“Ya, aku ijinkan
kembali ke kepatihan,” kata Kanjeng Adipati setelah diam agak lama. “Tetapi
ingatlah tugas Ki Patih paling mendesak sekarang ini. Tangkap anak angkatmu
itu. Terserah Ki Patih, bagaimana caranya. Tangkap Kamandaka hidup atau mati.
Jika memang mati, aku tidak mau tertipu lagi. Buktikan dengan jantung, hati, dan
darah Kamandaka, jika memang prajurit yang ditugaskan berhasil menewaskan
Kamandaka.”
“Baiklah Kanjeng
Adipati. Semua perintah Kanjeng Adipati akan ditindaklanjuti,” ujar Ki Patih.
Siang itu dia cepat-cepat meninggalkan Kadipaten dengan perasaan galau tidak
menentu. Bingung, sedih, malu, dan sakit hati campur aduk jadi satu.
“Benarkah Kamandaka
turunan penjahat? Bagaimana kalau ternyata dia seorang ksatria turunan
bangsawan tinggi entah dari kerajaan mana? Kecerdasannya, gagasan kreatifnya,
wawasannya, tutur katanya, mustahil dia turunan penjahat. Tetapi memang aneh.
Bila Kamandaka memang jatuh cinta pada Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, kenapa tidak
berterus terang kepadaku? Kenapa dia lebih suka menempuh jalan yang memalukan? Yaitu
jalan yang hina dan terkutuk. Jalan yang tak akan dilakukan oleh seorang
ksatria yang berwatak mulia.” kata Ki Patih dalam hati di tengah-tengah
perjalanan pulang ke Dalem Kepatihan.
Jalan yang dilaluinya
dipenuhi debu-debu yang berterbangan ditiup angin musim kemarau. Sepanjang
jalan wajah Ki Patih nampak murung, bagaikan kembang yang sudah layu. Dia masih
belum menemukan cara menangkap Kamandaka.
“Dikepung oleh ratusan
prajurit saja bisa lolos, tentu juga tidak mudah menangkap Kamandaka jika hanya
dengan mengirimkan ratusan prajurit ke Kaliwedi,” kata Ki Patih dalam benaknya.
“Pastilah cara seperti itu akan sia-sia saja. Apa lagi, kini banyak pengikutnya
yang pasti akan membelanya. Mereka, para penyadap dan petani itu pastilah akan
membelanya sekuat tenaga, atau paling tidak akan menyembunyikannya, atau
membantunya melarikan diri.”
“Duh, Dewa Yang Agung, andai
kata di kadipaten ini ada ksatria perkasa yang mampu menandingi Kamandaka,
tentulah menangkap Kamandaka bukan pekerjaan sulit. Tugasku tentu tidak akan
seberat sekarang ini,” Ki Patih merintih dalam hati di sepanjang jalan menuju
Dalem Kepatihan.
Tetapi tiba-tiba,
ketika baru menginjakkan kakinya di halaman kepatihan, Ki Patih melihat seorang
ksatria gagah perkasa meloncat turun dari kudanya. Dilihat pakaiannya, tampak
bahwa ksatria itu baru saja menempuh perjalanan jauh. Ki Patih menduga ksatria
itu dari Kadipaten Galuh. Ki Patih pun buru-buru menyambutnya dengan perasaan
gembira bercampur cemas. Sebab jangan-jangan ada kabar buruk yang menimpa
Kadipaten Galuh, Kadipaten tetangga yang sangat bersahabat. Sebab pada masa
lalu Kadipaten Galuh pernah menjadi pusat Kerajaan sebelum pindah ke Pakuan
Pajajaran.
“Ki Patih Reksanata
menyampaikan selamat datang. Siapakah dan dari manakah Raden ini?” tanya Ki
Patih pada ksatria yang baru tiba itu.
“Selamat siang, Paman
Patih. Ananda adalah putra Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Keraton Pajajaran,
Banyakngampar. Salam dari Ayahanda untuk Paman Patih dan juga salam untuk
Kanjeng Adipati Pasirluhur,” kata Banyakngampar.
“Oh, dari Keraton
Pajajaran? Aduh, Raden, betapa gembira Paman Patih. Raden telah berkenan datang
ke Pasirluhur dari tempat yang begitu jauh,” kata Ki Patih sambil membawa Banyakngampar
ke ruang tamu Dalem Kepatihan. ”Salam Sri Baginda Prabu Siliwangi Paman terima
dengan senang sekali.”
Ki Patih Reksanata
menduga Keraton Pakuan Pajajaran memerlukan tambahan pasokan senjata alat-alat
perang ataupun alat-alat pertanian yang diperlukan pusat kerajaan. Sejak jaman
Kerajaan Galuh Kadipaten Pasirluhur menjadi salah satu Kadipaten yang
diandalkan dalam pembuatan alat-alat perang maupun alat-alat pertanian.
Misalnya saja pedang, tombak, golok, sabit, dan alat-alat lainnya lagi yang terbuat
dari logam.
Di Kadipaten Pasirluhur
banyak empu pandai besi yang cakap dan terampil dalam membuat alat-alat dari
besi. Di samping Kadipaten Pasirluhur sebagai kadipaten pemasok alat-alat senjata
perang, kadipaten lain yang juga memiliki banyak pandai besi adalah Cibatu,
Kadipaten Limbangan. Tetapi pasokan dari Cibatu, Limbangan, tidak akan cukup
memenuhi kebutuhan peralatan perang Kerajaan Pajajaran. Kekurangan pasokan itu
dipenuhi dari para pengrajin Kadipaten Pasirluhur. Apalagi kualitas pandai besi
Kadipaten Pasirluhur tidak kalah dengan kualitas pengrajin dari Cibatu,
Limbangan.
Akhir-akhir ini pesanan
alat-alat perang dari Keraton Pajajaran terus meningkat. Ki Patih Reksanata
mendengar sejumlah bandar pelabuhan di pantai utara sudah jatuh ke tangan
Kerajaan Islam Demak yang baru muncul setelah jatuhnya Majapahit. Pekalongan,
Pemalang, Brebes, dan Cirebon adalah daerah pesisir yang telah jatuh ke tangan
Kerajaan Islam Demak. Bandar muara Sungai Cimanuk yang merupakan wilayah
Kerajaan Pajajaran, dalam posisi terancam oleh gerakan ekspansi Kerajaan Islam
Demak. Wajar jika akhir-akhir ini Kerajaan Pajajaran berusaha meningkatkan
kewaspadaannya dengan mengangkat prajurit-prajurit baru.
Tentu saja itu berarti
memerlukan tambahan pasokan senjata. Ternyata dugaan Ki Patih meleset.
Kedatangan Ksatria Pajajaran itu bukanlah urusan pesanan senjata untuk
keperluan perang. Tetapi untuk urusan keluarga, mencari kakak Sang Ksatria yang
sudah setahun lebih menghilang dari Keraton Pajajaran.
Seorang
bujang laki-laki muncul di ruang tamu, membawa minuman dan makanan kecil. Ki
Patih segera mempersilahkan tamunya minum air nira yang masih segar untuk
mengusir haus.
“Paman
Patih, ananda jauh-jauh dari Keraton Pajajaran berkunjung ke Kadipaten Pasirluhur
ini bukan dalam urusan soal-soal pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Tetapi ini
masalah keluarga.”
“Masalah
keluarga? Boleh Paman tahu? Barangkali Paman bisa membantunya?”
“Benar
sekali, Paman Patih. Ananda sangat membutuhkan bantuan Paman Patih,” kata
Banyakngampar. ”Ananda punya kakak kandung yang namanya Kanda Banyakcatra.”
Banyakngampar
pun menceriterakan masalah yang tengah menimpa keluarga Kerajaan Pajajaran.
Semua hal yang menjadi penyebab pengembaraan kakaknya yang sedang dicarinya
itu, dikisahkan semuanya. Ki Patih Reksanata mendengarkan dengan sabar dan
penuh perhatian.
“Kanda
Banyakcatra diberi waktu satu tahun untuk berkelana mencari wanita calon istri
yang didambakannya itu. Tetapi tenggang waktu yang dijanjikan Kanda Banyakcatra
sudah lewat. Satu tahun lebih Kanda Banyakcatra menghilang dari Keraton
Pajajaran tanpa ada kabar beritanya. Tentu saja hal itu membuat Ayahanda Sri
Baginda Prabu Siliwangi gelisah, karena khawatir akan keselamatan Kanda
Banyakcatra,” kata Banyakngampar.
“Saat
itu ananda sudah lima tahun meninggalkan Keraton Pajajaran, karena ananda
sedang mendalami ilmu Ketuhanan di Padepokan Megamendung. Sudah lima tahun pula
ananda tidak pernah berjumpa dengan Kanda Banyakcatra,” kata Banyakngampar
melanjutkan ceriteranya.
“Akhirnya
ananda disusul agar pulang ke Keraton Pajajaran. Sri Baginda menugaskan kepada ananda
agar mencari Kanda Banyakcatra. Itulah Paman Patih yang menyebabkan ananda
jauh-jauh datang dari Keraton Pajajaran. Barangkali saja Paman Patih mengetahui
keberadaan Kanda Banyakcatra.”
Ki
Patih mengerutkan keningnya sebentar, seakan-akan sedang mencoba
mengingat-ingat sesuatu. Tapi Ki Patih lalu mengajak tamunya menikmati
pisang kepok rebus yang disajikannya. Angin dari halaman kepatihan bertiup
masuk ke dalam serambi ruang tamu, menghalau udara panas musim kemarau.
“Banyakcatra?”
tanya Ki Patih, ketika kembali ingat kepada nama yang baru
disebut Banyakngampar yang sedang menikmati pisang kepok rebus manis
itu.
Ki
Patih diam lagi, keningnya berkerut lagi mencoba mengingat-ingat nama itu.
Tetapi dia merasa belum pernah mendengar nama itu. Hanya saja kalau
dilihat sepintas kilas wajah dan penampilan ksatria Pajajaran yang ada di
depannya itu, mirip sekali dengan Kamandaka.
“Apakah
Kamandaka itu Banyakcatra? Tetapi jika Kamandaka putra Kerajaan Pajajaran yang
sedang dicari-cari, tidak mungkin dia melakukan perbuatan yang memalukan itu.
Sebab buat apa?” Ki Patih bertanya-tanya dalam hati.
Akhirnya
Ki Patih menyimpulkan dari informasi yang diperoleh dari Kanjeng
Adipati, Kamandaka bukanlah Banyakcatra. Sebab menurut hasil penyelidikan
Kanjeng Adipati, Kamandaka itu keponakan seorang penjudi botoh sabung
ayam dengan reputasi buruk, Ki Kertisara Pangebatan.
“Kira-kira
seperti apakah wajah mendiang Ibunda Raden?” tanya Ki Patih.
“Ayahanda
Sri Banginda Prabu Siliwangi pernah menyebutkan bahwa wajah mendiang Ibu mirip
wajah Dyah Ayu Pitaloka yang gugur di medan Bubat,” jawab Banyakngampar.
Kembali
Ki Patih diam sejenak. Tentu saja Ki Patih tahu, siapa Pitaloka, Mawar Galuh
yang telah membuat Raja Hayam Wuruk mabuk kepayang. Sayang sekali kisah
cinta Raja Hayam Wuruk dengan Pitaloka itu berakhir di medan Bubat yang menyebabkan
kematian Pitaloka.
“Sepengetahuan
Paman, Dyah Ayu Pitaloka dipusarakan di makam keluarga raja-raja Galuh di
Sanghiyang Linggahiyyang, di Kawali. Karena itu jika sukma Dyah Ayu Pitaloka
akan berinkarnasi, pastilah pilihannya akan jatuh pada gadis-gadis di Kadipaten
Galuh. Karena itu, seharusnya Raden mencari Kakak Raden bukan di Pasirluhur,
tetapi di Kadipaten Galuh. Paman yakin, Raden Banyakcatra ada di Kadipaten
Galuh.”
“Ya,
itulah Paman kesalahan ananda, tidak mampir lebih dulu ke Kadipaten Galuh.
Karena menurut Ayahanda Sri Baginda, Kanda Banyakcatra pernah berceritera bahwa
semua kadipaten di sebelah barat Sungai Citanduy sudah pernah didatangi. Tetapi
jerih payahnya tidak berhasil. Menurut pengakuan Kanda Banyakcatra kepada
Ayahanda, hanya kadipaten-kadipaten di sebelah timur Sungai Citanduy yang belum
pernah didatangi. Karena itu, menurut Ayahanda, Kanda Banyakcatra kemungkinan
besar ada di Kadipaten Pasirluhur,” Banyakngampar menjelaskan kepada Ki Patih.
Seorang
bujang yang dipanggil Ki Patih datang menghadap, ”Hamba siap menerima perintah,
Ndara Patih,” kata bujang laki-laki itu dengan takzim.
“Kuda
tamuku ini bawalah ke tempat penambatan kuda di belakang. Besok mandikan bersama-sama
dengan kuda kepatihan. Siapkan dan aturlah dengan baik kamar khusus untuk
menerima tamu, dan siapkan pula santap siang,” Ki Patih memberikan perintah
kepada bujang lelaki itu yang segera mundur setelah menerima perintah.
“Marilah
kita bicarakan satu-satu, untuk memudahkan dalam pencariaan keberadaan Raden
Banyakcatra yang sedang menghilang itu. Pertama soal inkarnasi. Soal inkarnasi
itu memang tidak mudah diketahui. Hanya para dewa yang tahu. Hanya saja Paman
berpendapat inkarnasi itu mestinya terjadi pada lingkungan keluarga terdekat
dulu. Pertanyaan Paman, apakah Sri Baginda Raja Siliwangi punya anak seorang
putri?”
Mendengar
pertanyaan seperti itu, tiba-tiba Banyakngampar ingat adik tirinya yang cantik
jelita Ratna Pamekas. “Bisa jadi Paman Patih benar, inkarnasi sukma Dyah Ayu
Pitaloka itu kemungkinan besar terjadi di lingkungan keluarga terdekat lebih
dahulu,” kata Banyakngampar.
“Ananda
punya dua adik tiri dari Ibu Kumudaningrum, istri selir Ayahanda yang
kemudian menjadi permaisuri menggantikan Ibu ananda. Banyakbelabur adalah putra
sulung, lalu adiknya, Dyah Ayu Ratna Pamekas.”
Banyakngampar
menjawab dengan agak malu-malu dan tersipu-sipu. Sebab diam-diam Banyakngampar
mencintai adik tirinya itu.
“Paman
menduga, bisa saja salah,” kata Ki Patih. ”Adik tiri Raden itu pastilah cantik
jelita. Dia lebih mirip Ibunda Raden Banyakcatra dan Raden Banyakngampar,
ketimbang Ibunya sendiri. Sebab apa? Sebab Dyah Ayu Ratna Pamekas sama dengan
Ibunda Raden, keduanya adalah inkarnasi Dyah Ayu Pitaloka! Tapi itu hanya
dugaan Paman saja yang bisa jadi keliru. Karena itu jika bukan kehendak dewa,
mestinya Raden Banyakcatra masih berada di sisi barat Cintanduy dan tidak
mungkin menyeberang ke timur, sebab makam Dyah Ayu Pitaloka itu ada di Galuh
Kawali.”
“Masalahnya
Kanda Banyakcatra pernah berkata akan mencari gadis idamannya di kadipaten yang
ada di sebelah timur Sungai Citanduy yang belum pernah didatanginya, Paman
Patih,” kata Banyakngampar menyanggah pendapat Ki Patih Reksanata.
“Ya,
bisa jadi benar, Raden Banyakcatra telah menyeberangi Sungai Citanduy untuk
mencari gadis idamannya, Raden,” kata Ki Patih pada akhirnya. “Tetapi
sebenarnya apa yang dilakukan Raden Banyakcatra, yang telah menempuh
perjalanan begitu jauh dan tak kenal lelah itu, tidak lain hanyalah sebuah
pelarian saja. Kalau sudah lelah, pada akhirnya akan kembali juga. Namanya saja
pelarian untuk menghindari kenyataan. Sekalipun begitu, langkah yang sudah ditempuh
kakak kandung Raden itu sudah benar. Kakak Raden itu sedang menghindari cinta
rumit terhadap adik tiri Raden yang wajahnya mirip Ibunda Raden itu,” kata Ki
Patih menarik kesimpulan.
Siang
itu udara di ruang tamu Dalem Kepatihan cukup panas, untunglah angin berulang
kali bertiup mendatangi beranda ruang tamu. Bahkan seekor kupu-kupu coklat
ikut-ikutan terbang masuk dan hinggap sebentar di dinding ruang tamu.
“Itu
namanya kupu dayoh, Raden,” kata Ki Patih saat melihat Banyakngampar
memperhatikan kupu-kupu coklat yang kesasar masuk ruang tamu Dalem Kepatihan. “Kupu
itu memberi tanda, Raden akan tinggal cukup lama di Kadipaten Pasirluhur,” kata
Ki Patih menjelaskan salah satu tanda-tanda alam yang banyak dipercaya penduduk
Pasirluhur.
Banyakngampar
tersenyum senang mendapat tambahan penjelasan perihal kupu dayoh yang tiba-tiba
ikut menjadi tamu itu. Ki Patih Reksanata memang memiliki kegemaran mengamati
masalah-masalah yang berkaitan dengan firasat, kejiwaan, watak seseorang, dan
soal ramal meramal. Termasuk yang menjadi perhatian Ki Patih adalah soal-soal
yang berkaitan dengan masalah inkarnasi, moksa,
cinta, dan masalah kejiwaan lainnya.
“Sejak
Ibunda Raden berdua meninggal,” Ki Patih melanjutkan, “Kakak Raden itu telah
kehilangan sosok seorang ibu yang dicintainya. Dia lalu berusaha mencarinya dan
menemukan sosok ibu yang telah hilang itu pada diri adik tirinya, Dyah Ayu
Ratna Pamekas yang wajahnya mirip Ibu Raden berdua itu.”
“Tentu
saja Raden Banyakcatra takut jatuh cinta pada Dyah Ayu Ratna Pamekas,” kata Ki
Patih menyimpulkan. ”Sebab tidak mungkin seorang kakak menikahi adiknya
sendiri, sekalipun hanya adik tiri. Itulah sebabnya Raden Banyakcatra
meninggalkan Keraton Pajajaran untuk mencari sosok pengganti ibunya pada gadis
lain di luar keluarganya. Jika Raden Banyakcatra tetap di Keraton Pajajaran,
dia akan terus gelisah dan tersiksa, karena akan berada dalam bayang-bayang
jatuh cinta pada adik tirinya. Lain halnya bila Raden Banyakcatra sudah
menemukan sosok gadis lain di luar keraton.”
“Maaf pula kepada
Raden,” kata Ki Patih masih meneruskan, ”Hal yang sama sebenarnya terjadi pada
Raden. Raden pun sebenarnya berada dalam bayang-bayang jatuh cinta pada adik
tiri Raden itu. Hanya jalan yang Raden tempuh berbeda. Raden memilih berguru ke
Megamendung untuk menekan hasrat cinta kepada wanita dengan mengalihkannya
menjadi cinta pada Sang Maha Pencipta. Itulah sebabnya Raden jarang pulang ke Keraton
Pajajaran, bukan? Itu karena, seperti halnya Kakak Raden, sesungguhnya Raden
pun takut jatuh cinta pada adik tiri Raden.”
Mendengar penjelasan Ki
Patih Reksanata wajah Banyakngampar langsung pucat. Apa yang dikatakan Patih
Reksanata sepenuhnya benar. Memang, saat Banyakngampar tiba kembali di Keraton
Pajajaran setelah lima tahun tidak pernah pulang, betapa dia sangat terkejut.
Dia bertemu dengan Ratna Pamekas dan menjumpai kenyataan bahwa adik tirinya itu
telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik luar biasa yang sedang beranjak
dewasa.
Dan yang paling
mengherankan, tatapan sinar mata adik tirinya itu menembus jantung hatinya,
sehingga dia bahkan tak berani menatap wajah cantik adik tirinya itu. Lima
tahun berguru di Padepokan Megamendung, ternyata tidak mampu menindas
bayang-bayang cinta kepada Ratna Pamekas. Diam-diam dia kesal sekaligus cemas
karena gagal menumpas benih-benih cinta yang tumbuh dalam benaknya yang
sesungguhnya sangat memalukan itu.[Bersambung]