Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 06 April 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (07)





Kicau burung yang saling bersahut-sahutan dari sangkar  di Taman Kaputren Dalem Kadipaten Pasirluhur sudah tidak terdengar lagi, ketika Khandegwilis mengetuk pintuk kamar yang ada di ujung paling barat dari bangunan taman kaputren.

“Ndara Putri, ini Biyung Emban. Matahari sudah tinggi. Santap pagi sudah siap, Ndara Putri,” kata seorang wanita membawa baki berisi minuman dan makanan kecil. Dia berdiri di depan pintu. Tangannya pelan mengetuk daun pintu.

“Pintu tidak dikunci, masuk saja Biyung Emban,” terdengar suara lembut seorang gadis dari dalam kamar.
Kandhegwilis, Emban Pengasuh kesayangan Sang Dewi mendorong daun pintu  masuk ke dalam, dan meletakkan baki berisi minuman di atas meja. Dilihatnya Ndara Putrinya masih tergolek di tempat tidur.

“Aduh, Ndara Putri, tidak baik seorang gadis sudah siang begini masih memeluk guling,” kata Khandegwilis.
“Biyung Emban salah duga. Aku sudah bangun dan mandi pagi tadi, sebelum kicau burung di dalam sangkar berhenti. Tinggal berhias saja. Aku hanya tidur-tiduran sambil memeluk guling. Lihatlah jendela-jendela kamar sudah terbuka, bukan? Harum bunga melati yang mekar di halaman sudah sejak tadi pagi menyinggahi kamarku, Biyung Emban. Apakah Biyung Emban tidak merasakan harumnya bunga melati?”

Khandegwilis tertawa. Dia masih jongkok di dekat meja sambil memegang baki yang sudah kosong, menunggu kalau-kalau ada perintah dari Ndara Putri yang sangat disayanginya itu. “Harum bunga melati masih terasa, Ndara Putri. Tetapi akan lebih baik jalan-jalan ke Tamansari sambil melihat Sungai Logawa. Daripada melamun bermalas-malasan memeluk guling.”

“Ada yang sedang aku tunggu, Biyung Emban,” ujar gadis cantik jelita itu sambil turun dari tempat tidurnya. Dasar gadis cantik jelita, walapun belum berhias, wajahnya sudah memancarkan cahaya kecantikan, membuat setiap ksatria akan mabuk kepayang dibuatnya. 

“Oh, syukurlah. Biyung Emban ikut gembira. Memang tidak baik gadis seusia Ndara Putri masih sendirian saja. Kakak-kakak Ndara Putri dulu usia empat belas atau lima belas tahun sudah punya suami. Biyung Emban dulu malah kawin pada usia yang lebih muda lagi. Ndara Putri sudah berusia tujuh belas tahun, tapi belum bersedia disunting seorang pria. Adipati atau putra Adipati manakah gerangan yang beruntung bakal memetik kembang melati dari Kadipaten Pasirluhur?” ujar Khandegwilis, sambil duduk di bawah mendampingi Ndara Putrinya yang duduk di atas kursi sambil menikmati minuman teh hangat yang tersaji di atas meja.

“Bukan tamu yang sedang aku tunggu Biyung Emban. Tapi…, nah, dengarlah itu. Dengar, Biyung Emban. Kicau burung prenjak yang hinggap di pohon mangga sebelah. Dengar kan? Sudah tiga hari berturut-turut aku dengar suara burung prenjak menari-nari sambil berkicau. Dan entah mengapa aku senang mendengarnya.”

“Betul, Ndara Putri. Itu suara burung prenjak. Kata orang, burung prenjak itu memberi pertanda, Ndara Putri akan kedatangan tamu yang akan melamar Ndara Putri.”

“Belum ada yang melamar aku, Biyung Emban.”

“Lho, Biyung Emban kan dengar sendiri. Sudah banyak adipati dan putra adipati yang berminat melamar Ndara Putri. Tapi Ndara Putri belum bersedia,” ujar Khandegwilis. “Oya, Ndara Putri sudah dengar belum? Seminggu lagi Kanjeng Adipati akan menyelenggarakan pesta menangkap ikan di Sungai Logawa. Akan banyak adipati dan putra adipati diundang. Sudah barang tentu Kanjeng Adipati tidak hanya bermaksud menghibur rakyat. Tetapi juga bermaksud memberikan kesempatan kepada Ndara Putri memilih sendiri mana adipati atau putra adipati yang dikehendaki Ndara Putri.”

“Oh, pantaslah kalau begitu. Biyung Emban tidak memperhatikan. Setelah sarapan, temani lagi aku ke Tamansari dekat pinggir Sungai Logawa. Nanti akan aku tunjukkan sesuatu pada Biyung Emban.”

“Baik, Ndara Putri. Kan tadi Biyung Emban sudah bilang, daripada tiduran memeluk guling, lebih baik ke Tamansari melihat-lihat Sungai Logawa. Udara di sana sangat segar. Pastilah sangat menyehatkan,” ujar Khandegwilis sambil bangkit dari duduknya, membawa baki yang telah kosong dan melangkah keluar kamar Ndara Putrinya.

Rumpun bambu dan daun pohon elo itu bergoyang-goyang tertiup angin. Sinar matahari awal musim kemarau menerobos melewati rimbunnya dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh di Tamansari Dalem Kadipaten Pasirluhur yang luas itu. Sang Dewi ditemani emban kesayangannya, Khandegwilis, datang ke Tamansari sudah terlalu siang. Matahari sudah berada di puncak kubah langit. Tapi angin dari arah hilir Sungai Logawa bertiup lembut, membuat keadaan di dalam Tamansari terasa nyaman dan sejuk.

Tamansari yang luas itu memang dibangun di sebelah barat Dalem Kadipaten. Batas paling barat tamansari terletak di bibir Sungai Logawa. Pohon elo, rumpun bambu tali, bambu wulung, dan bambu betung menjadi pagar hidup yang memisahkan Sungai Logawa dengan Tamansari. Dari balik rimbunnya pohon bambu itu sesungguhnya Sungai Logawa yang mengalir dari utara ke arah selatan itu tampak jelas sekali, dan merupakan pemandangan yang indah dilihat dari tebing di balik rumpun bambu yang menjadi pelindung dan pagar hidup Tamansari.

“Biyung Emban, lihatlah ke arah selatan sana, hilir Sungai Logawa itu,” ujar Sang Dewi.

“Benar Ndara Putri, di sanalah kelak pesta rakyat menangkap ikan akan dilaksanakan. Tak lama lagi panggung kehormatan dan umbul-umbul akan berkibar di sana.”

“Biyung Emban, beberapa hari belakangan ini aku sering memperhatikan seorang pemuda yang aneh. Dia sering terjun dari tebing di seberang itu. Kemudian berenang ke arah hilir sampai jauh di sana itu. Terkadang kulihat berenang ke arah hulu sampai menghilang tidak kelihatan, mungkin melewati tebing di bawah pohon itu. Pada kali lain berenang bolak balik memotong arus sungai. Sayang sekali sekarang tidak tampak. Ingin sekali aku menunjukkan pada Biyung Emban. Siapa tahu Biyung Emban mengenalnya, siapakah gerangan dia?”

“Mana Biyung Emban tahu, Ndara Putri? Lagi pula kalau sekarang pemuda itu ada, Biyung Emban juga tak mungkin bisa mengenali wajahnya karena jauhnya jarak pandang dari sini.”

“Seharusnya hari ini pemuda itu bisa kita lihat, Biyung Emban.”

“Dari mana Ndara Putri bisa begitu yakin?”

“Ya, bukankah Biyung Emban sudah mendengar kicau burung prenjak tadi pagi? Memang aneh, setiap kali aku mendengar burung prenjak dan aku pergi ke sini, dapat dipastikan aku akan melihat pemuda itu. Aneh, burung prenjak itu seakan-akan memberitahu padaku. Aneh, apakah burung prenjak itu milik pemuda itu? Aneh pula Biyung Emban, pemuda itu sepertinya sering dari kejauhan memandang ke sini, beberapa kali aku perhatikan sering berlama-lama menatap rumpun bambu dan pohon elo itu, Biyung Emban.”

Khandegwilis mulai mengerti. Ndara Putrinya sedang jatuh hati kepada pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya. Bahkan belum pernah bertatap muka dengannya.“Mana ada burung prenjak dipelihara orang, Ndara Putri?” tanya Khandegwilis.

 “Kalau kutilang, cucak rawa, branjangan, murai, dan lainnya lagi memang sering dipelihara orang. Tetapi burung prenjak? Mana ada orang mau memeliharanya? Semua itu hanya khayalan Ndara Putri saja. Bisa jadi pemuda itu memang tengah ditugaskan Kanjeng Patih untuk mengamankan dan menjaga rumpon yang telah dipasang di beberapa tempat sekitar kedung agar tidak diganggu penduduk. Bisa jadi dia salah seorang punggawa Kadipaten yang ditugaskan Kanjeng Patih agar tidak ada penduduk yang mencari ikan di sepanjang Sungai Logawa sampai pesta marak itu selesai. Tetapi siapapun pemuda itu, Ndara Putri, dia pastilah orang biasa saja, bukan priyayi agung, bukan putra adipati,” kata Khandegwilis melanjutkan. “Lebih-lebih lagi bukan seorang adipati. Jangan-jangan dia hanyalah seorang bujang dari Dalem Kepatihan yang mendapat tugas dari Ki Patih. Jadi lupakan pemuda itu, Ndara Putri. Tidak perlu Ndara Putri pikirkan. Tidak perlu Ndara Putri jatuh hati pada pemuda aneh itu dan sebaiknya kita pulang saja, Ndara Putri. Matahari sudah tergelincir ke barat. Sebentar lagi Kanjeng Adipati pulang. Bagaimana bila Kanjeng Adipati mencari Ndara Putri dan mengajaknya santap siang?”

Sang Dewi tampak murung wajahnya dan masih enggan meninggalkan Tamansari. “Bukankah Biyung Emban yang tadi pagi menyarankan agar aku ke sini?”

“Betul, Ndara Putri. Tetapi sekarang sudah waktunya santap siang. Besok masih ada kesempatan ke sini lagi.”

Sang Dewi melangkah meninggalkan Tamansari, setelah sebelumnya menatap Sungai Logawa yang airnya bergerak meliuk-liuk menuju muaranya. Bukan air sungai yang tengah mengalir itu yang menarik dirinya, tetapi seorang pemuda entah siapa yang sering berenang di Sungai Logawa itu. Diam-diam dia yakin bahwa tadi pagi pastilah pemuda itu sudah turun ke sungai. Dia tidak melihatnya karena tiba di Tamansar sudah agak siang. 

”Burung prenjak itu tak pernah berbohong. Sebab burung prenjak itulah yang pertama kali menuntunku ke Tamansari. Sungguh burung prenjak yang aneh,” ujar Sang Dewi dalam hati. Rasa herannya sulit dihalaunya pergi. Mereka berdua berjalan kembali ke Taman Kaputren.

“Biyung Emban, haruskah seorang gadis menerima calon suami pilihan orang tuanya?” 

“Semua orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia, Ndara Putri.”

“Tetapi yang akan menjalani hidup berumah tangga bukan orang tua. Kenapa anak gadis tidak boleh ikut menentukan sendiri, siapa yang akan menjadi calon suaminya?”

“Aduh, Ndara Putri, kalau soal itu, Kanjeng Rama Adipati pasti bisa menjawabnya. Adat dan tradisi yang berlaku memang begitu. Calon suami dipilih oleh orang tua. Anak gadis tinggal pasrah dan menyerah. Itulah adat yang berlaku di Kadipaten Pasirluhur dan juga kadipaten lain. Semua kakak Ndara Putri mengalami hal seperti itu. Pada orang kebanyakan juga berlaku hal seperti itu. Jarang sekali ada gadis yang berani melawan adat itu. Pernah dengar kisah gadis Kutaliman yang terkenal itu, Ndara Putri?”

“Belum, Biyung Emban. Nanti malam ceriterakan padaku.”

“Baiklah, Ndara Putri.” Mereka berdua membuka pintu terusan yang menghubungkan Taman Kaputren dan Tamansari, keduanya melangkah masuk. Sampai di depan kamar Sang Dewi, seorang pembantu wanita sudah menunggu.

“Ndara Putri, Kanjeng Rama Adipati sudah menunggu di ruang makan, mengajak santap siang bersama,” kata pembantu wanita itu.

“Ya, sampaikan pada Kanjeng Rama, aku akan segera ke sana.” 

Dalam perjalananan menghadap Kanjeng Adipati, yang terngiang-ngiang di telinga Sang Dewi malah kisah gadis Kutaliman yang belum pernah didengarnya itu. Siang itu Kanjeng Adipati Kandhadaha bersantap siang di ruang makan Dalem Gede ditemani istrinya Kanjeng Ayu Adipati dan putrinya, Sang  Dewi. Usai santap siang, Kanjeng Adipati menjelaskan pada putri bungsunya rencana Kanjeng Adipati akan mengadakan pesta rakyat menangkap ikan di Sungai Logawa. Sejumlah adipati sahabat tentu banyak yang akan hadir. Ada di antara mereka yang akan membawa putranya yang sudah siap berumah tangga.

“Kesempatan yang baik bagimu, Nduk Dewi Cah Ayu, untuk memilih salah satu di antara mereka. Mereka siap melamarmu, jika engkau siap pula menerima. Jangan engkau kecewakan Kanjeng Ramamu ini. Dulu kakak-kakakmu tak pernah menolak, langsung setuju, jika Kanjeng Ramamu ini setuju. Hanya engkau yang agak aneh. Tapi tidak apa. Engkau putri Kanjeng Ramamu yang paling bungsu, paling cantik pula. Tentu saja sangat wajar bila banyak yang berminat menyuntingmu. Dan wajar pula bila engkau menggunakan  hak untuk memilih.”

“Aduh, Kanjeng Rama, ampunilah Putri Kanjeng Rama ini. Tak ada niat untuk menentang kehendak Kanjeng Rama. Kalau selama ini Dewi belum bisa menentukan pilihan, semata-mata karena Dewi belum mengenal dengan baik mereka itu semua.”

“Ketahuilah, Nduk Dewi Cah Ayu, pesta rakyat itu nanti diadakan memang salah satu tujuannya agar engkau punya kesempatan untuk mengenal mereka semua.”

“Terima kasih, Kanjeng Rama. Sebab bagaimana Dewi bisa mengenal bibit, bebet, dan bobot calon suami, bila Dewi tidak pernah mengenal calon suami dengan baik. Benar tidak, Kanjeng Rama?”

“Hem…, engkau nyata-nyata cerdas, Nduk Dewi Cah Ayu. Dari calon-calon yang siap melamarmu itu engkau tinggal memilih saja. Benar sekali, bibit, bebet, dan bobot itu kan pedoman warisan leluhur kita yang bisa dijadikan pedoman dalam memilih jodoh. Mereka semua memenuhi syarat berdasarkan pedoman warisan leluhur. Misalnya bibit, jelas mereka semua itu turunan para priyayi agung. Bebet, mereka pastilah punya penghasilan yang cukup untuk menghidupi rumah tangga mereka, menghidupi istri serta anak-anak mereka. Bobot, mereka semua mempunya jabatan terhormat,” berkata Kanjeng Adipati memberi nasihat kepada putri bungsunya itu.

Hem, bobot jabatan terhormat? Sang Dewi berkata di dalam hati. Alangkah sempitnya pandangan Kanjeng Rama. Para ksatria itu hanya mengejar harta, tahta, dan wanita. Betapa banyaknya para wanita istri adipati dan para ksatria itu yang menderita karena bobot ditentukan hanya berdasarkan tinggi rendahnya jabatan yang dimiliki para ksatria itu. Aku, Putri Kadipaten Pasirluhur, Putri Kanjeng Rama Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ibu, tidak silau oleh harta dan tahta, sekalipun keduanya itu penting sebagai modal untuk membangun sebuah rumah tangga. 

Bobot itu bukan hanya jabatan. Jika bobot adalah jabatan, maka para ksatria itu akan bertindak sewenang-wenang, tidak memiliki sifat welas asih pada sesama, dan tidak bisa berlaku adil. Itulah penyebab munculnya sikap adigang, adigung, dan adiguna. Ya, sewenang-wenang karena merasa mempunyai wewenang. Kepada istri, mereka pun, para ksatria itu akan sewenang-wenang. Wanita hanyalah dijadikan bunga. Bunga itu akan terus diisap selagi ada madunya. Tetapi bila sudah layu, bunga itu pun akan dibuangnya. Ah, betapa banyak wanita kaumku yang menderita karena para ksatria itu  memuja harta dan tahta. Hem, Kanjeng Rama. Bobot itu tidak diukur dari tinggi rendahnya tahta yang diduduki oleh seorang calon suami.

Bobot itu juga harus diukur berdasarkan tinggi rendahnya budi mulia dan budi luhur calon suami. Duh, Kanjeng Rama, ananda tidak mau jadi tumbal ambisi para ksatria. Ananda ingin memilih calon suami yang bukan hanya berbobot secara lahirnya saja. Tetapi calon suami yang berbobot lahir dan batinnya, berbudi mulia dan berbudi pekerti luhur. Itulah calon suami yang layak sebagai tempat bernaung, berlindung dan mengabdi bagi seorang istri.

Nduk Dewi Cah Ayu, putri Kanjeng Rama. Engkau bukan hanya semakin cantik. Tetapi juga semakin dewasa, semakin cerdas, dan semakin bijak. Berbahagialah para adipati ataupun putra adipati yang kelak menjadi suamimu,” ujar Kanjeng Adipati menyadarkan Sang Dewi yang sedang asyik berdiskusi di dalam benaknya itu.

Nduk Dewi Cah Ayu, engkau boleh kembali ke Taman Kaputren. Ingat-ingatlah pesanku.”
Sang Dewi segera bangkit dan kembali ke Taman Kaputren, setelah memeluk ayah dan ibundanya.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar