“Luar biasa pengetahuan
Paman Patih. Tidak hanya soal-soal pemerintahan saja. Soal-soal cinta dan
inkarnasi pun Paman Patih tahu secara mendalam,” kata Banyakngampar memberikan pujian kepada Ki Patih Reksanata,
setelah lama terdiam.
”Jika Paman Patih ada
saran, apa yang sebaiknya ananda lakukan untuk menghindari bayang-bayang cinta
ananda agar tidak terjerumus ke dalam problem cinta berkepanjangan kepada Dinda
Ratna Pamekas?” tanya Banyakcatra. Pucat wajahnya belum hilang. Bisa jadi
karena pucat bercampur malu.
Ki Patih Reksanata
tersenyum dan berkata dengan lemah lembut, karena merasa kasihan juga pada ksatria Pajajaran itu. Ki
Patih Reksanata memberikan saran, ”Hanya ada dua cara, Raden. Raden melanjutkan
cita-cita Raden menjadi seorang brahmacharin yang tidak nikah seumur hidup dan
tinggalkan Keraton Pajajaran atau mengikuti langkah Raden Banyakcatra, yakni
segera mencari gadis cantik calon pendamping hidup.”
“Raden mungkin pernah
mendengar kisah cinta Kala Gemet alias Jayanegara, putra Raden Wijaya, Sang
Pendiri Kerajaan Majapahit?” tanya Ki Patih.
”Belum pernah, Paman
Patih,” jawab Banyakngampar.
“Kasus asmara yang
Kakak Raden dan Raden sendiri alami itu, sebenarnya memang sudah sering terjadi
pada sebagian besar keluarga kerajaan. Sistem memingit anak perempuan yang
ketat di lingkungan Keraton, serta dipisahkannya antara anak laki-laki dan anak
perempuan sehingga mereka jarang bertemu, bisa saja menjadi penyebab munculnya
kisah cinta adik dan kakak di lingkungan keraton. Kala Gemet Jayanegara jatuh
cinta pada adik tirinya, putri Permaisuri Gayatri, Tribuana Tungga Dewi,” kata Ki Patih.
”Kala Gemet yang naik
tahta menggantikan Raden Wijaya, segera menghalang-halangi adik tirinya itu
menikah dengan pria lain. Hampir saja terjadi skandal yang memalukan, karena
Kala Gemet nekat ingin menikahi adik tirinya itu. Kala Gemet akhirnya terbunuh
oleh Tancha. Tetapi Gajah Mada yang pada saat itu menjadi komandan pasukan
Bhayangkara Pengawal Raja, cepat bertindak membunuh Tancha. Setelah Kala Gemet
meninggal, Tribuana naik tahta Kerajaan Majapahit, lepas dari cengkeraman cinta
kakak tirinya. Dia bisa menikah dengan saudaranya juga, tetapi saudara jauh.
Lahirlah putranya Raja Hayam Wuruk,” kata Ki Patih menjelaskan.
Banyakngampar
termenung, sekaligus merasa ngeri menghadapi permasaalahan cinta yang diam-diam
membelit dirinya. “Terima kasih atas saran dan pandangan Paman Patih.
Mudah-mudahan ananda dan Kanda Banyakcatra tidak terjatuh ke dalam jebakan
cinta rumit seperti halnya Kala Gemet itu, Paman Patih.”
“Mudah-mudahan, Raden.
Di dunia ini sesungguhnya setiap masalah pastilah ada jalan keluarnya,” kata Ki
Patih mencoba menenangkan Banyakngampar.Tiba-tiba seorang
bujang masuk dan memberi tahu bahwa santap siang sudah siap. Kamar di ruang
khusus untuk menerima tamu-tamu Dalem Kepatihan yang akan bermalam juga sudah
dibersihkan dan dibereskan.
“Raden, silahkan jika
mau istirahat. Hidangan santap siang telah tersedia di kamar pemondokan. Paman
Patih masih harus menunggu Nyi Patih yang sedang menengok Cucu. Nanti malam
perbincangan kita lanjutkan lagi. Mudah-mudahan kita bisa memecahkan teka-teki
keberadaan Raden Banyakcatra,” ujar Ki Patih sambil bangkit setelah
memerintahkan salah seorang bujangnya mengantarkan Banyakngampar ke tempat istirahatnya.
Langit di atas Dalem Kepatihan nampak bersih. Hanya beberapa awan tipis tampak
bergerak perlahan-lahan. Sementara di jalanan debu-debu berkeliaran kian kemari
diterbangkan angin musim kemarau.
Malam pun tiba. Kembali
angin dari arah utara berhembus lembut menerobos Dalem Kepatihan. Daun-daun dari
pohon yang tumbuh di halaman bergoyang-goyang tertiup angin, seakan-akan sedang
menari ria menyambut bulan purnama tanggal empat belas. Langit pun cerah hanya
ada beberapa bintang yang kelihatan. Kerlipan cahaya bintang larut ke dalam
cahaya bulan yang tampak lebih cemerlang. Beberapa ekor kelelawar terbang rendah
melintasi atap pendapa kepatihan, lalu cepat menghilang ke dalam rerimbunan
daun pohon-pohon yang bergoyang-goyang ditiup angin. Dari jendela kamar tamu
tempatnya menginap, Banyakngampar bisa menyaksikan bulan yang tergantung di
langit sebelah timur. Bulan itu terlihat seperti kandil yang sedang menyinari alam semesta di waktu malam.
Tiba-tiba Banyakngampar
mendengar suara daun pintu diketuk. Seorang bujang datang ke kamar Banyakngampar,
memberi tahu bahwa dia telah ditunggu Ki Patih. Setelah istirahat selama
beberapa jam, Banyakngampar merasa tubuhnya segar kembali. Itulah malam pertama
Banyakngampar menghirup udara malam Kadipaten Pasirluhur. Dan dia pun siap
melanjutkan perbincangan dengan Ki Patih Reksanata yang tertunda siang tadi.
“Bagaimana Raden, bisa
istirahat sore tadi?” tanya Ki Patih setelah mereka bertemu kembali.
“Nyaman sekali, Paman
Patih. Mandi terasa segar, menu santap siang dan santap malam pun terasa
nikmat. Agaknya ragam makanan Kadipaten Pasirluhur tidak banyak berbeda dengan
Kadipaten Galuh dan Kadipaten lain di sebelah barat Lembah Citanduy, Paman?”
“Raden agaknya lupa,
penduduk Lembah Ciserayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum, Ciliwung, bahkan Lembah Cisadane, memiliki akar budaya dan
tradisi sama. Tentu saja pola menu dan ragam jenis makanannya pun nyaris
sama,” kata Ki Patih memberi penjelasan.
“Seingat Paman, Raden
tadi siang menjelaskan bahwa Raden Banyakcatra, putra sulung Sri Baginda Prabu
Siliwangi, telah melintasi Sungai Citanduy dan akan menuju ke Kadipaten
Pasirluhur untuk mencari gadis idamannya,” kata Ki Patih melanjutkan
perbincangan tadi siang yang sempat tertunda.
“Benar sekali, Paman
Patih.”
“Kenyataannya memang
tidak ada ksatria Pajajaran bernama Raden Banyakcatra yang mengunjungi
Kadipaten Pasirluhur. Bukankah di sebelah timur Sungai Citanduy terdapat banyak
Kadipaten, selain Kadipaten Pasirluhur? Ada Kadipaten Dayeuhluhur, Kadipaten
Cukangleuleus, Kadipaten Ayah, Kadipaten Patanahan, dan Kadipaten Nusakambangan
yang dulu memberontak kepada Kerajaan Galuh dan kini menyatakan diri sebagai
Kerajaan Nusakambangan. Bisa jadi ke sanalah Banyakcatra mencari gadis
idamannya. Paman Patih hanya pernah mengangkat seorang pemuda yang tampan mirip
Raden. Tetapi namanya bukan Raden Banyakcatra, bukan pula seorang ksatria. Dia
hanyalah anak seorang petani dari lereng Gunung Tangkuban Perahu.”
“Siapa namanya, Paman?”
“Namanya Kamandaka. Dia
ikut Paman hampir tujuh bulan. Paman sangat menyayanginya, karena dia cakap,
cekatan, dan juga pandai. Sayang sekali dia menipu Paman.”
“Menipu? Bagaimana
Paman bisa ditipu Kamandaka?”
“Kamandaka menipu Paman
beberapa kali. Pertama, dia mengaku anak petani dari lereng Gunung Tangkuban
Perahu. Ternyata dia berbohong. Dia itu ternyata kemenakan seorang botoh sabung ayam yang
terkenal dari Desa Kaliwedi, namanya Ki Kertisara. Dia ini, disamping penjudi
dan botoh sabung ayam, juga seorang jawara dengan reputasi sangat buruk. Dia
melarikan istri muda Lurah Karangjati, setelah mengalahkannya dalam permainan
judi sabung ayam. Lurah Karangjati marah dan melaporkannya kepada Kanjeng
Adipati.” Ki Patih berhenti sejenak, mencoba mengingat-ingat persitiwa yang
sudah agak lama itu. Dia sangat yakin dengan apa yang diketahuinya itu.
“Mendengar laporan
Lurah Karangjati lewat Tumenggung Maresi, Kanjeng Adipati langsung menugaskan
untuk menghabisi Ki Kertisara yang dianggapnya telah meresahkan para punggawa
Kadipaten Pasirluhur. Karena Ki Kertisara itu seorang jawara yang berilmu
tinggi, tentu saja tidak mudah untuk menyingkirkannya. Baru setelah
berbulan-bulan dicari berbagai macam cara, akhirnya berhasil juga. Ki Kertisara
tewas dengan racun arsenik. Mayatnya ditemukan tergeletak di muara Sungai
Cingcinggoling. Hartanya dirampas. Nyai Kertisara, mantan istri lurah
Karangjati, menolak kembali ke Kelurahan Karangjati. Dia memilih jadi janda
miskin di Kaliwedi. Ya, itulah nasib tragis paman dan bibinya Kamandaka.”
“Penipuan Kamandaka
yang kedua kepada Paman,” kata Ki Patih melanjutkan. ”Suatu malam dia pamit mau
tidur. Ternyata malam itu dia meninggalkan Dalem Kepatihan pergi ke Kadipaten
masuk taman kaputren dan bermain asmara dengan putri bungsu Kanjeng Adipati,
Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Persis kelakuan pamannya, Ki Kertisara. Kamandaka malah
lebih berani lagi. Untung ketahuan prajurit jaga malam.”
Banyakngampar mulai merasa
gemas juga mendengar kelakukan Kamandaka yang sedang diceriterakan kepadanya. Nama
Dyah Ayu Dewi Ciptarasa sebagai putri bungsu Kanjeng Adipati, baru saat itulah pertamakali
didengarnya. Banyakngampar tidak sempat memikirkan kecantikan putri bungsu
Kanjeng Adipati Pasirluhur, karena pikirannya terlanjur dipenuhi rasa jengkel dan
gemas kepada kelakuan Kamandaka. “Apakah berhasil ditangkap, Paman Patih?” tanya
Banyakngampar.
“Ya, itulah. Gagal
ditangkap prajurit jaga malam. Dia bersembunyi tiga hari tiga malam di tepi
Sungai Logawa. Ratusan prajurit kadipaten dibantu penduduk ramai-ramai
mengepung Kamandaka.”
“Seharusnya berhasil
ditangkap, Paman Patih?”
“Ya, itulah, kali ini
gagal lagi. Kamandaka terjun ke dalam Sungai Logawa yang sudah dikepung kiri
kanannya oleh ratusan prajurit dibantu penduduk. Karena lama tidak
muncul-muncul ke permukaan sungai, prajurit pengepung dengan bantuan penduduk,
berkesimpulan Kamandaka sudah tewas di dasar sungai, dikutuk oleh Dewa karena
berani melakukan perbuatan memalukan dan melanggar adat, tradisi, dan aturan
agama suci.”
“Akhirnya tewas juga
penjahat itu. Memang sudah demikian seharusnya. Syukurlah Paman.”
“Ya, itulah. Masih ada penipuan
Kamandaka yang ketiga kalinya,” kata Ki Patih.
“Lho, menipu lagi?
Bukankah sudah tewas di dasar Sungai Logawa?” tanya Banyakngampar heran.
“Hehehe…, Itulah yang
membuat Paman pusing dan menyesal sekali karena telah mengangkatnya sebagai
anak,” kata Ki Patih sambil tertawa menghibur diri, walaupun nada tertawanya
terdengar hambar.
“Ternyata Kamandaka
tidak tewas. Ulahnya malah semakin menjadi-jadi. Kini malah jadi botoh judi
sabung ayam. Dia menipu Paman lagi dengan menyamar dan ganti nama menjadi Ki
Sulap Pangebatan. Semua botoh yang ada diajaknya main sabung ayam. Ayam
jagoannya bernama si Mercu. Setiap diadu selalu menang. Terakhir malah main
sabung ayam di gelanggang Desa Pangebatan tidak jauh dari sini. Lawannya tidak
tanggung-tanggung, Ngabehi Nitipraja yang punya ayam aduan hebat tak
terkalahkan juga, namanya si Burik.”
“Menangkah si Burik,
Paman?” tanya Banyakngampar, berharap ayam Kamandaka kalah.
“Ya, itulah, Raden. Si
Burik kalah. Kata mereka yang sempat menonton, hanya dalam tiga kali sabetan,
si Burik yang dibangga-banggakan dan diandalkan Ngabehi Nitipraja terkapar tak
bernyawa. Lehernya kena taji si Mercu. Akibatnya sawah satu bau melayang.
Ngabehi Nitipraja marah-marah. Dia lalu melakukan penyelidikan siapa Ki Sulap
Pangebatan itu. Ngabehi Nitipraja berhasil memperoleh informasi. Ki Sulap
Pangebatan itu ternyata adalah Kamandaka yang sedang menyamar. Ngabehi
Nitipraja cepat-cepat melaporkan hasil penyelidikannya kepada Kanjeng
Adipati,” kata Ki Patih.
“Bagaimana sikap
Kanjeng Adipati, Paman?”
“Tentu saja Kanjeng
Adipati marah bukan main. Siapa lagi kalau bukan Paman yang dijadikan sasaran
murka Kanjeng Adipati? Apalagi Kamandaka berani menginjakkan kakinya di
Pangebatan, tempat yang tidak jauh dari
Dalem Kadipaten Pasirluhur. Kanjeng Adipati menganggap kedatangan Kamandaka ke
Pangebatan dengan menyamar sebagai Ki Sulap Pangebatan adalah untuk menantang
Kanjeng Adipati. Akhirnya Paman juga yang diharuskan menangkap Ki Sulap
Pangebatan. Itulah yang membuat Paman bingung dan pusing bukan main,” kata Ki
Patih mengakhiri ceriteranya seraya menarik napas panjang.
Banyakngampar melihat
wajah lelaki tua itu tampak murung dan sedih sekali, sehingga menimbulkan rasa
iba dalam dirinya.[Bersambung]
Silakan Kunjungi Artikel S128
BalasHapusAyam Jago
Sabung Ayam Bali
Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995