“Mas, bila
tidak sibuk pulanglah. Ibu sakit keras.,” tulis sebuah pesan lewat sms. Hanya
singkat memang, tetapi itu sudah cukup
membuat lelaki itu menarik nafas
panjang. Kematian sering datang tidak terduga. Tetapi sebahagia apakah dirinya
sebenarnya jika wanita itu dulu benar-benar jadi istrinya? Tiba-tiba seberkas kenangan lama yang telah
terpendam dan lenyap dari alam sadarnya, sepertinya menyeruak kembali membentuk
bayangan-bayangan masa lalu di ujung pelupuk matanya.
“Gus, Ayu cantik bukan? Mbakyu Lurah ingin engkau
kelak jadi suami pendamping Ayu. Ibu sih setuju sekali,” Itu kisah dua puluh lima tahun yang lalu,
ketika ibunya dengan wajah ceria dengan tidak sabar memberitahukan kepadanya.
Hem, pulang kampung mau menikmati liburan semester, malah ditawari supaya
cepat-cepat kawin, kata lelaki itu dalam benaknya saat itu.
Ayu memang semakin cantik saja. Lelaki itu setuju
saja dengan keinginan ibunya.Siapa sih yang tidak mau jadi pendamping Ayu?
Bagaimanapun Ayu adalah kembang tercantik di desanya. Tetapi ternyata takdir
kehidupan tidak harus selalu sejajar dengan keinginan. Cita-cita lelaki itu
menjadi pendamping Ayu kandas di tengah jalan. Seperti rangkain gerbong kereta
api yang terus berjalan, demikian pula jarum kehidupan. Dalam perjalanan macam-macam
persitiwa datang silih berganti.
Ibunya sudah meninggal, lalu ayahnya menyusul. Hal
yang sama dialami ayah Ayu. Bahkan Suami
Ayu, anak seorang pengusaha kaya, juga meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu
lintas.
Ya, memang semua yang naik kereta api, suka atau
tidak suka harus turun di tempat pemberhentian akhir. Sebab penumpang lain
telah antri, untuk menempuh perjalanan yang sama. Barang siapa yang naik di
stasiun pemberangkatan, dia harus turun di stasiun pemberhentian. Begitu juga
manusia dalam menjalani hidup di dunia ini. Seperti penumpang kereta api.
Setiap yang lahir, pasti akan mati, renung lelaki itu sambil menyuruh supir
yang ada disampingnya supaya mempercepat laju kendaraannya.
Lelaki itu melihat jam pada layar hape. Waktu
menunjukkan angka 20.00. Berarti sebentar lagi dia akan tiba di desa
kelahirannya. Tetapi tiba-tiba supir tak bisa melaju dengan cepat . Kawasan
jalan yang berkelak-kelok itu, baru saja diterjang angin puting beliung. Banyak
pohon-pohon di tepi jalan yang tumbang hampir menghalangi badan jalan. Malam
gelap gulita, kawasan hutan karet itu sepi. Hanya lampu mobil saja yang menjadi
satu-satunya penerang. Untunglah walaupun lambat, sejumlah mobil yang melintas,
bisa lewat.
Belum tengah malam memang. Hujan sudah reda. Suasana
terasa asing dan sunyi senyap segera terasa. Sudah lama lelaki itu merantau
meninggalkan desa tempat dia dilahirkan. Banyak hal telah berubah, bukan hanya
usia manusia yang terus merangak menuju senja. Tetapi pembangunan fisik yang
menjangkau sudut-sudut desa, telah banyak merubah wajah desa. Yang tidak
berubah hanya satu, siklus busur kehidupan yang harus dilewati manusia dan
semua yang hidup, yaitu lahir, tumbuh, berkembang dalam kehidupan di dunia,
lalu mati.
Ketika mobil terus bergerak menyusuri jalan desa,
tiba-tiba dia mendengar lolong anjing liar di tempat yang jauh. Lolongan suara
anjing liar itu terdengar beberapa kali memecah kesunyian malam. Dulu waktu dia
masih kanak-kanak, sering mendengar orang-orang tua di desanya berceritera
tetang lolongan anjing liar di tengah malam. Kata mereka, jika ada orang sakit
keras di desanya, lalu anjing liar penjaga kuburan di pinggir desa itu melolong
berkali-kali pada malam hari, berhati-hatilah. Konon itu pertanda gaib bahwa
besoknya akan ada orang yang dikubur. Tanah merah pun harus digali sebagai
terminal pemberhentian. Seolah-olah lolong anjing liar itu mengingatkan para
penumpang kereta api kehidupan, agar turun, karena perjalanan sudah tiba di
pemberhentian akhir.
Lamunannya soal lolongan anjing liar dekat kuburan
desa, lenyap seketika saat dia turun dari mobil. Seorang wanita cantik
berlari-lari menjemputnya. Ayu tetap cantik pada usianya menjelang paruh baya.
Sejenak lelaki itu ragu, tetapi tiba-tiba sebuah bibir yang lembut, hinggap di
kedua pipinya.
“Bagimana keadaan Ibu?” tanya lelaki itu. Yang
dimaksud ibu adalah ibunya Ayu, yang dulu dipanggil Mbakyu Lurah oleh ibunya.
Ayu tak menjawab.
“Ayo kita tengok di kamar,” ajak Ayu sambil menarik
lengan lelaki itu memasuki halaman rumah
Ayu. Di teras dan ruang tamu, sudah berkumpul para tetangga yang sudah tidak
dikenalinya. Akhirnya, lelaki itu melihat sosok wanita tua, dengan gurat-gurat
sisa-sisa kecantikan di waktu muda. Wanita tua itu sedang meregang nyawa.
Nafasnya tersengal-sengal. Seorang wanita yang sedang membacakan surat Yassin
menghentikan bacaannya, begitu tahu lelaki itu dan Ayu masuk ke dalam kamar.
“Ibu, ini Mas Bagus jauh-jauh dari Jakarta datang
untuk menengok Ibu. Ibu sering menanyakan Mas Bagus kan?” bisik Ayu di telinga
Ibunya. Aneh, wanita yang sedang meregang nyawa itu, bisa tenang seketika,
seakan-akan dia mendengar kalimat-kalimat yang dibisikkan kepadanya.
“Ayo Mas, kita bacakan Surat Yassin bareng-bareng,”
kata Ayu setelah melihat nafas ibunya kembali tersengal.
Lelaki itu dan Ayu duduk berdampingan berdua di
depan tempat tidur, sambil melantunkan surat Yassin bersama-sama. Ajaib! Ketika
pembacaan Surat Yassin baru sampai sepertiganya, wanita yang tengah meregang
nyawa itu, langsung diam seketika. Ayu terkejut, tidak mengira kejadiannya
begitu cepat. Ayu menangis. Dipeluknya Ibu yang pernah melahirkannya itu.
Mbakyu Lurah, begitulah ibu lelaki itu dulu memanggilnya, telah sampai di
terminal pemberhentian terakhir. Dia telah meninggal.
Pada esok harinya lelaki dan wanita itu, masih berdiri
berdua di atas sejengkal tanah merah di tepi makam, ketika ribuan pelayat sudah meninggalkan makam.
“Sekalipun kita gagal menjadi pasangan suami istri,
tetapi pastilah Ibu di alam sana gembira, ketika Ibu mengetahui kita berdua
melepas kepergiannya menghadap Sang Maha Pencipta, tadi malam” wanita itu
berkata lirih dengan nada tersendat. Lelaki itu hanya mengangguk membenarkan.
“Ibu orang baik. Pelayat yang mengantarkan ke
persitirahatan terakhir ribuan. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan
menempatkannya di surga yang telah dijanjikan,” bisik lelaki itu sambil
mendekatkan bibirnya ke teling wanita itu, sehingga lelaki itu hampir saja
menciumnya. Tetapi akhirnya memang lelaki itu tidak sabar untuk tidak mencium
wanita cantik yang nyaris hampir jadi istrinya itu.
Memang lelaki itu sendiri sedang dalam proses
mengurus perceraian dengan istrinya yang selingkuh dengan pria yang menjadi
bosnya di tempat istrinya bekerja. Empat
bulan kemudian, lelaki itu memang benar-benar menikah dengan Ayu. Mereka hidup
berbahagia.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar