Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 30 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(49)




Sore itu, Kanjeng Adipati mondar-mandir di beranda ruang tamu Dalem Kadipaten. Sebentar lagi dia akan menerima tamu  dua putra Kerajaan Pajajaran. Perasaan gembira, bahagia, dan cemas campur aduk jadi satu. Kanjeng Ayu Adipati yang memperhatikan tingkah laku suaminya hanya tersenyum.
“Tidak usah tegang dan gelisah, Kanda. Masa mau menerima calon menantu wajahnya tegang?” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil mendekati suaminya.
‘Apakah aku kelihatan tegang? Aku pikir, Diajeng saja yang suka berpikiran negatip.”
“Aku tahu apa yang sedang Kanda pikirkan,” kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Apa coba, kalau memang tahu?”
“Kanda wajahnya kelihatan gembira karena sudah  memberikan surat jawaban lamaran yang dibuat Dewi kepada utusan dari Nusakambangan tadi pagi. Dan mereka telah pergi dengan perasaan senang karena lamaran mereka diterima. Kepergian mereka dari Kadipaten itulah yang membuat Kanda gembira, karena Kanda merasa telah terhindar dari beban berat.”
“Lho, yang menerima kan Dewi, Diajeng tahu sendiri tadi malam, bukan?”
“Betul Dewi yang menerima dan yang membuat surat jawaban. Tetapi bukankah yang menandatangani Kanda sendiri, bukan Dewi? Itu kan yang membuat Kanda gembira tapi campur bingung.” Kata Kanjeng Ayu Adipati yang membuat suaminya tidak berkata sedikit pun.
“Ada satu lagi yang membuat Kanda galau,” kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Apa itu?” tanya Kanjeng Adipati.
“Kamandaka, belum akan melamar Dewi secara resmi. Dia akan pulang dulu ke Pajajaran, lapor Ayahandanya, baru melamar Dewi. Kanda galau, karena belum ada kepastian. Bagaimana kalau Kamandaka tidak kembali ke Pasirluhur? Bagaimana kalau Ayahandanya ternyata ingkar janji dan tak menyetujui Dewi jadi menantunya? Banyak hal belum pasti. Karena itu Kakanda bingung dan galau, benar bukan, Kakanda?” Kanjeng Ayu Adipati melirik suaminya.
Tiba-tiba Sang Dewi muncul dengan dandanan anggun bak bidadari baru turun dari kahyangan. Rambutnya yang hitam mengkilat disanggul indah sekali, dihiasi rangkaian melati  putih bersih yang menyebarkan aroma harum mewangi. Bagian atas tubuhnya dibalut  kain penutup dada berwarna merah jambu. Selendangnya sutra kuning. Kain batiknya berwarna putih truntum  berhiaskan burung merak warna hitam, melekat indah membelit pinggang dan bagian bawah tubuh Sang Dewi yang tinggi semampai itu. Seuntai kalung emas meliliti lehernya dan sepasang gelang emas keroncong berkilau-kilauan di pergelangan tangannya. Alas kaki yang dipakainya adalah alas kaki dengan haq tinggi dilapisi beludru hitam berhiaskan sulaman benang mas. Seuntai rantai emas berkilau-kilauan  meliliti salah satu ujung kakinya.
Sejenak Kanjeng Adipati Kandhadaha terpukau melihat kecantikan putri kesayangannya, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, Melati Kadipaten Pasirluhur. Sang Dewi sore itu, tampil bagaikan Dewi Supraba, bidadari tercantik kekasih Sang Arjuna dari kahyangan yang sedang bertamu mengunjungi Kadipaten Pasirluhur. Seraya mengembangkan senyumnya yang manis, Sang Dewi langsung berkata kepada ayahandanya. Bayangan bidadari Dewi Supraba dari kahyangan lenyap seketika dari benak Kanjeng Adipati Kandhadaha, ketika mendengar kata-kata Sang Dewi.
“Kanjeng Rama, tidak usah cemas. Bukankah  Dewi sudah mengatakan? Kanda Kamandaka pasti akan melamar Dewi secara resmi, sebelum pulang ke Pakuan Pajajaran. Pulang ke Pajajaran juga tidak akan lama. Percaya saja pada Dewi. Kalau sampai Kanda Kamandaka pulang ke Pakuan tanpa lebih dulu melamar Dewi secara resmi, Kanjeng Rama tahu kan?” kata Sang Dewi kepada Kanjeng Adipati, lalu diam sejenak. Kemudian katanya melanjutkan.
“Dewi akan berkata pada Kanda Kamandaka, silahkan pulang ke Pajajaran, dan tak usah melamar aku lagi. Karena akan terlambat, bukankah aku sudah dilamar Raja Nusakambangan? Dan aku sudah menerima lamaran itu. Artinya jika Kanda Kamandaka memang serius menginginkan aku jadi pendamping hidupnya, Kanda Kamandaka masih punya beberapa kewajiban.”
“Pertama, sebelum kembali ke Pajajaran, harus sudah melamar aku secara resmi. Kedua, Kanda Kamandaka harus sanggup membatalkan lamaran Raja Nusakambangan yang sudah aku terima. Caranya terserah bagaimana Kanda Kamandaka saja. Kenapa aku menerima lamaran Raja Nusakambangan? Karena Kanda Kamandaka terlambat menemui Kanjeng Rama untuk  melamar Dewi secara resmi. Kanda Kamandaka berjanji sebulan setelah bertemu Dewi, dia mau melamar secara resmi. Eh, malah empat bulan lebih masih ada di sekitar Kadipaten Pasirluhur.”
Mendengar penjelasan Sang Dewi, Kanjeng Adipati merasa tenang dan kegalauannya yang menggelayuti dirinya sedikit demi sedikit lenyap dari dalam benaknya. Kanjeng Adipati semakin kagum pada kecerdasan putrinya itu. Bukan hanya cerdas. Tetapi juga banyak akalnya. Mereka bertiga masih berdiri di beranda ruang tamu Dalem Gede Kadipaten sambil berbincang-bincang menunggu tamu yang menurut seorang utusan Ki Patih, akan segera tiba.
Sementara itu, di halaman kadipaten sejumlah prajurit berbaris rapi siap menyambut kedatangan tamu. Tak lama kemudian memang datanglah tamu yang ditunggu-tungu itu. Tiga ekor kuda berjalan di depan diiringi sejumlah prajurit dari kepatihan yang berjalan gagah sambil membawa tombak. Di atas kuda duduk berturut-turut Kamandaka yang mengenakan baju sutra warna kuning, celana hitam, sabuk kulit coklat dan alas kaki dari kulit halus berwarna hitam.
Di samping kiri Kamandaka, duduk di atas kuda, Silihwarna dengan pakaian yang sama dengan Kamandaka, hanya baju sutranya yang berwarna biru laut. Kedua satria itu nampak bagaikan sepasang satria kembar. Di samping kanannya lagi, duduk di atas kuda adalah Ki Patih Reksanata yang mengantarkan kedua Ksatria Pajajaran itu sejak dari Dalem Kepatihan. Ki Patih mengenakan beskap warna hitam mengkilat dengan hiasan benang emas, celana hitam, alas kaki hitam dan penutup kepala sebuah blangkon corak batik.
Memang Kamandaka dan Silihwarna, sebelum menuju kadipaten, mampir dulu ke kepatihan. Malah Kamandaka menyempatkan diri menengok bekas kamar yang dulu ditempatnya saat masih mondok jadi anak angkat Ki Patih Reksanata.
Kanjeng Adipati, Kanjeng Ayu Adipati, dan Sang Dewi, menyambut kedua Ksatria Putra Pajajaran itu di depan beranda ruang tamu. Kanjeng Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati langsung terpukau kepada ketampanan kedua putra Kerajaan Pajajaran yang bagaikan ksatria kembar. Keduanya hanya bisa dibedakan dengan warna bajunya.
“Hem, bagaikan ksatria Arjuna yang sangat layak menjadi anak menantu pendamping hidup putriku tercinta, Dewi, Melati dari Pasirluhur yang cantik jelita itu,” kata Sang Adipati dalam benaknya.
Kamandakan langsung mencium tangan Kanjeng Adipati dan  tangan Kanjeng Ayu Adipati. Dengan Sang Dewi selain bersalaman dan mencium punggung telapak tangan kanan Sang Dewi,  tentu saja Kamandaka langsung cium pipi kanan dan cium pipi kiri Sang Dewi. Silihwarna mengikuti kakaknya. Tetapi dengan Sang Dewi, Silihwarna tentu saja hanya bersalaman biasa saja, sambil menyebutkan namanya. Sebab, walaupun agak sering ke Kadipaten, Silihwarna belum pernah berjumpa dengan Sang Dewi. Dalam hati, Silihwarna merasa bangga juga punya kakak ipar secantik Sang Dewi.
Pertemuan sore hari itu diadakan di ruang tamu Dalem Kadipaten. Hanya Ki Patih yang menemani kedua putra Pajajaran itu menghadap Kanjeng Adipati yang duduk didampingi Kanjeng Ayu Adipati dan Sang Dewi. Ki Patih yang duduk di depan Kanjeng Adipati mendampingi kedua putra Pajajaran itu mengawali pembicaraannya.
“Kanjeng Adipati, mewakili kedua putra Pajajaran ini, kami menyampaikan terimakasih atas kesediaan Kanjeng Adipati dan keluarga yang telah menerima kami bertiga. Selanjutnya silahkan Ananda Kamandaka mengutarakan sendiri apa tujuannya sore ini menghadap Kanjeng Adipati.”
Kamandaka langsung melanjutkan kata-kata Ki Patih, “Pertama, tentu saja, ananda Banyakcatra, mengucapkan terimakasih atas penerimaan dan penyambutan dari Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga yang sungguh luar biasa ini. Kedua, ananda Banyakcatra pada kesempatan ini memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kelakuan dan perbuatan ananda Banyakcatra yang tidak senonoh, yang telah melanggar adat, tradisi serta kebiasaan-kebiasakan yang dimuliakan yang telah ananda langgar, sehingga sangat merepotkan dan menyulitkan Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga. Ketiga, Adinda Silihwarna akan mengutarakan sesuatu mewakli Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran. Silahkan Adinda.”

Silihwarna langsung angkat bicara, “Sebagimana baru saja diutarakan oleh Ki Patih dan Kanda Banyakcatra, ananda Banyakngampar juga mengucapkan terimakasih atas penyambutan Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga kepada kami bertiga. Kedua, ananda  juga mohon maaf kepada Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga, jika selama ananda di Kadipaten Pasirluhur, banyak melakukan kesalahan, baik yang disadari maupun tidak. Ketiga, atas nama Sri Baginda Prabu Siliwangi, Ayahanda kami berdua, ananda sendiri dan Kanda Banyakcatra, memohon ijin kepada Kanjeng Uwa Adipati, agar Kanda Banyakcatra diijinkan dan direstui oleh Kanjeng Uwa Adipati dan Kanjeng Ibu Adipati, untuk menyunting Ayunda  Dewi. Terakhir, ananda dan Kanda Banyakcatra mohon ijin besok akan kembali ke Pakuan untuk melaporkan kepada Ayahanda guna membicarakan langkah-langkah lebih lanjut setelah lamaran resmi diterima. Keempat, Kanda Banyakcatra ingin menyerahkan sesuatu sebagai pengikat untuk Ayunda Dewi,”  kata Silihwarna mengakhiri kata-katanya sambil menyerahkan kotak dari perak yang diikat dengan pita berwarna kuning dan diletakkan di atas meja di depannya.
Kanjeng Adipati langsung memberikan sambutan sambil tersenyum, wajahnya nampak ceria. “Ki Patih, terimakasih telah ikut bersusah-susah mengantar ke dua putra Kerajaan Pajajaran ke Dalem Kadipaten. Ananda Banyakcatra dan Ananda Banyakngampar, semua permintaan dan permohan Ananda berdua, Kanjeng Uwa kabulkan. Kanjeng Uwa juga minta maaf, karena kekurang telitian dan bisa jadi karena keteledoran dan kecerobohan. Marilah kita lupakan semua peristiwa yang timbul semata-mata karena kesalahpahaman. Maklumlah, karena sudah tua. Adapun soal lamaran, sebagai orang tua, Kanjeng Uwa dan Kanjeng Ayu Adipati pastilah menyetujui dan merestui. Tapi karena dalam soal lamaran ini yang paling punya hak untuk menjawab adalah Dewi, ya biarlah Dewi saja yang menjawabnya secara langsung.”
Sang Dewi langsung memberikan sambutan. Dengan tenang dan nada suara enak di dengar, Sang Dewi memenuhi permintaan Kanjeng Adipati. “Terimakasih Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, Paman Patih, Kanda Banyakcatra dan Dinda Banyakngampar. Soal lamaran tidak mudah,  karena sudah ada seorang pria yang secara resmi lebih dahulu melamar Dewi,” kata Sang Dewi, lalu diam beberapa saat, sehingga membuat mereka yang hadir berdebar-debar. Bahkan Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati ikut menahan napas. Karena mereka tahu, langkah Sang Dewi terkadang sukar ditebak.
“Sebenarnya, Kanda Kamandaka sudah mengenal aku lebih dari  empat bulan yang lalu. Tetapi lebih dari empat bulan ditunggu-tunggu lamarannya secara resmi tak datang-datang juga. Tidak ada pula kabarnya. Maka ketika ada lamaran resmi dari Raja Nusakambangan tiga hari yang lalu, aku langsung menerimanya.” Berkata demikian Sang Dewi lalu diam lagi beberapa saat. Semua yang hadir menahan napas semua, lebih-lebih Kamandaka. Wajahnya langsung pucat pasi.
“Namun sekalipun aku sudah  menerima lamaran Raja Nusakambangan, tetapi aku mengajukan sejumlah syarat. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi Raja Nusakambangan, tentu saja lamaran akan batal dengan sendirinya. Sekarang datang lamaran ke dua dari Kanda Kamandaka. Tentu saja lamaran Kanda Kamandaka sekalipun terlambat akan aku terima. Tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi Kanda Kamandaka,” kata Sang Dewi membuat susana menjadi hening mendadak. Ketegangan pun muncul kembali akibat penjelasan Sang Dewi yang agak membingungkan itu.
“Kira-kira syarat apakah yang harus dipenuhi Kanda Banyakcatra, Ayunda Dewi?” tanya Silihwarna memecahkan keheningan suasana yang sempat terbentuk.
“Tentu saja Kanda Kamandaka harus berjuang sekuat tenaga agar semua butir persyaratan yang Dewi minta kepada Raja Nusakambangan tidak bisa dipenuhinya”, jawab Sang Dewi sambil tersenyum.
“Boleh tahu syarat-syarat apa yang Ayunda Dewi minta kepada Raja Nusakambangan?” tanya  Silihwarna pula.(bersambung)

Jumat, 29 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(48)




“Ya, memang banyak keterangan salah yang sampai ke tangan Kanjeng Adipati dan Ki Patih,” kata Kamandaka. “Padahal aku dan Dimas Arya-Baribin justru banyak membicarakan hal-hal yang positip untuk memajukan Kadipaten Pasirluhur. Aku melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki dan memperkuat kesejahteraan para petani dan rakyat lapisan bawah Kadipaten Pasirluhur. Aku dan Dimas Arya-Baribin juga banyak mendiskusikan agama baru, yakni Agama Islam,” kata Kamandaka.
“Jika kita ingin menghadapi Kerajaan Islam Demak, mau tidak mau kita memang harus tahu seperti apa sebenarnya agama baru ini?  Apa sebabnya rakyat banyak yang tertarik? Hal ini perlu diketahui oleh Kerajaan Pajajaran. Sebab konflik Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajajaran sudah terjadi di sepanjang pantai utara bagian barat Pulau Jawa. Bukan mustahil konflik Demak-Kediri, Demak-Pajajaran atau Pajajaran-Kediri, akan sampai pula dampaknya ke Kadipaten Pasirluhur.”
“Hal-hal yang demikian penting ini, tak dipahami Kanjeng Adipati, Ki Patih dan para punggawa Kadipaten Pasirluhur lainnya. Kalau toh ada yang tahu seperti Kanjeng Adipati dan Ki Patih, mereka tak tahu cara mengatasinya,” kata Kamandaka pula sambil berganti-ganti memandang Silihwarna dan Arya Baribin.
“Satu-satunya orang yang memahami persoalan rumit yang dihadapi Kadipaten Pasirluhur dan tahu menemukan jalan keluarnya hanyalah putri Kanjeng Adipati, Dinda Dewi” kata Kamandaka memuji Sang Dewi,gadis pujaannya itu.
“Justru itulah Kanda Kamandaka,” kata Arya Baribin setelah Kamandaka berhenti bebicara. “Dinda ke sini untuk memberitahu, besok Ki Demang Kejawar akan kedatangan tamu dari Muara Jati. Dia  seorang tokoh agama Islam bergelar Syekh yang mengajak bertukar pikiran dan memperkenalkan apakah agama Islam itu. Tak ada keharusan untuk memeluk agama baru ini. Syekh ini hanyalah ingin berbagi ilmu saja. Kalau Kanda Kamandaka dan Kanda Silihwarna besok bisa hadir di Kademangan Kejawar, tentu dinda akan senang sekali. Demikian pula Ki Demang Kejawar, turut mengundang  Kanda berdua.”
‘‘Terimakasih sekali, Dimas Arya Baribin atas undangannya yang sangat menarik itu,” kata Kamandaka menjawab undangan Arya Baribin dan Ki Demang Kejawar. “Mungkin lain kali bila ada kesempatan lagi, aku akan menyempatkan diri. Percayalah aku memang tertarik untuk mengetahui agama baru itu dari sumber yang dapat dipercaya. Besok rencananya aku dan Dinda Silihwarna akan pulang dulu ke Pakuan Pajajaran. Sudah satu tahun lebih, aku  meninggalkan Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
“Oh, akan kembali ke Pakuan? Selamat jalan kalau begitu. Salam dan sembah sujud untuk Sri Baginda Prabu Siliwangi. Salam kenal untuk Kanda Banyakbelabur. Dan salam kenal pula untuk…..,” Arya Baribin berhenti sejenak, seakan-akan mengingat-ingat sesuatu nama. Rupanya dia takut salah mengeja. “Salam kenal untuk Adinda Ratna Pamekas.”
Arya Baribin yang masih muda remaja itu bernafas lega setelah berhasil menyebutkan kalimat terakhir itu. Silihwarna memandang Kamandaka, ketika Kamandaka berkata kepada Arya Baribin yang baru saja dikenalnya itu dengan pandangan mata curiga.
“Terima-kasih Dimas Arya Baribin. Salam untuk Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi akan aku sampaikan. Demikian pula salam perkenalan untuk Dinda Banyakbelabur dan Dinda Ratna Pamekas. Aku masih akan kembali ke Pasirluhur. Ke depannya Kerajaan Pajajaran dan Kadipaten Pasirluhur, sangat memerlukan bantuan tenaga dan pemikiran Dimas Arya Baribin. Salamku juga untuk Ki Demang Kejawar. Juga salam dari Dinda Silihwarna.”
“Baik, Kanda. Dinda akan sampaikan salam untuk Ki Demang Kejawar. Dinda siap memberikan bantuan. Beritahu segera, jika Kanda Kamandaka dan Kanda Silihwarna kelak tiba kembali di Pasirluhur,” kata Arya Baribin sambil bangkit dan undur diri untuk pulang kembali ke Kademangan Kejawar.
Setelah Arya Baribin pergi, Silihwarna yang masih penasaran bertanya kepada Kamandaka, “Kanda, dari Kandakah Dimas Arya Baribin tahu nama Dinda Ratna Pamekas?”
“Iya. Arya Baribin tampan, muda, cakap, trah Majapahit, memiliki ilmu beladiri tinggi, lagi pula cerdas dan sopan. Engkau jangan cemburu, kalau aku ingin menyambungkan dengan Dinda Ratna Pamekas. Engkau setuju, bukan? Dia sudah bertekad ingin mengabdikan diri kepada Kerajaan Pajajaran maupun Kadipaten Pasirluhur.” Silihwarna terdiam sesaat, tiba-tiba wajah adik tirinya Ratna Pamekas muncul di pelupuk matanya. Kamandaka tahu bahwa adiknya itu tengah membayangkan Ratna Pamekas.
“Adindaku Banyakngampar, dengarkan baik-baik kata Kakandamu ini. Engkau boleh mencintai Dinda Ratna Pamekas. Tidak ada yang bisa melarangmu. Tetapi ingat kata-kata Kakanndamu dahulu. Engkau boleh mencintai adik tirimu itu, tetapi tidak boleh memilikinya. Adik tirimu itu adalah milik calon suaminya. Dan calon suami Dinda Ratna Pamekas, pastilah bukan aku dan bukan pula engkau. Agama dan Adat tidak mengijinkannya. Lagi pula Dinda Ratna Pamekas memang sempat berpesan kepadaku  pada waktu aku pamit kepadanya. Katanya, jangan hanya aku yang mencari istri untuk diri sendiri, tetapi Dinda Ratna minta tolong juga agar dicarikan calon suami. Tolong engkau pahami, bila aku berusaha menyambungkan Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas.”
“Aku bukannya sedih, Kakanda. Apalagi cemburu. Aku ikut bangga dan bahagia, karena Kanda akhirnya bisa menemukan gadis idaman calon istri tercinta. Dinda Ratna Pamekas, mudah-mudahan bisa menemukan jodohnya. Dimas Arya Baribin sepertinya tepat. Aku  setuju sekali. Sama dengan pesannya kepadaku, Dinda Ratna pun berpesan kepadaku agar dicarikan pula seorang suami. Dinda Banyakbelabur bisa jadi juga sudah punya calon istri.”
Sebagai seorang yang berpengalaman, Kamandaka segera tahu problem yang dihadapi adiknya itu. Lima tahun waktu yang dimiliki Banyakngampar dihabiskan untuk melatih diri menjadi seorang brahmacharin. Mau tidak mau kegiatan itu mempengaruhi ketrampilan Banyakcatra dalam bergaul dengan lawan jenis. Satu-satunya wanita yang diakrabinya hanyalah  adik tirinya itu, Ratna Pamekas.
“Apakah yang membuat Dinda bersedih? Apakah karena engkau belum punya calon istri?” tanya Kamandaka yang sedikit banyak memahami perubahan sikap adiknya yang tiba-tiba itu. Ternyata Silihwarna diam saja dan menundukkan kepalanya.
“Jangan khawatir Adindaku. Di Lembah Ciserayu banyak gadis cantik juga, tidak kalah dengan daerah Galuh dan Pakuan Pajajaran. Nanti aku carikan. Dinda Dewi pasti bisa membantunya. Eh, bukannya engkau sudah punya istri? Aku dengar engkau sudah jadi menantu Adipati Dayeuhluhur? Bukankah beberapa waktu yang lalu Wasit sabung ayam mengenalkan status Dinda kepada para penonton?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Silihwarna langsung tertawa. “Itu hanyalah akal-akalan Kanjeng Adipati saja, agar Tumenggung Maresi tidak tersinggung. Dia lebih tua dan lebih senior, tetapi di bawah komadoku.”
“Sering kali akal-akalan menjadi sungguhan, lho Adindaku. Sudah tahu nama putri Adipati Dayeuhluhur?” Silihwarna tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Kamandaka langsung tertawa.
“Namanya Mayangsari. Masih adik sepupu Dinda Dewi. Sudah serahkan saja soal itu padaku. Engkau tahu beres saja tidak usah cemas. Dijamin putri Adipati Dayeuhluhur itu cantik. Cocoklah menjadi istri pendampingmu. Tetapi buanglah jauh-jauh keinginan menjadi brahmacharin, agar engkau tidak mengalami kesulitan bergaul dengan wanita.”
Seketika wajah Silihwarna kembali cerah dan gembira. Dia langsung berkata, ”Terimakasih, Kanda, atas segala saran, bantuan, dan nasehat Kanda.”
“Hal yang begini sesungguhnya sudah menjadi kewajibanku. Jangankan adik sendiri. Rekajaya saja aku pikirkan jodohnya,” kata Kamandaka.
Tiba-tiba Nyai Kertisara muncul di ruang tamu sambil membawa seorang pembantu perempuan untuk menarik cangkir-cangkir  minuman yang sudah kosong dan menggantinya dengan yang baru. “Raden, hamba sudah pilihkan pakaian sutra halus paling bagus, celana hitam, sabuk kulit berlapis benang emas, ikat kepala coklat, dan alas kaki dari kulit lembut untuk Raden berdua. Hamba dengar, Raden besok akan pulang ke Pakuan?” tanya Nyai Kertisara.
“Betul, Nyai. Aku akan minta Ayahanda melamar Dinda  Dewi,” jawab Kamandaka.
“Saran hamba, sebaiknya Raden membuat kejutan,” kata Nyai Kertisara, “Sore ini langsung saja Sang Dewi dilamar secara resmi. Raden Silihwarna bisa menjadi juru lamar mewakili Ayah Raden berdua, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Tunjukan kepada penduduk bahwa Raden memang putra Raja Agung yang menghargai keutamaan seorang gadis yang akan menjadi istri Raden. Apalagi gadis itu adalah gadis sangat dihargai di kawasan Lembah Ciserayu, karena dia putri salah seorang penguasa Lembah Ciserayu yang sangat terhormat.”
“Maaf Raden, jika Raden melamar sekarang juga, nistaya nama Raden akan kembali harum sesuai dengan martabat Raden sebagai seorang putra Raja. Tetapi jika Raden pulang dulu, sementara Raden, maaf, sudah sempat masuk kamar tidur Sang Dewi, tentu akan melukai rakyat kawula Kadipaten Pasirluhur. Karena mereka tidak melihat kesungguhan Raden untuk mempersunting Sang Dewi. Sekalipun hamba tahu, Raden masuk kamar karena diundang Sang Dewi. Tetapi kawula Kadipaten tahunya Radenlah yang punya inisiatip masuk kamar tidur Sang Dewi.” Nyai Kertisara memberi saran kepada Kamandaka.
Bagaimana pun juga, sekalipun Nyai Kertisara berasal dari wong cilik, anak petani biasa, tetapi sempat menjadi istri seorang priyayi yang memiliki posisi tinggi. Lurah Karangjati bekas suami pertamnya sebelum bercerai, masih kerabat Tumenggung Maresi yang juga termasuk priyayi papan atas. Oleh karena itu Nyai Kertisara sangat paham budaya, tradisi, dan adat istiadat para priyayi.
“Bagus sekali saranmu, Nyai. Tetapi jika aku harus melamar sekarang, tidak ada yang bisa aku berikan kepada Dinda Dewi. Bukankah hal itu justru akan mempermalukan aku?”
“Jangan khawatir Raden,” kata Nyai Kertisara, “Maksud Raden, belum ada barang bawaan sebagai pengikat Sang Dewi dalam lamaran?”
“Ya,benar,”
“Kalau itu tidak usah khawatir. Hamba justru sudah lama menunggu-nunggu saat berbahagia seperti ini, yaitu kapan Raden akan melakukan lamaran. Hamba sudah sediakan dua pasang cincin emas, dua pasang gelang kroncong mata berlian, dua kalung emas dengan liontin batu mulia jenis shapir, dua pasang giwang bermata sembilan berlian. Sudah hamba  siapkan di dalam kotak dan siap diserahkan sore ini sebagai pengikat Sang Dewi,” kata Nyai Kertisara.
“Hem, Nyai! Aku tidak mengira besar sekali perhatianmu kepadaku! Aku jadi ingat kepada Raja Muda Hayam Wuruk dulu ketika  melamar Mawar Galuh, Dyah Ayu Pitaloka. Terimakasih Nyai. Aku setuju saran Nyai. Dinda Silihwarna, engkau lama belajar menjadi pendeta brahmacharin, bukan? Nanti sore, Dinda menjadi juru lamar mewakili Ayahanda. Lamarlah Dinda Dewi untukku!”
“Baik, Kanda.”
“Raden mari hamba rias dulu, agar Raden berdua tampil bak rembulan kembar,” kata Nyai Kertisara yang ternyata juga  ahli merias wajah dan rambut. Kamandaka dan Raden  Silihwarna tentu saja senang sekali. Sebab setelah tiga malam empat hari di tengah hutan, tentu saja raut wajahnya dan rambutnya tampak hancur-hancuran, sekalipun sudah mandi.
Angin musim kemarau bertiup kencang, merontokan daun-daun pohon yang sudah menguning. Daun-daun itu jatuh melayang-layang di sepanjang jalan yang di lalui Kamandaka dan Silihwarna yang memacu kudanya menuju Kadipaten Pasirluhur. Mereka akan mampir lebih dulu ke Dalem Kepatihan.[Bersambung]






Rabu, 27 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(47)




Halimun pekat yang menyelimuti hutan dan padang ilalang pelan-pelan mulai menipis. Sinar matahari masih kesulitan menembus hutan lebat dengan pohon-pohon raksasa menjulang tinggi ke angkasa. Sudah dua malam  Kamandaka bertahan di dalam hutan. Demikian pula pasukan Kadipaten Pasirluhur yang tengah melakukan pengepungan. Tumenggung Silihwarna tidak berani mengerahkan pasukannya memasuki hutan yang lebat itu karena khawatir Kamandaka telah memasang banyak perangkap dan jebakan. Lebih-lebih Tumenggung Maresi yang penakut itu. Begitu anjing pelacaknya lenyap setelah masuk ke dalam hutan, nyali Tumenggung Maresi langsung ciut.
Bagi Tumenggung Silihwarna, lebih baik bertempur satu lawan satu dengan Kamandaka, dari pada mengerahkan pasukan untuk menangkap Kamandaka. Karena berdasarkan pengalaman, tidak mudah menangkap Kamandaka yang menguasai seni beladiri tingkat tinggi. Jika pengepungnya hanya memiliki ketrampilan pas-pasan, risko jatuhnya banyak korban  di pihak prajurit pengepung akan sangat besar. Satu-satunya cara untuk mengalahkan Kamandaka adalah melanjutkan menantang duel satu-satu yang sempat tertunda dua hari lalu. Ketika itu malam telah turun menyelimuti bumi dan esok paginya Kamandaka ternyata sudah melarikan diri.
Pagi itu Tumenggung Silihwarna berdiri di depan kemahnya sambil menatap hutan lebat tempat Kamandaka bersembunyi. Dia masih penasaran siapa sebenarnya Kamandaka itu? “Dia menyamar sebagai Ki Sulap Pangebatan, pastilah untuk menutupi bahwa sebenarnya nama dia Kamandaka. Siapa Kamandaka? Kanda Banyakcatrakah dia? Hem, jurus harimau putih, jurus monyet putih? Jumlah jurus harimau putih, persis seperti yang diterima para siswa yang pernah berguru di Padepokan Sangkuriang asuhan Ki Ajar Wirangrong,” kata Tumenggung Silihwarna di dalam hati. “Berarti Kamandaka pernah belajar dari seorang guru didikan Padepokan Sangkuriang. Kanda Banyakcatrakah, Kamandaka? Jurus monyet putih hampir saja membuat diriku tewas. Hem, itu berasal dari Padepokan  Sampakwaja asuhan para penerus pendekar Sampakwaja. Kanda Banyakcatrakah, Kamandaka?  Hanya ada satu jalan untuk menguji teka-teki Kamandaka yang mencurigakan, yaitu melanjutkan duel satu-satu dengan Kamandaka.”
“Ya, aku ingin kepastian, apakah Kamandaka juga menguasai jurus bangau putih dari Megamendung? Jika Kamandaka benar adalah Kanda Banyakcatra, untuk apa dia berpetualang begitu lama? Bukankah tujuan semula untuk mencari gadis idamannya? Aku sendiri belum pernah melihat seperti apa wajah Dyah Ayu Ciptarasa itu?  Oh, ada satu lagi kunci rahasia Kamandaka. Jika dia punya senjata rahasia Kujang Kancana Shakti seperti yang aku miliki, tidak salah lagi, Kamandaka adalah Kanda Banyakcatra yang sedang menyamar. Oh, Kanda Banyakcatra kelakuannmu benar-benar membikin repot dan cemas Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi.”  Demikian sejumlah pikiran yang berkecamuk di kepala Tumenggung Silihwarna, ketika pada pagi yang pekat itu dia berdiri di depan tendanya. Pandangan matanya yang tajam mengamati kemah-kemah prajurit yang sudah dua malam mengepung Kamandaka.
Sementara itu, sesuai dengan rencana semula, Kamandaka juga penasaran dengan identitas Tumenggung Silihwarna. Dia ingin melanjutkan duel berdua saja sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui siapakah Tumenggung Silihwarna itu. Kamandaka segera berkemas-kemas keluar dari tempat perlindungannya. Dia bergerak ke arah barat yang memang tidak dijaga. Dengan mudah Kamandaka melintasi padang ilalang yang masih diselimuti kabut pekat. Begitu pekatnya sehingga jarak pandang ke depan hanya beberapa meter.
Tentu saja para prajurit pengepung dan pemantau tidak bisa melihat ketika Kamandaka diam-diam melintasi padang ilalang dan terus bergerak ke arah barat. Akhirnya dia tiba di tepi Sungai Banjaran. Kamandaka cepat bergerak menyeberangi sungai dan kini sudah ada di seberang barat. Sementara itu, kemah-kemah pengepung di sisi utara maupun selatan sudah bisa dilihat dengan jelas. Memang pelan-pelan cahaya matahari pagi mulai berhasil mengusir kabut putih yang tebal itu.
Pada kesempatan itulah, Kamandak berteriak keras-keras memanggil Tumenggung Silihwarna agar menyusulnya ke seberang sisi barat sungai Banjaran.
“Hai, Silihwarna! Aku Kamandaka sudah berada di sisi barat sungai. Jika engkau memang seorang ksatria sejati dan bukan pengecut, kejarlah aku. Ayo,  bertanding satu lawan satu!” Tentu saja Tumenggung Silihwarna terkejut mendengar tantangan dari Kamandaka yang tahu-tahu sudah berhasil meloloskan diri dari kepungan itu.
“Kakang Maresi! Aku akan kejar Kamandaka ke seberang sungai! Pimpinan prajurit yang ada di padang ilalang seluruhnya aku serahkan kepada Kakang Maresi. Susul aku, hanya jika aku lama tidak kembali. Aku tidak ingin kehilangan jejak sehingga Kamandaka bisa menghilang dari kejaranku,” kata Tumenggung Silihwarna menyampaikan pesan kepada Tumenggung Maresi. Setelah menyampaikan pesan, Tumenggung Silihwarna segera mengejar Kamandaka. Dengan mudah dia berhasil menyeberangi Sungai Banjaran.  Dilihatnya Kamandaka berdiri sendirian di kejauhan.
“Ayo, Silihwarna! Kejarlah aku, kita cari tempat yang nyaman untuk mengadu ketrampilan kita berdua!” kata Kamandaka yang segera berbalik lari ke arah barat. Tumenggung Silihwarna terus mengejarnya. Agaknya Kamandaka memang ingin menghadapi Silihwarna di tempat yang sepi yang hanya dihadiri oleh mereka berdua.
Tibalah Kamandaka di tepi sebuah sungai. Kamandaka terus berbelok ke utara mengikuti arah hulu sungai sampai akhirnya Kamandaka menemui sebuah batu besar yang rata permukaannya. Kamandaka berpikir, di atas batu itulah tempat yang nyaman dan sepi untuk mengetahui siapakah sebenarnya Tumenggung Silihwarna itu. Dengan gerakan yang lincah, Kamandaka melentingkan dirinya meloncat ke atas batu dan tiba di sana dengan mudah. Kamandaka berdiri dengan gagah sambil menunggu Tumenggung Silihwarna yang terus berlari mengejarnya.
Kini Tumenggung Silihwarna sudah tiba di kaki batu besar. Sebenarnya Tumenggung Silihwarna, semakin yakin, Kamandaka adalah Banyakcatra, lebih-lebih saatdia melihat cara Kamandaka melentingkan dirinya ke atas batu besar itu. “Hem, itu tadi jurus bango putih”, pikir Silihwarna sambil tersenyum. Dia pun mulai paham, apa maksud Kamandaka mengajak berduel di tempat sepi yang tidak bisa disaksikan orang lain. Pastilah ada sesuatu yang ingin disampaikan Kamandaka kepadanya. Dugaan  Silihwarna tidak keliru, ketika dia mendengar Kamandaka menantangnya dari atas batu.
“Heh, Silihwarna! Naiklah ke atas batu ini, jika engkau memang ksatria perkasa. Aku tidak pernah takut kepada siapapun. Aku juga tidak pernah takut kepadamu. Naiklah ke atas batu, jika engkau ingin tahu siapakah aku sebenarnya. Aku adalah Banyakcatra, Putra Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Inilah pusaka Kujang Kancana Shakti yang akan mengantarkanmu ke lubang kubur,” kata Kamandaka sambil mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanan. Kujang pusaka itu berkilat-kilat ditimpa cahaya pagi yang jatuh di atas batu besar itu.
Ketika mendengar Kamandaka menyebutkan identitas yang sebenarnya dengan  menunjukkan pusaka kujang Pajajaran, Silihwarna langsung berteriak dari bawah.
“Hei! Kanda Banyakcatra! Ini aku adikmu, Banyakngampar! Lihatlah kalau tidak percaya pusaka Kujang Kancana Shakti. Inilah pusaka Pajajaran!” teriak Silihwarna dengan suka cita. Dia langsung mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggang kiri dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanan supaya dapat dilihat Kamandaka.
“Pusaka Kujang Kancana Shakti hanya ada tiga buah. Yang ketiga ada pada Dinda Banyakbelabur!” teriak Silihwarna pula.
Betapa terkejutnya Kamandaka setelah mendengar pengakuan Silihwarna. Apalagi setelah Silihwarna bisa menunjukkan pusaka Kujang Kancana Shakti dan menyebut nama adik tirinya, Banyakbelabur. Tak perlu diragukan lagi, Silihwarna itu adalah adik kandungnya sendiri yang sangat dicintainya. Dan adik kandungnya yang dikiranya telah menjadi pendeta gundul di Megamendung. Kamandaka cepat meloncat turun ke bawah. Dan dipeluknya adiknya itu dengan perasaan gembira yang sulit dilukiskan.
“Oh, Dinda Banyakngampar, kenapa engkau  membuat bingung aku? Coba kalau engkau dari awal tidak meyembunyikan namamu. Pastilah tidak akan ada kesalahpaham dan kejadian yang berlarut-larut seperti ini!”
“Maafkan aku, Kanda. Aku memang ceroboh. Karena kecerobohanku, hampir saja nyawa Kanda melayang terkena tikaman senjata pusaka Pajajaran.”
“Yah, sudahlah. Engkau pun hampir tewas karena pukulan maut jurus monyet putih yang mengenai tengkukmu. Hanya karena engkau putra Pajajaran, maka dapat selamat. Kini tidak ada gunanya lagi kita menyembunyikan identitas kita masing-masing. Katakan kepada prajurit-prajuritmu, siapa sebenarnya kita ini. Mudah-mudahan Kanjeng Adipati dan Ki Patih, juga sudah tahu siapa diriku. Aku sudah menyampaikan pesan lewat Dinda  Dewi,” kata Kamandaka.
Mereka berdua segera tiba di padang ilalang tempat pasukan pengepung berkumpul. Silihwarna mencari Tumenggung Maresi. Ternyata dia telah pulang. Tumenggung yang penakut itu beralasan sakit setelah dua malam tidak tidur. Tanggung jawab komando diserahkan pada wakilnya, Jigjayuda. Silihwarna kemudian memerintahkan agar semua prajurit dibubarkan. Tugas pengejaran dinyatakan selesai. Tepuk tangan pun bergemuruh dari sekitar 600 prajurit yang berkumpul di padang ilalang itu. Mereka menyambutnya dengan gembira karena  tugas yang membosankan itu telah berakhir. Mereka bisa segera kembali ke tengah keluarga mereka masing-masing.
Ketika mereka berdua sedang berada di padang ilalang itulah dua orang prajurit  utusan Ki Patih tiba dengan menunggang kuda. Mereka datang menemui Silihwarna dan Kamandaka, dengan maksud  menjemput kedua Ksatria Pajajaran itu. Kemudian mereka berdua akan diantarkan  menemui Ki Patih dan Kanjeng Adipati.
“Ayo, Dinda Silihwarna pinjam kuda, mumpung ada. Sebelum menghadap Ki Patih dan Kanjeng Adipati, kita lebih dulu ke tempat Nyai Kertisara di Kaliwedi. Sudah dua hari aku  tidak mandi. Aku malu bila nanti sore bertemu Dinda Dewi. Nanti  aku  kenalkan dengan Nyai Kertisara yang selama ini mengurus keperluanku  sehari-hari,” Kamandaka mengajak adiknya, Silihwarna.
“Kanda Kamandaka, tidak hafal ya? Itu kan kuda kita yang aku  bawa dari Pajajaran dan aku titipkan di kepatihan. Rupanya Ki Patih sudah mendapat perintah khusus dari Kanjeng Adipati sehingga mengirimkan kuda untuk menjemput kita.”
Dengan menggunakan satu kuda, Silihwarna membawa Kamandaka menuju tempat tinggal Nyai Kertisara di Kaliwedi. Nyai Kertisara sangat gembira menerima kedatangan mereka. “Aduh Raden, hamba cemas sekali, sudah tiga malam Raden tidak pulang. Rekajaya juga pulang hanya sebentar mengantarkan si Mercu, lalu pergi lagi membawa seekor monyet yang lucu sekali. Eh, Raden, kemarin teman Raden dari Kejawar mencari-cari Raden. Katanya hari ini akan datang ke sini lagi,” kata Nyai Kertisara setelah dikenalkan oleh Kamandaka dengan Silihwarna. Kamandaka memberikan penjelasan singkat kepada Nyai Kertisara kemana saja dia dan Rekajaya  pergi, sehingga beberapa malam tidak pulang.
Selesai kedua ksatria Pajajaran itu mandi dan santap siang, tiba-tiba Arya Baribin dari Kademangan Kejawar muncul di depan pintu. Kamandaka langsung memeluk Arya Baribin dan mengenalkan kepada adiknya. Arya Baribin langsung akrab dengan Silihwarna. Usia keduanya memang sebaya.
“Dinda Silihwarna, Dimas Arya Baribin ini seorang ksatria dari Majapahit yang mencari perlindungan kepada Ki Demang Kejawar, setelah Majapahit jatuh. Majapahit jatuh karena serangan Kerajaan Keling yang kini telah pindah ke Kediri,” kata Kamandaka. Dimas Arya Baribin ini ingin mengabdikan diri untuk kepentingan Kadipaten Pasirluhur dan Kerajaan Pajajaran. Dia banyak mengetahui soal Kerajaan Islam Demak yang merupakan saingan berat Kerajaan Hindu Kediri setelah runtuhnya Majapahit.” 
Silihwarna sebenarnya sudah pernah mendengar nama Arya Baribin yang sempat disebut-sebut pula oleh Kanjeng Adipati Kandhadaha. “Senang sekali bertemu dengan Dimas Arya Baribin. Nama Dimas sudah aku dengar dari Kanjeng Adipati dan Ki Patih. Bahkan Kanjeng Adipati dan Ki Patih sudah tahu persahabatan yang erat antara Kanda Kamandaka dengan Dimas Arya Baribin,” kata Silihwarna.
“Hahaha…, pasti kita dituduh bersekongkol mau mengobarkan pemberontakan melawan Kadipaten Pasirluhur dan Pajajaran. Betul begitu, Dinda Silihwarna?” Kamandaka berkata sambil tertawa saat mendengar bahwa Kanjeng Adipati dan Ki Patih ternyata sudah tahu keberadaan Arya Baribin di Kademangan Kejawar. “Itu laporan fitnah dari cecunguk Kadipaten Pasirluhur macam Ngabehi Nitipraja dan Tumenggung Maresi. Pasti Ngabehi Nitipraja yang menyebarkan mata-mata sampai Kaliwedi dan Kejawar.”
Silihwarna ikut tertawa ketika Kamandaka menyebut Ngabehi Nitipraja. Ngabehi Nitipraja pernah menjadi kopoh Silihwarna dalam permainan judi adu ayam di Pangebatan. ”Yah, aku pun ditipu oleh Ngabehi Nitipraja. Akhirnya si Penipu itu tewas ditangan Kanda Kamandaka. Dia memetik akibat dari hukum karma.”(bersambung)