“Benarkah Ayahku seorang ateis
seperti yang dituduhkan Ibu? Aku tidak percaya.!’ kata gadis cantik-itu dalam
benaknya.Gadis-itu-tidak-pernah-bisa-menerima-keadaan,orang-berbeda-keyakinan-dihakimi-dengan-dianiaya-layaknya-pelaku-tindak-kriminal.
“Dapatkah-suatu-keyakinan-dalam-pikiran-dihakimi?Seharusnya-tidak.Tapi-hakimilah-jika-dia-berbuat-kejahatan-karena-keyakinannnya-itu.Jangan-dihakimi,-karena-keyakinannya.Tapi-hakimilah-karena-tindak-kejahatan-yang-telah-dilakukannya.Bila-perlu-hukum-mati.Mengapa-tidak-jika-kejahatnnya-benar-benar-membahayakan-negara-dan-terbukti-telah-mengakibatka-korban-jiwa?”gugat-gadis-itu.
Umurnya saat itu baru delapan
tahun.Dan-gadis itu ingat sekali. Malam itu dia lari meninggalkan kamarnya dan
didorongnya pintu kamar ibunya. Kebetulan kamar ibunya tidak dikunci.
Dilihatnya kedua orang tuanya sedang berbaring tidur-tiduran. Mereka langsung terdiam
begitu gadis itu masuk. Gadis-itu-pun langsung tahu,bahwa kedua orang tuanya
baru saja bertengkar-hebat.. Wajah ayahnya kusut, wajah ibunya cemberut.
Gadis itu langsung merebahkan
dirinya di tengah-tengah keduanya, sekan-akan mau jadi juru penengah
pertengkaran antara kedua orang tuanya. Dia berbaring di samping ayahnya, dan
juga di samping ibunya. Karena dia anak bungsu, kedua orang tuanya tak-ada-yang
berani menegurnya ketika gadis-itu masuk. Dia memang gadis manja karena
satu-satunya anak perempuan dalam keluarga itu. Seorang anak perempuan,
biasanya dimanja ayahnya.
“Ayah, aku takut! ” bisik gadis itu.
Ayahnya diam. Tidak menjawab. Gadis itu merasakan ada suatu beban sedang
menindih pikiran ayahnya.
Ketika itu ayahnya sering keluar
rumah dan pulang larut malam. Akibatknya ayah dan ibunya sering-bertengkar.-Diam-diam-gadis-itu-tahu-walaupun-ayah-dan-ibunya-tidak-bertengkar-di
depannya. Ayahnya seorang kepala SD. Dan-aktif- menjadi kepala organisasi guru
di kecamatan desanya.
”Ayah, hantu malam itu ada apa
tidak, sih ?” tanya gadis itu.
Bisanya setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan alam gaib, ayahnya bungkam,tidak mau menjawabnya. Tapi malam
itu, entah mengapa ayah gadis itu mau menjawabnya. Mungkin ayahnya beranggapan
pertanyaan anak gadis kesayangannya itu penting untuk dijawabnya.
“Hantu itu tak ada.Jadi kamu tidak
usah takut. Tidak ada orang yang mati atau celaka oleh hantu. Tetapi kalau ada
orang mati atau celaka akibat ulah orang jahat, malah banyak. Jadi orang jahat lebih berbahaya dari
pada hantu yang hanya bayangan ciptaan manusia-saja,” jawab ayahnya dengan
suara lirih dan lembut.
“Sudah, tidur! Iblis, setan,
malaikat, dan Tuhan itu ada!” bentak ibunya menyela pembicaraan dan ikut
menjawab pertanyaan gadis itu dengan nada agak gusar.
”Hantu itu, ya setan. Dia suka
menggoda manusia. Jadi, ya ada. Hanya orang ateis yang mengatakan, bahwa hantu
dan setan tidak ada!”
Ibunya berkata dengan nada sengit. Tapi malah membuat gadis itu bingung. Ada
kata-kata aneh yang baru pertama kalinya didengar. Kata ateis yang meluncur
begitu saja dari mulut ibunya. Ateis? Apa itu ? Mahluk macam apakah dia?Dia
saat itu tak tahu. Hanya dia memang pernah
melihat sepintas kilas judul novel yang sedang dibaca ibunya. Judulnya,
Ateis. Pengarangnya Ahdiat Kartamiharja. Tapi tiba-tiba muncul pertanyaan dalam
benaknya. Pertanyaan yang dia sendiri tak berani mengucapkannya.
“Ateiskah ayahku?” tanyanya dalam
hati.
Malam itu sebenarnya gadis itu
sedang takut pada hantu malam yang kata teman-temannya, suka menculik orang.
Bukan anak-anak yang diculiknya, tapi orang-orang dewasa. Apa sebab hantu malam
itu suka mendatangi rumah penduduk di desanya malam-malam untuk menculik orang?
Tentu saja dia tak mampu menjawab dengan nalarnya.
Gadis yang baru berusia delapan
tahun itu tentu saja sama sekali tidak mengerti kekacauan politik yang
tiba-tiba muncul di desanya, tidak lama setelah meletus tragedi yang kemudian
dikenal secara luas sebagai tragedi Gerakan Tigapuluh September. Gerakan itu
dengan cepat menjadi sangat popular dengan akronim G.30.S dan menjadi buah
bibir dimana-mana. Desa-desa di seluruh Lembah Serayu saat tidak terlepas dari
turbulensi politik yang melanda seluruh tanah air.
”Ayah, aku takut hantu malam. Aku
takut ayah akan diambil hantu malam,” kata gadis itu.
Tiba-tiba saja gadis itu menangis. Tangisnya memecah kesunyian
malam yang selalu mencekam desa itu.
Ayahnya yang berbaring disampingnya dipeluknya erat-erat. Gadis itu benar-benar
merasa cemas dan tidak mau kehilangan ayah tercintanya. Sayup-sayup masih
didengarnya, suara-ayahnya membisikinya dengan nada-lembut, dan-mengusap-usap
rambutnya dengan penuh kasih sayang.
”Tidur sayang, jangan percaya pada hantu malam. Hantu malam
itu tak ada.” Itulah kata-kata terakhir ayahnya yang singgah di telinganya .
Sebab setelah itu, gadis cantik itu terlelap dalam-tidurnya, dibuai mimpi indah.Gadis-itu-tidaur-
dalam dekapan ayahnya.
Tetapi tiba-tiba saat gadis itu tengah tidur terlelap, dia-terbangun.Didengarnya
suara ribut-ribut di luar. Ada orang mengetuk pintu keras sekali. Dilihatnya
ayahnya sudah berdiri di sisi ranjang, masih mengenakan baju tidur. Gadis itu
menggigil ketakutan ketika didengarnya suara ketukan semakin keras dan kasar. Sepertinya ada yang
menendang daun pintu supaya cepat dibuka. Terdengar pula suara kasar
memanggil-manggil nama ayahnya dari luar. Gadis itu berteriak ketakutan:
” Ayah! Hantu malam!”
Gadis itu bangun berusaha mencegah ayahnya agar jangan keluar.Tapi ibunya
cepat-cepat menarik tangannya dan mendekapnya kepelukan ibunya. Kedua kakak
laki-laki gadis itu yang juga ketakutan, lari dari kamarnya dan masuk ke dalam
kamar Ibunya. Mereka ikut berlindung dengan naik ketempat tidur, bersembunyi
bersama-sama.
Ayah gadis itu bergegas keluar. Mata gadis itu masih sempat memandang tubuh
ayahnya yang tingginya sedang, berbadan tegap, bentangan bahu agak lebar.Ayahnya
yang-memakai-baju tidur garis-garis putih biru-itu, segera lenyap di balik
pintu-kamar-tidur.
Ibu gadis itu dengan wajah cemas luar biasa, segera meninggalkan ketiga anaknya
di tempat tidur. Ibunya menyusul ayahnya, setelah berpesan lebih dulu kepada
anak tertua, kakak gadis itu.
”Tetap disini! Jaga adik-adikmu!”
Gadis itu dan kedua kakaknya mendengar pintu depan dibuka, kemudian terdengar
ribut-ribut, lalu ada suara-suara kasar membentak-bentak, terdengar suara
bug!bug!bug!, seperti ada suara orang sedang dipukuli. Lalu sepi. Lalu
terdengar suara langkah-langkah sepatu meninggalkan halaman rumah. Lalu sepi
sejenak. Kemudian gadis itu mendengar suara deru mobil meninggalkan jalan di
depan rumahnya.
Bersamaan dengan hilangnya suara mobil yang cepat menghilang ditelan kesunyian
malam, pecah suara tangis Ibunya yang masuk ke kamar dan memeluk ketiga
anak-anaknya. Kedua kakak laki-laki gadis itu pun ikut menangis, menyusul
tangis adik perempuannya yang sudah pecah lebih dulu.
Tetapi keadaan di luar tetap sepi mencekam, tak terdengar tetes-tetes air
hujan, sebab malam itu musim kemarau. Hanya saja di kamar orang tua gadis itu,
bantal, kasur, guling dan sprei tempat tidur yang ada di ruang itu seketika
basah oleh hujan air mata dari tangis mereka semua.
Ya, mereka semuanya menangis. Menangisi ayah mereka yang
raib sejak malam itu, raib diculik hantu malam. Raib entah akan dibawa kemana.
Entah akan kembali apa tidak, entah akan bisa berkumpul kembali dengan mereka
apa tidak. Gadis cantik itu merasa hantu malam itu telah mengambil paksa ayah
tercintanya.
Beberapa tahun kemudian, baru gadis itu tahu. Ayahnya ternyata bukan diambil
hantu malam.Tapi diambil aparat, karena dituduh menjadi salah satu anggota
pengurus partai politik yang terlibat dalam usaha makar terhadap pemerintah
yang sah. Padahal ayahnya sebenarnya hanyalah kepala sekolah yang dibujuk jadi
pembina organisasi kesenian. Organisasi kesenian itu aktif dalam memajukan
kesenian rakyat yang mengusung semboyan realisme sosial. Yakni seni untuk
rakyat dan seni untuk revolusi. Ayah gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa-organisasi-kesenian-itu
telah ditunggangi partai politik yang terlibat usaha makar itu.
Wajar sekali jika ibu gadis itu sendiri menduga bahwa ayah
gadis itu pasti akan mati, karena ayah-gadis-itu-termasuk mereka yang ditahan
di sebuah pulau di luar Jawa. Tetapi gadis itu sendiri tidak percaya bahwa
ayahnya akan mati. Sebab gadis itu yakin, ayahnya itu buka ateis.
Setidak-tidaknya bukan ateis sejak semula. Bisa jadi ayahnya hanyalah
terpengaruh teman-temannya saja. Sebaliknya, ibunya malah yakin sekali,bahwa
suaminya itu akan dihukum mati dan tak akan pernah kembali.
“Ibu senang jika Ayah mati, karena Ibu akan menikah lagi dengan guru muda itu,
bukan?” tuduh gadis itu sengit suatu saat pada ibunya. Kata-kata itu meluncur
begitu saja dari mulut gadis itu, setelah hampir tujuh tahun peristiwa raibnya
ayah gadis itu di malam yang menakutkan.
Ibunya memang sama seperti ayahnya, seorang guru SD. Ayahnya malah kepala SD.
Usia Ibunya pun setelah tujuh tahun ditinggal ayah gadis yang kini telah remaja
itu, sudah tidak muda lagi. Kira-kira di atas tiga puluh tahun,dan di bawah
empat puluh tahun. Tapi ibunya memang cantik jelita, pandai merawat diri,
jarang ada orang yang mengira kalau ibunya sudah punya tiga anak yang sudah remaja.
Sekalipun ibunya janda tiga-anak,tapi banyak pria yang berminat kepadanya.
Termasuk guru muda itu.
Mungkin betul kata orang, ibu gadis itu mengalami puber kedua, jatuh cinta pada
guru muda teman sekerja yang baru berusia dua puluh lima tahun, sehingga lebih
pantas jadi kakak gadis itu atau anak ibunya.
Anehnya guru muda itu tidak kuasa menghindari cinta ibunya yang membara,dan tampak
lebih agresif, hingga akhirnya ibu gadis itu hamil dan keduanya pun menikah.
Gadis itu sedih sekali. Dan menjadi semakin sedih, karena ketika ayah tercintanya
ternyata dibebaskan-dan-kembali-ke-rumahnya, ibunya malah pergi meninggalkan
rumahnya, mengikuti suami baru-ibunya, guru muda itu.
Gadis itu
sebenarnya ingin ikut menangis. Menangisi kepergian ibunya. Tapi entah mengapa
kali ini gadis cantik itu merasa lebih tabah dan dia pun bertekad untuk tidak
menangis.
”Betapapun juga, aku tetap mencintai Ibumu,” kata ayah gadis itu sendu, setelah
tahu istrinya sudah punya suami lagi.
“Sudahlah Ayah”, kata gadis itu menghibur.” Ayah masih percaya pada hantu malam
tidak?” tanya gadis itu menggoda ayahnya.
” Tidak, “ jawab ayahnya mantap. ”Tapi aku percaya pada Tuhan!”
O, betapa gembiranya gadis itu, ternyata ayahnya memang bukan ateis. Dipeluknya
ayahnya dengan perasaan bangga.
Memang dilihatnya ayahnya mulai rajin shalat lima waktu. Bahkan rajin shalat
berjamaah di masjid di desa itu. Suatu hal yang dulu tidak pernah
dilakukannya-sebelumnya.
Sebulan kemudian, ayahnya meninggal mendadak. Membuat gadis
itu kembali berduka cita. Tapi gadis itu bersyukur, karena ayahnya ternyata
masih tetap percaya pada Tuhan. Dan kepadaNyalah dia kembali.
“Maukah kamu mendoakan ayahku?” tanya gadis yang sudah
menginjak usia remaja pada calon suaminya, seorang karyawan
baru-sebuah-pabrik-gula-di-Lembah-Serayu.
“Tentu, sayang. Ayo antarkan aku mengunjungi makam ayahmu,”
kata pemuda tampan itu.
Dua bulan kemudian keduanya menikah menjadi pasangan suami
istri yang berbahagia.
Akibat peristiwa politik-saat-itu, banyak karyawan pabrik anggota-serikat-buruh-gula-yang
dipecat.Organisasi-buruh-itu-pun-dibubarkan-dan-dinyatakan-sebagai-organisasi-terlarang.-Karena
pabrik harus tetap beroperasi, pengangkatan karyawan baru pun dilakukan.
Lowongan pekerjaan terbuka lebar. Banyak karyawan baru diangkat mengisi kekosongan
jabatan yang-ditinggalkan-anggota-serikat-buruh-gula.Salah-satu-diantaranya,adalah-suami-gadis-cantik-itu.
Kalibagor, 10-09-2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar