Kicau burung yang saling
bersahut-sahutan dari sangkar di Taman Kaputren
Dalem Kadipaten Pasirluhur sudah tidak terdengar lagi, ketika Khandegwilis
mengetuk pintuk kamar yang ada di ujung paling barat dari bangunan taman
kaputren.
“Ndara Putri, ini
Biyung Emban. Matahari sudah tinggi. Santap pagi sudah siap, Ndara Putri,” kata
seorang wanita membawa baki berisi minuman dan makanan kecil. Dia berdiri di
depan pintu. Tangannya pelan mengetuk daun pintu.
“Pintu tidak dikunci,
masuk saja Biyung Emban,” terdengar suara lembut seorang gadis dari dalam
kamar.
Kandhegwilis, Emban
Pengasuh kesayangan Sang Dewi mendorong daun pintu masuk ke dalam, dan meletakkan baki berisi
minuman di atas meja. Dilihatnya Ndara Putrinya masih tergolek di tempat tidur.
“Aduh, Ndara Putri,
tidak baik seorang gadis sudah siang begini masih memeluk guling,” kata Khandegwilis.
“Biyung Emban salah
duga. Aku sudah bangun dan mandi pagi tadi, sebelum kicau burung di dalam
sangkar berhenti. Tinggal berhias saja. Aku hanya tidur-tiduran sambil memeluk
guling. Lihatlah jendela-jendela kamar sudah terbuka, bukan? Harum bunga melati
yang mekar di halaman sudah sejak tadi pagi menyinggahi kamarku, Biyung Emban.
Apakah Biyung Emban tidak merasakan harumnya bunga melati?”
Khandegwilis tertawa. Dia
masih jongkok di dekat meja sambil memegang baki yang sudah kosong, menunggu
kalau-kalau ada perintah dari Ndara Putri yang sangat disayanginya itu. “Harum bunga melati
masih terasa, Ndara Putri. Tetapi akan lebih baik jalan-jalan ke Tamansari
sambil melihat Sungai Logawa. Daripada melamun bermalas-malasan memeluk
guling.”
“Ada yang sedang aku
tunggu, Biyung Emban,” ujar gadis cantik jelita itu sambil turun dari tempat
tidurnya. Dasar gadis cantik jelita, walapun belum berhias, wajahnya sudah memancarkan
cahaya kecantikan, membuat setiap ksatria akan mabuk kepayang dibuatnya.
“Oh, syukurlah. Biyung
Emban ikut gembira. Memang tidak baik gadis seusia Ndara Putri masih sendirian
saja. Kakak-kakak Ndara Putri dulu usia empat belas atau lima belas tahun sudah
punya suami. Biyung Emban dulu malah kawin pada usia yang lebih muda lagi.
Ndara Putri sudah berusia tujuh belas tahun, tapi belum bersedia disunting
seorang pria. Adipati atau putra Adipati manakah gerangan yang beruntung bakal
memetik kembang melati dari Kadipaten Pasirluhur?” ujar Khandegwilis, sambil
duduk di bawah mendampingi Ndara Putrinya yang duduk di atas kursi sambil
menikmati minuman teh hangat yang tersaji di atas meja.
“Bukan tamu yang sedang
aku tunggu Biyung Emban. Tapi…, nah, dengarlah itu. Dengar, Biyung Emban. Kicau
burung prenjak yang hinggap di pohon mangga sebelah. Dengar kan? Sudah tiga
hari berturut-turut aku dengar suara burung prenjak menari-nari sambil
berkicau. Dan entah mengapa aku senang mendengarnya.”
“Betul, Ndara Putri.
Itu suara burung prenjak. Kata orang, burung prenjak itu memberi pertanda,
Ndara Putri akan kedatangan tamu yang akan melamar Ndara Putri.”
“Belum ada yang melamar
aku, Biyung Emban.”
“Lho, Biyung Emban kan
dengar sendiri. Sudah banyak adipati dan putra adipati yang berminat melamar
Ndara Putri. Tapi Ndara Putri belum bersedia,” ujar Khandegwilis. “Oya, Ndara
Putri sudah dengar belum? Seminggu lagi Kanjeng Adipati akan menyelenggarakan
pesta menangkap ikan di Sungai Logawa. Akan banyak adipati dan putra adipati
diundang. Sudah barang tentu Kanjeng Adipati tidak hanya bermaksud menghibur
rakyat. Tetapi juga bermaksud memberikan kesempatan kepada Ndara Putri memilih
sendiri mana adipati atau putra adipati yang dikehendaki Ndara Putri.”
“Oh, pantaslah kalau
begitu. Biyung Emban tidak memperhatikan. Setelah sarapan, temani lagi aku ke Tamansari
dekat pinggir Sungai Logawa. Nanti akan aku tunjukkan sesuatu pada Biyung
Emban.”
“Baik, Ndara Putri. Kan
tadi Biyung Emban sudah bilang, daripada tiduran memeluk guling, lebih baik ke Tamansari
melihat-lihat Sungai Logawa. Udara di sana sangat segar. Pastilah sangat
menyehatkan,” ujar Khandegwilis sambil bangkit dari duduknya, membawa baki yang
telah kosong dan melangkah keluar kamar Ndara Putrinya.
Rumpun bambu dan daun
pohon elo itu bergoyang-goyang tertiup angin. Sinar matahari awal musim kemarau
menerobos melewati rimbunnya dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh di Tamansari
Dalem Kadipaten Pasirluhur yang luas itu. Sang Dewi ditemani emban
kesayangannya, Khandegwilis, datang ke Tamansari sudah terlalu siang. Matahari
sudah berada di puncak kubah langit. Tapi angin dari arah hilir Sungai Logawa
bertiup lembut, membuat keadaan di dalam Tamansari terasa nyaman dan sejuk.
Tamansari yang luas itu
memang dibangun di sebelah barat Dalem Kadipaten. Batas paling barat tamansari
terletak di bibir Sungai Logawa. Pohon elo, rumpun bambu tali, bambu wulung,
dan bambu betung menjadi pagar hidup yang memisahkan Sungai Logawa dengan Tamansari.
Dari balik rimbunnya pohon bambu itu sesungguhnya Sungai Logawa yang mengalir dari
utara ke arah selatan itu tampak jelas sekali, dan merupakan pemandangan yang
indah dilihat dari tebing di balik rumpun bambu yang menjadi pelindung dan
pagar hidup Tamansari.
“Biyung Emban, lihatlah
ke arah selatan sana, hilir Sungai Logawa itu,” ujar Sang Dewi.
“Benar Ndara Putri, di
sanalah kelak pesta rakyat menangkap ikan akan dilaksanakan. Tak lama lagi
panggung kehormatan dan umbul-umbul akan berkibar di sana.”
“Biyung Emban, beberapa
hari belakangan ini aku sering memperhatikan seorang pemuda yang aneh. Dia
sering terjun dari tebing di seberang itu. Kemudian berenang ke arah hilir
sampai jauh di sana itu. Terkadang kulihat berenang ke arah hulu sampai
menghilang tidak kelihatan, mungkin melewati tebing di bawah pohon itu. Pada
kali lain berenang bolak balik memotong arus sungai. Sayang sekali sekarang
tidak tampak. Ingin sekali aku menunjukkan pada Biyung Emban. Siapa tahu Biyung
Emban mengenalnya, siapakah gerangan dia?”
“Mana Biyung Emban
tahu, Ndara Putri? Lagi pula kalau sekarang pemuda itu ada, Biyung Emban juga
tak mungkin bisa mengenali wajahnya karena jauhnya jarak pandang dari sini.”
“Seharusnya hari ini
pemuda itu bisa kita lihat, Biyung Emban.”
“Dari mana Ndara Putri
bisa begitu yakin?”
“Ya, bukankah Biyung
Emban sudah mendengar kicau burung prenjak tadi pagi? Memang aneh, setiap kali
aku mendengar burung prenjak dan aku pergi ke sini, dapat dipastikan aku akan
melihat pemuda itu. Aneh, burung prenjak itu seakan-akan memberitahu padaku.
Aneh, apakah burung prenjak itu milik pemuda itu? Aneh pula Biyung Emban,
pemuda itu sepertinya sering dari kejauhan memandang ke sini, beberapa kali aku
perhatikan sering berlama-lama menatap rumpun bambu dan pohon elo itu, Biyung
Emban.”
Khandegwilis mulai
mengerti. Ndara Putrinya sedang jatuh hati kepada pemuda yang sama sekali tidak
pernah dikenalnya. Bahkan belum pernah bertatap muka dengannya.“Mana ada burung
prenjak dipelihara orang, Ndara Putri?” tanya Khandegwilis.
“Kalau kutilang,
cucak rawa, branjangan, murai, dan lainnya lagi memang sering dipelihara orang.
Tetapi burung prenjak? Mana ada orang mau memeliharanya? Semua itu hanya
khayalan Ndara Putri saja. Bisa jadi pemuda itu memang tengah ditugaskan
Kanjeng Patih untuk mengamankan dan menjaga rumpon yang telah dipasang di
beberapa tempat sekitar kedung agar tidak diganggu penduduk. Bisa jadi dia
salah seorang punggawa Kadipaten yang ditugaskan Kanjeng Patih agar tidak ada
penduduk yang mencari ikan di sepanjang Sungai Logawa sampai pesta marak itu
selesai. Tetapi siapapun pemuda itu, Ndara Putri, dia pastilah orang biasa
saja, bukan priyayi agung, bukan putra adipati,” kata Khandegwilis melanjutkan.
“Lebih-lebih lagi bukan seorang adipati. Jangan-jangan dia hanyalah seorang
bujang dari Dalem Kepatihan yang mendapat tugas dari Ki Patih. Jadi lupakan
pemuda itu, Ndara Putri. Tidak perlu Ndara Putri pikirkan. Tidak perlu Ndara
Putri jatuh hati pada pemuda aneh itu dan sebaiknya kita pulang saja, Ndara
Putri. Matahari sudah tergelincir ke barat. Sebentar lagi Kanjeng Adipati
pulang. Bagaimana bila Kanjeng Adipati mencari Ndara Putri dan mengajaknya
santap siang?”
Sang Dewi tampak murung
wajahnya dan masih enggan meninggalkan Tamansari. “Bukankah Biyung Emban yang
tadi pagi menyarankan agar aku ke sini?”
“Betul, Ndara Putri. Tetapi
sekarang sudah waktunya santap siang. Besok masih ada kesempatan ke sini lagi.”
Sang Dewi melangkah
meninggalkan Tamansari, setelah sebelumnya menatap Sungai Logawa yang airnya
bergerak meliuk-liuk menuju muaranya. Bukan air sungai yang tengah mengalir itu
yang menarik dirinya, tetapi seorang pemuda entah siapa yang sering berenang di
Sungai Logawa itu. Diam-diam dia yakin bahwa tadi pagi pastilah pemuda itu
sudah turun ke sungai. Dia tidak melihatnya karena tiba di Tamansar sudah agak
siang.
”Burung prenjak itu tak
pernah berbohong. Sebab burung prenjak itulah yang pertama kali menuntunku ke Tamansari.
Sungguh burung prenjak yang aneh,” ujar Sang Dewi dalam hati. Rasa herannya
sulit dihalaunya pergi. Mereka berdua berjalan kembali ke Taman Kaputren.
“Biyung Emban, haruskah
seorang gadis menerima calon suami pilihan orang tuanya?”
“Semua orang tua pasti
menginginkan anaknya bahagia, Ndara Putri.”
“Tetapi yang akan
menjalani hidup berumah tangga bukan orang tua. Kenapa anak gadis tidak boleh
ikut menentukan sendiri, siapa yang akan menjadi calon suaminya?”
“Aduh, Ndara Putri,
kalau soal itu, Kanjeng Rama Adipati pasti bisa menjawabnya. Adat dan tradisi
yang berlaku memang begitu. Calon suami dipilih oleh orang tua. Anak gadis
tinggal pasrah dan menyerah. Itulah adat yang berlaku di Kadipaten Pasirluhur
dan juga kadipaten lain. Semua kakak Ndara Putri mengalami hal seperti itu.
Pada orang kebanyakan juga berlaku hal seperti itu. Jarang sekali ada gadis
yang berani melawan adat itu. Pernah dengar kisah gadis Kutaliman yang terkenal
itu, Ndara Putri?”
“Belum, Biyung Emban.
Nanti malam ceriterakan padaku.”
“Baiklah, Ndara Putri.” Mereka berdua membuka
pintu terusan yang menghubungkan Taman Kaputren dan Tamansari, keduanya melangkah
masuk. Sampai di depan kamar Sang Dewi, seorang pembantu wanita sudah menunggu.
“Ndara Putri, Kanjeng
Rama Adipati sudah menunggu di ruang makan, mengajak santap siang bersama,”
kata pembantu wanita itu.
“Ya, sampaikan pada
Kanjeng Rama, aku akan segera ke sana.”
Dalam perjalananan
menghadap Kanjeng Adipati, yang terngiang-ngiang di telinga Sang Dewi malah
kisah gadis Kutaliman yang belum pernah didengarnya itu. Siang itu Kanjeng
Adipati Kandhadaha bersantap siang di ruang makan Dalem Gede ditemani istrinya Kanjeng
Ayu Adipati dan putrinya, Sang Dewi.
Usai santap siang, Kanjeng Adipati menjelaskan pada putri bungsunya rencana
Kanjeng Adipati akan mengadakan pesta rakyat menangkap ikan di Sungai Logawa.
Sejumlah adipati sahabat tentu banyak yang akan hadir. Ada di antara mereka
yang akan membawa putranya yang sudah siap berumah tangga.
“Kesempatan yang baik
bagimu, Nduk Dewi Cah Ayu, untuk
memilih salah satu di antara mereka. Mereka siap melamarmu, jika engkau siap
pula menerima. Jangan engkau kecewakan Kanjeng Ramamu ini. Dulu kakak-kakakmu
tak pernah menolak, langsung setuju, jika Kanjeng Ramamu ini setuju. Hanya engkau
yang agak aneh. Tapi tidak apa. Engkau putri Kanjeng Ramamu yang paling bungsu,
paling cantik pula. Tentu saja sangat wajar bila banyak yang berminat
menyuntingmu. Dan wajar pula bila engkau menggunakan hak untuk memilih.”
“Aduh, Kanjeng Rama,
ampunilah Putri Kanjeng Rama ini. Tak ada niat untuk menentang kehendak Kanjeng
Rama. Kalau selama ini Dewi belum bisa menentukan pilihan, semata-mata karena Dewi
belum mengenal dengan baik mereka itu semua.”
“Ketahuilah, Nduk Dewi Cah Ayu, pesta rakyat itu nanti
diadakan memang salah satu tujuannya agar engkau punya kesempatan untuk
mengenal mereka semua.”
“Terima kasih, Kanjeng
Rama. Sebab bagaimana Dewi bisa mengenal bibit,
bebet, dan bobot calon suami,
bila Dewi tidak pernah mengenal calon suami dengan baik. Benar tidak, Kanjeng
Rama?”
“Hem…, engkau
nyata-nyata cerdas, Nduk Dewi Cah Ayu.
Dari calon-calon yang siap melamarmu itu engkau tinggal memilih saja. Benar
sekali, bibit, bebet, dan bobot itu kan pedoman warisan leluhur
kita yang bisa dijadikan pedoman dalam memilih jodoh. Mereka semua memenuhi
syarat berdasarkan pedoman warisan leluhur. Misalnya bibit, jelas mereka semua itu turunan para priyayi agung. Bebet, mereka pastilah punya penghasilan
yang cukup untuk menghidupi rumah tangga mereka, menghidupi istri serta
anak-anak mereka. Bobot, mereka semua
mempunya jabatan terhormat,” berkata Kanjeng Adipati memberi nasihat kepada putri
bungsunya itu.
Hem, bobot jabatan terhormat? Sang Dewi
berkata di dalam hati. Alangkah sempitnya pandangan Kanjeng Rama. Para ksatria
itu hanya mengejar harta, tahta, dan wanita. Betapa banyaknya para wanita istri
adipati dan para ksatria itu yang menderita karena bobot ditentukan hanya berdasarkan tinggi rendahnya jabatan yang
dimiliki para ksatria itu. Aku, Putri Kadipaten Pasirluhur, Putri Kanjeng Rama
Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ibu, tidak silau oleh harta dan tahta, sekalipun
keduanya itu penting sebagai modal untuk membangun sebuah rumah tangga.
Bobot
itu bukan hanya jabatan. Jika bobot adalah jabatan, maka para ksatria itu akan
bertindak sewenang-wenang, tidak memiliki sifat welas asih pada sesama, dan
tidak bisa berlaku adil. Itulah penyebab munculnya sikap adigang, adigung, dan adiguna.
Ya, sewenang-wenang karena merasa mempunyai wewenang. Kepada istri, mereka pun,
para ksatria itu akan sewenang-wenang. Wanita hanyalah dijadikan bunga. Bunga
itu akan terus diisap selagi ada madunya. Tetapi bila sudah layu, bunga itu pun
akan dibuangnya. Ah, betapa banyak wanita kaumku yang menderita karena para
ksatria itu memuja harta dan tahta. Hem,
Kanjeng Rama. Bobot itu tidak diukur
dari tinggi rendahnya tahta yang diduduki oleh seorang calon suami.
Bobot
itu juga harus diukur berdasarkan tinggi rendahnya budi mulia dan budi luhur
calon suami. Duh, Kanjeng Rama, ananda tidak mau jadi tumbal ambisi para
ksatria. Ananda ingin memilih calon suami yang bukan hanya berbobot secara
lahirnya saja. Tetapi calon suami yang berbobot lahir dan batinnya, berbudi
mulia dan berbudi pekerti luhur. Itulah calon suami yang layak sebagai tempat
bernaung, berlindung dan mengabdi bagi seorang istri.
“Nduk Dewi Cah Ayu, putri Kanjeng Rama. Engkau bukan hanya semakin
cantik. Tetapi juga semakin dewasa, semakin cerdas, dan semakin bijak.
Berbahagialah para adipati ataupun putra adipati yang kelak menjadi suamimu,”
ujar Kanjeng Adipati menyadarkan Sang Dewi yang sedang asyik berdiskusi di
dalam benaknya itu.
“Nduk Dewi Cah Ayu, engkau boleh kembali ke Taman Kaputren.
Ingat-ingatlah pesanku.”
Sang Dewi segera
bangkit dan kembali ke Taman Kaputren, setelah memeluk ayah dan ibundanya.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar