Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 24 Juni 2016

Sejarah Tradisi Ramal-Meramal di Situs Kalibening Banyumas

 

Setiap bulan Maulud, di mana-mana di sejumlah masjid semarak menyelenggarakan perayaan Maulud Nabi. Corak penyelenggaraannya macam-macam. Ada yang sederhana, ada yang mewah meriah. Tetapi ada juga yang dikaitkan dengan kegiatan gebyar budaya melestarikan adat istiadat warisan leluhur sebagai warisan yang ingin terus dipelihara. Contohnya adalah Perayaan Garebeg Mulud yang secara rutin diselenggarakan di Keraton Yogya, Solo, dan Cirebon

Ciri khas Garebeg Mulud Kraton Yogya dan Surakarta yang bisa disaksikan publik adalah prosesi arak-arakan membawa gunungan dari kraton ke halaman Masjid Agung. Lalu nasi gunungan itu diperebutkan oleh penduduk yang masih percaya kepada logika mistik, dengan mengharapkan berkah dari nasi gunungan. Rakyat awam yang masih percaya kepada hal-hal yang berbau mistik itu, rela berdatangan dari tempat jauh, hanya untuk memperebutkan bagian dari gunungan atau tumpeng raksasa yang disebarkan itu. Tentu saja banyak orang yang hadir menyaksikan arak-arakan tumpeng raksasa itu, sekedar sebagai hiburan dan tontonan yang mengasyikkan.

Di luar tradisi Garebeg Mulud di ketiga kraton tersebut, ada juga tradisi Perayaan Maulud Nabi bernuansa gebyar budaya dengan tujuan melestarikan tradisi leluhur di komplek pemakaman Kalibening, di Kota Banyumas, Jawa Tengah. Kurang lebih 14 km ke arah tenggara Kota Purwokerto. Tradisi budaya dengan tujuan melestarikan warisan leluhur di Kota Banyumas itu adalah Ritual Jamasan memandikan benda-benda pusaka, tradisi ramal meramal, dan tentu saja tradisi perayaan Maulud Nabi saw.

Seorang jurnalis  muda dan berbakat asal Banyumas, Maya, pernah membuat reportase menarik Ritual Jamasan Makam Kalibening pada tiga tahun lalu, yakni prosesi tanggal 25 Januari 2013. Reportase itu ditayangkan di Medsos Kompasiana tanggal 27 Januari 2013. Reportasenya mampu menggambarkan jalannya ritual Jamasan yang didahului dengan ritual Muludan di Komplek Pendopo Kalibening. Berbeda dengan Garebeg Mulud Kraton Yogya dan Surakarta yang dimeriahkan dengan proses arak-arakan membawa gunungan alias tumpeng raksasa. Pada Ritual Jamasan di Komplek Makam Kalibening Banyumas itu, tidak ada prosesi arak-arakan membawa tumpeng raksasa. Arak-arakan yang ada hanyalah membawa benda-benda pusaka untuk dimandikan di sumur pasucen. Selesai arak-arakan memandikan pusaka, dilanjutkan dengan prosesi pengumuman bertambah atau berkurangnya benda-benda pusaka. Semua rangkaian acara itu diselenggarakan di sekitar komplek pendopo dan makam Kalibening.

 Salah satu acara paling menarik dan selalu ditunggu-tunggu ribuan pengunjung adalah pengumuman bertambah atau berkurangnya benda-benda pusaka Makam Kalibening, setelah dilakukan penghitungan koleksi benda-benda pusaka. Sebab mereka merasa penasaran dan ingin tahu apa makna tersembunyi dibalik bertambah atau berkurangnya benda-benda pusaka yang konon terjadi secara gaib itu. Dengan perlambang itu, dibuatlah ramalan-ramalan mengenai masa depan Banyumas pada masa yang akan datang.

Secara garis besar, sebagaimana dilaporkan Maya Banyumas dalam reportasenya itu, ada tiga rangkaian kegiatan yang menjadi ciri khas gebyar budaya memperingati Maulud Nabi di Komplek Pemakaman Kalibening, yaitu:
  •  1.Peringatan Maulud Nabi SAW di Pendopo Kalibening yang tidak jauh dengan Komplek Makam. Acara diisi dengan ceramah keagamaan seputar riwayat hidup dan perjuangan Nabi saw.
  • 2.Prosesi memandikan koleksi benda-benda pusaka yang berupa aneka macam senjata pusaka seperti keris, tombak, uang kuno, batu akik dan lainnya lagi. Tempat memandikan benda-benda pusaka itu ialah di sumur yang tidak jauh dari halaman pendopo..
  •  3.Prosesi membuat ramalan berdasarkan bertambah atau berkurangnya koleksi benda-benda pusaka yang konon bisa bertambah atau berkurang dengan sendirinya secara gaib.


Maya Banyumas melaporkan, bahwa setelah dihitung jumlah koleksi pusaka Makam Kalibening pada Ritual Jamasan tahun 2013 itu ternyata ada tambahan pusaka baru. Tambahan pusaka baru itu berupa senjata Kujang unik, karena di kedua sisinya terdapat kaligrafi huruf Arab ayat al Qur’an. Tetapi Kiyai Rudin, sesepuh masyarakat setempat yang ditugaskan mengumumkan adanya benda pusaka baru, tidak berani membuat ramalan. Alasannya Sang Kiyai itu takut mendahului kehendak Yang Maha Kuasa. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada publik untuk membuat ramalan sendiri sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
 

Orang Banyumas, seperti juga orang Jawa, Sunda dan Melayu, memang gemar pada soal-soal ramal meramal. Dan memperbincangkan suatu ramalan, selalu mengasyikkan mereka. Ramalan bisa punya dampak positip maupun negatip. Dampak negatipnya, persis seperti yang dikemukakakan Kiai Rudin di atas. Dampak posistipnya, jika ramalan itu mengandung makna yang optimis, akan memberikan harapan yang tak pernah kunjung padam dan bisa mengusir sikap negatip dan pesimisme.
 
Contoh ramalan terkenal sebelum Indonesia Merdeka ialah ramalam dalan Jangka Jayabaya, yang menyebutkan bahwa bangsa kulit putih yang telah ratusan tahun menjajah Pribumi, pada akhirnya akan berakhir saat Tuhan campur tangan dengan mengirimkan utusanNya, yakni  Sang Ratu Adil. Saat itu Sang Ratu Adil masih dalam keadaan tersembunyi. Tetapi kelak pasti akan datang. Ramalan akan datangnya Ratu Adil di tanah Jawa pada saat itu menjadi isue yang sangat populer.
 
Siapkah Ratu Adil itu ? Di tengah-tengah masyarakat pun muncul berbagai nama Ratu Adil. Yang sangat terkenal adalah Heru Cakra, sebagai nama Ratu Adil. Heru Cakra sendiri mengandung makna Permata Dunia. Dialah Sang Ratu Adil yang diramalkan kelak akan datang membebaskan Pribumi dari penjajahan, sehingga Pribumi yang terjajah itu akan bisa menikmati kemerdekaannya. Ramalan populer ini terbukti menjadi kenyataan karena pada tanggal 17 Agustus 1945, Dwi Tunggal Bung Karno-Bung Hatta, membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
 
Rakyat sebelum Indonesia Merdeka sudah memiliki keyakinan bahwa Bung Karno yang memiliki kemampuan pidato  adalah sosok Heru Cakra yang telah diramalkan oleh Jangka Jayabaya. Tokoh-tokoh pejuang Bangsa yang juga sempat diidentifikiasikan dengan sosok Ratu Adil Heru Cokro adalah Pangeran Diponegoro dan Cokro Aminoto. Karena dipicu oleh keyakinan ramalan Indonesia Merdeka dalam Jangka Jayabaya, rakyat Jawa serentak bangkit melawan penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan itu. Perang Kemerdekaan pun pecah. Dengan semboyan Allahu Akbar dan Merdeka atau Mati. Akhirnya Indonesia Merdeka menjadi kenyataan.
 

Siapakah penulis kitab Jangka Jayabaya yang terkenal itu ? Seorang ahli sastra Jawa dari Surakarta, R.Tanoyo menjelaskan, bahwa kitab Jangka Jayabaya ditulis oleh Pujangga Kraton Kartasura, Pangeran Adilangu pada tahun 1743 M.Pangeran Adilangu juga terkenal sebagai penulis kitab Babad Tanah Jawi yang sangat popular. Tetapi nama Jayabaya dalam kitab Jangka Jayabaya bukanlah Jayabaya Raja Kediri( 1135 – 1157 M), yang berhasil menyatukan kerajaan warisan Erlangga, yakni Panjalu dan Daha kembali menjatu jadi satu kerajaan bersatu yang kuat, Kerajaan Kediri (Kediri Lama- 1135 – 1222 M). Nama Jayabaya dalam Jangka Jayabaya hanyalah nama rekaan Sang Penulis saja. Karena nama Raja Kediri Jayabaya sangat popular dalam pandangan orang Jawa, maka nama Jayabaya dipinjam menjadi tokoh dalam kitab Jangka Jayabaya.
 
Nama Jayabaya ditafsirkan Pangeran Adilangu terdiri dari dua kata, yakni kata jaya yang berarti menang. Dan kata baya yang berarti bebaya, bahaya atau marabahaya. Arti harfiahnya ialah kitab Jangka Jayabaya itu berisi ramalan sekaligus petunjuk bagaimana sebaiknya para raja Jawa yang saat itu berada dalam cengkeraman penjajah Belanda, bisa menghindari bahaya. Pangeran Adilangu menganjurkan agar Raja Jawa jangan melawan Belanda yang  serakah. Sebab jika dilawan dan bangsa Jawa belum kuat, pasti akan kalah. Pangeran Adilangu menyarankan agar para Raja Jawa tetap menjalin kerjasama cerdik dengan Belanda. Sebab, Pangeran Adilangu yakin bahwa semua angkara murka pasti akan ditumpas oleh Tuhan memalui caraNya sendiri.
 
Maka Pangeran Adilangu melalui tokoh Jayabaya ciptaannya itu, membuat ramalan kapan Jawa akan merdeka terlepas dari cengkeraman bangsa kulit putih. Saat yang ditunggu-tunggu itu adalah saat datangnya Ratu Adil sebagai utusan Tuhan. Ramalan tentang datangnya Ratu Adil itu kemudian menjadi ramalan yang amat terkenal seperti telah disebutkan di atas. Ramalan itu terkenal karena mampu memberikan harapan dan optimism di tengah-tengah masyakat yang sedang mengalami penindasan, penderitaan, keputusasaan dan ketidakberdayaan dibawah kekejaman kolonialisme.
 
Alkisah dalam Kitab Jangka Jayabaya dikisahkan tentang pertemuan Raja Jayabaya bersama putra Mahkota dengan seorang pendeta bernama Ki Ajar Gunung Padang. Dalam pertemuan itu Ki Ajar Gunung Padang, mempersembahan hidangan kepada Raja Jayabaya melalui seorang Endang yang cantik jelita. Kelima hidangan itu adalah (1) Kunyit, (2) Juadah, (3) Bawang Putih, (4) Bunga Melati, (5) Bunga Seruni.
 

Tentu saja setelah melihat hidangan itu, Sang Prabu Jayabaya langsung marah. Ki Ajar Gunung Padang pun dibunuhnya. Raja Jayabaya lalu pulang kembali ke istananya diiringi Putra Mahkota. Kepada Sang Putra Mahkota, Raja Jayabaya menjelaskan, apa sebabnya dia membunuh Ki Ajar Gunung Padang. Dijelaskannya bahwa dengan hidangan lima macam itu, Ki Ajar Gunung Padang sesungguhnya sedang menyampaikan maksudnya melalui lambang-lambang yaitu  bahwa sebenarnya Ki Ajar itu menghendaki Kursi Singgasana Sang Raja Jayabaya. Karena itulah Sang Raja Jayabaya marah, lalu membunuh Ki Ajar Gunung Padang. Di akhir kisahnya Sang Pujangga menuliskan serangkaian kalimat ramalan sebagai berikut.
 
“Di dalam suatu perang rusuh yang tak berketentuan gelanggangnya, ditengahi oleh seorang raja di dalam gaib yang lahir di Mekah dengan lambangnya,” Tunjung Putih Pudak Sinumpet”.
 
R. Tanoyo menjelaskan makna dibalik simbol-simbol dalam Kitab Jangka Jayabaya sbb: Ki Ajar Gunung Padang, tidak lain adalah Sunan Giri Prapen sedangkan Prabu Jayabaya tidak lain adalah Sultan Agung Mataram( 1613 – 1645 M). Adapun kunyit melambangkan Kerajaan Pajajaran, juadah melambangkan Kerajaan Majapahit, bawang putih melambangkan Kerajaan Mataran sejak Senapati sampai Sultan Agung, bunga melati melambangkan Kerajaan Mataram setelah jatuh ketangan Belanda dan kembang seruni adalah bentuk kekuasaan atau pemerintahan yang diharapkan rakyat dan Sang Peramal.
 
Adapun Endang  cantik melambangkan  kitab karya Sunan Giri berjudul kitab Asrar yang hendak dipersembahkan kepada Sultan Agung Mataram. Sedangkan arti tunjung putih pudak sinumpet artinya bunga tunjung yang tersimpan dalam sangkar tersembunyi. Bunga tanjung menggambarkan Sang Sinatria calon Ratu Adil. Sinumpet artinya tersembunyi. Jadi makna tunjung putih pudak sinumpet adalah Sang Satria Piningit calon Ratu Adil yang masih disembunyikan Tuhan. Ramalan yang demikian itu, oleh sejarawan Sartono Kartodirejo disebut sebagai mesianisme. Dalam dunia pesantren dikenal sebagai Iman Mahdi. Dalam dunia kebudayaan kraton Jawa, disebut Satria Piningit.
 
Selanjutnya R.Tanoyo menjelaskan, kitab Asrar adalah kitab ciptaan Sunan Giri Prapen yang dimaksudkan untuk mengingatkan Sultan Agung agar Sultan Agung tidak melaksanakan maksudnya menundukkan para adipati di Jawa Timur dengan kekerasan. Memang pada tahun 1624, dalam rangka melaksanakan ambisinya menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa, Sultan Agung telah berhasil menundukkan Surabaya. Sunan Giri merasa, cepat atau lambat, Sultan Agung pasti akan menghancurkan Kedaton dan Pesantren Giri. Dugaan Sunan Giri memang akhirnya menjadi kenyataan.
 
Maka melaui Kitab Asrar, Sunan Giri Prapen berusaha mengingatkan Sultan Agung mengenaik bahaya yang akan mengancam Kerajaan Mataram jika Sultan Agung melaksanakan niatnya menggunakan kekerasan untuk menguasai Pulau Jawa. Semua nasihat dan ramalan masa depan Kerajaan Mataram itu disampaikan Sunan Giri Prapen dalam bentuk simbol dan lambang-lambang agar menarik perhatian Sultan Agung. Dengan demikian kitab Asrar dari sudut kesusastraan Jawa, adalah kitab pertama yang berisi ramalan. Salinan kitab Asrar dimiliki oleh Pangeran Adilangu.
 

Atas dasar kitab Asrar karya Sunan Giri itu, Pangerang Adilangu menggubahnya kembali menjadi sebuah kitab ramalan yang diberinya judul Jangka Jayabaya. Ternyata kitab Jangka Jayabaya memenuhi harapan Sang Pujangga, menjadi karya yang amat popular,salinannnya tersebar kemana-mana dan menjadi pemicu lahirnya berbagai jenis kitab-kitab ramalan lainnya. Tentu saja salinan ramalannya akan sampai juga ke Kabupaten Banyumas.
 
Secara garis besar isi kitab Asrar ada dua. Pertama, menjelaskan secara singkat riwayat Pulau Jawa. Kedua, menyampaikan hal-hal yang bersifat ramalan tentang masa depan Kerajaan Mataram. Hal-hal yang bersifat ramalan itu menurut Tanoyo antara lain sebagai berikut :

  • 1.Mengingatkan Sultan Agug hendaknya jangan menundukkan adipati-adipati di Jawa Timur yang menentang kekuasaan Sultan Agung dengan cara kekerasan. Jika peringatan itu tidak diperhatikan, nistaya Sultan Agung akan mengalami hal-hal yang dahsyat dan merugikan dirinya sendiri.
  •  2.Sunan Giri Prapen ingin menunjukkan kepada Sultan Agung, bahwa musuh Sultan Agung  sesungguhnya bukanlah para Adipati di Jawa Timur yang hendak ditaklukan dengan kekerasan. Musuh sesungguhnya Sultan Agung adalah Kompeni yang pada tahun 1619 M, telah menduduki Batavia. Sunan Giri Prapen menganjurkan Sultan Agung agar lebih dahulu mengusir VOC yang menguasai bekas wilayah Kerajaan Pajajaran, Sunda Kelapa atau Jayakarta. Jika Sultan Agung tidak mengusir VOC dari tanah Jawa, nistaya,- demikian Sunan Giri Prapen membuat ramalan- bukan hanya Jawa yang akan berada dalam bahaya. Tetapi juga seluruh wilayah Nusantara berada dalam bahaya akan jatuh di bawah cengkeramana kekuasaan bangsa asing.
  • 3.Sunan Giri berharap Sultan Agung berhasil mengembalikan kekusaan atas bekas wilayah Pajajaran itu kepada bangsa sendiri. Namun jika Sultan Agung gagal- kembali Sunan Giri Prapen membuat ramalan- kelak pasti ada dari bangsa sendiri yang akan berhasil mengusir penjajah Belanda.
  • 4.Sunan Giri Prapen menegaskan bahwa dirinya tidak menghendaki kedudukan Singgasana Kerajaan. Beliau hanya menghendaki kedudukannya selama ini sebagai Waliullah, sekaligus juga Khalifah untuk seluruh Jawa dan Madura. Dengan kata lain, sebenarnya Sunan Giri menghendaki kekuasaan dalam urusan agama saja dan mempersilahkan Sultan Agung berkuasa dalam urusan duniawi.
  • 5.Rupanya Sunan Giri sudah menyadari Sultan Agung, akan menolak tawaran Sunan Giri, karena Sultan Agung ingin mengikuti jejak kakeknya, Senopati. Senopati, sebagai Raja Mataram, menghendaki agar dirinya sebagai Raja memiliki kekuasaan mutlak di satu tangan, baik kekuasaan di bidang keagamaan maupun kekuasaan duniawi. Itulah Sebabnya Senapati tidak mau mengakui kekuasaan Sunan Giri Prapen yang pernah menganugerahkan gelar Sultan kepada Adiwijaya pada tahun 1581 M. Dalam hal ini, Sunan Giri telah bertindak sebagai seorang Waliyullah.  Senapati sendiri ingin mengangkat dirinya  sebagai Senapati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama. Cita-cita Senapati itu sebenarnya sejalan dengan konsep kekuasaan tradisonal Jawa yang berasal dari ajaran Hinduisme. Dalam konsep Hinduisme yang berasal dari tanah India, seorang Raja digambarkan sebagai titisan dewa atau seorang raja-dewa yang memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaan mutlak raja Jawa dilukiskan dalam pentas wayang kulit sebagai ratu gung binathara bau denda nyakrawati berbudi bawa laksana ambek adil paramarta.
  • 6.Konsep raja –dewa itu diungkapkan dalam idiom agama Islam sebagai Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Dengan konsep itu,Raja Mataram secara tradisional ingin diakui sebagai Raja Dewa. Tetapi sebagai pemeluk agama Islam, Senapati ingin diakui sebagai Wakil Tuhan di dunia, yakni sebagai khalifah atau waliyullah.


Memang cita-cita Senapati itu baru tercapai pada jaman Sultan Agung,setelah Sultan Agung berhasil menghancurkan Kedaton Giri pada tahun 1638 M. Sultan Agung akhirnya memang mengakui kebenaran ramalannya Sunan Giri dalam kitab Asrar yang sempat dibacanya. Dia setuju dengan pandangan Sunan Giri tentang bahayanya kekuasaan VOC di Batavia yang akan mengancam tanah Jawa jika tidak cepat-cepat diusir dari tanah Jawa. Itulah sebabnya Sultan Agung berusaha menyerang Batavia, sebanyak dua kali. Sayang kedua-duanya gagal.
 
Akibat kegagalan Sultan Agung mengusir VOC dari Batavia, nasib Kerajaan Mataram sepeninggal Sultan Agung adalah persis seperti telah diramalkan Sunan Giri Prapen. Sepeninggal Sultan Agung, Sunan Amangkurat I berdamai dengan VOC. Akibatnya meletuslah Pemberontakan Trunojoyo. Sunan Amangkurat I terusir dari Kraton Plered. Dia dengan rombongannya melarikan diri melewati Banyumas menuju Tegal. Sunan pengagum Kompeni itu wafat di Tegal Arum. Sunan Amangkurat II yang naik tahta, dengan bantuan VOC, akhirnya berhasil menghancurkan Trunojoyo dan memusnahkan Pesantren Giri. Dengan demikian Pesantren Giri dimusnahkan Mataram sebanyak dua kali, yakni oleh Sultan Agung tahun 1638 dan oleh Amangkurat II tahun 1682 M. Pada serangan yang ke dua kali itulah Pesantren Giri benar-benar hancur.
 
Tetapi selesai Perang Trunojoyo, Mataram mengalami nasib malang berturut-turut,sehingga wilayahnya semakin lama semakin menyempit, karena hampir semua wilayah Mataram akhirnya jatuh ke tangan VOC. Setelah Priangan lepas (1677), berturut-turut lepas pula pantai utara Jawa, Jawa Timur dan Pulau Madura, akhirnya Kerajaan Mataram pecah menjadi 4 kerajaan. Dan Pasca Perang Jawa, daerah mancanegara Kediri, Bagelen dan Banyumas, menyusul lepas dan jatuh menjadi milik Pemerintah Hindia Belanda. Usai Perang Jawa, wilayah Kerajaan Mataram tinggal seluas Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta yang secara de yure ditetapkan sebagai salah satu Propinsi Kerajaan Nederland. Demikianlah nasib Kerajaan Mataram yang pernah menjadi kerajaan terkuat di Pulau Jawa. Ramalan Sunan Giri mengenai masa depan Kerajaan Mataram menjadi kenyataan.
 
Dan tradisi ramal meramal Sunan Giri diteruskan oleh Pangeran Adilangu melalui kitab Jangka Jayabaya. Akhirnya tradisi ramal meramal itu sampai juga di Kabupaten Banyumas, sebagaimana bisa disaksikan dalam tradisi ramal meramal pada ritual Jamasan benda-benda pusaka di situs Kalibening yang dilasanakan setiap bulan Maulud. Ramalan orang Banyumas yang juga sangat terkenal terjadi pada pertengahan abad ke-19 M.
Konon sebelum Peristiwa Banjir Besar Sungai Serayu tanggl 21-22-23 Pebruari 1861 M, sudah ada orang yang meramalkannya dalam bentuk kalimat unik yang menyimpan rahasia. Kalimat unik itu berbunyi sbb: Ada betik makan manggar.
 
Betik adalah sejenis ikan rawa. Sedang manggar adalah bunga pohon kelapa yang letaknya 6- 8 meter jauhnya dari tanah. Tentu akan lebih tinggi lagi, jika diukur dari rawa atau dari permukaan Sungai Serayu, tempat ikan betik bisa hidup. Dalam keadaan normal, betik tidak mungkin bisa naik pohon kelapa untuk makan manggar atau bunga kelapa. Hanya kalau ada banjir besar, sehingga pohon kelapa tenggelam pucuknya, barulah akan ada ikan betik bisa makan manggar.
 
Perhatikanlah. Dalam membuat ramalan,selalu digunakan benda-benda dari alam semesta sebagai simbol. Umumnya benda-benda itu adalah nama jenis tumbuh-tumbuhan atau bagian tumbuh-tumbuhan seperti bunga, buah, daun. Juga nama makanan, nama binatang atau juga nama-nama senjata, atau bagian senjata seperti kudi, karah dan keris, tumbak, kujang dan benda-benda aneh dan antik lainnya. Pada ramalan akan datangnya banjir, digunakan simbol manggar, yakni bunga kelapa sebagai sembol daratan atau bangunan yang tinggi. Dan ikan betik sebagai simbol air sungai Serayu. Ternyata ramalan itu menjadi kenyataan. Tiga hari tiga malam berturut-turut terjadi banjir besar Sungai Serayu. Banjir terbesar terjadi pada Tanggal 22 Pebruari 1861 M. Pohon kelapa, rumah dan bangunan pemerintahan nyaris ditenggelamkan Sungai Serayu yang sedang murka itu.
 
Sayangnya ramalan orang Banyumas itu tidak pernah tertulis, sehingga dengan mudah orang akan berkata,”Ah, ramalan itu kan dibuat orang, setelah banjir terjadi”. Memang berbeda dengan ramalan tentang Ratu Adil atau ramalan tentang Jaman Edan. Ramalan tentang Ratu Adil tertutlis dalam Kitab Jangka Jayabaya karangan Pangeran Adilangu, sedangkan Ramalan Jaman Edan tertulis dalam Serat Kalitida karya Ranggawarsita.
 

Sementara itu, ramalan di Kalibening muncul begitu saja, tidak pernah diketahui siapa penciptanya. Namun demikian, sebagai daerah bekas wilayah mancanegara kulon Kraton Surakarta, dapat dipastikan tradisi ramal meramal pada acara ritual Jamasan di Kompleks Makam Kalibening itu, pada awalnya berasal dari tradisi ramal meramal yang muncul di Surakarta. Kraton Surakarta meneruskannya dari tradisi kraton sebelumnya, yakni Kraton Kartasura dan Kraton Kartasura tentulah meneruskanya dari tradisi Kraton Mataram, khususnya pada jaman Sultan Agung .
 

Memang tidak mudah menetapkan kapan tepatnya tradisi ramal meramal itu mulai muncul di Banyumas. Orang hanya bisa menduga, tradisi itu baru muncul ketika daerah Banyumas secara politis sudah lepas dari kekuasaan Kraton Surakarta, tetapi secara kultural, adat dan budaya masih terikat dengan kebudayaan induknya. Pasca Perang Jawa, Pemerintah Belanda mengenalkan kebijakan Tanam Paksa ( 1830 – 1870 M) gagasan Van Den Bosch yang telah menimbulkan penderitaan luar biasa kepada rakyat di daerah yang berada langsung dibawah pemerintahan Belanda, tidak terkecuali daerah Banyumas. Ketika penderitaan rakyat Banyumas berada pada titik nadir, saat itulah agaknya tradisi ramal meramal di Makam Kalibening mulai muncul. Banjir Banyumas tanggal 22 Pebruari 1861 pun terjadi saat kebijakan Tanam Paksa sedang giat-giatnya dilaksanakan Pemerintah Penjajah di Daerah Banyumas.
 
Tradisi ramal meramal dalam ritual Jamasan di komplek Makam Kalibening itu, rupanya juga baru muncul setelah Banyumas dilanda banjir besar Sungai Serayu tahun 1861. Musibah banjir itu semakin menambah beban penderitaan rakyat Banyumas yang sudah berat akibat kebijakan Tanam Paksa. Rakyat dan elit Pribumi merasa perlu mencari suatu pegangan spiritual untuk melepaskan diri dari penderitaan yang menghimpitnya.Tradisi ramal meramal melalui benda-benda pusaka itulah jalan keluar yang dipilih  guna mengurangi penderitaan batin rakyat yang tertindas dan baru saja terkena musibah besar banjir Sungai Serayu.
 

Agaknya dua orang Bupati Banyumas telah ikut berjasa dengan cara menghidupkan kegiatan ramal meramal di situs Makam Kalibening. Kedua bupati itu adalah Bupati Cakranegara II ( 1864 – 1879 M) dan Bupati Martadireja III ( 1879 – 1913 M). Demikianlah sejarah timbulnya tradisi ramal meramal pada Ritual Jamasan benda-benda Pusaka setiap bulan Mulud di situs Makam Kalibening, Banyumas. Kalau begitu ramalan macam apakah yang bisa dibuat dari simbol ditemukannya benda pusaka baru dalam bentuk senjata kujang bertuliskan kaligrafi bahasa Arab pada ke dua sisinya dalam Ritual Jamasan benda pusaka tahun 2013 di Makam Kalibening? Sayang Jurnalis Muda, Maya Banyumas, tidak melakukan wawancara dengan sejumlah tokoh Banyumas pada tahun 2013 itu. .
 
Dari sudut sejarah lokal Banyumas, tentu menarik jika dapat diketahui bagaimana perkembangan persepsi masyarakat lokal Banyumas terhadap tradisi ramal meramal di situs Kalibening itu. Bukan hanya tahun 2013 yang berhasil diungkapkan dengan baik sekali oleh Maya. Tetapi juga mestinya ritual tahun 2014, 2015 dan ritual tahun 2016 dapat diungkapkan . Karena dari situ, akan dapat diketahui, apakah masyarakat Banyumas semakin rasional ataukah masih terbelenggu di dalam logika mistik? Wallahualam. (anhadja-26-03-2016). 


1 komentar:

  1. Prediksi Togel HK Mbah Bonar 27 September 2019 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Ratusan Juta Rupiah !!!

    BalasHapus