Cipari
memang gudang beras. Senna dapat saja memutuskan belok ke kanan menuju Cipari
dengan anak buahnya. Penduduk setempat pun dipastikan akan menyambutnya. Bukankah
Senna adalah Raja Galuh? Tetapi risikonya juga besar. Jika pasukan Purbasora
mengejarnya ke Cipari, dengan mudah mereka
akan menemukan Senna. Dapat dipastikan pasukan Purbasora akan menuju Cipari,
karena mereka menduga, jika Senna dan parjuritnya kelaparan, akan kemana mereka
lari jika tidak ke Cipari?
Ternyata Senna memang cerdas. Dia tidak ke Cipari, tetapi memilih meneruskan perjalanan menembus jalan setapak di tengah hutan, sebelum akhirnya tiba di Cimanggu alias Desa Manggis. Cimanggu juga sudah dikenal pada abad ke- 8 M. Majenang malah belum dikenal. Toponim Majenang dan Madura, baru terbentuk pada abad ke-17 M, ketika Mataram berekaspansi ke barat untuk menaklukan Dayeuhluhur dan Galuh. Toponim Majenang, Wanareja dan Madura adalah toponim Jawa, sehingga mudah disimpulkan desa-desa itu adalah bentukan orang Jawa Mataram.
Tibalah Senna di Cimanggu, sebuah desa makmur yang dapat dipastikan perangkat desanya akan menyambut dan membantu Senna. Bagaimanapun Senna adalah Raja Galuh yang bertahta selama tujuh tahun. Mustahil rakyat Cimanggu tidak mengenalnya. Senna bisa jadi istirahat di Cimanggu hanya semalam dan esok harinya melanjutkan pelarian ke timur dan tiba di Karangpucung. Karangpucung sama dengan Cimanggu, desa kuno yang sudah dikenal pada abad ke-8 M. Besar kemungkinan di Karangpucung, Senna berkemah 2-3 hari, sebagai persiapan menembus hutan dengan jalan setapak, berkelak kelok, tetapi sangat menyenangkan karena di situ banyak tumbuh pohon kelapa dan pohon aren, sumber energi yang penting bagi para petualang dan penjelajah hutan.
Leluhur Senna adalah Bangsa Galuh, putra-putra sungai pencipta kebudayaan muara sungai dan hilir sungai. Leluhur Senna adalah penjelajah hutan dan penyusur sungai dari hilir ke hulu yang gagah berani dan pantang menyerah. Mereka memiliki ketrampilan menjelajah hutan, menyusuri sungai dari muara sampai mata air. Mereka menjadi penjelajah hutan menyusuripinggiran sungai ke arah hulu untuk menemukan mata air sungai, hanya berebekal peralatan sederhana dan ringan yang dibawa, seperti alat-alat pertanian dan perlengkapan memasak,alat berburu dan berbekal bibit keladi (Colocasia antiquorum) dan ubi jalar (Dioscorea esculanta). Sambil menyusuri pinggiran sungai menuju hilir, mereka juga menanam keladi dan ubi jalar, sehingga mereka tidak akan pernah kehabisan bahan makanan, karena mereka terus membangun lumbung bahan makanan sepanjang perjalanan menuju hulu sungai.
Tradisi lain suku bangsa Galuh yang diwarisi dari leluhurnya di Lembah Sungai Mekong, Vietnam adalah membangun pemukinan dan pusat pemerintahan di muara sungai dan di hilir sungai, sesuai dengan filosofi dan pandangan hidup mereka yang menganut sungai sebagai asas ibu dan gunung sebagai asas bapak. Mata air sungai-sungai besar di kaki gunung mereka anggap pusat jati diri mereka, asal muasal mereka sebagai putra-putra sungai, sebab di situlah Sang Ibu dan Sang Bapak bertemu dan memadu kasih yang telah melahirkan leluhur mereka. Gagasan ini melahirkan konsep yang menganggap gunung, mata air di kaki gunung, dan sungai yang mengalir dari padanya sebagai sesuatu suci, disakralkan dan mereka puja.
Setelah berkemah beberapa hari untuk memulihkan tenaga di Karangpucung, Senna dan pasukan memulai menembus jalan setapak berlika-liku yang sekarang dikenal sebagai daerah Lumbir.Toponim Lumbir sama sekali tidak dikenal dalam kamus Jawa Banyumas maupun Sunda. Kemungkinan ketika Senna melintasi daerah ini masih berupa hutan di pinggir perbukitan yang di sepanjang kakinya banyak tumbuh pohon kelapa dan aren. Toponim Lumbir mungkin berasal dari kata limbung, berubah menjadi limbur, akhirnya berubah jadi lumbir. Arti limbung dalam bahasa Sunda adalah, “ukuran luhurna heunte ngimbangan kana gedena”. Artinya ukuran tingginya tidak sama dengan besarnya. Bisa jadi lumbir melukiskan pohon kelapa yang sudah lama tidak dipetik, buahnya banyak yang bergelantungan, sehingga tidak seimbang dengan tinggi pohonya yang kecil lurus. Atau juga bisa untuk menggambarkan pohon aren yang buahnya dan daunnya begitu rimbun dan tak seimbang dengan tinggi batangnya.
Tampaknya lumbir adalah nama untuk menyebut sebuah hutan yang kaya dengan corak pohon yang menghasilkan buah kelapa, aren dan lainnya lagi seperti digambarkan di atas. Setelah menjadi pemukiman orang memberi nama desa Lumbir. Hutan Mangli Setelah berhasil menembus hutan Lumbir, Senna dan prajurit pengawalnya istirahat lagi, sebagai persiapan untuk menempuh wilayah datar memanjang ke timur sampai akhirnya tiba di sebuah hutan yang dalam teks Babad Banyumas dikenal dengan hutan Mangli. Kosa kata mangli tidak ditemukan dalam kamus bahasa Jawa Banyumas.
Tetapi dalam kamus bahasa Sunda dikenal, kosa kata mangle, yakni tumbuhan rawa dan tepi sungai sejenis pandan yang tingginya bisa sampai dua meter, termasuk pandanaceae , masih saudaranya jauh tebu, bambu dan lainnya lagi, baunya harum semerbak, sehingga dipakai jadi nama sebuah majalah bahasa Sunda yang tetap terbit sampai sekarang, Mangle. Maksudnya mungkin majalah yang termashur karena isinya yang beraneka ragam, kebanyakan terjemahan karya sastra bermutu karangan orang-orang barat ke dalam bahasa Sunda. Dari kata mangle tadi, orang Jawa dan Banyumas mengubahnya jadi mangli, untuk menyebut nama kawasan pepohonan yang seperti jati, jambu, pohon lo yang di sekelilingnya banyak pohon pandan atau mangle.
Pohon jambu adalah pohon yang banyak dikenal oleh orang Sunda dan Jawa. Dalam kamus Bahasa Sunda dikenal banyak sekali nama jambu, misalnya: jambu batu, jambu dipa, jambu bol, jambu aer, jambu monyet, jambu dehem, jambu batu atau jambu kulutuk. Ada lagi sejenis jambu aer yang warnanya merah. Orang Sunda menyebutnya jambu Samarang. Mungkin jambu Samarang ini yang disebu jambu mangli oleh orang Jawa. Orang Sunda maupun orang Jawa, sama-sama mengenal kosa kata lawang. Tetapi toponim Jatilawang belum terbentuk pada abad ke-8 M. Sebelum toponim Jatilawang, namanya Jambu. bisa jadi dahulu bernama Karangjambu atau Cijambu. Sebab di sebelah barat hutan Lumbir terdapat toponim Karangpucung dan Cimanggu. Pucung dan manggu alias manggis, seperti halnya jambu, menunjukkan nama pohon tanaman keras. Besar kemungkinan pola vegetasi hutan ketika perjalanan Senna semakin mendekati Sungai Serayu merupakan hutan dengan pola yang unik, sehingga disebut hutan Mangle.
Hutan Mangle yang dilihat Senna dan anak buahnya ketika dia bergerak melintasi Rawalo sampai tiba di tepi Sungai Serayu, bisa jadi sama dengan Raden Patah ketika melihat banyak tumbuhan glagah yang menempati wilayah luas di Bintaran. Tumbuhan glagah yang meluas itu dalam Babad Pajang disebut hutan Glagah, tempat Raden Patah dan anak buahnya kemudian membangun sebuah kadipaten yang diberi nama Kadipaten Bintara. Demikian pula Senna dan pengawalnya, memberi nama hutan yang dipenuhi pohon mangle itu sebagai hutan Mangle. Glagah sama dengan mangle bukan tanaman keras, tetapi tanaman Graminae.
Hutan Mangle adalah hutan rimbun dengan banyak tanaman mangle yang tumbuh mengisi sela-sela pohonan dengan tanaman keras seperti jambu, pucung, manggu atau manggis, jati, lo, kandaga, dan lainnya lagi. Jalan lurus Jatilawang – Rawalo- Jembatan Cindaga, dapat dipastikan pada abad ke-8 M, masih merupakan jalan selebar beberapa meter yang menyusuri tepi hutan yang ada di sisi utara yang berupa hutan Mangle dengan tanaman keras paling dominan adalah jambu dan pohon lo. Sedang di sebelah selatan jalan merupakan bentangan rawa luas dengan aneka tumbuhan rawa, seperti bakau atau mangrove, bahan pembuat tikar dan atap kajang,. Kondisi topografi Rawalo ketika Senna dan pengawalnya melintasi daerah itu, bisa diperbandingkan dengan topografi Patimuan-Rawaapu-Cintaduy dan Kalipucang yang pada awal tahun 1970 masih dapat disaksikan orang. Konon pada tahun 1970 M, jika orang menuju Pangandaran dari Sidareja-Kedungreja-Patimuan-Rawaapu-Kalipucang, dan tiba di Pangandaran, jalan itu masih membelah daerah rawa, di kanan dan kirinya dengan aneka tumbuhan rawa. Sekarang rawa-rawadi sepanjang jalur Sidareja Patimuan-Rawaapu-Citanduy–Kalipucang, sudah banyak yang berubah jadi pemukiman penduduk.
Demikian pula sisa-sisa kondisi geografi Jatilawang – Rawalo pada abad ke-8 M, sudah tidak mungkin bisa kita lihat lagi pada jaman sekarang ini. Jatilawang dan Rawalo sudah berubah jadi Kota Kecamatan yang terus-menerus menggeliat menuju masyarakat dengan pola masyarakat kota. Hutan Mangle yang dilewai Senna dan prajurit pengawalnya, meliputi areal yang sangat luas. Bukan hanya mencapai sisi barat Sungai Serayu, tapi juga mencapai sisi timur Sungai Serayu membentang dari selatan ke utara, dari Cindaga sampai Pertemuan Sungai Serayu dan Pasinggangan. Sebab habitat utama mangle memang pinggir rawa dan pinggir sungai. Hanya tanaman keras yang tumbuh di sisi timur Serayu rupanya mulai mengalami perubahan, karena perubahan struktur tanah yang semakin mendekati kaki pegunungan Serayu. Pohon jambu dan lo nampaknya mulai berkurang. Tetapi pohon jati, kandaga, asam, bambu dan lainnya lagi mulai bermunculan dengan pohon mangle tetap secara dominan memenuhi tempat di antara sela-sela pohon keras terebut.
Ketika orang Jawa Majapahit-Demak-Pajang-Mataram mulai berkuasa di daerah itu, lalu berakulturasi dan berasosiasi melalui perkawinan campur dengan orang Sunda Galuh Lembah Serayu, nama hutan mangle berubah jadi hutan Mangli. Demikianlah kosa kata banyumas, dawuhan, dan kalibening, seperti halnya kosa kata mangli, merupakan kosa kata Jawa, yang merupakan transliteralisasi dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa. Nama desa yang benar-benar baru dan bukan hasil alih bahasa dari bahasa Sunda ke Jawa tampaknya adalah desa Papringan. Orang Sunda menyebut bambu atau pring dalam bahasa Jawa, adalah awi. Tidak adanya toponim dengan kata awi, bukan berarti di sepanjangtepi timur Serayu tidak ada pohon awi.
Perkemahan Sang Senna
Begitu tiba di tepi sungai besar yang setara dengan Citanduy, Senna dan pengikutnya langsung bersorak kegirangan. Mereka yakin akan selamat dari kejaran Purbasora. Senna pun memimpin mereka menyeberangi sungai dan mendarat dengan mudah di pinggir timur sungai yang banyak ditumbuhi pohon kandaga, dengan tetap di sela-selanya banyak ditumbuhi pohon mangle. Adanya pohon kandaga di tepi sungai dengan di selang-selingi pohon mangle, jelas merupakan tempat rimbun dan nyaman sebagaisuatu tempat berlindungdan bersembunyi dari kemungkinan dikejar pasukan Purbasora. Lagi pula mitos sungai sebagai sesuatu yang suci sebagai bagian dari tradisi leluhur bangsa Galuh, memudahkan Senna untuk menyelamatkan diri.
Andaikata pasukan Purbasora berhasil mengejar Senna sampai tepi sungai, pasukan pengejar itu tidak akan berani menyeberangi sungai. Sebab berperang di sekitar sungai yang dianggap suci, merupakan suatu pamali atau tabu. Mereka yang berani menyeberang, akan bernasib malang, sial dan mereka percaya siapa yang menyeberang sungai suci untuk mengalahkan musuh dengan mudah akan dapat dikalahkan musuhnya. Itulah sebabnya, Senna langsung memberi nama sungai suci itu Ciserayu, dari kata Sirrhayu yang artinya selamat. Senna dan anak buahnya telah berhasil diselamatkan sungai suci yang bermata air di kaki Gunung Dieng. Bukan mustahil ketika akan memberikan nama Ciserayu, Senna ingat nama sungai Serayu dalam kisah Mahabharata. Senna pun mengidentifikasikan dirinya sebagai Sang Bima yang dalam Mahabharata dimitoskan sebagai tokoh yang telah membangun Narmada Serayu beserta adiknya, Arjuna.
Senna sendiri memberikan nama kepada putranya, Sanjaya, sebuah nama lain dari Arjuna dalam Mahabharata. Secara tidak sadar dengan memberikan nama sungai Ciserayu, Senna telah memulai tradisi memindahkan kisah Mahabharata dari tanah Hindu ke tanah Jawa. Tradisi Senna ini kelak diikuti oleh para pujangga Jawa, khususnya pujangga kraton Surakarta, yang mengganggap mereka adalah keturunan Pandawa lewat Parikesit yang juga dianggap telah menurunkan Raja Jayabaya dari Kediri. Tradisi sastra Galuh Kawali sebenarnya memang lebih banyak dipengaruhi Mahabharata dari pada Ramayana. Sedangkan tradisi sastra Kerajaan Jawa pada mulanya lebih banyak dipengaruhi Ramayana. Hal ini bukan berarti kerajaan-kerajaan Jawa tidak mengenal Mahabharata atau kerajaan-kerajaan Sunda tidak mengenal Ramayana. Kerajaan Tarumanegara adalah Kerajaan Sunda yang memeluk agama Wisnu, tentu saja mengenal dengan baik Ramayana. Demikian pula banyak pujangga Jawa yang menggubah episode-episode Mahabharata, seperti Hariwangsa, Gatotkacasraya, Bharatayudha, Arjuna Wiwaha dan lainnya lagi. Hanya saja pengaruh sastra Mahabharata dilingkungan kerajaan Jawa memang semakin intensif setelah Kerajaan Singasari dan Majapahit berkuasa di Jawa Timur, sebab Kerajaan Singasari dan Majapahit telah beralih memeluk agama Syiwa, mengikuti jejak Kerajaan Galuh dan Pajajaran yang lebih dulu memeluk agama Syiwa. Sedangkan kerajaan wangsa Isyana, Kahuripan dan Kediri Lama memeluk agama Wisnu, mengikuti jejak Kalingga dan Tarumanegara yang lebih dahulu menjadi penganut agama Wisnu.
Ketika Senna akan melanjutkan tradisi leluhurnya menyusuri hutan Mangle di pinggir timur sungai Ciserayu ke arah hilir, tiba-tiba dijumpainya sungai Pasinggangan yang bertemu dengan sungai Banyumas. Tempat pertemuan dua sungai semacam itu dalam tradisi leluhur bangsa Galuh, merupakan suatu tempat istimewa yang memiliki daya ghaib, sehingga sangat sayang jika ditinggalkan begitu saja. Lebih-lebih Senna memang dalam posisi memerlukan daya ghaib. Bukan hanya agar selamat dari kejaran musuhnya. Tetapi juga agar dapat membalas dendam dan merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan ayahnya yang lepas diambil secara paksa oleh Purbasora.
Senna segera menyeberangi Sungai Pasinggangan dan memutuskan membangun perkemahan untuk menetap sementara waktu di sebelah timur pertemuan sungai Pasinggangan dengan anak sungainya yang kelak dikenal sebagai sungai Banyumas. Paling tidak Senna akan menetap selama tiga bulan atau 100 hari jika digunakan angka mistik untuk memperoleh daya gaib di tempat pertemuan dua sungai semacam itu. Seratus hari juga merupakan waktu yang memadai untuk membangun lumbung makanan dengan bertanam keladi, ketela rambat, jagung, dan padi lahan kering atau gaga dan sayur-sayurandi sekitar perkemahan. Sebab setelah seratus hari tanaman yang mudah ditanam itu dapat dipanen sehinggga dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju hilir sungai Serayu. Senna dan prajuritnya juga punya cukup waktu untuk membuat rakit, pelampung, kail untuk menangkap ikan, bahkan tombak kayu atau bambu untuk melumpuhkan buaya.
Semua bahan bahan itu dengan mudah bisa diperoleh dari wilayah di sekitar mereka berkemah. Pohon bambu nampaknya juga cukup banyak. Aktivitas Senna selama tinggal sementara waktu di perkemahannya, selain memimpin anak buahnya bercocok tanam, membuat rakit dan melatih ketrampilan bela diri, adalah bersamadhi di tempat-tempat sunyi .agar daya ghaib alam sekitarnya dapat diserap oleh dirinya. Konsep wahyu mungkin belum dikenal Senna dan para prajurit pengawalnya. Tetapi kepercayaan adanya tempat-tempat suci dan memiliki daya ghaib, sudah mereka kenal sebagai ajaran warisan leluhurnya. Dapat dipastikan Senna dan anak buahnya berusaha bergerak ke arah hilir sungai Pasinggangan maupun sungai Banyumas untuk menemukan mata air ke dua sungai itu dan juga untuk menemukan mata air dari setiap anak sungai Serayu yang ditemukan di situ. Besar kemungkinan Sumber Tirthas atau Sumur Pasucen di Kompleks Pemakaman Kalibening itu sudah ditemukan Senna dan anak buahnya.
Senna yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Bima, dalam samadhinya membayangkan berjumpa dengan Sang Guru Dahyang Drona. Dahyang Drona telah memuji Bima dan Arjuna karena berhasil membangun sungai yang indah Narmada Serayu dengan anak sungainya. Sebagai ganjaran kepada Bima, Dahyang Drona siap mengajarkan ilmu kepada Bima, tetapi Bima diharuskan mencari lebih dahulu air suci Tirta Pawitra. Tirta artinya air, pawitra artinya suci. Jadi Tirta Pawitra artinya, air yang mahasuci. Berkat petunjuk gurunya itu, Bima akhirnya mendapat ilmu pelepasan. Bukan dari Dahyang Drona memang tapi dariSang Acintya, Dia yang tak telukiskan.. Setelah mendapat ilmu pelepasan itu, Bima menjadi manusia yang sakti, suci dan kekasih para dewa. Bima lalu melanjutkan pergi bertapa ke Pertiwijati. Bima sangat berterimakasih pada gurunya Dahyang Drona. Sebab tanpa petunjuk Dahyang Drona Bima tidak mungkin betemu dengan Sang Acintya yang telah mengajarkan kepadanya ilmuasal muasal manusia, moksa, dan visi tat twam asi.
Dengan bersamadhi di tempat yang memiliki daya ghaib itu dan membayangkan perjalanan Bima berguru pada Dahyang Drona, Senna memang berharap bisa menyadap daya-daya ghaib alam sekitarnya yang disakralkan sehingga dia pun menjadi sakti dan dekat dengan para dewa. Dalam posisi menjadi kekasih dewa itu, Senna berharap keinginanya untuk memperoleh kembali tahtanya yang hilang mendapat perkenan dan bantuan para dewa. Selesai menjalankan samadhai dan berkemah kurang lebih tiga bulan atau 100 hari, Senna dan anak buahnya melanjutkan petualangannya menyusuri Sungai Serayu menuju tempat suci berikutnya yaitu mata air sungai Serayu. Sebagai putra-putra sungai, Senna dan anak buahnya tidak mengalami kesulitan jika dia harus menyusuriSungai Serayu ke arah hulu. Leuhur mereka adalah pencipta peradaban sungai dan pantai.
Aneka macam jenis alat angkutan air dari yang hanya untuk mengangkut satu atau beberapa orang sampai membuat rakit yang mampu menyeberangkan gajah, mereka sudah mampu membuatnya. Demikianlah juga Senna dan anak buahnya. Mereka dipecah-pecah jadi kelompok-kelompok kecil yang bergerak di atas rakit bambu yang dengan lincah mampu mengarungi Sungai Serayu dengan melawan arus. Tentu perjalannya selang seling antara jalan darat dan jalan sungai tergantung keadaan medan. Lagi pula rakit yang dibuatnya dengan mudah bisa diangkat ke darat. Dalam perjalanannya menyusuri Sungai Serayu ke arah hulu, dapat dipastikan Senna akan berjumpa dengan muara Sungai Klawing. Sungai Klawing sering disebut sebagai Sungai Cingcinggoling. Kata Cingcinggoling berasal dari kata cicing yang artinya diam dan goling yang artinya berputar. Jadi Cingcinggolingadalah permukaan air yang diam tapi berputar, yang menunjukkan muara sungai Klawing ketika masuk Sungai Serayu, membentuk pusaran air yang bergerak di tempat. Tradisi Kerajaan Galuh Kawali, nampaknya juga mengenal dengan baik Sungai Cingcinggoling. Dalam pantun Sunda Lutung Kasarung dikisahkan mengenai sebuah kedung dari sebuah sungai. Kedung itu disebut kedung Sipatahunan. Kedung Sipatahunan jelas terletak di Sungai Cingcinggoling dan bukan di Sungai Logawa.
Setelah menempuh perjalanan yang rumit, panjang, dan sukar, akhirnya Senna dan anak buahnya tiba di kaki Gunung Dieng di depan mata air Sungai Serayu. Di situ kembali Senna berkemah dan bersamadhi, seperti halnya Bima yang juga bertapa di Pertiwijati, setelah berguru kepada Dhyang Drona di Padepokan Sokalima. Kelak Rake Sanjaya mengenang petualangan ayahnya menyusuri Sungai Serayu dari Cindaga sampai di kaki Gunung Dieng atau Parahiyangan itu, dengan membuatkan patung Bima Lukar yang ditempatkan di salah satu mata air Sungai Serayu, sebagai bentuk pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa, Dewa Indra, Dewa Bayu dan Dewa Brahma sekaligus.
Lingga Bima yang sengaja diperlihatkan secara menyolok itu melambangkan Dewa Syiwa yang sedang di puja Senna. Nama Bima sendiri mengandung arti, dia yang menakutkan, sebuah epitet Dewa Syiwa. Bima juga dianggap putra Dewa Angin atau Bayu. Dewa Bayu merupakan pasangan Dewa Indra, dewa pencipta awan dan hujan, tetapi juga dewa yang dipuja Arjuna atau Sanjaya. Dewa Indra juga disimbolkan sebagai pencipta mata air sungai Serayu. Sedang Dewa Brahma, adalah Dewa Api, simbol energi Bima yang luar biasa, tetapi juga simbol api dari kawah Gunung Dieng.
Demikianlah penempatan patung Bima Lukar, melukiskan perjuangan Senna memohon perlindungan para dewa yang dipuja itu agar melindungi perjuangan Senna-Sanjaya yang berniat membangun Kerajaan Mataram Hindu di sekitar tempat itu. Dengan demikian penempatan patung Bima Lukar itu juga semacam peletakan batu pertama pembangunan dinasti baru Kerajaan Mataram Hindu. Carita Parahiyangan menyebutkan bahwa Senna melanjutkan perjalannya menuju Merapi-Merbabu. Penulis Carita Parahiyangan mungkin tertukar antara kisah Sanjaya dan kisah Senna. Bukan Senna yang mengunjungi Merapi-Merbabu, tetapi Sanjaya ketika pusat Kerajaan Mataram Hindu yang berpindah-pindah itu, mulai pindah ke wilayah sebelah timur Gunung Dieng. Kemana Senna setelah selesai bersamadhi di kaki Gunung Dieng yang oleh van der Meulen disebutnya sebagai wilayah dari para dahyang atau parahiyangan yang sebenarnya?
Naskah Wangsakerta mungkin benar jika menyebutkan bahwa ketika berpetualang itu Senna sudah punya putra dengan adik tirinya Sannaha, cucu Ratu Sima yang tinggal di Kalingga. Sannaha itu bagi Rake Sanjaya atau Rakean Jambri adalah ibu sekaligus juga bibi. Demikian pula Senna, dapat disebut ayah, tetapi dapat disebut juga paman. Sebab dari sudut Sannaha, Senna adalah kakak titinya, satu ayah beda ibu. Sanna dan Sannaha memang melakukan proses perkawinan Manu. Rake Sanjaya disebut juga Rakean Jambri, yang berarti pemuda pemilik rambut yang menutupi dahi. Mungkin sebuah mitos untuk menunjukkan bahwa putra Senna-Sannaha yang diperoleh dari hasil perkawinan Manu itu memiliki daya ghaib dan kesaktian luar biasa yang terletak pada rambutnya.
Karena menurut van der Meulen letak Kerajaan Kalingga di Grobogan, Purwodadi arah timur laut Dieng, tentu ke sanalah Senna melanjutkan perjalannya setelah memohon pertolongan para dewa yang bersemayam di Parahiyangan atau dataran tinggi Dieng. Kedatangan Senna di Kalingga tentu untuk meminta pertolongan istrinya dan anaknya merebut kembali tahta Kerajaan Galuh yang telah lepas dari tangannya. Van der Meulen menduga Senna tak lama kemudian mangkat, sehingga Carita Parahiyangan lebih banyak berkisah perjuangan Rake Sanjaya dari pada Senna. Rake Sanjaya berhasil membangun Kerajaan Mataram Hindu, kemudian bergerak ke barat untuk menundukkan kerajaan Galuhyang berada di bawah kendali Purbasora. Perang Mataram – Galuh pun pecah. Sebuah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Galuh. Rake Sanjaya mengambil alih perjuangan Senna dan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan leluhurnya.[bersambung]
Baca artikel selanjutnya, Sejarah Situs Kota Banyumas 06
Ternyata Senna memang cerdas. Dia tidak ke Cipari, tetapi memilih meneruskan perjalanan menembus jalan setapak di tengah hutan, sebelum akhirnya tiba di Cimanggu alias Desa Manggis. Cimanggu juga sudah dikenal pada abad ke- 8 M. Majenang malah belum dikenal. Toponim Majenang dan Madura, baru terbentuk pada abad ke-17 M, ketika Mataram berekaspansi ke barat untuk menaklukan Dayeuhluhur dan Galuh. Toponim Majenang, Wanareja dan Madura adalah toponim Jawa, sehingga mudah disimpulkan desa-desa itu adalah bentukan orang Jawa Mataram.
Tibalah Senna di Cimanggu, sebuah desa makmur yang dapat dipastikan perangkat desanya akan menyambut dan membantu Senna. Bagaimanapun Senna adalah Raja Galuh yang bertahta selama tujuh tahun. Mustahil rakyat Cimanggu tidak mengenalnya. Senna bisa jadi istirahat di Cimanggu hanya semalam dan esok harinya melanjutkan pelarian ke timur dan tiba di Karangpucung. Karangpucung sama dengan Cimanggu, desa kuno yang sudah dikenal pada abad ke-8 M. Besar kemungkinan di Karangpucung, Senna berkemah 2-3 hari, sebagai persiapan menembus hutan dengan jalan setapak, berkelak kelok, tetapi sangat menyenangkan karena di situ banyak tumbuh pohon kelapa dan pohon aren, sumber energi yang penting bagi para petualang dan penjelajah hutan.
Leluhur Senna adalah Bangsa Galuh, putra-putra sungai pencipta kebudayaan muara sungai dan hilir sungai. Leluhur Senna adalah penjelajah hutan dan penyusur sungai dari hilir ke hulu yang gagah berani dan pantang menyerah. Mereka memiliki ketrampilan menjelajah hutan, menyusuri sungai dari muara sampai mata air. Mereka menjadi penjelajah hutan menyusuripinggiran sungai ke arah hulu untuk menemukan mata air sungai, hanya berebekal peralatan sederhana dan ringan yang dibawa, seperti alat-alat pertanian dan perlengkapan memasak,alat berburu dan berbekal bibit keladi (Colocasia antiquorum) dan ubi jalar (Dioscorea esculanta). Sambil menyusuri pinggiran sungai menuju hilir, mereka juga menanam keladi dan ubi jalar, sehingga mereka tidak akan pernah kehabisan bahan makanan, karena mereka terus membangun lumbung bahan makanan sepanjang perjalanan menuju hulu sungai.
Tradisi lain suku bangsa Galuh yang diwarisi dari leluhurnya di Lembah Sungai Mekong, Vietnam adalah membangun pemukinan dan pusat pemerintahan di muara sungai dan di hilir sungai, sesuai dengan filosofi dan pandangan hidup mereka yang menganut sungai sebagai asas ibu dan gunung sebagai asas bapak. Mata air sungai-sungai besar di kaki gunung mereka anggap pusat jati diri mereka, asal muasal mereka sebagai putra-putra sungai, sebab di situlah Sang Ibu dan Sang Bapak bertemu dan memadu kasih yang telah melahirkan leluhur mereka. Gagasan ini melahirkan konsep yang menganggap gunung, mata air di kaki gunung, dan sungai yang mengalir dari padanya sebagai sesuatu suci, disakralkan dan mereka puja.
Setelah berkemah beberapa hari untuk memulihkan tenaga di Karangpucung, Senna dan pasukan memulai menembus jalan setapak berlika-liku yang sekarang dikenal sebagai daerah Lumbir.Toponim Lumbir sama sekali tidak dikenal dalam kamus Jawa Banyumas maupun Sunda. Kemungkinan ketika Senna melintasi daerah ini masih berupa hutan di pinggir perbukitan yang di sepanjang kakinya banyak tumbuh pohon kelapa dan aren. Toponim Lumbir mungkin berasal dari kata limbung, berubah menjadi limbur, akhirnya berubah jadi lumbir. Arti limbung dalam bahasa Sunda adalah, “ukuran luhurna heunte ngimbangan kana gedena”. Artinya ukuran tingginya tidak sama dengan besarnya. Bisa jadi lumbir melukiskan pohon kelapa yang sudah lama tidak dipetik, buahnya banyak yang bergelantungan, sehingga tidak seimbang dengan tinggi pohonya yang kecil lurus. Atau juga bisa untuk menggambarkan pohon aren yang buahnya dan daunnya begitu rimbun dan tak seimbang dengan tinggi batangnya.
Tampaknya lumbir adalah nama untuk menyebut sebuah hutan yang kaya dengan corak pohon yang menghasilkan buah kelapa, aren dan lainnya lagi seperti digambarkan di atas. Setelah menjadi pemukiman orang memberi nama desa Lumbir. Hutan Mangli Setelah berhasil menembus hutan Lumbir, Senna dan prajurit pengawalnya istirahat lagi, sebagai persiapan untuk menempuh wilayah datar memanjang ke timur sampai akhirnya tiba di sebuah hutan yang dalam teks Babad Banyumas dikenal dengan hutan Mangli. Kosa kata mangli tidak ditemukan dalam kamus bahasa Jawa Banyumas.
Tetapi dalam kamus bahasa Sunda dikenal, kosa kata mangle, yakni tumbuhan rawa dan tepi sungai sejenis pandan yang tingginya bisa sampai dua meter, termasuk pandanaceae , masih saudaranya jauh tebu, bambu dan lainnya lagi, baunya harum semerbak, sehingga dipakai jadi nama sebuah majalah bahasa Sunda yang tetap terbit sampai sekarang, Mangle. Maksudnya mungkin majalah yang termashur karena isinya yang beraneka ragam, kebanyakan terjemahan karya sastra bermutu karangan orang-orang barat ke dalam bahasa Sunda. Dari kata mangle tadi, orang Jawa dan Banyumas mengubahnya jadi mangli, untuk menyebut nama kawasan pepohonan yang seperti jati, jambu, pohon lo yang di sekelilingnya banyak pohon pandan atau mangle.
Pohon jambu adalah pohon yang banyak dikenal oleh orang Sunda dan Jawa. Dalam kamus Bahasa Sunda dikenal banyak sekali nama jambu, misalnya: jambu batu, jambu dipa, jambu bol, jambu aer, jambu monyet, jambu dehem, jambu batu atau jambu kulutuk. Ada lagi sejenis jambu aer yang warnanya merah. Orang Sunda menyebutnya jambu Samarang. Mungkin jambu Samarang ini yang disebu jambu mangli oleh orang Jawa. Orang Sunda maupun orang Jawa, sama-sama mengenal kosa kata lawang. Tetapi toponim Jatilawang belum terbentuk pada abad ke-8 M. Sebelum toponim Jatilawang, namanya Jambu. bisa jadi dahulu bernama Karangjambu atau Cijambu. Sebab di sebelah barat hutan Lumbir terdapat toponim Karangpucung dan Cimanggu. Pucung dan manggu alias manggis, seperti halnya jambu, menunjukkan nama pohon tanaman keras. Besar kemungkinan pola vegetasi hutan ketika perjalanan Senna semakin mendekati Sungai Serayu merupakan hutan dengan pola yang unik, sehingga disebut hutan Mangle.
Hutan Mangle yang dilihat Senna dan anak buahnya ketika dia bergerak melintasi Rawalo sampai tiba di tepi Sungai Serayu, bisa jadi sama dengan Raden Patah ketika melihat banyak tumbuhan glagah yang menempati wilayah luas di Bintaran. Tumbuhan glagah yang meluas itu dalam Babad Pajang disebut hutan Glagah, tempat Raden Patah dan anak buahnya kemudian membangun sebuah kadipaten yang diberi nama Kadipaten Bintara. Demikian pula Senna dan pengawalnya, memberi nama hutan yang dipenuhi pohon mangle itu sebagai hutan Mangle. Glagah sama dengan mangle bukan tanaman keras, tetapi tanaman Graminae.
Hutan Mangle adalah hutan rimbun dengan banyak tanaman mangle yang tumbuh mengisi sela-sela pohonan dengan tanaman keras seperti jambu, pucung, manggu atau manggis, jati, lo, kandaga, dan lainnya lagi. Jalan lurus Jatilawang – Rawalo- Jembatan Cindaga, dapat dipastikan pada abad ke-8 M, masih merupakan jalan selebar beberapa meter yang menyusuri tepi hutan yang ada di sisi utara yang berupa hutan Mangle dengan tanaman keras paling dominan adalah jambu dan pohon lo. Sedang di sebelah selatan jalan merupakan bentangan rawa luas dengan aneka tumbuhan rawa, seperti bakau atau mangrove, bahan pembuat tikar dan atap kajang,. Kondisi topografi Rawalo ketika Senna dan pengawalnya melintasi daerah itu, bisa diperbandingkan dengan topografi Patimuan-Rawaapu-Cintaduy dan Kalipucang yang pada awal tahun 1970 masih dapat disaksikan orang. Konon pada tahun 1970 M, jika orang menuju Pangandaran dari Sidareja-Kedungreja-Patimuan-Rawaapu-Kalipucang, dan tiba di Pangandaran, jalan itu masih membelah daerah rawa, di kanan dan kirinya dengan aneka tumbuhan rawa. Sekarang rawa-rawadi sepanjang jalur Sidareja Patimuan-Rawaapu-Citanduy–Kalipucang, sudah banyak yang berubah jadi pemukiman penduduk.
Demikian pula sisa-sisa kondisi geografi Jatilawang – Rawalo pada abad ke-8 M, sudah tidak mungkin bisa kita lihat lagi pada jaman sekarang ini. Jatilawang dan Rawalo sudah berubah jadi Kota Kecamatan yang terus-menerus menggeliat menuju masyarakat dengan pola masyarakat kota. Hutan Mangle yang dilewai Senna dan prajurit pengawalnya, meliputi areal yang sangat luas. Bukan hanya mencapai sisi barat Sungai Serayu, tapi juga mencapai sisi timur Sungai Serayu membentang dari selatan ke utara, dari Cindaga sampai Pertemuan Sungai Serayu dan Pasinggangan. Sebab habitat utama mangle memang pinggir rawa dan pinggir sungai. Hanya tanaman keras yang tumbuh di sisi timur Serayu rupanya mulai mengalami perubahan, karena perubahan struktur tanah yang semakin mendekati kaki pegunungan Serayu. Pohon jambu dan lo nampaknya mulai berkurang. Tetapi pohon jati, kandaga, asam, bambu dan lainnya lagi mulai bermunculan dengan pohon mangle tetap secara dominan memenuhi tempat di antara sela-sela pohon keras terebut.
Ketika orang Jawa Majapahit-Demak-Pajang-Mataram mulai berkuasa di daerah itu, lalu berakulturasi dan berasosiasi melalui perkawinan campur dengan orang Sunda Galuh Lembah Serayu, nama hutan mangle berubah jadi hutan Mangli. Demikianlah kosa kata banyumas, dawuhan, dan kalibening, seperti halnya kosa kata mangli, merupakan kosa kata Jawa, yang merupakan transliteralisasi dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa. Nama desa yang benar-benar baru dan bukan hasil alih bahasa dari bahasa Sunda ke Jawa tampaknya adalah desa Papringan. Orang Sunda menyebut bambu atau pring dalam bahasa Jawa, adalah awi. Tidak adanya toponim dengan kata awi, bukan berarti di sepanjangtepi timur Serayu tidak ada pohon awi.
Perkemahan Sang Senna
Begitu tiba di tepi sungai besar yang setara dengan Citanduy, Senna dan pengikutnya langsung bersorak kegirangan. Mereka yakin akan selamat dari kejaran Purbasora. Senna pun memimpin mereka menyeberangi sungai dan mendarat dengan mudah di pinggir timur sungai yang banyak ditumbuhi pohon kandaga, dengan tetap di sela-selanya banyak ditumbuhi pohon mangle. Adanya pohon kandaga di tepi sungai dengan di selang-selingi pohon mangle, jelas merupakan tempat rimbun dan nyaman sebagaisuatu tempat berlindungdan bersembunyi dari kemungkinan dikejar pasukan Purbasora. Lagi pula mitos sungai sebagai sesuatu yang suci sebagai bagian dari tradisi leluhur bangsa Galuh, memudahkan Senna untuk menyelamatkan diri.
Andaikata pasukan Purbasora berhasil mengejar Senna sampai tepi sungai, pasukan pengejar itu tidak akan berani menyeberangi sungai. Sebab berperang di sekitar sungai yang dianggap suci, merupakan suatu pamali atau tabu. Mereka yang berani menyeberang, akan bernasib malang, sial dan mereka percaya siapa yang menyeberang sungai suci untuk mengalahkan musuh dengan mudah akan dapat dikalahkan musuhnya. Itulah sebabnya, Senna langsung memberi nama sungai suci itu Ciserayu, dari kata Sirrhayu yang artinya selamat. Senna dan anak buahnya telah berhasil diselamatkan sungai suci yang bermata air di kaki Gunung Dieng. Bukan mustahil ketika akan memberikan nama Ciserayu, Senna ingat nama sungai Serayu dalam kisah Mahabharata. Senna pun mengidentifikasikan dirinya sebagai Sang Bima yang dalam Mahabharata dimitoskan sebagai tokoh yang telah membangun Narmada Serayu beserta adiknya, Arjuna.
Senna sendiri memberikan nama kepada putranya, Sanjaya, sebuah nama lain dari Arjuna dalam Mahabharata. Secara tidak sadar dengan memberikan nama sungai Ciserayu, Senna telah memulai tradisi memindahkan kisah Mahabharata dari tanah Hindu ke tanah Jawa. Tradisi Senna ini kelak diikuti oleh para pujangga Jawa, khususnya pujangga kraton Surakarta, yang mengganggap mereka adalah keturunan Pandawa lewat Parikesit yang juga dianggap telah menurunkan Raja Jayabaya dari Kediri. Tradisi sastra Galuh Kawali sebenarnya memang lebih banyak dipengaruhi Mahabharata dari pada Ramayana. Sedangkan tradisi sastra Kerajaan Jawa pada mulanya lebih banyak dipengaruhi Ramayana. Hal ini bukan berarti kerajaan-kerajaan Jawa tidak mengenal Mahabharata atau kerajaan-kerajaan Sunda tidak mengenal Ramayana. Kerajaan Tarumanegara adalah Kerajaan Sunda yang memeluk agama Wisnu, tentu saja mengenal dengan baik Ramayana. Demikian pula banyak pujangga Jawa yang menggubah episode-episode Mahabharata, seperti Hariwangsa, Gatotkacasraya, Bharatayudha, Arjuna Wiwaha dan lainnya lagi. Hanya saja pengaruh sastra Mahabharata dilingkungan kerajaan Jawa memang semakin intensif setelah Kerajaan Singasari dan Majapahit berkuasa di Jawa Timur, sebab Kerajaan Singasari dan Majapahit telah beralih memeluk agama Syiwa, mengikuti jejak Kerajaan Galuh dan Pajajaran yang lebih dulu memeluk agama Syiwa. Sedangkan kerajaan wangsa Isyana, Kahuripan dan Kediri Lama memeluk agama Wisnu, mengikuti jejak Kalingga dan Tarumanegara yang lebih dahulu menjadi penganut agama Wisnu.
Ketika Senna akan melanjutkan tradisi leluhurnya menyusuri hutan Mangle di pinggir timur sungai Ciserayu ke arah hilir, tiba-tiba dijumpainya sungai Pasinggangan yang bertemu dengan sungai Banyumas. Tempat pertemuan dua sungai semacam itu dalam tradisi leluhur bangsa Galuh, merupakan suatu tempat istimewa yang memiliki daya ghaib, sehingga sangat sayang jika ditinggalkan begitu saja. Lebih-lebih Senna memang dalam posisi memerlukan daya ghaib. Bukan hanya agar selamat dari kejaran musuhnya. Tetapi juga agar dapat membalas dendam dan merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan ayahnya yang lepas diambil secara paksa oleh Purbasora.
Senna segera menyeberangi Sungai Pasinggangan dan memutuskan membangun perkemahan untuk menetap sementara waktu di sebelah timur pertemuan sungai Pasinggangan dengan anak sungainya yang kelak dikenal sebagai sungai Banyumas. Paling tidak Senna akan menetap selama tiga bulan atau 100 hari jika digunakan angka mistik untuk memperoleh daya gaib di tempat pertemuan dua sungai semacam itu. Seratus hari juga merupakan waktu yang memadai untuk membangun lumbung makanan dengan bertanam keladi, ketela rambat, jagung, dan padi lahan kering atau gaga dan sayur-sayurandi sekitar perkemahan. Sebab setelah seratus hari tanaman yang mudah ditanam itu dapat dipanen sehinggga dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju hilir sungai Serayu. Senna dan prajuritnya juga punya cukup waktu untuk membuat rakit, pelampung, kail untuk menangkap ikan, bahkan tombak kayu atau bambu untuk melumpuhkan buaya.
Semua bahan bahan itu dengan mudah bisa diperoleh dari wilayah di sekitar mereka berkemah. Pohon bambu nampaknya juga cukup banyak. Aktivitas Senna selama tinggal sementara waktu di perkemahannya, selain memimpin anak buahnya bercocok tanam, membuat rakit dan melatih ketrampilan bela diri, adalah bersamadhi di tempat-tempat sunyi .agar daya ghaib alam sekitarnya dapat diserap oleh dirinya. Konsep wahyu mungkin belum dikenal Senna dan para prajurit pengawalnya. Tetapi kepercayaan adanya tempat-tempat suci dan memiliki daya ghaib, sudah mereka kenal sebagai ajaran warisan leluhurnya. Dapat dipastikan Senna dan anak buahnya berusaha bergerak ke arah hilir sungai Pasinggangan maupun sungai Banyumas untuk menemukan mata air ke dua sungai itu dan juga untuk menemukan mata air dari setiap anak sungai Serayu yang ditemukan di situ. Besar kemungkinan Sumber Tirthas atau Sumur Pasucen di Kompleks Pemakaman Kalibening itu sudah ditemukan Senna dan anak buahnya.
Senna yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Bima, dalam samadhinya membayangkan berjumpa dengan Sang Guru Dahyang Drona. Dahyang Drona telah memuji Bima dan Arjuna karena berhasil membangun sungai yang indah Narmada Serayu dengan anak sungainya. Sebagai ganjaran kepada Bima, Dahyang Drona siap mengajarkan ilmu kepada Bima, tetapi Bima diharuskan mencari lebih dahulu air suci Tirta Pawitra. Tirta artinya air, pawitra artinya suci. Jadi Tirta Pawitra artinya, air yang mahasuci. Berkat petunjuk gurunya itu, Bima akhirnya mendapat ilmu pelepasan. Bukan dari Dahyang Drona memang tapi dariSang Acintya, Dia yang tak telukiskan.. Setelah mendapat ilmu pelepasan itu, Bima menjadi manusia yang sakti, suci dan kekasih para dewa. Bima lalu melanjutkan pergi bertapa ke Pertiwijati. Bima sangat berterimakasih pada gurunya Dahyang Drona. Sebab tanpa petunjuk Dahyang Drona Bima tidak mungkin betemu dengan Sang Acintya yang telah mengajarkan kepadanya ilmuasal muasal manusia, moksa, dan visi tat twam asi.
Dengan bersamadhi di tempat yang memiliki daya ghaib itu dan membayangkan perjalanan Bima berguru pada Dahyang Drona, Senna memang berharap bisa menyadap daya-daya ghaib alam sekitarnya yang disakralkan sehingga dia pun menjadi sakti dan dekat dengan para dewa. Dalam posisi menjadi kekasih dewa itu, Senna berharap keinginanya untuk memperoleh kembali tahtanya yang hilang mendapat perkenan dan bantuan para dewa. Selesai menjalankan samadhai dan berkemah kurang lebih tiga bulan atau 100 hari, Senna dan anak buahnya melanjutkan petualangannya menyusuri Sungai Serayu menuju tempat suci berikutnya yaitu mata air sungai Serayu. Sebagai putra-putra sungai, Senna dan anak buahnya tidak mengalami kesulitan jika dia harus menyusuriSungai Serayu ke arah hulu. Leuhur mereka adalah pencipta peradaban sungai dan pantai.
Aneka macam jenis alat angkutan air dari yang hanya untuk mengangkut satu atau beberapa orang sampai membuat rakit yang mampu menyeberangkan gajah, mereka sudah mampu membuatnya. Demikianlah juga Senna dan anak buahnya. Mereka dipecah-pecah jadi kelompok-kelompok kecil yang bergerak di atas rakit bambu yang dengan lincah mampu mengarungi Sungai Serayu dengan melawan arus. Tentu perjalannya selang seling antara jalan darat dan jalan sungai tergantung keadaan medan. Lagi pula rakit yang dibuatnya dengan mudah bisa diangkat ke darat. Dalam perjalanannya menyusuri Sungai Serayu ke arah hulu, dapat dipastikan Senna akan berjumpa dengan muara Sungai Klawing. Sungai Klawing sering disebut sebagai Sungai Cingcinggoling. Kata Cingcinggoling berasal dari kata cicing yang artinya diam dan goling yang artinya berputar. Jadi Cingcinggolingadalah permukaan air yang diam tapi berputar, yang menunjukkan muara sungai Klawing ketika masuk Sungai Serayu, membentuk pusaran air yang bergerak di tempat. Tradisi Kerajaan Galuh Kawali, nampaknya juga mengenal dengan baik Sungai Cingcinggoling. Dalam pantun Sunda Lutung Kasarung dikisahkan mengenai sebuah kedung dari sebuah sungai. Kedung itu disebut kedung Sipatahunan. Kedung Sipatahunan jelas terletak di Sungai Cingcinggoling dan bukan di Sungai Logawa.
Setelah menempuh perjalanan yang rumit, panjang, dan sukar, akhirnya Senna dan anak buahnya tiba di kaki Gunung Dieng di depan mata air Sungai Serayu. Di situ kembali Senna berkemah dan bersamadhi, seperti halnya Bima yang juga bertapa di Pertiwijati, setelah berguru kepada Dhyang Drona di Padepokan Sokalima. Kelak Rake Sanjaya mengenang petualangan ayahnya menyusuri Sungai Serayu dari Cindaga sampai di kaki Gunung Dieng atau Parahiyangan itu, dengan membuatkan patung Bima Lukar yang ditempatkan di salah satu mata air Sungai Serayu, sebagai bentuk pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa, Dewa Indra, Dewa Bayu dan Dewa Brahma sekaligus.
Lingga Bima yang sengaja diperlihatkan secara menyolok itu melambangkan Dewa Syiwa yang sedang di puja Senna. Nama Bima sendiri mengandung arti, dia yang menakutkan, sebuah epitet Dewa Syiwa. Bima juga dianggap putra Dewa Angin atau Bayu. Dewa Bayu merupakan pasangan Dewa Indra, dewa pencipta awan dan hujan, tetapi juga dewa yang dipuja Arjuna atau Sanjaya. Dewa Indra juga disimbolkan sebagai pencipta mata air sungai Serayu. Sedang Dewa Brahma, adalah Dewa Api, simbol energi Bima yang luar biasa, tetapi juga simbol api dari kawah Gunung Dieng.
Demikianlah penempatan patung Bima Lukar, melukiskan perjuangan Senna memohon perlindungan para dewa yang dipuja itu agar melindungi perjuangan Senna-Sanjaya yang berniat membangun Kerajaan Mataram Hindu di sekitar tempat itu. Dengan demikian penempatan patung Bima Lukar itu juga semacam peletakan batu pertama pembangunan dinasti baru Kerajaan Mataram Hindu. Carita Parahiyangan menyebutkan bahwa Senna melanjutkan perjalannya menuju Merapi-Merbabu. Penulis Carita Parahiyangan mungkin tertukar antara kisah Sanjaya dan kisah Senna. Bukan Senna yang mengunjungi Merapi-Merbabu, tetapi Sanjaya ketika pusat Kerajaan Mataram Hindu yang berpindah-pindah itu, mulai pindah ke wilayah sebelah timur Gunung Dieng. Kemana Senna setelah selesai bersamadhi di kaki Gunung Dieng yang oleh van der Meulen disebutnya sebagai wilayah dari para dahyang atau parahiyangan yang sebenarnya?
Naskah Wangsakerta mungkin benar jika menyebutkan bahwa ketika berpetualang itu Senna sudah punya putra dengan adik tirinya Sannaha, cucu Ratu Sima yang tinggal di Kalingga. Sannaha itu bagi Rake Sanjaya atau Rakean Jambri adalah ibu sekaligus juga bibi. Demikian pula Senna, dapat disebut ayah, tetapi dapat disebut juga paman. Sebab dari sudut Sannaha, Senna adalah kakak titinya, satu ayah beda ibu. Sanna dan Sannaha memang melakukan proses perkawinan Manu. Rake Sanjaya disebut juga Rakean Jambri, yang berarti pemuda pemilik rambut yang menutupi dahi. Mungkin sebuah mitos untuk menunjukkan bahwa putra Senna-Sannaha yang diperoleh dari hasil perkawinan Manu itu memiliki daya ghaib dan kesaktian luar biasa yang terletak pada rambutnya.
Karena menurut van der Meulen letak Kerajaan Kalingga di Grobogan, Purwodadi arah timur laut Dieng, tentu ke sanalah Senna melanjutkan perjalannya setelah memohon pertolongan para dewa yang bersemayam di Parahiyangan atau dataran tinggi Dieng. Kedatangan Senna di Kalingga tentu untuk meminta pertolongan istrinya dan anaknya merebut kembali tahta Kerajaan Galuh yang telah lepas dari tangannya. Van der Meulen menduga Senna tak lama kemudian mangkat, sehingga Carita Parahiyangan lebih banyak berkisah perjuangan Rake Sanjaya dari pada Senna. Rake Sanjaya berhasil membangun Kerajaan Mataram Hindu, kemudian bergerak ke barat untuk menundukkan kerajaan Galuhyang berada di bawah kendali Purbasora. Perang Mataram – Galuh pun pecah. Sebuah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Galuh. Rake Sanjaya mengambil alih perjuangan Senna dan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Galuh warisan leluhurnya.[bersambung]
Baca artikel selanjutnya, Sejarah Situs Kota Banyumas 06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar