Surat Kabar Medan Priyayi yang terbit di Bandung, membuat geger
Pemerintah Hindia Belanda dan para Raja Gula.Satu-satunya surat kabar
milik Pribumi itu memuat berita tewasnya Tuan Besar Pabrik Gula di
Lembah Serayu.
Pagi sebelumnya wajah Tuan Besar Kiemoon, tampak
kesal. Dia hanya sekilas menatap bentangan puluhan hektar tanaman tebu
menghijau yang mengisi relung-relung Lembah Serayu di lereng selatan
Gunung Slamet.Tapi gumpalan-gumpalan awan bagaikan kapas putih yang
tengah melayang-layang mengitari puncak gunung-itu, ditatapnya
berulang-ulang. Sejenak kemudian dia meneruskan lagi berjalan kian
kemari mondar-mandir di beranda belakang rumahnya. Sebuah rumah bercorak
arsitektur Eropa abad pertengahan yang artistik dengan halaman depan
maupun belakang yang luas,rindang, dan indah.
Entah sudah berapa
lama Tuan Besar itu mondar-mandir kian kemari. Jawara Wangsa, centeng
kesayangannya, tetap berdiri mematung menyaksikan dengan sabar tingkah
majikannya. Tingkahnya-bagaikan ikan sepat sedang menggelepar-gelepar di
wajan penggorengan. Sampai akhirnya Wangsa mendengar suara
meletup-letup dari mulut majikannya.
"He! Wangsa! Harus kowe
apakan Lurah Desa Kalipetung sialan itu, si tukang judi dan penipu pula?
Apa tidak kau cekik saja orang itu sampai mampus? Ya, ya...kukira
betul, jika kau cekik saja itu orang!"
"Tidak bisa, Tuan Besar," jawab Wangsa sopan
"Tidak bisa? Hah, kowe takut ya? Coba jelaskan apa sebab kowe takut
mencekik si Penipu itu?" berkata demikian sambil Tuan Besar itu
memelototkan matanya sampai-sampai seakan-akan bola biji matanya mau
meloncat keluar.
Tetapi dia kemudian menjatuhkan dirinya ke atas
kursi goyang di dekatnya. Kursi antik kayu jati buatan ahli ukir Jepara
itu langsung bergoyang-goyang karena menanggung beban dari tubuh tinggi
besar.Sebenarnya, bagi-Tuan-Besar mendapatkan bini baru bukan barang
yang sulit. Sudah lima kali dia punya bini baru. Dan kali ini dengan
tidak sabar sedang menunggu calon bini baru ke-enam.
“Kowe musti
tahu,Wangsa.Sudah dua bulan lebih dia belum bawa calon biniku kemari.Aku
dengar-dengar dia mau batalkan itu kesepakatan. Kowe tahu sendiri,
berapa luas sawah yang telah aku berikan? Dua hektar untuk lurah itu.Dan
dua hektar lagi untuk perawan itu.”
Gadis anak Lurah Kalipetung
yang tengah diperbincangkan itu, walaupun usianya baru dua belas tahun,
tapi cantik luar biasa. Sekalipun anak desa, tubuhnya cepat besar,
sintal padat bersih, kulitnya kuning langsat cemerlang bak warna gading.
Rambutnya hitam legam sangat kontras dengan kulitnya yang halus
cemerlang. Di mata Tuan Besar, wajah perawan cantik kembang desa
Kalipetung itu, mengingatkannya kepada Diana, Dewi Bulan yang cantik
jelita dalam mitologi Romawi-Yunani.
"Hamba sudah mengeceknya,
Tuan. Lurah Kalipetung itu baru saja hamba ancam. Jika sampai berani
ingkar janji kepada Tuan, ini gantinya."kataWangsa sambil membuat
gerakan memutarkan ujung telunjuknya di sekitar lehernya, sebagai
isyarat bahwa dia akan memotong leher Lurah Kalipetung dengan golok
tajamnya, jika lurah itu ingkar janji.
"Minggu kemarin sebenarnya
gadis itu sudah akan diantarkan kemari, Tuan.Tapi keburu datang
bulan.Karena itu masih perlu waktu, Tuan," kata Wangsa yang membuat Tuan
Besar agak tenang. Kepercayaannya kepada orang tua calon bininya mulai
pulih.Baru saja Wangsa menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba seorang bujang
laki-laki tergopoh-gopoh datang menghadap.
"Tuan Besar, Lurah
Kalipetung bersama istri dan anak gadisnya datang. Mereka baru saja
turun dari dokar. Sekarang sedang menunggu di halaman
depan."seorang-bujang-laki-laki-lapor.
.Mendengar laporan
itu,Tuan Besar dan Wangsa saling berpandangan. Sebuah berita yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.Wajah keduanya ceria seketika.Tuan
Besar langsung berdiri,dan berkata.
"Biar Ik yang menjemputnya.
Bujang! Beritahu Mbok Tiyah.Katakan calon bini baruku sudah datang."
Tuan Besar memberi perintah bujang laki-lakinya.
Tuan Besar
segera berjalan ke halaman depan diikuti Wangsa. Beberapa langkah
kemudian,Tuan Besar berhenti sejenak, menengok kepada centeng
kesayangannya yang berjalan di belakangnya sambil berkata:
"He, Wangsa! Jangan lupa bila sudah selesai urusan dengan itu lurah, belikan kapas dan obat kuat di toko Babah Soen. "
"Beres, Tuan," jawab Wangsa singkat.
Kedua orang tua gadis itu, tanpa beban sedikitpun segera menyerahkan
anak gadisnya.Tak ada sedu-sedan, tak ada pula tangis perpisahan.Gadis
itu tampaknya gadis penurut yang mengangap dirinya hanyalah milik mereka
yang menguasai tubuhnya. Dia merasa dirinya adalah milik Bapak dan
Ibunya. Lalu dia merasa akan menjadi milik Tuan Besar, jika dia sudah
jadi Bini Tuan Besar.
"Maafkan aku ya, Pak-dan Simbok," hanya
itulah kata-kata yang meluncur dari mulut gadis itu saat berpelukan
dengan Bapak dan Ibunya. Orang-tua-itu bangga mengira-punya menantu Tuan
Besar.
Mbok Tiyah yang berbadan gemuk, tinggi, dan besar dengan
cekatan meraih tangan anak gadis berusia dua belas tahun, dan baru dua
kali mengalami datang bulan.Dituntunnya gadis itu diiringi tatapan mata
mereka yang duduk di ruang tamu, sampai akhirnya lenyap di balik pintu.
Malam itu merupakan malam paling membahagiakan bagi Tuan Besar. Apa
lagi sudah tiga bulan tiap malam tidur sendirian, sejak bininya yang
lama diberhentikan. Tetapi bagi bini barunya, tentu merupakan malam yang
mengerikan. Malam-yang tak terbayangkan sebelumnya.
Sampai suatu
ketika, di pagi hari, terjadilah peristiwa menghebohkan. Puluhan orang
berkumpul di halaman rumah Tuan Besar. Sejumlah polisi dari Banjoemas,
seorang dokter, dan seorang wartawan Medan Prijaji, telah tiba di tempat
itu. Esok paginya koran Medan Priyayi terbitan bulan Agoestoes 1910 itu
memuat berita di halaman depan sebagai berikut:
“Tuan Besar
Kiemon ditemukan di dalam kamarnya dalam keadaan tak bernyawa, terkapar
di lantai. Sedangkan bininya yang baru semalam menjadi penghuni kamar
itu, dalam keadaan pingsan tak sadarkan diri. Hasil pemeriksaan dokter
menyebutkan, Tuan Besar Kiemoon, Administratur Pabrik Gula meninggal
dunia akibat serangan jantung. Diduga, over dosis meminum ramuan pasak
bumi dan rempah-rempah China buatan Babah Soen. Bini Tuan Besar selamat,
hanya pingsan tak sadarkan diri. Diduga kelelahan karena sepanjang
malam harus melayani Tuan Besar yang sudah lebih dari dua bulan tidur
sendirian di kamarnya yang mewah”
Keesokan harinya kesibukan luar
biasa terus berlanjut. Karangan bunga tanda berkabung berjajar di
halaman rumah Tuan Besar. Mereka mempersiapkan penguburan Tuan Besar di
belakang bangunan Pabrik Gula yang berdiri pada tahun 1839.
Dengan tangan gemetar Mbok Tiyah menyerahkan bungkusan kapas putih
dipenuhi bercak-bercak darah kepada Wangsa, sambil berkata terbata-bata:
"Kemarin malam pada dini hari menjelang subuh, Tuan Besar masih sempat
memanggilku masuk kamar-tidurnya-dan- menyuruh-aku menyimpankan kapas
bercak darah malam pertama Bini Tuan Besar," kata Mbok Tiyah sambil
berurai air mata.
Wangsa ikut larut dalam duka mendalam saat
menerima bungkusan kapas putih-yang sempat dibelinya dari Babah Soen.
Kemarin kapas itu masih putih bersih. Sebersih gumpalan awan putih yang
tiap pagi dipandangi Tuan-Besar sedang melayang-layang di puncak Gunung
Slamet.
Dan Wangsa pun tahu dimana kapas itu harus disimpannya.
Di rak atas lemari hias-berjajar enam guci porselin.Wangsa meraih guci
ke enam dan pelan-pelan memasukkan kapas bercak darah itu ke dalamnya,
lalu menutupnya rapat-rapat. Kemudian dengan hati-hati diletakkannya
kembali guci itu ditempatnya semula. Tampak berderet lima guci
lainnya.Guci-guci berisi bercak darah para gadis yang sempat menjadi
Bini Tuan Besar Kiemoon
Sembilan bulan sesudah kejadian yang
menggemparkan itu, janda muda bekas bini Tuan Besar melahirkan bayi
laki-laki cakap.Hidung-mancung,rambut-jagung,kulit-bule.Menambah deretan
angka orang-orang Indo yang lahir di
Lembah-Serayu-dan-Hindia-Belanda.[].
Kalibagor,Januari awal,2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar