Patih Raden Wiryaatmaja, lebih
banyak dikenal oleh banyak orang, sebagai perintis Bank Rakyat, cikal bakal BRI, di Kota Purwokerto (1895 M). Sedangkan peranannya sebagai seorang penulis sastra
babad, belum banyak diketahui orang.
Padahal salah satu karya kepujanggaannya
yang ditulisnya pada tahun 1898 M, dikenal menjadi induk atau babon
kitab-kitab Babad Banyumas yang datang kemudian. Prof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum,
seorang ahli pendidikan sejarah yang
banyak melakukan penelitian fakta
sintaktis berbagai versi babad Banyumas, menyebut karya babad garapan
Wiryaatmaja sebagai Babad Banyumas Wiryaatmajan.
Bagaimana sih ceriteranya,
sehingga patih yang menaruh perhatian besar kepada soal-soal ekonomi, keuangan,
dan kesejahteraan rakyat itu, tiba-tiba bisa terlibat dalam proses
kepujanggaan?
Banyak orang menduga, penulisan Babad
Banyumas yang dilakukan Wiryaatmaja hanyalah
suatu peristiwa insidental saja. Atau peristiwa tidak sengaja. Tetapi kalau
dilihat dari jalur leluhurnya, ternyata pada diri Patih Raden Arya Wiryaatmaja
mengalir juga darah penggemar dan peminat sastra babad dan sastra Jawa. Istri
Wiryaatmaja berasal dari lingkungan Kraton
Surakarta, suatu lingkungan yang tidak pernah asing dengan sastra babad dan
fungsi sastra babad sebagai pelestari sekaligus pencipta mitos pada
kerajaan-kerajaan Jawa dengan sistem kekuasaan tradisional.
Ayah Raden Wiryaatmaja adalah
seorang Demang dari Ayah-Adireja dengan pangkat ngabehi, yakni Raden Ngabehi
Dipadiwirya. Sedang istri Wiryaatmaja, adalah anak dari Mas Ngabehi Kertajaya,
seorang demang di Adireja yang punya hubungan kekerabatan dengan Kraton
Surakarta. Dari garis keturunan istrinya, sudah jelas Wiryaatmaja, cukup akrab
dengan sastra babad, terutama Babad Tanah Jawi koleksi ayahnya maupun keluarga
istrinya.
Akan tetapi dalam usinya yang
panjang, pengaruh sastra babad dan sastra mitos dari keluarganya hanya berjalan
singkat. Sebab, Wiryaatmaja dalam perjalanan karirnya, lebih banyak berada
dibawah asuhan atasannya yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda atasan
Wiryaatmaja itulah yang telah mendidiknya sebagai seorang punggawa atau birokrat
berpikiran maju dan rasional.
Wiryaatmaja sendiri lahir pada bulan
Agustus 1831, bertepatan dengan proses
pembentukan Karesidenan Banyumas, sesudah daerah mancanegara barat dari Kraton
Surakarta itu diambil alih Pemerintah Hindia Belanda sebagai ganti ongkos memadamkan
Perang Diponegoro ( 1825 – 1830 M), yang berakhir dengan kemenangan Belanda
dengan koalisinya.
Sebenarnya sebelum Perang
Diponegoro berakhir, Pemerintah Hindia Belanda sudah mempunyai sejumlah gagasan
dan agenda bagi masa depan Kesultanan Yagyakarta. Gagasan yang terkenal antara
lain berasal dari usulan Mac Gillavry. Dia menyarankan agar selesai perang,
Kesultanan Yogyakarta dihapuskan saja dengan alasan sumber segala keonaran
berasal dari Kraton Yogya. Mac Gillavry mengusulkan agar daerah bekas wilayah
Kraton Yogya dibagi tiga yaitu untuk Pemerintah Hindia Belanda, Kraton
Surakarta dan Kraton Mangkunegaran.Tetapi Jendral De Kock menolak dengan
alasan, adanya Kraton Yogyakarta, justru menguntungkan Pemerintah Hindia
Belanda, karena kraton itu bisa menjadi penyeimbang Kraton Surakarta.
Usul lainnya datang dari
G.Nahuys, mantan Residen Surakarta dua kali masa jabatan. Dia mengusulkan agar
wilayah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta diperkecil. Daerah manca negara
seperti Kediri, Bagelen dan Banyumas agar diambil alih dan dikelola langsung
Pemerintah Hindia Belanda. G.Nahuys juga mengusulkan agar Pemerintah Hindia Belanda banyak campur
tangan dalam urusan kraton, karena ternyata kraton tidak mampu mencegah
terjadinya sejumlah kerusuhan dan tindakan kekerasan di wilayah kerajaan. Dia
juga mengusulkan agar Pemerintah Hindia Belanda mencampuri urusan pemerintahan,
administrasi, keamanan dan urusan keuangan
para pangeran dan pembesar kraton yang
cenderung boros.
Selanjutnya adalah usul
dari Van Sevenhoven, mantan Residen
Surakarta dan Yogyakarta. Usulan Van Sevenhoven ini
banyak diperhatikan Pemerintah Hindia Belanda. Misalnya usulnya tentang penentuan batas yang jelas antara dua
kerajaan setelah wilayah mancanegara diambil alih Pemerintah Hindia Belanda.
Usul lainnya adalah pembuatan jalan raya, penempatan pegawai orang Eropa di distrik-distrik
dan perpanjangan jangka waktu penyewaan tanah bagi pengusaha yang terdiri atas
orang Eropa, sedikitnya 25 tahun.
Oleh karena itu segera setelah
Perang Jawa berakhir, Pemerintah Hindia Belanda membentuk panitya terdiri dari
tiga orang yaitu, P.Merkus, Van Sevenhoven dan G. Nahuys. Tugas panitya tiga
orang itu adalah melakukan pembicaraan
dengan pihak Kraton Yogyakarta dan Surakarta mengenai cara-cara pengambilalihan
daerah mancanegara, yakni Kediri,
Bagelen dan Banyumas. Pihak Kraton Yogyakarta tidak banyak melakukan reaksi dan
menerima dengan terpaksa.
Sebaliknya dengan Kraton
Surakarta. Sunan Pakubuwono VI sangat kecewa dengan rencana Pemeritah Hindia
Belanda mengambil alih daerah mancanegara miliknya, yakni daerah Kediri, Bagelen
dan Banyumas. Sebab Pakubuwono VI merasa ikut andil memadamkan pemberontakan Pangeran
Diponegoro. Bahkan ketika berita Perang Diponegoro meletus dari Tuan Residen
sampai ke telinga Sunan, Bupati Banyumas dari Kanoman Tumenggung Martadireja I
beserta sejumlah kliwon dan ngabehi dari Banyumas sedang berkemah di alun-alun
Kraton Surakarta.
Pada waktu itu Kanjeng Sunan
Pakubuwono VI langsung memberikan instruksi kepada Bupati Banyumas Martadireja
I agar supaya mempersiapkan diri di daerah Banyumas menghadapi Perang Diponegoro. Pada saat itu Tumenggung
Mertadireja I baru saja mendapat anugerah nama baru dari Sunan Pakubuwono VI,
yakni Tumenggung Brotodiningrat. Sebagai kompensasi persiapan menghadapi Perang
Diponegoro di daerah Banyumas, Sang Bupati Banyumas dibebaskan selama 5 tahun dari
kewajiban untuk seba dan mengantarkan upeti ke Kraton Surakarta .
Dapat dimengerti apabila Sunan
Pakubuwono VI sangat kecewa dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda. Sebab
bagi Sunan Pakubuwono VI, daerah mancanegara Bagelen dan Banyumas ibaratnya
kaki dan tangan Sunan. Dengan mengambil ke dua daerah yang subur itu, Sunan
merasa kaki dan tangannya akan dipotong sehingga membuat dirinya sebagai raja yang tidak
berdaya. Karena kecewa dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda itu, Sunan
Pakubowono VI meloloskan diri dari kraton dan bersembunyi di Ponorogo. Tetapi
dengan mudah Pemerintah Hindia Belanda berhasil menangkapnya, membawa kembali
ke Kraton Surakarta, lalu membuangnya ke Ambon dengan diberi tunjangan 1500
gulden per bulan.
Pada tanggal 14 Juni 1830 Kanjeng Pangeran Adipati Purbaya dinobatkan
sebagai Pakubuwono VII. Delapan hari kemudian, tanggal 22 Juni 1830, Sunan
Pakubuwono VII menandatangani Surat Perjanjian yang melepaskan daerah mancanegara
Kediri, Bagelen dan Banyumas. Sebagai kompensasi, Pemerintah Hindia Belanda
memberikan uang ganti rugi sebesar
334.282 gulden kepada Sunan.
Dengan demikian sejak tanggal 22
Juni 1830 itulah Lembah Sungai Bogowonto dan Lembah Serayu, berada dibawah kendali
langsung Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam reorganisasi selanjutnya, daerah
Bagelen menjadi Karesidenan Purworejo, sedang Lembah Serayu menjadi Karesidenan
Banyumas. Pada bulan November 1830 terbentuklah Karesidenan Banyumas. Tetapi
reorganisasi secara besar-besaran baru dilakukan pada tanggal 22 Agustus 1831
dengan pembentukan lima kabupaten dibawah kendali Residen Banyumas yang
berkedudukan di Banyumas. Lima kabupaten hasil reorganisasi tanggl 22 Agustus
1831 itu adalah Kabupaten Ajibarang, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan
Majenang.
Wiryaatmaja sendiri dilahirkan
pada tahun 1831, yakni tahun ketika proses reorganisasi Karesidenan Banyumas tengah
berjalan. Ketika usinya mencapai 21 tahun, Wiryaatmaja diangkat sebagai
jurutulis seorang kontrolir Belanda di Banjarnegara. Dua tahun kemudian, dia
sudah diangkat jadi Mantri Polisi daerah Bawang. Selanjutnya karir Wiryaatmaja
menanjak dengan cepat. Usia 40 tahun sudah menduduki Wedana asal mertuanya,
yakni Wedana Adireja. Setelah bertugas 3 tahun dia dipindahkan menjadi Wedana
Banyumas. Setelah 4 tahun menduduki kursi Wedana Banyumas, Pemerintah Hindia
Belanda memberikan promosi dengan jabatan baru, yakni mengangkatnya sebagai Patih
Kabupaten Purwokerto ( 1879 M).
Sesungguhnya tahun 1879 M,
merupakan tahun yang penting bagi perjalanan Wiryaatmaja menuju puncak karir.
Sebab pada tahun 1879 M, Pemerintah Hindia Belanda juga mengangkat Tumenggung
Martadireja III, semula Bupati Purwokerto ( 1860 – 1879), menjadi Bupati
Banyumas. Martadireja III menggantikan Bupati Banyumas Cakranegara II ( 1864 –
1879 ) karena pada tahun 1878 dengan
alasan tidak bisa bekerja sama dengan Tuan Residen Banyumas, Cakranegara II
yang leluhurnya berasal dari lingkungan Kraton Surakarta itu lebih memilih
untuk mengundurkan diri. Setelah pensiun, Mantan Bupati Banyumas itu, tinggal
di Dusun Gendayakan. Rakyat Banyumas yang masih menghormatinya menyebutnya
sebagai Kanjeng Bendoro Gendayakan. Dusun Gendayakan, letaknya tidak jauh dari
Makam Adipati Mrapat, Jaka Kahiman, pendiri Kabupaten Banyumas.
Sebagai pengganti Bupati
Purwokerto setelah ditinggalkan Martawijaya III, Pemerintah Hindia Belanda
mengangkat Cakraseputra, adik Kanjeng Bendoro Gendayakan, menjadi Bupati Purwokerto
(1879 M). Dengan demikian pada tahun 1879 M, Kabupaten Purwokerto, bukan hanya
memiliki bupati yang baru. Tetapi juga memiliki seorang patih baru, yakni Patih
Wiryaatmaja. Sayangnya sebagai bupati baru, Cakraseputra sakit-sakitan, sampai
menjadi lumpuh (1882 M). Akhirnya Cakraseputra menyusul kakaknya, mengundurkan
diri dan memilih tinggal di Baron, Surakarta. Rakyat disekitarnya, menyebutnya
sebagai Kanjeng Bendara Baron.
Sepeninggal Cakraseputra kursi
Bupati Purwokerto dibiarkan kosong, selama 3 tahun ( 1882-1885 M). Selama masa
vakum itulah, Patih Wiryaatmaja mengendalikan pemerintahan Kabupaten Puwokerto
secara penuh. Akibatnya, memang Patih Wiryaatmaja berkembang menjadi sosok berwibawa yang mampu memenuhi kepentingan
Pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga mampu menjembatani kepentingan rakyatnya. Agaknya Pemerintah Hindia Belanda
memang sengaja membiarkan kursi bupati tetap kosong, agar Patih Wiryaatmaja
lebih leluasa mengendalikan jalannya pemerintahan Kabupaten Purwokerto.
Ketika pada tahun 1885 M,
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Cakrakusuma sebagai Bupati
Purwokerto, kewibawaan Patih Wiryaatmaja tidak mungkin ditandingi oleh
Tumenggung Cakrakesuma, sekalipun bupati baru itu adalah anak Kanjeng Bendoro
Gendayakan ( Cakranegara II ) dan juga kemenakan Kanjeng Bendoro Baron (
Cakraseputra). Demikianlah Pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan Bupati
Cakrakusumo di dalam sangkar emas kursi bupati. Peranan Cakrakesuma hanya sebatas simbol dan para pengikutnya
memberi gelar kehormatan Kanjeng Bendoro Purwokerto. Pengendali kekuasaan
Kabupaten Purwokerto sepenuhnya ada ditangan Patih Wiryaatmaja yang tentu saja
sangat setia kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda sudah
mengatur pembagian kekuasaan antara Patih Wiryaatmaja dengan Kanjeng
Purwokerto, sehingga kepentingan pemerintah Hindia Belanda tetap terjamin.
Patih Arya Wiryaatmaja mengendalikan pemerintahan Kabupaten Purwokerto, Asiten
Residen mengendalikan keamanan dan pengadilan. Satu-satunya kekuasaan
tradisional yang masih tersisa yang bisa dikendalikan oleh Kanjeng Purwokerto
sebagai bupati simbolik hanyalah kekuasaan dibidang kebudayaan, kepercayaan
rakyat dan mitos. Kekuasaan ini biasanya dijalankan oleh seorang pujangga
kraton atau pujangga kadipaten yang biasanya dilakukan oleh seorang carik
berpangkat kliwon.
Tetapi Kanjeng Purwokerto yang telah
kehilangan kekuasaan dalam urusan duniawi itu, dengan cerdik menggunakan
waktunya yang ada untuk mengembangkan kekuasaan dibidang kebudayaan,
kepercayaan rakyat dan mitos. Sebagai Bupati yang leluhurnya berasal dari trah
Kraton Surakarta, Kanjeng Purwokerto tentu saja punya
minat dan bakat di bidang sastra babad sebagai sastra yang berfungsi untuk
membangun mitos dari tokoh yang dipujanya. Maka lahirlah karyanya Kanjeng
Purwokerto pada tahun 1889, sebuah karya sastra babad, yang untuk mudahnya kita
sebut saja Babad Banyumas versi Cakrakesuma atau Babad Banyumas Cakrakesuman.
Sugeng Priyadi sebagai peneliti
berbagai versi babad Banyumas, mengaku belum berhasil menemukan naskah asli
Babad Banyumas yang ditulis Kanjeng Purwokerto tahun 1889 itu. Adapun naskah
Babad Banyumas yang berhasil ditemukannya adalah salinan dari naskah babad
karya Kanjeng Purwokerto yang ditulis pada tahun 1940 dan Sugeng Priyadi
memberinya nama naskah salinan temuannya itu Naskah Babad Kranji Kedoengwoloeh.
Dengan demikian Naskah Kranji Kedungwoeloeh yang diklaim tua oleh Sugeng
Priyadi itu, sebenarnya baru ditulis pada tahun 1940 M. Sebab yang ditemukan
Sugeng Priyadi sebagai peneliti, bukan naskah asli tahun 1889 M. Tetapi hanya
salinannya saja.
Jika ada seorang raja menjadi
seorang pujangga banyak kita jumpai. Tetapi jika seorang patih menjadi
pujangga, mungkin hanya Patih Wiryaatmaja yang mampu melakukannya. Kurang lebih
Pada tahun 1898 atau sembilan tahun setelah Kanjeng Purwokerto menulis karyanya
Babad Banyumas Cakrakesuman, Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengetahui
sejarah lokal daerah-daerah mancanegara yang baru dikuasainya. Rupanya sejarah
daerah Bagelen sudah lebih dahulu diketahui oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebab
Bupati Purworejo Cakranegara I ( 1830 – 1866 M), telah menulis kitab Babad Kedung
Kebo pada tahun 1843 M yang sengaja ditulis untuk dipersembahkan kepada Tuan
Residen Purworejo.
Sementara itu untuk daerah
Kediri dan Bayumas, Pemerintah Hindia Belanda belum memiliki satu pun kitab
babad Banyumas. Karena memang pada saat itu belum ada orang Banyumas yang sudah
menulis kitab babad. Maka pemerintah menugaskan Asisten Residen Kediri dan Asisten
Residen Banyumas untuk memperoleh data sejarah Kediri dan Banyumas. Perintah
untuk menulis kitab sejarah, oleh penguasa tradisional pada saat itu ditindaklanjuti
dengan cara menulis kitab babad.
Agak mengherankan bahwa Asisten
Residen, tidak menugaskan Bupati Mertawijaya III, untuk menuliskan Babad
Banyumas, padahal saat itu Bupati Matradireja III sedang menduduki kursi Bupati
Banyumas( 1879 – 1913 M). Atau Asisten Residen menugaskan Kanjeng Purwokerto
yang juga tengah menduduki kursi Bupati Purwokerto ( 1885 – 1905 M). Bahkan
menurut penelitian Sugeng Priyadi, sekalipun naskah aslinya belum pernah
ditemukan, Kanjeng Purwokerto sudah menulis kitab Babad Banyumas sejak tahun
1889 M atau lima tahun setelah diangkat sebagai Bupati Purwokerto.
Apa sebabnya, pemerintah malah
menunjuk Wiryaatmaja untuk menulis Babad Banyumas? Alasannya sebenarnya cukup
sederhana. Orang Belanda yang sudah tercerahkan dan terbiasa berpikir rasional
menghendaki sebuah kitab babad yang ditulis mendekati kualitas obyektif, tidak
mengandung konflik kepentingan memuja seorang tokoh sebagai lazimnya sebuah
kitab sastra babad. Dalam pandangan Asisten Residen Banyumas tokoh yang cocok
dan bisa memenuhi kriteria obyektivitas dalam menuliskan sejarah Banyumas bukan
Mertawijaya, dan bukan pula Kanjeng Purwokerto. Tokoh pilihan yang dianggap
tepat ternyata Patih Raden Arya Wiryaatmaja.
Patih Raden Arya Wiryaatmaja,
segera melaksanakan tugasnya. Sugeng Priyadi sebagai peneliti sempat mengutip
keterangan Patih Raden Arya Wiryaatmaja cara menulis kitab babadnya sbb:
“Wondene bab ingkang
amratelakaken wektu alamipun panjenenganipun ratu jawi, awit ing Majapahit
dumugi ing Pajang, punika kula metik saking serat sejarah. Dene awit saking
Mataram dumugi Surakarta, punika naming pamireng kula saking tiyang
sepuh-sepuh. Makaten malih anggen kula nyariosaken awitipun wonten
panjenenganipun Residen utawi Asisten Residen, saha Bupati ing salebetipun Karisedenan
Banyumas ugi naming wawaton pamireng saking cariyosipun para sepuh, boten metik
saking bendelaning kupiya, punika sampun temtu kemawon kirang pratitisipun.
Wondene tedak turunipun para panjenenganipun Bupati ingkang sampun kula
cariyosaken ing nginggil wau sedaya, pamanggih kula ugi sampun leres, senajan
wantena gesehipun ugi naming sawetawis.”( dikutip dari hal 9-buku Sugeng
Priyadi dengan ejaan diubah).
Terjemahan bebas kurang lebih
sbb:
“Adapun bab yang menjelaskan
masa para Raja Jawa, mulai Majapahit sampai Pajang, saya hanya mengutipnya dari
buku sejarah. Adapun soal raja-raja Mataram sampai Surakarta, saya hanya
menulis berdasarkan apa yang saya dengar dari orang-orang tua. Demikian pula
apa yang telah saya paparkan di depan Kanjeng Residen atau Kanjeng Asisten
Residen dan didepan para Bupati Karesidenan Banyumas, juga bukan hasil mengutip dari bendelan kitab dalam kotak
penyimpanan (koepija).Karena itu ada kemungkinan agak kurang teliti. Adapun
nama-nama para Bupati (Banyumas) dan turunannya, semuanya sudah saya
ceriterakan semua di depan. Menurut pendapat saya, sudah benar adanya.
Andaikata terdapat perbedaan, saya kira juga hanya sedikit”
Kutipan singkat itu sudah lebih
dari cukup menggambarkan integritas, obyektivitas, kejujuran dan kerendahhatian
Patih Raden Arya Wiryaatmaja sebagai salah seorang penulis sastra babad. Tentu
saja Pemerintah Hindia Belanda menyambut dengan gembira karya tulisnya itu yang
sejalan dengan semangat yang sedang menggeliat di Negeri Belanda. Semangat itu
adalah semangat untuk menggantikan kebijakan politik liberal konservatif di
tanah jajahan Hindia Belanda dan menggantikannya dengan politik etis atau balas
budi kepada Pribumi yang terjajah.
Patih Raden Wiryaatmaja sendiri
menulis kitab babadnya itu ketika usianya sudah tidak muda lagi, yakni berusia
67 tahun!. Sembilan tahun kemudian dia pension sebagai Patih Purwokerto, pada
usia 76 tahun ( 1907 M). Sedang Bupatinya, Kanjeng Purwokerto Cokrokesumo sudah
mendahului lengser sebagai Bupati Purwokerto, dua tahun lebih dulu(1905 M).Wallahu
alam.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar