya atas usaha dan modal para petani itu sendiri.
Uang yang dipinjamkan kepada para petani berasal dari uang para petani itu
sendiri. Dengan demikian terciptalah suatu perkumpulan simpan pinjam yang
kemudian terkenal dengan nama koperasi kredit model Raiffeissen. Segala pengalaman
Raiffeissen itu dituliskannya dalam bukunya yang terbit pada tahun 1866. Berkat
bukunya itu koperasi model Raiffeissen cepat berkembang dan meluas di Jerman.
Pada waktu FW.Raiffaissen meninggal dunia (1888 M), tidak kurang dari 425
koperasi kredit telah berjalan dengan baik mengikuti petunjuk Raiffeissen.
Bisa jadi Patih R.Aria
Wirjaatmadja sudah pernah membaca buku Raiffeissen. Atau dia mendapatkannya
dari Westerrode. Yang jelas Westerrode terkesan dengan langkah-langkah Patih
R.Aria Wrijaatmadja yang menyerupai langkah-langkah FW.Raiffeissen. Keduanya
juga sama-sama berprofesi sebagai birokrat. Dapat dipastikan Patih Purwokerto
dan Westerrode melakukan diskusi intensif dan keduanya mencapai kata sepakat bersama-sama merintis mendirikan koperasi
kredit simpan pinjam di Purwokerto sebagi uji coba menurut buku petunjuk Walikota Heldershof itu.Sayangnya proyek
koperasi simpan pinjam itu langsung gagal. Sebab kegagalan sebenarnya karena Westerrode lupa, bahwa pada saat itu rakyat Jerman adalah rakyat merdeka, sedang
rakyat Pribumi Purwokerto adalah rakyat terjajah yang sebagian besar masih buta
huruf, belum banyak yang mengenyam pendidikan model barat.
Itulah sebabnya Patih Aria Wirjaatmadja pada
awalnya lebih memilih model Bank Rakyat
dan bukan model koperasi kredit Raiffaissen. Tentu hal semacam ini sudah
didiskusikan secara mendalam dengan Westerrode. Tetapi karena Westerrode adalah
atasannya, mau tidak mau Patih Aria Wirjaatmadja, mengikuti kehendak atasannya
yang terbukti gagal itu. Jadi kegagalan koperasi
simpan pinjam yang dirintis bersama-sama Patih R. Aria Wirjaatmadja dan
Westerrode, bukan karena Pemerintah Hindia Belanda menghalang-halangi rakyat
berkoperasi. Kegagalan itu lebih karena mental petani Pribumi yang belum
sepenuhnya siap untuk berorganisasi secara modern.
Kebijakan politik
pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19 M itu, justru sangat
mendukung usaha-usaha yang bermaksud memperbaiki nasib Pribumi terjajah. Sebab
pada saat itu muncul krtik-kritik tajam dari kaum sosialis demokrat yang mulai
menguat di Parlemen Belanda. Mereka mendesak agar Pemerintah Belanda memberikan
balas budi kepada Pribumi Hindia Belanda yang terjajah dengan memberikan
pendidikan dan kesejahteraan yang lebih baik dan meninggalkan kebijakan yang
menindas Pribumi. Kebijakan yang dikenal dengan Politik Etis atau Hutang Budi,
dilancarkan antara lain oleh Van Deventer. Karena itu terlalu dini, anggapan
kegagalan Westrroede merintis koperasi kredit Raiffassen, karena Pemerintah
Hindia Belanda menghalang-halangi rakyat berkoperasi.
Fakta sejarah
menunjukkan pertumbuhan pergerakan koperasi baru muncul setelah Budi Utomo
berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Sebab pada saat itu Kebijakan Poltik Etis
sudah berjalan satu windu, dan jumlah rakyat yang mengenyam pendidikan barat
mulai bertambah.Rakyat yang dipelopori kaum priyayi terdidik mulai pandai
berorganisasi dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dengan cara-cara
yang modern. Termasuk cara-cara memperjuangkan kesejahteraan rakyat, yakni
melalui organisasi koperasi.Tidak mengherankan jika
salah satu agenda perjuangan BU, selain memajukan pendidikan juga memajukan
kesejahteraan pribumi dengan menggiatkan pendirian koperasi. Serikat Dagang
Islam (1911 ), organisasi pergerakan yang muncul menyusul Budi Utomo, bahkan
menjadikan koperasi sebagai salah satu
prioritas agenda perjuangan utamanya. Dan pemerintah Hindia Belanda tidak
pernah melarangnya dan menghalang-halanginya, karena gerakan Pribumi untuk
memperbaiki nasibnya sendiri melalui bidang pendidikan dan koperasi sebagai
bagian dari gerakan ekonomi kerakyatan, sejalan dengan kebijakan Politik Etis
Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia
Belanda baru campur tangan dengan gerakan koperasi pada tahun 1915 dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Hindia Belanda No.431 tahun 1915. PP itu
terbit setelah gerakan radikal kiri yang mengusung ideologi Markisme mulai menggunakan
koperasi sebagai salah satu alat politik memperjuangan agenda-agenda perjuangan
klas melawan Pemerintah Hindia Belanda yang dituduh membela dan memperjuangkan kepentingan
kapitalis melalui perkebunan-perkebunan swasta milik pengusaha Belanda dan
Eropa lainnya. Kelak PP No.431/1915 itu dicabut, diganti dengan PP No. 91/1927.
Dan pada tahun 1933, diterbitkan lagi PP No.108/1933.
Pertumbuhan koperasi
yang pesat setelah berdirinya Budi Utomo yang digerakkan para priyayi itu,
menunjukkan kebenaran gagasan Patih R.Aria Wijaatmaja bahwa pada tahun 1898 ketika
dia dan Westerrode bereksperimen mendirikan koperasi Raiffissen, masanya memang
belum tepat.Sebab Pribumi terdidik belum banyak. Bagaimananpun juga ketrampilan
berorganisasi memerlukan pendidikan dan latihan. Sekalipun begitu, pengaruh bank rakyat dan koperasi model FW.
Raiffeissen yang dirintis Patih R.Aria Wirjaatmadja itu harus dicacat sebagai rintisan awal munculnya
gerakan ekonomi kerakyatan dalam bentuk bank perkreditan rakyat dan koperasi di
Indonesia.
Karena itu pembabakan
sejarah koperasi dan bank rakyat di Indonesia, seharusnya berolak dari tahun
1895 M. agar supaya lebih mendekati fakta perjalanan sejarah perjuangan Bangsa
Indonesia mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Babakan Sejarah Koperasi di Indonesia seperti berikut ini patut untuk
dipertimbangkan: (1) Masa Perintisan (1895 – 1908 ), (2)Masa Pertumbuhan ( 1908
– 1915),(3) Masa Perkembangan(1915 – 1933), (4) Masa Mempertahankan diri ( 1933
– 1942), (5)Masa Jaman Jepang( 1942 – 1945 ), (6) Masa Revolusi ( 1945 – 1950
), (7)Masa Demokrasi Parelementer( 1950 – 1959 ),(8) Masa Demokrasi Terpimpin (
1959 – 1966 ), (9) Masa Demokrasi Orde Baru( 1966 – 1998 ), 910) Masa Demokrasi
Reformasi.( 1998 - )
Dengan meletakkan awal
pergerakan koperasi pada tahun 1895 yang bersamaan dengan pendirian BRI, maka
karya dan perjuangan Patih R.Aria Wirjatmadja akan lebih nampak jejak-jejaknya
dibanding menempatkan tahun 1900 sebagai tahun awal perintisan gerakan koperasi
di tanah air kita.
Ceritera
Kenangan Sang Cucu.
Ibu Drg.Yulistiatri Dartoyo
meceriterakan sepotong kisah dari ayahnya dan kakeknya yang masih diingatnya
dengan baik, bagaimana putra-putri Patih R.Aria Wiriaatmadja ikut dikurangi
jatah uang saku dan uang jajannya, gara-gara Sang Patih, mencanangkan program menyisihkan
sebagian gajinya untuk menolong orang-orang yang terjerat lintah darat.
“Biasanya tiap
pagi Patih R.Aria Wirjaatmadja secara
rutin, menyediakan uang saku untuk putra-putrinya yang akan berangkat ke sekolah
sambil pamitan. Tetapi begitua Eyang Buyut Kakung punya program menyisihkan
sebagian gajinya untuk menolong orang-orang yang terjerat lintah darat, jatah
uang jajan untuk putra putrinya langsung di stop,” tutur Drg.Yulistiatri
mengenang kakek buyutnya, Patih R.Aria Wirjaatmadja yang dikaguminya itu. Sejak
itu para putra-putri Sang Patih itu
dipersilahkan minta jatah uang saku sekolah ke dapur. Maksudnya supaya minta
kepada istri Sang Patih.
“Tentu saja jatah uang
saku putra-putri Eyang Buyut Kakung, langsung berkurang drastis, karena Ibu
mereka pun harus ikut-ikutan menghemat belanja dapur. Tapi mereka tidak
mengeluh,” kata Drg.Yulistiati sambil tertawa.
Semoga Yayasan Patih
R.Aria Wirjaatmadja yang didirikan trah keluarga besar Patih R.Aria
Wirjaatmadja itu, bisa tetap mempertahankan nilai-nilai dan semangat membela
kepentingan rakyat yang belum beruntung, sebagai bagian dari usaha
memperjuangkan sila ke-5 Pancasila, yakni kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Mengingat besarnya jasa Patih R.Aria Wijatmaja
sebagai perintis ekonomi kerakyatan,bank perkreditan rakyat dan koperasi, sudah saatnya Pemda dan DPRD Kabupaten
Banyumas memikirkan dan memperjuangkan agar Pemerintah Pusat menetapkan Patih
R. Aria Wirjaatmaja sebagai Pahlawan
Nasional dari Kabupaten Banyumas. Semoga (anhadja,17-01-2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar