Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 15 April 2017

[2]Patih Aria Wirjaatmadja (1831 - 1909 ), Sang Pujangga Penulis Babad Banyumas



Patih Raden Wiryaatmaja, lebih banyak dikenal oleh banyak orang, sebagai perintis Bank  Rakyat, cikal bakal BRI,  di Kota Purwokerto (1895 M). Sedangkan  peranannya sebagai seorang penulis sastra babad, belum banyak  diketahui orang. Padahal salah satu karya kepujanggaannya  yang ditulisnya pada tahun 1898 M, dikenal menjadi induk atau babon kitab-kitab Babad Banyumas yang datang kemudian. Prof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum, seorang  ahli pendidikan sejarah yang banyak melakukan penelitian  fakta sintaktis berbagai versi babad Banyumas, menyebut karya babad garapan Wiryaatmaja sebagai Babad Banyumas Wiryaatmajan.


Bagaimana sih ceriteranya, sehingga patih yang menaruh perhatian besar kepada soal-soal ekonomi, keuangan, dan kesejahteraan rakyat itu, tiba-tiba bisa terlibat dalam proses kepujanggaan?
Banyak orang menduga, penulisan Babad Banyumas yang dilakukan Wiryaatmaja  hanyalah suatu peristiwa insidental saja. Atau peristiwa tidak sengaja. Tetapi kalau dilihat dari jalur leluhurnya, ternyata pada diri Patih Raden Arya Wiryaatmaja mengalir juga darah penggemar dan peminat sastra babad dan sastra Jawa. Istri Wiryaatmaja  berasal dari lingkungan Kraton Surakarta, suatu lingkungan yang tidak pernah asing dengan sastra babad dan fungsi sastra babad sebagai pelestari sekaligus pencipta mitos pada kerajaan-kerajaan Jawa dengan sistem kekuasaan tradisional.

Ayah Raden Wiryaatmaja adalah seorang Demang dari Ayah-Adireja dengan pangkat ngabehi, yakni Raden Ngabehi Dipadiwirya. Sedang istri Wiryaatmaja, adalah anak dari Mas Ngabehi Kertajaya, seorang demang di Adireja yang punya hubungan kekerabatan dengan Kraton Surakarta. Dari garis keturunan istrinya, sudah jelas Wiryaatmaja, cukup akrab dengan sastra babad, terutama Babad Tanah Jawi koleksi ayahnya maupun keluarga istrinya. 

Akan tetapi dalam usinya yang panjang, pengaruh sastra babad dan sastra mitos dari keluarganya hanya berjalan singkat. Sebab, Wiryaatmaja dalam perjalanan karirnya, lebih banyak berada dibawah asuhan atasannya yang sebagian besar adalah orang-orang  Belanda. Orang-orang Belanda atasan Wiryaatmaja itulah yang telah mendidiknya sebagai seorang punggawa atau birokrat  berpikiran maju dan rasional.

Wiryaatmaja sendiri lahir pada bulan Agustus 1831,  bertepatan dengan proses pembentukan Karesidenan Banyumas, sesudah daerah mancanegara barat dari Kraton Surakarta itu diambil alih Pemerintah Hindia Belanda sebagai ganti ongkos memadamkan Perang Diponegoro ( 1825 – 1830 M), yang berakhir dengan kemenangan Belanda dengan koalisinya.

Sebenarnya sebelum Perang Diponegoro berakhir, Pemerintah Hindia Belanda sudah mempunyai sejumlah gagasan dan agenda bagi masa depan Kesultanan Yagyakarta. Gagasan yang terkenal antara lain berasal dari usulan Mac Gillavry. Dia menyarankan agar selesai perang, Kesultanan Yogyakarta dihapuskan saja dengan alasan sumber segala keonaran berasal dari Kraton Yogya. Mac Gillavry mengusulkan agar daerah bekas wilayah Kraton Yogya dibagi tiga yaitu untuk Pemerintah Hindia Belanda, Kraton Surakarta dan Kraton Mangkunegaran.Tetapi Jendral De Kock menolak dengan alasan, adanya Kraton Yogyakarta, justru menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, karena kraton itu bisa menjadi penyeimbang Kraton Surakarta.
Usul lainnya datang dari G.Nahuys, mantan Residen Surakarta dua kali masa jabatan. Dia mengusulkan agar wilayah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta diperkecil. Daerah manca negara seperti Kediri, Bagelen dan Banyumas agar diambil alih dan dikelola langsung Pemerintah Hindia Belanda. G.Nahuys juga mengusulkan agar  Pemerintah Hindia Belanda banyak campur tangan dalam urusan kraton, karena ternyata kraton tidak mampu mencegah terjadinya sejumlah kerusuhan dan tindakan kekerasan di wilayah kerajaan. Dia juga mengusulkan agar Pemerintah Hindia Belanda mencampuri urusan pemerintahan,  administrasi, keamanan dan urusan keuangan  para pangeran dan pembesar kraton yang cenderung boros.

Selanjutnya adalah usul dari  Van Sevenhoven, mantan Residen Surakarta dan Yogyakarta. Usulan Van Sevenhoven  ini  banyak diperhatikan Pemerintah Hindia Belanda. Misalnya usulnya  tentang penentuan batas yang jelas antara dua kerajaan setelah wilayah mancanegara diambil alih Pemerintah Hindia Belanda. Usul lainnya adalah pembuatan jalan raya, penempatan pegawai orang Eropa di distrik-distrik dan perpanjangan jangka waktu penyewaan tanah bagi pengusaha yang terdiri atas orang Eropa, sedikitnya 25 tahun.

Oleh karena itu segera setelah Perang Jawa berakhir, Pemerintah Hindia Belanda membentuk panitya terdiri dari tiga orang yaitu, P.Merkus, Van Sevenhoven dan G. Nahuys. Tugas panitya tiga orang itu adalah  melakukan pembicaraan dengan pihak Kraton Yogyakarta dan Surakarta mengenai cara-cara pengambilalihan daerah mancanegara, yakni  Kediri, Bagelen dan Banyumas. Pihak Kraton Yogyakarta tidak banyak melakukan reaksi dan menerima dengan terpaksa. 

Sebaliknya dengan Kraton Surakarta. Sunan Pakubuwono VI sangat kecewa dengan rencana Pemeritah Hindia Belanda mengambil alih daerah mancanegara miliknya, yakni daerah Kediri, Bagelen dan Banyumas. Sebab Pakubuwono VI merasa ikut andil memadamkan pemberontakan Pangeran Diponegoro. Bahkan ketika berita Perang Diponegoro meletus dari Tuan Residen sampai ke telinga Sunan, Bupati Banyumas dari Kanoman Tumenggung Martadireja I beserta sejumlah kliwon dan ngabehi dari Banyumas sedang berkemah di alun-alun Kraton Surakarta. 

Pada waktu itu Kanjeng Sunan Pakubuwono VI langsung memberikan instruksi kepada Bupati Banyumas Martadireja I agar supaya mempersiapkan diri di daerah Banyumas  menghadapi Perang Diponegoro. Pada saat itu Tumenggung Mertadireja I baru saja mendapat anugerah nama baru dari Sunan Pakubuwono VI, yakni Tumenggung Brotodiningrat. Sebagai kompensasi persiapan menghadapi Perang Diponegoro di daerah Banyumas, Sang Bupati Banyumas dibebaskan selama 5 tahun dari kewajiban untuk seba dan mengantarkan upeti ke Kraton Surakarta .

Dapat dimengerti apabila Sunan Pakubuwono VI sangat kecewa dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda. Sebab bagi Sunan Pakubuwono VI, daerah mancanegara Bagelen dan Banyumas ibaratnya kaki dan tangan Sunan. Dengan mengambil ke dua daerah yang subur itu, Sunan merasa kaki dan tangannya akan dipotong sehingga  membuat dirinya sebagai raja yang tidak berdaya. Karena kecewa dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda itu, Sunan Pakubowono VI meloloskan diri dari kraton dan bersembunyi di Ponorogo. Tetapi dengan mudah Pemerintah Hindia Belanda berhasil menangkapnya, membawa kembali ke Kraton Surakarta, lalu membuangnya ke Ambon dengan diberi tunjangan 1500 gulden per bulan.

 Pada tanggal 14 Juni 1830  Kanjeng Pangeran Adipati Purbaya dinobatkan sebagai Pakubuwono VII. Delapan hari kemudian, tanggal 22 Juni 1830, Sunan Pakubuwono VII menandatangani Surat Perjanjian yang melepaskan daerah mancanegara Kediri,  Bagelen dan Banyumas. Sebagai  kompensasi, Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang ganti rugi  sebesar 334.282 gulden kepada Sunan.

Dengan demikian sejak tanggal 22 Juni 1830 itulah Lembah Sungai Bogowonto dan Lembah Serayu, berada dibawah kendali langsung Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam reorganisasi selanjutnya, daerah Bagelen menjadi Karesidenan Purworejo, sedang Lembah Serayu menjadi Karesidenan Banyumas. Pada bulan November 1830 terbentuklah Karesidenan Banyumas. Tetapi reorganisasi secara besar-besaran baru dilakukan pada tanggal 22 Agustus 1831 dengan pembentukan lima kabupaten dibawah kendali Residen Banyumas yang berkedudukan di Banyumas. Lima kabupaten hasil reorganisasi tanggl 22 Agustus 1831 itu adalah Kabupaten Ajibarang, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Majenang.

Wiryaatmaja sendiri dilahirkan pada tahun 1831, yakni tahun ketika proses reorganisasi Karesidenan Banyumas tengah berjalan. Ketika usinya mencapai 21 tahun, Wiryaatmaja diangkat sebagai jurutulis seorang kontrolir Belanda di Banjarnegara. Dua tahun kemudian, dia sudah diangkat jadi Mantri Polisi daerah Bawang. Selanjutnya karir Wiryaatmaja menanjak dengan cepat. Usia 40 tahun sudah menduduki Wedana asal mertuanya, yakni Wedana Adireja. Setelah bertugas 3 tahun dia dipindahkan menjadi Wedana Banyumas. Setelah 4 tahun menduduki kursi Wedana Banyumas, Pemerintah Hindia Belanda memberikan promosi dengan jabatan baru, yakni mengangkatnya sebagai Patih Kabupaten Purwokerto ( 1879 M). 

Sesungguhnya tahun 1879 M, merupakan tahun yang penting bagi perjalanan Wiryaatmaja menuju puncak karir. Sebab pada tahun 1879 M, Pemerintah Hindia Belanda juga mengangkat Tumenggung Martadireja III, semula Bupati Purwokerto ( 1860 – 1879), menjadi Bupati Banyumas. Martadireja III menggantikan Bupati Banyumas Cakranegara II ( 1864 – 1879 ) karena  pada tahun 1878 dengan alasan tidak bisa bekerja sama dengan Tuan Residen Banyumas, Cakranegara II yang leluhurnya berasal dari lingkungan Kraton Surakarta itu lebih memilih untuk mengundurkan diri. Setelah pensiun, Mantan Bupati Banyumas itu, tinggal di Dusun Gendayakan. Rakyat Banyumas yang masih menghormatinya menyebutnya sebagai Kanjeng Bendoro Gendayakan. Dusun Gendayakan, letaknya tidak jauh dari Makam Adipati Mrapat, Jaka Kahiman, pendiri Kabupaten Banyumas.

Sebagai pengganti Bupati Purwokerto setelah ditinggalkan Martawijaya III, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Cakraseputra, adik Kanjeng Bendoro Gendayakan, menjadi Bupati Purwokerto (1879 M). Dengan demikian pada tahun 1879 M, Kabupaten Purwokerto, bukan hanya memiliki bupati yang baru. Tetapi juga memiliki seorang patih baru, yakni Patih Wiryaatmaja. Sayangnya sebagai bupati baru, Cakraseputra sakit-sakitan, sampai menjadi lumpuh (1882 M). Akhirnya Cakraseputra menyusul kakaknya, mengundurkan diri dan memilih tinggal di Baron, Surakarta. Rakyat disekitarnya, menyebutnya sebagai Kanjeng Bendara Baron.

Sepeninggal Cakraseputra kursi Bupati Purwokerto dibiarkan kosong, selama 3 tahun ( 1882-1885 M). Selama masa vakum itulah, Patih Wiryaatmaja mengendalikan pemerintahan Kabupaten Puwokerto secara penuh. Akibatnya, memang Patih Wiryaatmaja berkembang menjadi sosok  berwibawa yang mampu memenuhi kepentingan Pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga mampu menjembatani kepentingan  rakyatnya. Agaknya Pemerintah Hindia Belanda memang sengaja membiarkan kursi bupati tetap kosong, agar Patih Wiryaatmaja lebih leluasa mengendalikan jalannya pemerintahan Kabupaten Purwokerto. 

Ketika pada tahun 1885 M, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Cakrakusuma sebagai Bupati Purwokerto, kewibawaan Patih Wiryaatmaja tidak mungkin ditandingi oleh Tumenggung Cakrakesuma, sekalipun bupati baru itu adalah anak Kanjeng Bendoro Gendayakan ( Cakranegara II ) dan juga kemenakan Kanjeng Bendoro Baron ( Cakraseputra). Demikianlah Pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan Bupati Cakrakusumo di dalam sangkar emas kursi bupati. Peranan Cakrakesuma  hanya sebatas simbol dan para pengikutnya memberi gelar kehormatan Kanjeng Bendoro Purwokerto. Pengendali kekuasaan Kabupaten Purwokerto sepenuhnya ada ditangan Patih Wiryaatmaja yang tentu saja sangat setia kepada Pemerintah Hindia Belanda. 

Pemerintah Hindia Belanda sudah mengatur pembagian kekuasaan antara Patih Wiryaatmaja dengan Kanjeng Purwokerto, sehingga kepentingan pemerintah Hindia Belanda tetap terjamin. Patih Arya Wiryaatmaja mengendalikan pemerintahan Kabupaten Purwokerto, Asiten Residen mengendalikan keamanan dan pengadilan. Satu-satunya kekuasaan tradisional yang masih tersisa yang bisa dikendalikan oleh Kanjeng Purwokerto sebagai bupati simbolik hanyalah kekuasaan dibidang kebudayaan, kepercayaan rakyat dan mitos. Kekuasaan ini biasanya dijalankan oleh seorang pujangga kraton atau pujangga kadipaten yang biasanya dilakukan oleh seorang carik berpangkat kliwon. 

Tetapi Kanjeng Purwokerto yang telah kehilangan kekuasaan dalam urusan duniawi itu, dengan cerdik menggunakan waktunya yang ada untuk mengembangkan kekuasaan dibidang kebudayaan, kepercayaan rakyat dan mitos. Sebagai Bupati yang leluhurnya berasal dari trah Kraton Surakarta, Kanjeng Purwokerto tentu saja   punya minat dan bakat di bidang sastra babad sebagai sastra yang berfungsi untuk membangun mitos dari tokoh yang dipujanya. Maka lahirlah karyanya Kanjeng Purwokerto pada tahun 1889, sebuah karya sastra babad, yang untuk mudahnya kita sebut saja Babad Banyumas versi Cakrakesuma atau Babad Banyumas Cakrakesuman. 

Sugeng Priyadi sebagai peneliti berbagai versi babad Banyumas, mengaku belum berhasil menemukan naskah asli Babad Banyumas yang ditulis Kanjeng Purwokerto tahun 1889 itu. Adapun naskah Babad Banyumas yang berhasil ditemukannya adalah salinan dari naskah babad karya Kanjeng Purwokerto yang ditulis pada tahun 1940 dan Sugeng Priyadi memberinya nama naskah salinan temuannya itu Naskah Babad Kranji Kedoengwoloeh. Dengan demikian Naskah Kranji Kedungwoeloeh yang diklaim tua oleh Sugeng Priyadi itu, sebenarnya baru ditulis pada tahun 1940 M. Sebab yang ditemukan Sugeng Priyadi sebagai peneliti, bukan naskah asli tahun 1889 M. Tetapi hanya salinannya saja.

Jika ada seorang raja menjadi seorang pujangga banyak kita jumpai. Tetapi jika seorang patih menjadi pujangga, mungkin hanya Patih Wiryaatmaja yang mampu melakukannya. Kurang lebih Pada tahun 1898 atau sembilan tahun setelah Kanjeng Purwokerto menulis karyanya Babad Banyumas Cakrakesuman, Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengetahui sejarah lokal daerah-daerah mancanegara yang baru dikuasainya. Rupanya sejarah daerah Bagelen sudah lebih dahulu diketahui oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebab Bupati Purworejo Cakranegara I ( 1830 – 1866 M), telah menulis kitab Babad Kedung Kebo pada tahun 1843 M yang sengaja ditulis untuk dipersembahkan kepada Tuan Residen Purworejo.

Sementara itu untuk daerah Kediri dan Bayumas, Pemerintah Hindia Belanda belum memiliki satu pun kitab babad Banyumas. Karena memang pada saat itu belum ada orang Banyumas yang sudah menulis kitab babad. Maka pemerintah menugaskan Asisten Residen Kediri dan Asisten Residen Banyumas untuk memperoleh data sejarah Kediri dan Banyumas. Perintah untuk menulis kitab sejarah, oleh penguasa tradisional pada saat itu ditindaklanjuti dengan cara menulis kitab babad.

Agak mengherankan bahwa Asisten Residen, tidak menugaskan Bupati Mertawijaya III, untuk menuliskan Babad Banyumas, padahal saat itu Bupati Matradireja III sedang menduduki kursi Bupati Banyumas( 1879 – 1913 M). Atau Asisten Residen menugaskan Kanjeng Purwokerto yang juga tengah menduduki kursi Bupati Purwokerto ( 1885 – 1905 M). Bahkan menurut penelitian Sugeng Priyadi, sekalipun naskah aslinya belum pernah ditemukan, Kanjeng Purwokerto sudah menulis kitab Babad Banyumas sejak tahun 1889 M atau lima tahun setelah diangkat sebagai Bupati Purwokerto.

Apa sebabnya, pemerintah malah menunjuk Wiryaatmaja untuk menulis Babad Banyumas? Alasannya sebenarnya cukup sederhana. Orang Belanda yang sudah tercerahkan dan terbiasa berpikir rasional menghendaki sebuah kitab babad yang ditulis mendekati kualitas obyektif, tidak mengandung konflik kepentingan memuja seorang tokoh sebagai lazimnya sebuah kitab sastra babad. Dalam pandangan Asisten Residen Banyumas tokoh yang cocok dan bisa memenuhi kriteria obyektivitas dalam menuliskan sejarah Banyumas bukan Mertawijaya, dan bukan pula Kanjeng Purwokerto. Tokoh pilihan yang dianggap tepat ternyata Patih Raden Arya Wiryaatmaja. 

Patih Raden Arya Wiryaatmaja, segera melaksanakan tugasnya. Sugeng Priyadi sebagai peneliti sempat mengutip keterangan Patih Raden Arya Wiryaatmaja cara menulis kitab babadnya sbb:
“Wondene bab ingkang amratelakaken wektu alamipun panjenenganipun ratu jawi, awit ing Majapahit dumugi ing Pajang, punika kula metik saking serat sejarah. Dene awit saking Mataram dumugi Surakarta, punika naming pamireng kula saking tiyang sepuh-sepuh. Makaten malih anggen kula nyariosaken awitipun wonten panjenenganipun Residen utawi Asisten Residen, saha Bupati ing salebetipun Karisedenan Banyumas ugi naming wawaton pamireng saking cariyosipun para sepuh, boten metik saking bendelaning kupiya, punika sampun temtu kemawon kirang pratitisipun. Wondene tedak turunipun para panjenenganipun Bupati ingkang sampun kula cariyosaken ing nginggil wau sedaya, pamanggih kula ugi sampun leres, senajan wantena gesehipun ugi naming sawetawis.”( dikutip dari hal 9-buku Sugeng Priyadi dengan ejaan diubah).
Terjemahan bebas kurang lebih sbb:

“Adapun bab yang menjelaskan masa para Raja Jawa, mulai Majapahit sampai Pajang, saya hanya mengutipnya dari buku sejarah. Adapun soal raja-raja Mataram sampai Surakarta, saya hanya menulis berdasarkan apa yang saya dengar dari orang-orang tua. Demikian pula apa yang telah saya paparkan di depan Kanjeng Residen atau Kanjeng Asisten Residen dan didepan para Bupati Karesidenan Banyumas, juga bukan hasil  mengutip dari bendelan kitab dalam kotak penyimpanan (koepija).Karena itu ada kemungkinan agak kurang teliti. Adapun nama-nama para Bupati (Banyumas) dan turunannya, semuanya sudah saya ceriterakan semua di depan. Menurut pendapat saya, sudah benar adanya. Andaikata terdapat perbedaan, saya kira juga hanya sedikit”

Kutipan singkat itu sudah lebih dari cukup menggambarkan integritas, obyektivitas, kejujuran dan kerendahhatian Patih Raden Arya Wiryaatmaja sebagai salah seorang penulis sastra babad. Tentu saja Pemerintah Hindia Belanda menyambut dengan gembira karya tulisnya itu yang sejalan dengan semangat yang sedang menggeliat di Negeri Belanda. Semangat itu adalah semangat untuk menggantikan kebijakan politik liberal konservatif di tanah jajahan Hindia Belanda dan menggantikannya dengan politik etis atau balas budi kepada Pribumi yang terjajah. 

Patih Raden Wiryaatmaja sendiri menulis kitab babadnya itu ketika usianya sudah tidak muda lagi, yakni berusia 67 tahun!. Sembilan tahun kemudian dia pension sebagai Patih Purwokerto, pada usia 76 tahun ( 1907 M). Sedang Bupatinya, Kanjeng Purwokerto Cokrokesumo sudah mendahului lengser sebagai Bupati Purwokerto, dua tahun lebih dulu(1905 M).Wallahu alam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar