RMS.Brotodiredjo,
adalah Pujangga Banyumas pewaris tradisi Patih Aria Wirjaatmadja yang
melanjutkan rekonstruksi sejarah berdirinya Kabupaten Banyumas tahun 1582 M.
Babad Banyumas Karya RMS.Brotodireja merupakan karya klasik babad paling
lengkap. Jika Babad Tanah Jawi, bungkam dan tidak
pernah berani mengungkapkan kisah dipenggalnya Bupati Banyumas Yudanegara I, oleh
Amangkurat III ( 1703 – 1705 M). Tetapi RMS. Brotodiredjo dengan lugas berani
mengungkapkan fakta sejarah tersebut.
Dalam
buku Babad Inti Silsilah dan Sejarah Banumas (ISSB) karya RMS.Brotodiredjo dan R.Ngatijo
Darmosuwondo itu, dikisahkan dengan menarik pelarian Amangkurat I pada tahun
1677 dari Kraton Plered yang berhasil diduduki Trunojoyo. Raja Mataram(1645
-1677 M) yang sudah sepuh dan sakit-sakitan itu menuju Tegal dengan melewati
Banyumas-Kalibagor-Sokaraja-Ajibarang-Pasiraman, kemudian dia wafat, lalu dimakamkan di Tegalwangi.
Sumber naskah Babad Banyumas Karya RMS.Brotodirjo, sebenarnya adalah Babad Tanah
Jawi. Tetapi
dalam Babad Banyumas ISSB ditemukan kisah-kisah baru yang tidak dimuat
dalam Babad Tanah Jawi. Informasi baru itu dimungkinkan karena Sang Penulis
Babad ISSB memang orang Banyumas,
sehingga tahu persis peta geografi Banyumas. Misalnya dikisahkan nama
Kolopaking yang terkenal itu, ternyata awalnya dari kelapa aking, atau kelapan
tua/kering.
Dalam
Babad Tanah Jawi tidak dijelaskan bahwa ternyata ketika Sunan Amangkurat I tiba
di Banyumas, dalam pandangan Putra Mahkota Adipati Anom, Bupati Banyumas Yudanegara
I ( 1650 – 1705 M), kurang memberikan sambutan dengan baik. Dia malah pergi
menemani Pangeran Puger, kembali ke Mataram. Pangeran Puger kembali ke Mataram
untuk memberontak terhadap Amangkurat II, dengan memproklamirkan dirinya sebagai Raja Mataram.
Pangeran Puger adalah adik Amangkurat I, tapi memang lebih cerdas dan memiliki
bakat sebagai senapati. Sementara itu, Amangkurat II bertubuh tambun, gemuk,
terkesan lambat dalam bergerak dan peragu. Tetapi dialah putra mahkota yang
tidak sabar ingin segera menduduki tahta kursi ayahnya yang dipandangnya telah
terlalu lama menduduki tahta Mataram.
Rivalitas
Amangkurat II dan Pangeran Puger itulah yang kelak mendatangkan malapetaka bagi
Bupati Banyumas Yudanegara I (1650 – 1705 M), yang sebenarnya orang yang sangat
patuh, sehingga ketika diajak Pangeran Puger, Yudhanegara tidak kuasa menolak
dan tidak mempertimbangkan rivalitas antara kedua putra Raja Mataram yang telah
sepuh itu.
Ketika Amangkurat I wafat, Adipati Anom naik
tahta dengan gelar Amangkurat II (1677 -1703 ).. Dengan bantuan Belanda
Amangkurat II berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pangeran Puger yang
sempat menobatkan dirinya menjadi Raja Mataram itu terpojok, lalu bersedia menyerah dengan syarat Amangkurat II berjanji akan mengampuninya. Amangkurat II
memang akhirnya mengampuni Pangeran Puger.
Dengan diampuninya Pangeran Puger, mestinya
Amangkurat II tidak perlu dendam pada Yudhanegara I. Ternyata dendam itu disimpannya dan
diwariskan kepada anaknya, Putra Mahkota yang tabiatnya lebih kasar, jalannya
pincang, sehingga Babad Tanah Jawi mengutip kelakar P.Surabaya yang mengolok-olok
Putra Mahkota sebagai Pun Kenced alias Si Pincang. Dia adalah satu-satunya
putra Amangkurat II.
Pada
tahun 1703 M, Amangkurat II wafat, Pun Kenced pun naik tahta dan menobatkan
dirinya sebagai Amangkurat III. Tetapi dengan membawa kecurigaan terhadap Pangeran
Puger yang dituduhnya masih memiliki ambisi untuk menduduki tahta yang
ditinggalkan ayahnya. Pangeran Puger yang menyadari dirinya akan ditangkap
segera melarikan diri ke Semarang meminta perlindungan kepada Belanda. Karena
gagal menangkap pamanya, Amangkurat III menangkap putra Pangeran Puger yang
langsung dipenggalnya.
Belanda
sendiri tidak suka kepada Amangkurat III, karena itu Belanda tidak mau mengakui
Amangkurat III dan mempertimbangkan untuk mendukung penobatan Pangeran Puger,
asal Pangeran Puger mau menandatangani perjanjian yang tentu saja akan menguntungkan
Belanda. Tanpa pikir panjang Pangeran Puger menyetujui tawaran Belanda.
Pangeran Puger pun menobatkan dirinya sebagai raja pewaris tahta Mataram dengan
mengambil gelar Pakubuwono I.Belanda langsung mengakuinya dan memberikan
dukungan penuh. Maka pecahlah Perang Suksesi Mataram yang pertama.(1705- 1709).
Dalam
situasi kritis semacam itu, Amangkurat III memanggil Bupati Banyumas Yudanegara
I untuk menghadapnya ke Kartasuro. Yudanegara I yang polos dan tidak curiga
sedikitpun memenuhi panggilan Amangurat III. Kebetulan istri Yudanegara adalah
bibi Amangkurat III, karena salah satu
istri Yudanegara I adalah adik Amangkurat II dan Putri Amangkurat I.
Karena mengira Yudanegara I mendukung Pangeran Puger, dengan sendirinya
Amangkurat III menganggap Bupati Yudanegara I telah mbalelo. Amangkurat III
langsung menyuruh pengawalnya untuk menghukum Yudanegara I dengan hukuman
penggal kepala, menyusul putra pamannya, Pangeran Puger. Yudanegara I yang
malang itu, Adipati Banyumas ke-5 itu pun tewas. Rakyat Banyumas mengabadikan
namanya dengan sebutan Tumenggung Seda Masjid.
Sementara itu Pangeran Puger dan Belanda di
Semarang segera menyiapkan operasi gabungan untuk menyerang Kartosuro. Dengan
mudah pasukan Amangkurat III dipukul mundur. Amangkurat III cepat-cepat melarikan
diri ke Jawa Timur, bergabung dengan pasukan pimpinan Untung Surapati di
Pasuruan, Jawa Timur. Untung Surapati telah mengangkat dirinya sebagai raja
yang bergelar Wiranegara dengan markasnya di Pasuruan. Tetapi pada tahun 1708 M
Belanda menggempur markas Untung Surapati. Amangkurat III pun tertagkap dan menyerah
kepada Belanda. Akhirnya dia dibuang ke Sailan. Pangeran Puger pun menduduki
tahta Kerajaan Mataram dengan mengambil gelar Pakubuwono I( 1705 – 1719 M).
Perang suksesi pertama itu pun berakhir. Untuk sementara waktu Kerajaan Mataram
memasuki masa tenang. Kelak Pakubuono I
mengangkat seorang patih dari Banyumas, yakni Tumenggung Mangkuyudha alias
Tumenggung Kertanegara I.Pakubuono I juga mengangkat Yudanegara III, sebagai
Bupati Banyumas ( 1708 – 1743 M )
Dalam
Babad Banyumas ISSB, peristiwa tewasnya Yudanegara I, sangat diperhalus. Tidak
disebutkan latar belakang politik apa yang menyebabkan Amangkurat III
murka. Di situ hanya diceriterakan bahwa
penyebab hukuman penggal karena istri Yudanegara I, Raden Ayu Kleting Kuning,
telah mengadu kepada kemenakannya, Amangkurat III bahwa selama menjadi istri
Yudanegara I, dia telah diperlakukan dengan tidak adil. Karena merasa bibinya
telah disia-siakan Bupati Banyumas Yudanegara I, Amangkurat III langsung murka.
Suami bibinya itu, Bupati Banyumas Yudanegara I pun langsung dihukum dengan
hukuman penggal.
Demikianlah
tradisi lisan dan tulis Banyumas yang tidak pernah menaruh dendam kepada para
penguasa raja atasannya. Bisa jadi karena ingin menerapkan konsep mendem jero mikul duwur,
maka kekejaman Pun Kenjed tidak pernah diungkapkan. Kasus yang sama sebenarnya
juga terjadi dengan peristiwa tragedi Sabtu Pahing yang mengakibatkan tewasnya
Adipati Wirasaba VI. Tradisi lisan dan tulis yang terungkap adalah kisah yang
sudah diperhalus, yaitu karena Raja Pajang telah 'khilaf".Raja Jawa itu naik tahta karena mendapat wahyu, sehingga tidak mungkin khilaf.
Kisah Pelarian
Amangkurat I
Kisah
pelarian Amangkurat I dikutip oleh De Graaf dari Babad Tanah Jawi dan sejumlah
sumber sebagai berikut ini:
“Setelah
Sunan Amangkurat I merasa tidak aman lagi di dalam Keraton Plered, dia
meninggalkan tempat pada malam hari tanpa dihalangi oleh siapa pun. Hanya
sedikit orang yang mengantarnya,beberapa orang anggota keluarga dan sejumlah
putra-putranya, Raden Tapa dan Raden Panular serta beberapa orang wanita. Tapi
di Imogiri dia membawa 1000 orang, mungkin untuk menjaga makam. Ia membawa
serta semua benda pusaka, kecuali yang berat sekali seperti meriam keramat Nyai
Setomi. Meriam ini sempat di tarik Trunojoyo ke Kediri. Yang juga ditinggalkan
adalah kekayaan kerajaan senilai 350.000 ringgit. Semula dibawa serta juga
seekor Gajah. Sempat beberapa lama Raja naik gajah. Tapi akhirnya dipindah
memakai tandu. Sebelum menuju barat, Sunan menginap semalam di Imogiri.
Menyedihkan sekali ketika dia berpamitan pada putranya yang berusia 12 tahun,
yang dalam keadaan sakit parah, sehingga terpaksa harus ditinggalkan bersama
Ibunya di Imogiri.Tak lama kemudian anak itu meninggal dan Ibunya oleh
Trunojoyo diambil sebagai istri. Sampai di Jagabaya, Sunan bergabung dengan
putra-putranya yang sudah melarikan lebih dahulu, yaitu Pangeran Singasari dan
Pangeran Puger. Amangkurat I agak kecewa dengan kedua putranya yang menyambutnya
dengan wajah dingin itu. Tapi di Nampudadi, Putra Mahkota Adipati Anom berhasil
menyusulnya, kemudian putra sulung Amangkurat I itu bergabung bersama.
Selama
dalam perjalanan Raja yang sudah tua itu jatuh sakit, sehingga kurang makan dan
tidur. Sampai di Karanganyar, Raja dan istri-istrinya dirampok, sekalipun Raja
sudah menyuruh untuk menyebarkan uang untuk mengalihkan perhatian para
perampok. Karena marah Raja menemui mereka dan mengucapkan kutuk, yang
menyebabkan para perampok itu menggil seketika dan menjadi lumpuh. Tiba di Banyumas
rombongan Raja menginap tiga malam. Ketika kesehatannya sudah agak membaik,
rombongan Raja itu melanjutkan perjalanannya ke Ajibarang. Di Ajibarang kembali
jatuh sakit. Raja pun menyerahkan benda pusaka berpa gong Kiai Bijak dan keris
Kiai Baladar. Perjalanan masih dilanjutkan, tapi tiba di Wanayasa atau
Winduaji, Raja Mataram Amangkurat I itu pun wafat. Babad Banyumas ISSB
menyebutkan wafatnya Amangkurat I di Desa Pasiraman. Dari kata siram, yang
artinya dimandikan, berubah menjadi nama desa, yaitu Pasiraman.
Wafatnya
Amangkurat I disertai ceritera tutur yang bersifat desas-desus, bahwa Adipati
Anom yang sudah tidak sabar itu, memberikan ayahnya minuman air kelapa muda
yang dikatakan sebagai jamu, tetapi sudah diisi pil racun untuk mempercepat
kematian Amangkurat I.Konon Raja sebenarnya tahu bahwa dia disuruh minum racun
oleh putranya. Tetapi Raja merasa tidak kuasa
menolak kehendak putranya. Karena itu Raja hanya meninggalkan pesan
bahwa turunan Amangkurat II, kelak tidak akan pernah menjadi Raja Mataram.
Putra Amangkurat II yang dimaksud Raja yang hampir sekarat itu adalah
Amangkurat III alias Pun Kenced, nama olok-olokan Babad Tanah Jawi.
Raja
Mataram yang berkuasa selama 33 tahun itu akhirnya dimakamkan di Tegalwangi, di
suatu ketinggian puncak bukit buatan, disamping makam guru spiritualnya, Tumenggung
Danupaya. Di atas makamnya dibangun cungkup yang sederhana. Putra Mahkota
Adipati Anom pun dinobatkan jadi Raja Mataram III. Dia melanjutkan
perjalanannya ke Tegal. Dari sana melanjutkan perjalanannya dengan kapal,
berlayar menuju Jepara untuk menemui sahabatnya, orang Belanda Speelman. Di
Benteng Jepara yang merupakan markas Belanda itulah Amangkurat II berunding
dengan Speelman untuk menumpas Kediri, tempat Trunojoyo membangun markas
besarnya.
Sementara
itu Kraton Plered yang ditinggalkan Amangkurat I, langsung dijarah pasukan
Trunojoyo. Hampir semua rumah para pembesar Mataram dibakar. Yang tersisa hanya
kraton, masjid besar, istana Pangeran Purbaya, Pangeran Sampang, Pangeran
Cirebon, dan Pangeran Aria Panular, putra bungsu Amangkurat I. Hasil
rampasannya luar biasa banyak, diangkut dengan kereta dan hewan menuju Kediri,
termasuk harta benda kerajaan senilai 350.0000 real, berikut semua wanita,
putri dan abdi wanita yang cantik-cantik. Hanya meriam-meriam berat dan wanita
tua yang ditinggalkan. Demikian kisah pelarian Amangkurat I yang melewati
daerah Banyumas dan sempat beristirahat selama tiga hari, yakni tanggal 6 -8 Juli 1677 M. Amangkurat
I dimakamkan pada tanggal 13 Juli 1677 M.
Sejumlah Kelemahan Kitab
Babad Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas (ISSB)
Kitab
Babad Banyumas ISSB, sebagai sastra babad memang mengasyikkan untuk dibaca. Namun
demikian dari sisi historis, isi Kitab Babad Banyumas ISSB itu, bukannya tanpa
kelemahan. Tetapi penyebab kelemahannya, bersumber pada kitab-kitab babad yang
telah dijadikan sumber penulisan. Beberapa kelemahan Babad Banyumas ISSB, jika
dianalisa dari aspek historis antara lain sebagai berikut.
1.Nama
putra-putra Brawijaya V
Nama
putra-putra Brawijaya V yang bersumber dari Babad Tanah Jawi, disebutkan
berturut-turut: (1) Putri Ratu Pambayun, (2) Harya Bangah, (3) Raden Patah,(4)
Lembu Peteng, (5) Batara Katong, (6) Raden Bondan Kejawen, (7) Jaran Panoleh.
Nama-nama itu lebih tepat ditempatkan sebagai Putra Sri Kertawijaya ( 1447 –
1551 M), yang telah diidentifikasi Schrieke, sebagai putra Raja Majapahit
Wikramawardhana (1389 – 1429 M), yang menyunting Putri Campa dan Putri China. Dari
pernikahannya dengan Putri Campa lahirlah Putri Pambayun. Dan dari
pernikahannya dengan Putri China, lahirlah Raden Patah.
Sri
Brawijaya I, lebih tepat disematkan sebagai
nama gelar Sri Kertawijaya. Bukan nama gelar Raden Wijaya, pendiri Majapahit
versi Babad Tanah Jawi yang dikacaukan dengan nama Jaka Sesuruh atau Jaka
Tanduran, ksatria Pajajaran-Galuh Kawali. Jaka Sesuruh itu tidak lain adalah
Senna, Raja Galuh yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan Mendirikan Kerajaan
Mataram Hindu pada abad ke- 8 Masehi. Sedang Kerajaan Majapahit baru berdiri
pada akhir abad ke 13 M.
2. Berdirinya Kadipaten
Wirasaba .
Berdirinya
Kadipaten Wirasaba yang lebih tepat adalah antara tahun 1410 – 1415 M, setelah
Perang Paragreg yang membuat Majapahit nyaris jatuh miskin, sehingga Majapahit
harus melakukan ekspansi di Pulau Jawa ke arah barat untuk mendapatkan sumber
ekonomi baru, yang menyebabkan wilayah Kerajaan Galuh di Lembah Serayu semakin
terdesak ke barat. Tahun 1466 M, bukan tahun berdirinya Kadipaten Wirasaba
Banyumas.
3.Jaka Katuhu sebagai
putra Arya Baribin
Nama
Jaka Katuhu sebagai anak sulung Arya Baribin juga harus direvisi. Nama Jaka
Katuhu harus ditarik dari posisinya sebagai putra Arya Baribin, sama dengan
Harya Bangah yang juga harus di tarik dari daftar putra Brawijaya V. Tokoh Harya
Bangah dan Jaka Sesuruh atau pun Jaka Tanduran, lebih baik diverifikasi dan
dikembalikan kepada sumbernya, yakni tradisi Galuh Kawali yang lebih akurat.
Jaka Katuhu kemungkinan punya hubungan kekerabatan dengan keluarga Bhre Paguhan, pendiri Wirasaba,
sehingga posisinya dengan Harya Baribin, lebih tua. Bhre Paguhan artinya
Adipati Paguhan. Paguhan itu nama daerah pada jaman Majapahit yang setara
dengan Pajang, Wengker, Mataram, Singasari, Kahuripan, Lasem, Daha,Tumapel dan
lainnya lagi. Bhre Paguhan yang pertama adalah Raden Sumarna yang nikah dengan
Bhre Pajang, seorang Putri adik Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan Bhre Pajang
namanya menjadi Singawardhana. Dia punya putra-putri, antara lain
Wikramawardhana yang menjadi menantu Hayam Wuruk. Jadi Bhre Paguhan itu ipar
Hayam Wuruk. Maka tidak mungkin dia keluyuran ke Lembah Serayu untuk mendirikan
Kadipaten Wirasaba. Tapi bisa jadi kerabatnya yang menggantikannya sebagai
Bhree Paguhan punya andil mendirikan Kadipaten Wirasaba dalam rangka membantu
Wikramawardhana mengembangkan daerah baru untuk memperbaiki kondisi ekonomi
yang morat-marit akibat perang Paragreg dengan Wirabumi yang masih iparnya
sendiri itu.
Mungkin
Jaka Katuhu adalah paman Harya Baribin. Kata katuhu dalam bahasa Sunda
mengandunga arti kanan. Jadi Katahu adalah orang yang berada pada sisi kanan
rantai silsilah ayah Haryo Baribin. Dengan kata lain Jaka Katuhu itu saudara
ayah alias Paman Harya Baribin. Tidak mungkin anak Harya Baribin. Jika Jaka
Katuhu putra Harya Baribin dengan Ratna Pamekas, mestinya menggunakan gelar
tradisi leluhur raja-raja Galuh dan Pajajaran yang memuja unggas air itu
sebagai simbol pemujaan kepada Dewa Awan dan Hujan, Dewa Indra. Nama Banyak Kumara dan Banyaksasra, memang tepat jika disebutkan
sebagai putra Haryo Baribin.
4.Pertemuan Haryo
Baribin dengan Kiyai Mranggi Kejawar,
Pertemuan
Haryo Baribin dengan Ki Mranggi Kejawar
juga harus ditegaskan bahwa yang ditemuinya Haryo Baribin itu bukanlah
Kiyai Mraggi Kejawar yang kelak menjadi suami
putri bungsu Haryo Baribin dengan Ratna Pamekas. Sebab jika demikian,
kasihan dong jika putri bungsu Haryo Baribin harus menjadi istri seorang
kakek? Di sini ada dua nama Mranggi,
yakni Mranggi I dan Mranggi II. Mranggi II atau Mranggi Yunior itulah yang
kelak menikah dengan putri bungsu Haryo Baribin dengan Ratna Pamekas. Dan
merekalah yang kelak mengasuh Jaka Kahiman. Makanya dalam teks Babad Banyumas,
ayah angkat Jaka Kahiman disebut, Ki Mranggi Semu. Maksud semu adalah Yunior.
5.Pandan Salas.
Brawijaya V yang diidentifikasikan dengan
Pandan Salas yang seolah-olah menghilang dari kraton. Penelitian Prof.Dr.Slamet
Mulyana bisa dijadikan pegangan yang sangat bisa dipercaya. Bahwa tokoh Pandan
Salas, tidak pernah naik menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Pandan Salas sama
dengan Paguhan, nama suatu daerah setingkat kadipaten. Bhre Pandan Salas nama
aslinya adalah Raden Sumirat menantu Bhre Paguhan, Raden Sumirat kawin dengan
Putri Bungsi Bhree Pajang – Bhree Paguhan Singawardhana. Jadi Bhre Pandan Salas
Senior ini adalah ipar Wikramawardana dan juga ipar Wirabumi. Kelak Bhree
Pandan Salas Yunior naik tahta Tumapel pada tahun 1466 M, dua tahun kemudian,
yakni tahun 1468 lalu meninggalkan istana.
Slamet
Muyana mengutip Pararaton sbb :
“Phrabhu
rong tahun, tumuli sah saking kedaton. Artinya,”Setelah bertahta dua tahun,
lalu meninggalkan istana”
Berdasarkan
Prasasti Wringin Pitu, menurut Slamet Mulyana, Pada tahun 1466 M, Dyah
Suraprabhawa, semula Bhre di Tumapel, naik tahta Keraton Majapahit,
menggantikan Raja Majapahit Hyang Purwawisesa ( 1456 – 1466 M) yang mangkat.
Sedangkan Bhe Pandan Salas naik tahta Tumapel, meggantikan Dyah Suraprabhawa.
Setelah dua tahun menjadi penguasa Tumapel, dia meninggalkan istana untuk suatu
alasan yang tidak diketahui.
Babad
Tanah Jawi menduga, Pandan Salas adalah Brawijaya V, Raja Majapahit terkhir
yang meloloskan diri karena diserbu Raden Patah dengan tentara Demaknya.
Keterangan Slamet Mulyana bahwa Pandan Salas tak pernah naik tahta Majapahit,
lebih dapat dipercaya, karena pernyataannya itu didukung bukti otentik yang
sangat kuat, yakni Prasasti Wringin Pitu.
Karena
itu konflik yang jadi penyebab runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 M, bukan
konflik antara Raden Patah dan Brawijaya V. Tetapi adalah konflik antara
keturunan Dyah Suraprabhawa –Brawijaya IV yang adik Brawijaya I dengan Dyah
Wijayakarana Adipati Keling Putra Bungsu Brawijaya I. Dialah yang lebih layak
menyandang gelar Brawijaya V (1478 - 1483). Putra pertamanya, Brawijaya VI (1483 - 1486), naik tahta menggantikan Brawijaya V
Putra ke dua Brawijaya V, Ranawijaya, adalah Brawijaya VII( 1486 - 1546 M) yang merupakan Raja Brawijaya
terakhir. Dialah yang terlibat konfil dengan Trenggono pada tahun 1527 M, yang
menyebabkan jatuhnya Kediri. Karya De Graaf mengisahkan dengan baik pelarian
Ranawijaya ketika menghadapi tentara Demak. Ranawijaya berhasil menyelamatkan
diri dan melarikan ke Sengguruh dan membangun kerajaan baru di situ. Sengguruh pun
kembali digempur Sunan Kudus Ja’far Sidik pada tahun 1545 M. Ranawijaya lari lagi ke Panarukan. Ketika Trenggono akan
menggempur Ranawijaya di Panarukan pada tahun 1546 M, justru Trenggonolah yang
tewas di Pasuruhan karena dibunuh pembantunya, seorang gandek.
Pada
tahun 1546 M Kadipaten Wirasaba sudah
menjadi Kadipaten Islam, Adipati Wirasaba VI pun sudah menduduki kursi adipati
menggantikan ayahnya, Adipati Wirasaba V. Analisa filologi bisa memberikan gambaran kasar, Adipati
Wirasaba VI, seusia dengan Sultan Adiwijaya. Mereka lahir sekitar tahun 1525 M.
Demikianlah
beberapa kelemahan Babad Banyumas ISSB
dari sisi historis. Tetapi secara keseluruhan kisah-kisah yang ada didalamnya
sangat mengagumkan. Yang diperlukan sebenarnya hanyalah sikap kritis dalam
membaca kisah-kisah yang harus diuji dengan menggunakan fakta sejarah. Dan
angka tahun 1582 M sebagai tahun berdirinya Kabupaten Banyumas, rupanya juga
telah diuji melalui penelitian oleh MM.Sukato, sebagai tahun berdirinya
Kabupaten Banyumas yang sesuai dengan fakta sejarah.Wallahualam.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar