Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 28 Mei 2020

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26): “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang indah itu?” tanya Sang Dewi. “Dari Cirebon, Ayunda De...

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)



“Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang indah itu?” tanya Sang Dewi.
“Dari Cirebon, Ayunda Dewi,” jawab Sekarmenur.
“Pernah ke Cirebon? “ tanya Sang Dewi heran.
“Beberapa kali dulu diajak Patih Puletembini,” jawab Sekarmenur. Bagi Sekarmenur, bangunan tempat tinggal Patih Pule Tembini di samping Istana Raja itu, tentu bukan tempat tinggal yang asing. Sekarmenur hampir hapal semua sudut-sudutnya. Karena bangunan itu adalah tempat tinggal Patih Puletembini mantan kekasih Sekarmenur yang telah tewas.
“Pernah diajak Dinda Wirapati ke Cirebon?”
“Baru sekali, Ayunda Dewi,”
“Wah, aku dengan Kanda Kamandaka kalah. Aku belum pernah lihat Kota Cirebon. Kalau Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu malah sering. Lewat mana kalau Dinda Sekarmenur ke Cirebon?”
“Dulu bersama Patih Pulebahas ramai-ramai dengan beberapa orang dari Tamanbidadari. Kalau tidak salah lewat jalur sebelah barat Kadipaten Pasirluhur, akhirnya tiba di sebelah barat Brebes. Dari sana terus ke Cirebon. Waktu dengan Kanda Wirapati, mampir dulu ke Dayeuhluhur. Dari sana melanjutkan perjalanan ke Cirebon,” kata Dyah Ayu Sekarmenur.
“Hem, Dinda Sekarmenur memang penata ruangan hebat. Jika melihat ranjang tempat tidur begini, aku tiba-tiba ingin cepat-cepat tidur,” kata Kamandaka yang cerdik itu, berusaha menghentikan diskusi istrinya dengan Sekarmenur yang sedang asyik membicarakan Kota Cirebon.
“Oh, kalau begitu selamat malam, Kanda Kamandaka. Semoga mimpi indah bersama Ayunda Dewi,” kata Sekarmenur yang cepat tanggap sambil tersenyum.
Sebelum meninggalkan kamar, Sekarmenur sempat menggoda Sang Dewi dengan meninggalkan pesan yang membuat Sang Dewi tersenyum. “Ayunda Dewi, ayo temani Kanda Kamandaka, kasihan sudah mengantuk,” kata Sekarmenur dengan perasaan puas karena merasa telah memberikan pelayanan yang paling baik.
Dia langsung menghilang di balik pintu. Sekarmenur segera mengecek kamar mandi yang ada di ruang dapur, ruangan paling belakang. Di sana ada 6 kamar mandi ukuran sedang, bak-bak mandinya penuh terisi air. Para tamu selain Sang Dewi dan Kamandaka, memang kalau mau mandi harus menuju kamar mandi yang ada di ruang paling belakang. Lampu gantung dari minyak buatan China berpendaran menerangi seluruh ruangan yang ada.
Sementara itu Sang Dewi yang ada di dalam kamarnya segera membongkar koper pakaian, menatanya di dalam lemari, kemudian mengambil pakaian tidur untuk dirinya dan suaminya, lalu menyiapkan handuk dan perlengkapan mandi. Tas berisi peralatan rias ditaruhnya di depan meja rias. Sang Dewi segera menghambur ke kamar mandi. Sekalipun tanpa air hangat, mandi di tengah-tengah udara pantai Nusakambangan yang kering karena masih musim kemarau, bagi Sang Dewi malah terasa sejuk dan menyegarkan badan. Selesai mandi Sang Dewi mengenakan pakaian tidur dari sutera halus dan wewangian pengharum badan. Lalu dibawakannya handuk, alas kaki, dan pakaian tidur untuk suaminya.
Sang Dewi tersenyum melihat Kamandaka begitu saja membaringkan tubuhnya di atas ranjang tempat tidur, tanpa melepas baju yang masih dipakainya sejak berangkat dari Kaliwedi pagi tadi. Sang Suami tampak tertidur pulas, mungkin merasa lelah setelah menempuh perjalanan seharian. Diciumnya pipi suaminya sambil pelan-pelan berbisik.
“Kanda, mandi dulu, baru tidur. Nih, handuk, alas kaki, dan pakaian tidur. Perlengkapan mandi pembersih dan pengharum badan ada di kamar mandi.”
Kamandaka yang hampir terlelap tidur, terkejut ketika pipinya terasa dingin, karena ada bibir lembut yang menempel di pipinya. Kamandaka pelan-pelan membuka matanya. Rasa nikmat di pipinya tiba-tiba cepat menghilang, karena Sang Dewi cepat-cepat menarik bibirnya.
“Mandi dulu Kanda, nanti baru tidur. Biar keringat, debu perjalanan, dan asin air laut hilang,” kata Istrinya. Sang Dewi membantu melepas kancing baju Kamandaka bagian atas. Kamandaka segera bangkit bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Ketika terdengar kecipak air di dalam kamar mandi, Sang Dewi duduk di depan meja rias. Asyik merias dirinya di depan cermin hias.
Malam terus merangkak bersamaan dengan munculnya bintang-bintang baru di langit. Semua tamu rombongan di rumah itu sudah tertidur lelap, setelah selesai mandi membersihkan badan. Sejumlah lampu gantung telah dipadamkan. Hanya sebagian kecil saja yang dibiarkan menyala. Di atas ranjang di kamar tidurnya, Kamandaka memeluk Sang Dewi sambil membisikkan sesuatu. Sang Dewi tidak bereaksi hanya membalasnya dengan pelukan pula. Samar-samar bunyi deburan ombak Lautan Selatan yang menghempas karang, terdengar masuk ke kamar Sang Dewi dan Kamandaka. Semakin malam semakin jelas terdengar suara ombak.
“Nyaman juga ranjang ini, Diajeng. Tidak kalah dengan ranjang di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi. Juga tidak kalah nyaman dengan ranjang pengantin di Puri Permatabiru,” bisik Kamandaka.
“Menurut aku, lebih nyaman di sini. Ada bunyi deburan ombak yang terdengar sampai ke sini. Bagaikan musik malam pengantar tidur,” kata Sang Dewi. Kamandaka kembali membisikkan sesuatu ke telinga Sang Dewi, mengulangi bisikan pertama. Sang Dewi dipeluknya kembali. Sang Dewi membalas pelukan Kamandaka, tetapi tetap tak memberikan reaksi.
“Kanda Kamandaka, jangan malam ini,” akhirnya Sang Dewi membalasnya dengan membisikkan sesuatu. “Lihatlah melalui jendela, akan tampak bulan bersinar bagaikan kandil raksasa tergantung di langit sebelah timur. Aku khawatir ruh Sang Raja dengan Sang Permaisuri, karena iri kepada kita akan mengganggu kita. Ketika bulan tampak cemerlang seperti itu, biarkan hanya Sang Raja dan Sang Permaisuri yang boleh bermain asmara di kawasan ini dengan cara mereka sendiri. Nanti saja kalau sudah sampai di Puri Permatabiru. Bukankah tadi malam sudah, sewaktu menginap di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi?” kata Sang Dewi mengingatkan.
Kamandaka tersenyum, ingat kejadian tadi pagi. Rombongan yang akan mengantarkan Sang Dewi menikmati bulan madu itu berangkat dari Kadipaten Pasirluhur pada siang hari. Rombongan menuju rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi lebih dulu. Lalu bermalam di sana agar bisa berangkat pagi-pagi. Ternyata Sang Dewi dan Kamandaka paginya bangun agak kesiangan di kamarnya yang telah disulap oleh Nyai Kertisara menjadi kamar pengantin yang sangat mewah. Bahkan Kamandaka hampir tidak mau bangun, karena dia lupa mengira sedang berada di Puri Permatabiru. Hampir saja istrinya itu tidak boleh bangun, karena Kamandaka masih senang memeluknya dan masih mau meneruskan permainan cintanya.
Kamandaka memang memiliki satu kamar istimewa di rumah Nyai Kertisara yang dulu dibangun mirip kamar kediaman Sang Dewi di Taman Kaputren. Nyai Kertisara telah membayar mahal seorang ahli penata kamar pengantin yang didatangkan dari Karanglewas yang telah dikontrak oleh Kanjeng Ayu Adipati Kandhadaha. Dia diminta oleh Nyai Kertisara menata kamar Kamandaka itu menjadi kamar pengantin yang sama dengan kamar pengantin Sang Dewi di Puri Permatabiru.
“Kalau begitu, pulangnya kita menginap semalam lagi di rumah Nyai Kertisara, tidak keberatan kan Diajeng?” bujuk Kamandaka.
“Aku kan istri Kanda. Jika Kanda pada waktu pulang ingin bermalam kembali di Kaliwedi, aku pasti akan mengikuti kehendak Kanda,” kata Sang Dewi mencoba menghibur suaminya agar tidak sakit hati, karena Sang Dewi menolak keinginan Kamandaka untuk bermain cinta malam itu .
“Kalau di sini, aku hanya khawatir pada keselamatan Kanda. Banyak kejadian karena sepasang suami istri melakukan lambangsari di tempat-tempat terlarang atau pun di waktu-waktu terlarang. Akhirnya mereka mendapat kutukan dari alam semesta.”
“Apa saja larangan dan kutukan itu?” tanya Kamandaka.
“Misalnya, sepasang pengantin baru dilarang berhubungan badan di makam atau di kuburan. Kutukannya yaitu keduanya tidak akan dapat melepaskan diri. Akibatnya bisa fatal dan bisa berujung pada kematian,” kata Sang Dewi menjelaskan.
“Mengerikan juga,” kata Kamandaka menanggapi dengan nada cemas.
“Ya, dan ada lagi. Misalnya, sepasang pengantin baru juga dilarang melakukan permainan cinta dan lambangsari pada waktu pergantian dari siang ke malam hari, yaitu waktu yang disebut dengan candik kala. Kutukanya kedua-duanya bisa menjadi mandul. Dan yang paling menyakitkan ke dua-duanya bisa langsung kehilangan energi vitalitas selamanya, sehingga mereka berdua tidak akan bisa bermain asmara seumur hidup,” kata Sang Dewi.
“Tapi bukankah kelak Diajeng akan bisa menyembuhkannya, bila sudah mendapatkan pusaka bunga sakti Wijayakusuma?” tanya Kamandaka.
“Ssst. Jangan bicarakan itu dulu,” kata Sang Dewi mengingatkan.

Kamandaka merasa takut juga. Terbayang di benaknya wajah Sang Raja Pulebahas yang sempat dijemputnya dari atas tandu dulu. Ketika itu dirinya berperan sebagai Uwak Lengser. Kamandaka tiba-tiba menyembunyikan wajahnya ke dada istrinya, sambil berbisik supaya dipeluk. Sebentar kemudian Kamandaka sudah terlelap tertidur dalam pelukan istri tercintanya. Sang Dewi tersenyum, membiarkan wajah suaminya itu menghangati kedua bukit kembar yang menghiasi dadanya. Sang Dewi pun segera menyusul, terlelap dalam mimpi indah.(bersambung)