Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 24 Juni 2016

Cerpen Lembah Serayu (08) : SEJENGKAL TANAH MERAH




 “Mas, bila tidak sibuk pulanglah. Ibu sakit keras.,” tulis sebuah pesan lewat sms. Hanya singkat memang, tetapi  itu sudah cukup membuat  lelaki itu menarik nafas panjang. Kematian sering datang tidak terduga. Tetapi sebahagia apakah dirinya sebenarnya jika wanita itu dulu benar-benar jadi istrinya?  Tiba-tiba seberkas kenangan lama yang telah terpendam dan lenyap dari alam sadarnya, sepertinya menyeruak kembali membentuk bayangan-bayangan masa lalu di ujung pelupuk matanya.


“Gus, Ayu cantik bukan? Mbakyu Lurah ingin engkau kelak jadi suami pendamping Ayu. Ibu sih setuju sekali,”  Itu kisah dua puluh lima tahun yang lalu, ketika ibunya dengan wajah ceria dengan tidak sabar memberitahukan kepadanya. Hem, pulang kampung mau menikmati liburan semester, malah ditawari supaya cepat-cepat kawin, kata lelaki itu dalam benaknya saat itu.


Ayu memang semakin cantik saja. Lelaki itu setuju saja dengan keinginan ibunya.Siapa sih yang tidak mau jadi pendamping Ayu? Bagaimanapun Ayu adalah kembang tercantik di desanya. Tetapi ternyata takdir kehidupan tidak harus selalu sejajar dengan keinginan. Cita-cita lelaki itu menjadi pendamping Ayu kandas di tengah jalan. Seperti rangkain gerbong kereta api yang terus berjalan, demikian pula jarum kehidupan. Dalam perjalanan macam-macam persitiwa datang silih berganti.


Ibunya sudah meninggal, lalu ayahnya menyusul. Hal yang sama dialami ayah Ayu. Bahkan  Suami Ayu, anak seorang pengusaha kaya, juga meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.


Ya, memang semua yang naik kereta api, suka atau tidak suka harus turun di tempat pemberhentian akhir. Sebab penumpang lain telah antri, untuk menempuh perjalanan yang sama. Barang siapa yang naik di stasiun pemberangkatan, dia harus turun di stasiun pemberhentian. Begitu juga manusia dalam menjalani hidup di dunia ini. Seperti penumpang kereta api. Setiap yang lahir, pasti akan mati, renung lelaki itu sambil menyuruh supir yang ada disampingnya supaya mempercepat laju kendaraannya.


Lelaki itu melihat jam pada layar hape. Waktu menunjukkan angka 20.00. Berarti sebentar lagi dia akan tiba di desa kelahirannya. Tetapi tiba-tiba supir tak bisa melaju dengan cepat . Kawasan jalan yang berkelak-kelok itu, baru saja diterjang angin puting beliung. Banyak pohon-pohon di tepi jalan yang tumbang hampir menghalangi badan jalan. Malam gelap gulita, kawasan hutan karet itu sepi. Hanya lampu mobil saja yang menjadi satu-satunya penerang. Untunglah walaupun lambat, sejumlah mobil yang melintas, bisa lewat.


Belum tengah malam memang. Hujan sudah reda. Suasana terasa asing dan sunyi senyap segera terasa. Sudah lama lelaki itu merantau meninggalkan desa tempat dia dilahirkan. Banyak hal telah berubah, bukan hanya usia manusia yang terus merangak menuju senja. Tetapi pembangunan fisik yang menjangkau sudut-sudut desa, telah banyak merubah wajah desa. Yang tidak berubah hanya satu, siklus busur kehidupan yang harus dilewati manusia dan semua yang hidup, yaitu lahir, tumbuh, berkembang dalam kehidupan di dunia, lalu mati. 


Ketika mobil terus bergerak menyusuri jalan desa, tiba-tiba dia mendengar lolong anjing liar di tempat yang jauh. Lolongan suara anjing liar itu terdengar beberapa kali memecah kesunyian malam. Dulu waktu dia masih kanak-kanak, sering mendengar orang-orang tua di desanya berceritera tetang lolongan anjing liar di tengah malam. Kata mereka, jika ada orang sakit keras di desanya, lalu anjing liar penjaga kuburan di pinggir desa itu melolong berkali-kali pada malam hari, berhati-hatilah. Konon itu pertanda gaib bahwa besoknya akan ada orang yang dikubur. Tanah merah pun harus digali sebagai terminal pemberhentian. Seolah-olah lolong anjing liar itu mengingatkan para penumpang kereta api kehidupan, agar turun, karena perjalanan sudah tiba di pemberhentian akhir.


Lamunannya soal lolongan anjing liar dekat kuburan desa, lenyap seketika saat dia turun dari mobil. Seorang wanita cantik berlari-lari menjemputnya. Ayu tetap cantik pada usianya menjelang paruh baya. Sejenak lelaki itu ragu, tetapi tiba-tiba sebuah bibir yang lembut, hinggap di kedua pipinya.


“Bagimana keadaan Ibu?” tanya lelaki itu. Yang dimaksud ibu adalah ibunya Ayu, yang dulu dipanggil Mbakyu Lurah oleh ibunya. Ayu  tak menjawab.


“Ayo kita tengok di kamar,” ajak Ayu sambil menarik lengan lelaki itu  memasuki halaman rumah Ayu. Di teras dan ruang tamu, sudah berkumpul para tetangga yang sudah tidak dikenalinya. Akhirnya, lelaki itu melihat sosok wanita tua, dengan gurat-gurat sisa-sisa kecantikan di waktu muda. Wanita tua itu sedang meregang nyawa. Nafasnya tersengal-sengal. Seorang wanita yang sedang membacakan surat Yassin menghentikan bacaannya, begitu tahu lelaki itu dan Ayu masuk ke dalam kamar.


“Ibu, ini Mas Bagus jauh-jauh dari Jakarta datang untuk menengok Ibu. Ibu sering menanyakan Mas Bagus kan?” bisik Ayu di telinga Ibunya. Aneh, wanita yang sedang meregang nyawa itu, bisa tenang seketika, seakan-akan dia mendengar kalimat-kalimat yang dibisikkan kepadanya.


“Ayo Mas, kita bacakan Surat Yassin bareng-bareng,” kata Ayu setelah melihat nafas ibunya kembali tersengal.


Lelaki itu dan Ayu duduk berdampingan berdua di depan tempat tidur, sambil melantunkan surat Yassin bersama-sama. Ajaib! Ketika pembacaan Surat Yassin baru sampai sepertiganya, wanita yang tengah meregang nyawa itu, langsung diam seketika. Ayu terkejut, tidak mengira kejadiannya begitu cepat. Ayu menangis. Dipeluknya Ibu yang pernah melahirkannya itu. Mbakyu Lurah, begitulah ibu lelaki itu dulu memanggilnya, telah sampai di terminal pemberhentian terakhir. Dia telah meninggal.


Pada esok harinya lelaki dan wanita itu, masih berdiri berdua di atas sejengkal tanah merah di tepi makam, ketika ribuan pelayat  sudah meninggalkan makam.


“Sekalipun kita gagal menjadi pasangan suami istri, tetapi pastilah Ibu di alam sana gembira, ketika Ibu mengetahui kita berdua melepas kepergiannya menghadap Sang Maha Pencipta, tadi malam” wanita itu berkata lirih dengan nada tersendat. Lelaki itu hanya mengangguk membenarkan.


“Ibu orang baik. Pelayat yang mengantarkan ke persitirahatan terakhir ribuan. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan menempatkannya di surga yang telah dijanjikan,” bisik lelaki itu sambil mendekatkan bibirnya ke teling wanita itu, sehingga lelaki itu hampir saja menciumnya. Tetapi akhirnya memang lelaki itu tidak sabar untuk tidak mencium wanita cantik yang nyaris hampir jadi istrinya itu.


Memang lelaki itu sendiri sedang dalam proses mengurus perceraian dengan istrinya yang selingkuh dengan pria yang menjadi bosnya di tempat istrinya bekerja.  Empat bulan kemudian, lelaki itu memang benar-benar menikah dengan Ayu. Mereka hidup berbahagia.[]

Kalibagor, 05-12-2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar