Tentu saja dalam soal
ini, Sang Dewi sedikit berbohong. Sebab soal peran wanita, Sang Dewi sudah beberapa
kali mendengar juga dari ayahandanya. Tentu saja dalam persepsi yang berbeda.
Kini, Sang Dewi ingin mendengar pandangan Kamandaka sendiri. Kamandaka kembali
dengan sabar menjelaskan soal wanita sebagai salah satu pilar masyarakat. Tentu
saja Kamandaka hanyalah mengulangi lagi apa yang pernah dijelaskan dan
diingatnya dari ayahandanya, Sang Baginda, dengan menambahkannya di sana-sini.
“Ada lima peran yang
seharusnya dilakukan oleh seorang wanita sejati yang bisa membawa Kadipaten Pasirluhur
berkembang menjadi kadipaten yang kuat dan sejahtera. Kadipaten harus medorong
agar peran-peran wanita di masyarakat diberdayakan ke arah kemajuan. Pertama
adalah berhias. Wanita harus pandai berhias, sebab kodrat wanita memang cantik.
Janganlah wanita melupakan urusan menjaga dan memelihara kecantikannya,
sehingga lupa merawat dirinya. Wanita cantik adalah wanita yang bisa menjaga
kebugaran dirinya. Dengan sendirinya, wanita yang cantik adalah wanita yang
sehat.”
“Kedua, wanita harus
pandai memasak. Ketiga, wanita harus bisa menggembirakan suami di atas ranjang.
Ada baiknya untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, pasangan suami istri
bersama-sama mempelajari seni bercinta sebagaimana diajarkan dalam kitab suci
Kama Sutra. Seni bercinta bukanlah untuk menyuburkan pelacuran. Justru
pelacuran itu bisa diberantas, minimal dikurangi apabila setiap pasangan suami
istri menguasai seni bercinta. Karena pelacuran memang dilarang oleh kitab suci
agama manapun. Dalam hal ini, seorang wanita sejati haruslah berusaha
sekeras-kerasnya untuk mempertahankan kesucian dirinya. Sebab, kesucian seorang
wanita adalah pagar dari keselamatan raganya. Janganlah seorang wanita
melakukan hubungan badan dengan pria manapun yang bukan suaminya.”
“Yang keempat adalah
bisa melahirkan keturunan yang sehat. Wanita sejati adalah wanita yang bisa
hamil, melahirkan, dan menyusui bayinya sendiri. Wanita yang subur dan bisa
melahirkan anak-anaknya dan menyusui bayinya dengan air susunya sendiri, itulah
yang disebut wanita sempurna. Agar seorang wanita bisa melaksanakan fungsi
alamiahnya memberikan keturunan yang baik, Kadipaten harus berani mencegah
praktek perkawinan wanita terlalu muda ataupun praktek perkawinan di bawah
umur. Sebab praktek perkawinan demikian, akan mengakibatkan lahirnya keturunan
yang lemah. Bahkan bisa juga mengancam jiwa, baik ibunya maupun bayinya, akibat
hamil dan melahirkan pada waktu usia masih sangat muda.”
“Yang kelima atau
terakhir, seorang wanita sejati harus menjalankan kewajibannya mengasuh dan
mendidik anak, serta membimbingnya ke arah
kedewasaan. Didiklah setiap anak sehingga menjadi anak yang bisa bertanggung
jawab dan berbakti kepada kedua orang tuanya, masyarakatnya, tanah
kelahirannya, dan negaranya, kadipatennya, atau kerajaannya tempat dia
dilahirkan dan dibesarkan. Seorang wanita sejati juga harus bisa mendidik
anaknya agar bisa menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”
“Dinda Dewi, itulah
yang bisa aku
jelaskan mengenai tiga pilar harta, tahta, dan wanita yang aku peroleh dari para brahmana, wiku, ajar,
maupun dari ayahanda sendiri Prabu Siliwangi. Ilmu Seni memerintah tadi juga
terdapat dalam rontal-rontal yang berisi ajaran kitab suci,” ujar Kamandaka
mengakhiri uraiannya tentang tiga pilar penyangga pemerintahan.
“Aduh, Kanda Kamandaka,
sebuah penjelasan yang menambah wawasan. Kecuali soal pilar wanita, sebelumnya
aku belum pernah mendengarnya. Bahkan dari Kanjeng Rama pun belum. Aku yakin,
para adipati yang berniat melamar aku pun, tak akan sanggup memberikan uraian
yang begitu jelas seperti Kanda,” kata Sang Dewi setelah sebelumnya diam
beberapa saat, karena rasa kagum kepada kedalaman ilmu yang dimiliki Kamandaka.
Semua itu semakin meyakinkan Sang Dewi, bahwa Kamandaka tak diragukan lagi
adalah pria yang selama ini dicarinya.
“Aku yakin, Kanda
Kamandaka,” ujar Sang Dewi melanjutkan kata-katanya. ”Kandalah pria sejati yang
selama ini aku cari. Kandalah pria yang bisa melindungi aku dan bisa
menyelamatkan masa depan Kadipaten Pasirluhur. Kanda Kamandaka, masa depan
Kadipaten Pasirluhur ada di tangan Kanda Kamandaka. Besok aku akan memberitahu
Kanjeng Rama, bahwa aku telah menemukan pria belahan jiwa raga dan karenanya
siap untuk dilamar Kanda secara resmi.”
“Terima kasih, Dinda Dewi.
Pastilah Ayahanda di Pajajaran juga sangat bergembira bila mendengar aku telah
menemukan calon istri yang selama ini aku cari. Karena itu besok aku akan segera
kembali ke Pajajaran untuk memberitahu Ayahanda. Aku akan mohon, agar Ayahanda
segera mengirimkan utusan untuk melamar secara resmi Dinda Dewi. Sebaiknya
Dinda Dewi jangan memberitahu kepada Kanjeng Rama Adipati sebelum datang lamaran
resmi dari Pajajaran,” kata Kamandaka melanjutkan. ”Aku berharap Dinda Dewi bisa
merahasiakan pertemuan Dinda dengan aku malam ini. Sebab aku khawatir
jangan-jangan Kanjeng Adipati akan murka kepadaku, kalau Kanjeng Adipati tahu malam-malam
begini aku menemui Dinda Dewi.”
“Jangan khawatir,
Kanda. Kalau hanya soal menjaga rahasia, bagiku itu soal yang mudah. Sekarang,
aku akan memenuhi janjiku kepada Kanda, karena Kanda telah mampu dengan
memuaskan memenuhi permintaanku, yaitu memberikan penjelasan pertanyaan yang
aku sampaikan. Kini tiba saatnya aku berkorban untuk kebahagiaan Kanda.
Terimalah persembahanku, Kanda Kamandaka. Aku akan serahkan jiwa ragaku kepada
Kanda malam ini juga. Malam ini aku siap menjadi bahtera bagi Kanda. Marilah
Kanda kita berlayar bersama menuju samudra cinta penuh bahagia. Marilah Kanda
kita bermain asmara merayakan kebahagian yang telah dianugerahkan oleh Dewa
kepada kita berdua.”
Sang Dewi segera
bangkit dari tempat duduknya, dilepasnya selendang sutra kuning yang melingkar di lehernya, sehingga
Kamandaka bisa melihat leher putih terlilit seuntai kalung emas yang berkilauan
tertimpa cahaya redup di dalam kamar.
“Terimalah selendang
sutra kuning ini, Kanda Kamandaka. Bawalah ia beserta Kanda bila besok Kanda
akan kembali ke Pajajaran. Anggap saja selendang kuning ini sebagai wakil aku,”
ujar Sang Dewi sambil mengulurkan selendang sutra kuning kepada Kamandaka.
Tentu saja Kamandaka
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pergelangan tangan Sang Dewi yang
berhiaskan sepasang gelang emas itu segera ditarik ke arahnya. Sesaat kemudian,
Sang Dewi sudah jatuh di atas pangkuan Kamandaka, yang segera menghujaninya
dengan ciuman dan pelukan kepada gadis
pujaan yang dirindukannya siang malam itu. Itulah ciuman dan pelukan yang baru
pertama kali dirasakan Sang Dewi dari seorang pria. Sang Dewi segera merasakan
betapa indahnya ciuman dan pelukan yang membuat jantungnya berdebar-debar dan
api asmaranya mulai tersulut berkobar-kobar.
“Biyung Emban!” Sang
Dewi memanggil Khandegwilis. “Biyung Emban, siapkan tempat tidurku dan jadikan
semacam ranjang pengantin. Aku ingin bermain asmara dengan Kanda Kamandaka di
atas tempat tidur. Jangan terlalu lama, Biyung Emban,” ujar Sang Dewi seraya melepaskan diri dari pelukan
Kamandaka.
“Baik, Ndara Putri.“
Khandegwilis dengan
cekatan membereskan dan merapikan tempat tidur Sang Dewi. Emban itu pun
memberinya aneka macam pengharum ruangan yang menyegarkan. Beberapa kuntum
kembang melati disebarkan di atas sprei tempat tidur Sang Dewi. Sementara itu,
selendang sutra kuning yang ada di tangan Sang Dewi ditinggalkan di pangkuan
Kamandaka. Kamandaka meraih selendang sutra kuning yang halus dan lembut itu
dan menciuminya beberapa kali.
Kini Sang Dyah Ayu Dewi
Ciptarasa yang mulai terbakar api asmara itu berdiri di depan Kamandaka.
Dilepasnya baju yang menutupi punggung dan dadanya, sehingga Kamandaka
seakan-akan meyaksikan bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Punggung
dan dada Sang Dewi tampak putih bersih berkilat-kilat bak pualam, belahan
dadanya tampak jelas. Kain sutra hijau yang menghiasi dada Sang Dewi pun sudah
dilepasnya. Yang tersisa tinggal korset berwarna hitam yang terikat erat
melindungi kedua payudaranya yang indah itu, serta sabuk panjang berwarna merah
berlapis kuning emas mengikat kain yang melilit pinggang Sang Dewi. Jika Sang
Dewi terus melepas apa pun yang melekat pada tubuhnya, niscaya Kamandaka akan
menyaksikan kecantikan dan keindahan yang belum pernah disaksikan sebelumnya.
Sebuah keindahan alami bidadari tanpa selembar benang pun menutupi tubuhnya,
bak patung pualam bercahaya yang bisa bergerak yang akan membakar api asmara
para ksatria dan brahmana di mana saja.
“Ndara Putri, tempat
peraduan sudah siap,“ Khandegwilis memberitahu Ndara Putrinya.
“Baiklah, Biyung Emban.
Sekarang Biyung Emban jaga di depan pintu. Tolong bantu aku, jika nanti Kanda Kamandaka
kesulitan tidak bisa membuka tali pengikat korset yang ada di punggungku dan
membuka tali pengikat sabuk yang melilit pinggangku.”
“Siap, Ndara Putri.“ Khandegwilis segera menjauh mengikuti
perintah Ndara Putrinya.
“Kanda Kamandaka,
marilah Kanda, ranjang pengantin telah siap. Bawa aku ke sana, Kanda.”
Kamandaka yang juga
tengah diamuk badai asmara itu, kembali memeluk tubuh Sang Dewi. Dengan mudah diangkatnya
tubuh Sang Dewi dan dibawanya ke tepi ranjang, kemudian dibaringkannya di atas
ranjang pengantin. Tak lama kemudian Kamandaka menyusul naik ke atas ranjang,
lalu berbaring di samping Sang Dewi. Kembali Kamandaka memeluk dan
menghujaninya dengan ciuman, yang membuat Sang Dewi terengah-engah ingin terus
mendaki ke puncak bukit cinta.
“Kanda Kamandaka,
bukalah tali pengikat korset yang ada di punggung, dan tali pengikat sabuk yang
melilit di pinggangku.” Sang Dewi memerintah Kamandaka, sambil memunggunginya.
“Aduh, Dinda Dewi,
belahan sukmaku. Bagaimana mungkin aku bisa membuka tali ikatan korset dan tali
pengikat sabuk Dinda? Aku seumur hidup belum pernah menikah dan tidur seranjang
dengan seorang gadis. Para Dewa menjadi saksinya, Dinda Dewi.”
Sang Dewi diam sesaat,
kemudian membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba air mata Sang Dewi meluncur satu per satu
menuruni dinding pipinya yang halus. Sang Dewi menangis terharu karena dia merasa
bahagia dan bangga. Dipeluknya Kamandaka dan diciuminya beberapa kali.
“Dinda Dewi, kenapa
Dinda tiba-tiba menangis?”
“Aku menangis bukan
karena sedih, Kanda. Tetapi karena aku bangga pada Kanda. Kanda tidak bisa
membuka tali dengan ikatan rahasia pada punggung dan pinggangku, itu suatu
petunjuk Kanda seorang ksatria yang belum pernah bersentuhan dengan wanita
bangsawan manapun. Aku bangga karena menjadi gadis cinta pertama Kanda. Gadis
yang pertama kali disentuh, dicium, dan
dipeluk oleh Kanda.”
“Betul sekali, Dinda Dewi.
Bagaimana cara membuka tali ikatan pada punggung dan pinggang Dinda?”
“Kanda Kamandaka. Kedua
ikatan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga kesucian gadis para bangsawan
yang dipingit. Tujuannya agar kesucian gadis yang dipingit itu tetap utuh,
tidak dirusak lelaki yang tidak bertanggung jawab. Hanya ada dua cara
membukanya, Kanda. Pertama, dengan bantuan Emban Khandegwilis. Kedua, Kanda
potong tali-tali pengikat itu dengan menggunakan pisau pemotong. Mana yang
lebih Kanda sukai?”
“Aku tidak sampai hati
jika harus menggunakan pisau pemotong, Dinda Dewi. Lagi pula aku masih ragu.
Betapa aku ingin bersama Dinda naik ke bukit cinta, tetapi kita belum melewati
ritual perkawinan yang mendapatkan restu dari orang tua. Aku pun belum
melakukan lamaran secara resmi,” ujar Kamandaka.
Entah mengapa tiba-tiba
Kamandaka ingat kisah dua Resi yang mendapat kutukan Dewa, karena tergoda nafsu
birahi terhadap wanita. Kedua ceritera itu, tiba-tiba menjadi semacam rem
pengendali tenaga asmaranya yang hampir meledak-ledak. Orang yang dimabuk
asmara, terkadang memang sering sekali kehilangan akal sehatnya. Maka
berkisahlah Kamandaka tentang Resi Wisrawa dan Resi Wismamitra kepada Sang Dewi.
Sebuah kisah yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu dari seorang brahmana yang mendirikan sebuah padepokan
di kaki Gunung Salak, tidak jauh dari Keraton Pajajaran.
Dahulu para Dewa,
demikian Kamandaka bercerita kepada Sang Dewi yang berbaring di sampingnya,
mengutuk Resi Wisrawa karena tanpa restu orang tua sang gadis, telah melakukan
perkawinan dengan Dewi Sukaesih, Putri cantik jelita Prabu Somali dari Alengka.
Demikian pula Resi Wismamitra, gagal menjalankan tapa brata, karena tergoda
bidadari cantik, akhirnya mendapat kutukan Dewa pula. Baik Resi Wisrawa maupun
Resi Wismamitra sama-sama tergoda wanita cantik dan sama-sama melakukan
hubungan badan tanpa melewati ritual perkawinan sebagaimana ditentukan oleh
undang-undang agama. Kedua resi itu pun sama-sama kehilangan akal sehatnya,
gara-gara diamuk nafsu birahi yang tak terkendali.
Resi Wisrawa tergoda
kecantikan Dewi Sukaesih yang seharusnya dilamar untuk anaknya. Tetapi malah
dinikah untuk dirinya sendiri. Sedangkan Resi Wismamitra, tergoda oleh
kemolekan Maneka Dewi, seorang bidadari penggoda. Sang Maneka Dewi sengaja
memamerkan kemolekan tubuhnya di depan Sang Resi dengan membiarkan Dewa Angin
melepaskan seluruh pakaian yang melekat pada dirinya. Sang Maneka Dewi tanpa
selembar benang pun, merintih pura-pura merasa malu. Tetapi sebenarnya sedang
memperlihatkan keindahan tubuh moleknya yang nyaris telanjang itu di depan Sang
Resi yang tengah bersamadi. Sang Resi terbakar oleh nafsu birahi yang
menggelegak. Dia akhirnya gagal melakukan samadhi. Hari-hari di pertapaan
dihabiskannya dengan bermain cinta bersama Maneka Dewi. Akhirnya Maneka Dewi,
bidadari yang cantik jelita itu hamil, mengandung anak buah cintanya dengan
Resi Wismamitra.
“Aku khawatir, para Dewa
akan mengutuk kita, seperti kutukan yang telah dijatuhkan kepada kedua resi
itu, Dinda Dewi,” ujar Kamandaka.
Sang Dewi tersenyum
mendengar kisah menarik yang juga pernah dibacanya dari rontal yang ada di
kamar Kanjeng Adipati. “Kanda lupa,” ujar Sang Dewi menanggapi Kamandaka. ”Aku pernah baca kisah kedua resi itu di dalam
rontal. Kedua resi itu adalah seorang brahmana yang memang sudah bersumpah
untuk meninggalkan harta, tahta, dan wanita. Tentu saja Dewa mengutuknya,
karena kedua resi itu telah melanggar janji dan sumpahnya sendiri. Lain dengan
Kanda. Kanda bukanlah seorang brahmana. Kanda adalah seorang ksatria yang
diperkenankan oleh undang-undang agama kita, memilih salah satu cara dari
delapan cara perkawinan. Sumpah setia Kanda kepadaku dan sebaliknya, sumpah
setiaku kepada Kanda, sudah cukup untuk mengukuhkan hubungan kita sebagai
pasangan suami istri. Ritual perkawinan bisa menyusul menunggu restu orang
tua.”
“Kanda Kamandaka,
kenapa tiba-tiba Kanda seperti kehilangan keberanian seorang ksatria untuk
mengatasi tantangan, betapapun sulit dan rumitnya?” tanya Sang Dewi pula. ”Kanda sudah berani menerobos
rintangan masuk demi untuk bertemu dengan aku. Kanda pun sudah mengucapkan
sumpah setia kepada aku. Kanda sudah memeluk, mencium, dan mencumbu aku. Bahkan
Kanda pun sudah melamar secara pribadi langsung padaku.”
“Kini, tiba-tiba Kanda
hendak mengundurkan diri, meninggalkan aku yang tengah didera kerinduan?
Padahal semuanya berawal dari Kanda. Bukankah Kanda yang memulainya dengan
membuka simpul-simpul tenaga cinta yang tiba-tiba bergolak di dalam dada aku?
Ibaratnya Kanda mau berlayar, perahu di tepi telaga sudah menunggu. Tali-tali
pengikat sudah dilepas. Ombak, angin, dan bintang-bintang di langit pun sudah
siap membawa Kanda berlayar mengarungi telaga cinta. Tetapi Kanda malah
termangu-mangu diamuk ragu dan bimbang.”
“Ombak samudra, tidak
selamanya pasang, Kanda! Sekarang Kanda boleh pilih, Kanda mengkhianati janji
cinta yang telah Kanda ucapkan, ataukah melanjutkan perjalanan cinta malam ini
sampai ke puncak bukit cinta?“
Kamandaka terdiam
seketika. Dia merasa serba salah. Kini harga dirinya sebagai seorang ksatria
dalam urusan wanita mendapat tantangan. Haruskah dirinya meladeni tantangan
yang menggairahkan itu? Kamandaka memilih menghindarinya dengan cara yang amat
halus.
“Maafkan aku, Dinda Dewi,” ujar Kamandaka. “Tidak
ada niat untuk mengkhianai kesetiaan. Aku akan tetap setia kepada Dinda sampai
ajal menjemput aku.
Aku hanya ingin menunda saja, sampai restu dari orang tua bisa kita peroleh.
Betul pendapat Dinda. Sebagai ksatria aku dibolehkan oleh undang-undang agama
kita memilih salah satu dari delapan cara perkawinan. Kita sudah boleh
melakukan permainan asmara sampai ke puncak bukit cinta. Tetapi perkawinan
dengan restu orang tua selalu lebih utama dan lebih baik.”
“Menunda itu tanda dari
orang yang tak berani menanggung risiko. Aku sudah melangkah. Tak ada jalan
mundur. Berlayarlah ketika ombak sedang pasang, Kanda. Sebab, jika Kanda akan
berlayar ketika ombak sedang surut, Kanda pastilah akan kandas,” kata Sang Dewi,
semakin tidak sabar terbakar api asmara
yang telah memuncak.
“Ayohlah Kanda, bawa
aku berlayar ke tengah telaga cinta. Buktikan bahwa Kanda adalah seorang pria
dan ksatria sejati. Jangan khawatir Kanda, Emban Khandegwilis bisa dijadikan
saksi kesucianku. Dia sudah berpengalaman memberikan bantuan mengantarkan
kakak-kakak ku melewati malam-malam pengantin yang terkadang sulit bagi setiap
gadis yang dipingit dengan ketat. Kita bisa meminta bantuannya,” berkata demikian
Sang Dewi segera memanggil Khandegwilis yang dari tadi menunggu di depan pintu.
“Biyung Emban, ke sini
sebentar,“ panggil Sang Dewi. Khandegwilis segera masuk, terdengar
langkah-langkahnya mendekati tempat peraduan. “Biyung Emban, Kanda Kamandaka
hendak menyempurnakan ritual perkawinan malam ini juga dengan aku. Kanda
Kamandaka belum berpengalaman membuka tali pengikat korset di punggungku dan
tali pengikat sabukku. Bantulah aku, Biyung Emban.”
“Jika memang Ndara
Putri sudah mantap di dalam hati, semoga mendapat perkenan para Dewa. Ndara
Putri, mari Biyung Emban bantu melepaskan tali-tali pengikat.”
Sang Dewi segera turun
dari tempat peraduan, tangan trampil Khandegwilis cepat bekerja melepas tali
pengikat korset pelindung dada Sang Dewi dan tali pengikat sabuk yang melilit
pinggang Sang Dewi. Dengan dua kali sentakan, lepaslah tali-tali pengikat itu.
“Silahkan, Ndara Putri.
Tali-tali pengikat sudah Biyung Emban lepas,“ kata Khandegwilis. Setelah
berkata demikian, Khandegwilis pelan-pelan melangkah mundur menjauh dan kembali
dia menunggu di luar pintu masuk.
“Kanda Kamandaka, kini
kewajiban Kanda meneruskan pekerjaan Biyung Emban yang belum selesai.”(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar