Pagi itu mereka berdua terus berjalan bergandengan tangan.
Jari-jemari saling bertautan. Mereka berjalan
menyusuri jalan berliku dan menanjak yang membawa mereka semakin jauh
menapaki pinggir hutan wisata yang
berada di sisi utara kota. Karena jalan semakin menanjak, Randu seperti kelelahan. Sesekali mereka
berhenti sejenak dan Randu pun menarik nafas dalam-dalam.
“Istirahat ? “ tanya lelaki itu.
Randu menggeleng dan mengajaknya terus. Tetapi ketika mereka menemukan bangku beton berlapiskan tegel keramik coklat tua, Randu mengajaknya istirahat. Mereka duduk berdampingan di atasnya..
“Aku selalu rindu kepadamu, sayang,” bisik lelaki itu. Bibirnya sedikit bergetar. Mereka sudah empat kali bertemu dan pertemuan selalu terjadi tiap hari Sabtu di tepi hutan wisata di utara kota.
“Ah masa ? Lelaki suka bohong. Sudah punya pacar, ngaku belum. Bahkan ada yang sudah punya istri masih juga ngaku bujangan,” kata Randu
“Kalau aku sudah punya pacar, tidak mungkin aku datang ke sini sendirian. Apalagi kalau sudah punya istri,” kata lelaki itu mencoba meyakinkan Randu.
“Dalam mitologi kisah wayang, katanya kita keturunan Abimanyu dan Dewi Utari. Makanya prianya suka bohong dan suka tidak jujur pada wanita,” kata Randu menyindir.
“Oh, suka baca kisah wayang? “
“Iya. Aku ikut-ikutan Bapak.”
“Siapa bilang Abimanyu suka bohong?”
“Waktu Abimanyu apel ke rumah Dewi Utari, ditanya baik-baik ‘Apakah Raden masih bujangan?’. Tahu nggak kamu apa jawab Abimanyu?” tanya Randu. Lelaki itu tersenyum. Lalu katanya:
“Tentu saja Abimanyu menjawab masih bujangan. Sebab
kalau menjawab sudah punya istri, mana mau Dewi Utari dilamar Raden Abimanyu?”
“ Ya, itulah kesalahan Abimanyu,” kata Randu. Wajah cantiknya nampak serius.
“ Dia mengira akan bisa terus berbohong pada calon istrinya. Padahal kalau Abimanyu mau jujur, belum tentu Dewi Utari menolaknya. Eh, malah Abimanyu berani bermain-main dengan sumpah jabatan.”
“Sumpah jabatan?”
“Lha, iya. Jabatan Abimanyu dalam mitologi kisah wayang itu kan sebagai satria. Masa satria berani ucapkan sumpah palsu?” kata Randu bersemangat.
Lelaki itu kembali tersenyum mendengar jawaban Randu. Tiba-tiba dia ingat, ketika mau diangkat jadi pegawai tetap di sebuah BUMN di kota itu, dia pun diharuskan mengucapkan sumpah jabatan.
“Abimanyu berani bersumpah jika dirinya bukan bujangan, dia rela kelak tewas dengan tubuh tatu arang kranjang. Kamu pasti sudah tahu akhir kisah Abimanyu dalam Perang Bharatayudha, bukan?” tanya Randu. Lelaki itu mengangguk membenarkan.
“Satria yang juga ikut-ikutan berbohong adalah Gatutkaca,” kata Randu melanjutkan. “ Karena ingin solider dengan adik sepupunya, dia pun dengan mudahnya berbohong. Ketika ditanya Dewi Sundari, istri Abimanyu yang datang menemuinya, apakah suaminya itu kawin lagi apa tidak, Gatotkaca pun menjawab tidak. Rupanya di kalangan satria pun telah terjadi bohong secara berjamaah. Jadi Gatotkaca sebagai seorang satria juga telah melanggar sumpah jabatan, sama dengan Abimanyu.”
“Hem, hebat juga analisa kamu,” kata lelaki itu memuji. Randu tersenyum mendengar pujian itu. Diam-diam dia merasa senang.
Lelaki itu semakin kagum saja kepada Randu. Jika di kantornya, yang sering jadi pembicaraan adalah korupsi berjamaah. Tapi bohong berjamaah dan tidak jujur berjamaah, jarang didengarnya. Dia baru mendengarnya dari Randu.
“ Yah, dalam kasus itu, Gatotkaca sebenarnya dalam posisi sulit,” kata lelaki itu setelah diam beberapa saat. ”Dia sebenarnya serba bingung. Kalau dia berterus terang kepada Dewi Sundari, dia pasti akan dimarahi Abimanyu. Akhirnya Gatotkaca memilih berpihak kepada Abimanyu.”
“Ya, itulah yang namanya nepotisme. Demi nepotisme, prinsip moral telah dilanggar. Rupanya nepotisme sudah pula jadi bagian dari kebudayaan leluhur kita,ya?” kata Randu tertawa.Lelaki itu pun ikut tertawa.
“Di dunia tempat kita hidup ini, ada saja lelaki yang suka bohong kepada wanita. Tetapi percayalah. Tidak semua orang suka berbohong,” kata lelaki itu.
“Aku bukan jenis lelaki yang gemar berbohong pada wanita. Aku ingin serius denganmu, Randu. Aku memang tidak berani bersumpah seperti Abimanyu. Tetapi mari kita buktikan bahwa kita akan mencoba sekuat tenaga untuk bersama-sama menegakkan kejujuran di antara kita,” kata lelaki itu pasrah.
”Aku janji, Randu. Aku akan setia padamu dan aku akan selalu jujur kepadamu. Karena…..”.
Belum habis kalimat itu diucapkan, tiba-tiba Randu membalikkan tubuhnya dan menatapnya dengan pandangan sinar mata berbinar-binar.
Rupanya Randu tahu lelaki itu akan mengucapkan kata-kata,” Aku cinta padamu”. Tapi ujung telunjuk jari tangan kanan Randu tiba-tiba sudah singgah di bibir lelaki itu.
Entah mengapa lelaki itu tiba-tiba merasa cemas. Dia merasa telunjuk jari Randu yang sempat menempel sejenak di ujung bibirnya merupakan isyarat baginya sebagai ganti kalimat Randu yang tak terucapkan, ” Maaf jangan cium aku. Aku tidak cinta kamu!”
Wajah laki-laki itu pucat seketika dan jantungnya berdebar-debar. Dia mengira Randu akan menolak cintanya. Maka dia mencoba sekuat tenaga menyembunyikan perasaan getir yang diam-diam mulai merayapi dirinya.
“Kamu belum tahu banyak, siapa diriku, bukan ?” tanya Randu. Lelaki itu menjawabnya dengan sebuah anggukan.
“Kamu tahu elang-elang di langit biru itu akan pergi kemana ?” Randu bertanya sambil mengajak lelaki itu berdiri.
Keduanya
berdiri sambil menatap langit biru
dengan sejumlah awan tipis yang bergerak bagaikan gumpalan kapas melayang
perlahan di altar langit yang menaungi Lembah Serayu di hadapan mereka. Dari
tempatnya berdiri, nampak di kejauhan sejumlah burung elang yang sedang
berputar-putar membentuk formasi yang sangat indah.
“Aku menyukai burung elang, karena elang adalah burung yang jujur. Tidak seperti burung gagak yang suka memakan bangkai. Elang-elang itu akan menuju ke arah tenggara ke tepi Lembah Serayu itu. Di sana ada sebuah tegalan dan ada sebuah pohon randu alas besar di tepi jalan menuju sungai. Tegalan itu milik orang tuaku. Ibuku melahirkan aku secara mendadak pada suatu pagi di bawah pohon randu, dan meninggal. Mungkin ketika aku lahir dan ibuku meninggal, elang-elang itu ikut menyaksikannya dan ikut berduka cita. Engkau tahu kan pohon randu?”
Lelaki itu kembali mengangguk dan Randu meneruskan kisah masa lalunya yang membuat lelaki itu terharu dan ingin meneteskan air mata. Lelaki itu baru tahu, apa sebabnya gadis cantik itu diberi nama Randu. Randu Anggita Setiana, alumnus terbaik sebuah universitas negeri di kota itu.
“Ayahku adalah seorang peladang, mengasuh aku dan tidak mau menikah lagi karena rasa cintanya yang mendalam pada Ibuku. Tiba-tiba suatu malam ketika aku baru berusia lima tahun, ayahku terserang demam tinggi. Akhirnya dia meninggal. Aku jadi anak yatim piatu. Tapi aku beruntung karena ada seorang sinder Pabrik Gula yang suka menyewa tegalan ayahku untuk ditanami tebu, menjadikan aku anak asuhnya. Bapak dan Ibu asuhku itu mendidik aku dengan baik sampai aku bisa menyelesaikan kuliahku.”
“Masih adakah pohon randu itu?” tanya lelaki itu.
“Masih. Juga burung-burung elang itu masih bersarang di pohon randu itu. Aku sering berkhayal pohon randu itu adalah Ibuku. Dan Ayah kandungku menjelma menjadi salah satu elang itu. Elang-elang itu, dalam khayalku sejak kecil, adalah elang-elang teman Ayah kandungku. Aku sering tertawa sendiri, jika mengingat khayalanku itu. Anehnya, sampai sekarang aku masih senang jika mengingat kembali khayalan masa kecilku itu,” kata Randu berterus terang.
Tiba-tiba Randu terdiam agak lama. Kemudian Randu membalikan badannya sehingga mereka berdiri saling berhadap-hadapan. Dipandangnya lelaki itu dengan sinar mata indah bak bintang kejora di subuh pagi. Randu lalu berkata:
”Sekarang kamu sudah tahu masa laluku. Aku telah berkata jujur kepadamu. Sekarang terserah. Kamu boleh mengatakan apa yang ingin kamu katakan padaku,” kata Randu dengan tegar, yang membuat lelaki itu iba seketika.
Tanpa membuang-buang waktu gadis cantik berkulit kuning gading, tinggi semampai, tapi padat berisi itu, segera dipeluk dan diciumnya. Sejenak bibir keduanya saling bertautan, sampai nafas keduanya seakan-akan berhenti sesaat. Keduanya merasakan detak jantung mereka meningkat dengan cepat.
”Randu, aku cinta padamu sejak pandangan pertama. Aku akan setia padamu. Aku membutuhkan masa depan. Bukan masa lalu. Besok aku akan datang ke rumahmu untuk melamarmu.” Lelaki itu berbisik pada Randu. Kemudin Randu berkata setelah diam agak lama :
“Terima kasih, Mas.”
O, gembiranya hati lelaki itu. Itulah pertama kali Randu yang cantik jelita itu memanggilnya dengan kata Mas, yang membuat hati lelaki itu semakin berbunga-bunga.
Seminggu sebelum pernikahan, lelaki itu mengantarkan Randu mendatangi pohon randu alas. Besar batangnya sudah mencapai lebih dari dua pelukan orang dewasa. Ketika keduanya mendongak ke atas, dilihatnya sejumlah burung elang melayang-layang berputar-putar di atas pohon randu alas itu. Seakan-akan burung elang itu sedang menyambut kedatangan sepasang remaja yang saling jatuh cinta itu.
Tiba-tiba mata Randu basah oleh air mata. Dia sedang membayangkan kedua orang tuanya yang sudah berada di alam keabadian.
“Di sini dulu Ibuku yang sedang hamil besar, menunggu Ayah kandungku yang sedang bekerja di ladang. Ayah sebenarnya melarang Ibu ikut ke tegalan. Tetapi Ibu memaksa untuk ikut,” kata Randu dengan nada terbata-bata.
“Tuhan telah menyelamatkan kamu, Randu!” kata lelaki
itu menghibur. “Tuhan juga yang telah mempertemukan aku dengan kamu,”
Randu mengangguk. Ketika terdengar suara azan lohor dari masjid desa, kedua pasang remaja itu memacu mobilnya meninggalkan tegalan yang tidak jauh dari tepi Sungai Serayu itu. Ketika Randu melihat langit dari balik kaca mobil, dilihatnya elang-elang perkasa Lembah Serayu itu mengikutinya, seakan-akan hendak mengantarkannya sambil mengucapkan selamat menempuh hidup baru kepada sepasang kekasih itu.
Tak lama kemudian lelaki itu berhasil menyunting gadis cerdas dan cantik, Randu Anggita Setiana. Pesta pernikahan yang meriah dilaksanakan di sebuah hotel di kota itu. Teman-teman sekantor Randu berdatangan tidak henti-hentinya. Demikian pula teman sekantor mempelai pria.
“Masih ingat pesan Bung Hatta dalam buku riwayat hidup tulisan Deliar Noer yang dihadiahkan Bapak waktu Mas pertama kali berkunjung ke rumahku?” tanya Randu yang berbaring di samping suaminya di ranjang pengantin dari kamar hotel yang disewanya selama satu minggu.
“Ya, pasti ingat. Apa hadiahnya jika aku bisa menyebutkan kembali pesan itu?” jawab suaminya.
“ Ada deh. Jawab dulu. Baru minta hadiah,” kata Randu manja.
“Seseorang yang kurang cerdas dapat diperbaiki. Seseorang yang kurang trampil juga dapat diperbaiki. Tetapi …,” Suaminya diam sejenak. Berusaha mengingat akhir kalimat pesan Bung Hatta.
Bung Hatta disamping tokoh proklamator dan Bapak koperasi, juga Bapak Bangsa yang gigih memperjuangkan gerakan anti korupsi.
“Tetapi seseorang yang kurang jujur sulit diperbaiki!” kata suaminya girang karena masih ingat bunyi kalimat itu.
"Aku ingin cepat-cepat hamil. Cepat punya anak. Dan akan aku didik agar anak-anak kita kelak menjadi generasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran,” kata Randu seraya mencium dan memeluk suaminya sebagai hadiah yang tadi dijanjikannya. Suaminya tersenyum senang.
“Aku juga ingin agar kelak anak-anak kita bisa terbang tinggi dengan menggenggam nilai-nilai kejujuran seperti elang-elang perkasa Lembah Serayu kesukaanmu itu. Terbang tinggi setiap pagi mengarungi langit biru,” bisik lelaki itu dekat telinga istri tercintanya.
“Aku setuju!” jawab Randu lirih dengan suara manja dan mendesah.
Malam itu menjadi malam yang indah. Malam pengantin berhasil dilewatinya dengan mengasyikkan.
Kedua pasang pengantin baru itu pun bertekad, tidak
hanya akan membangun rumah tangga yang mengutamakan kejujuran. Tetapi keduanya
juga sepakat akan mendorong didirikannya kantin-kantin kejujuran di lingkungan
kerjanya masing-masing.[]
Kalibagor, 15-05-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar