Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 24 Juni 2016

Cerpen Lembah Serayu (09) : SELENDANG MERAH





 “Aku siap melahirkan anak-anakku yang ke dua, ketiga, bahkan ke empat atau ke berapa saja asal itu anakmu. Aku ingin anak-anakku tidak jadi orang miskin seperti kita dulu.”


Ya, seperti juga kelahiran, kemiskinan, kekayaan, jodoh dan kematian, sesungguhnya semua itu merupakan misteri kehidupan. Manusia tidak pernah tahu, seperti juga lelaki itu tidak pernah tahu, mengapa dulu  dia  sering cemburu kepada seorang gadis teman sekolah di desanya yang dicintainya?  Bisa jadi karena itu, kerinduannya kepada gadis itu selalu  berulang kali muncul dalam khayalnya?


Malam itu dia menemui mantan kekasihnya yang baru pulang dari Jakarta setelah lima tahun merantau. Mantan kekasihnya itu sudah jadi orang kaya di desanya. Setelah berjalan menembus kegelapan malam, sampailah lelaki itu didepan sebuah rumah yang cukup bagus yang tentu saja telah dikenalnya.


Lelaki itu  berdiri sebentar di depan rumah itu. Dia melihat ke sekelilingnya. Setelah merasa puas barulah lelaki itu mendorong pintu pagar yang menimbulkan suara berderit. Lalu lelaki itu  melangkah masuk melewati pintu pagar halaman rumah.


 Kini lelaki itu berdiri di depan pintu. Tetapi ketika dia akan mengetuk daun pintu, tiba-tiba pintu terbuka. Rupanya penghuni rumah mendengar suaru pintu pagar yang terbuka, sehingga penghuni rumah buru-buru membukakan pintu, karena ingin menyambut tamunya.


Seorang wanita cantik berkulit kuning, dalam balutan baju berwarna hitam, dengan selendang berwarna merah yang dijadikan syal meliliti lehernya, menyembul dari balik pintu. Keduanya bukan hanya bersalaman. Tetapi saling berpelukan.


“Kopi atau teh, Kang Pono ?” tanya Kedasih, setelah lelaki itu  masuk dan duduk di atas kursi di ruang tamu rumah wanita itu. Kedasih lalu menghilang sejenak di balik pintu ruang tengah. Dengan cekatan, sebuah baki berisi segelas kopi sudah tersaji di depan Pono, lelaki yang sedang bertamu itu..


“Sendirian saja ?” tanya Pono. Kedasih  hanya menjawab dengan senyum.


”Engkau  masih suka merokok?” tanya Pono.


“Kadang-kadang,” jawab Kedasih, sambil duduk di samping Pono. Lima tahun berpisah tentu menjadikan masing-masing kaya dengan pengalamannya sendiri-sendiri. Lima tahun berpisah juga telah merubah posisi social ekonomi hasil dari perjuangan masing-masing di dalam mengatasi tantangan alam dan jaman. Alam pedesaan. Tentu berbeda dengan alam ibu kota yang merupakan kota metropolitan.


Ingatan lelaki itu terbang menjemput masa lalu. Dan lelaki itu selalu ingat kata-kata yang dulu pernah diucapkan kepada gadis yang dicintainya itu.


“Jika aku kaya, engkau seharusnya memang sudah jadi istriku,” kata Pono. Mendengar kata-kata Pono,  gadis itu hanya tertawa. Sebab andaikata Pono kaya, toh pada waktu itu baru tamat SMP. Mana ada anak tamatan SMP dinikahkan oleh orang tuanya, sekalipun dia anak orang kaya?  Sekalipun begitu, gadis itu merasa senang karena kata-kata yang seolah-olah hanya omong kosong itu, merupakan bukti cinta Pono kepadanya.


Kedasih gadis teman sekolah Pono  di desanya. Kapan Pono  mulai jatuh cinta pada Kedasih,  Pono  sudah lupa. Pono  hanya ingat ketika tiba-tiba saja muncul perasaan aneh dalam dirinya. Pono selalu  merasa gelisah bila sehari saja tidak bertemu Kedasih. Lalu wajah Pono  sering kali  menjadi pucat, jika melihat Kedasih berbincang-bincang dengan lelaki lain. Itukah yang namanya cemburu? 


Keduanya sama-sama anak petani miskin di desa mereka. Mungkin karena sama-sama miskin, Pono berani mencintai Kedasih. Tamat SMP,  Pono  memaksakan diri melanjutkan sekolah ke SMA.. Kedasih begitu tamat SMP  milih cari kerja di Jakarta, karena kebetulan ada tetangganya yang mengajaknya cari duit di Jakarta.


”Kang Pono, aku akan mengadu nasib ke Jakarta. Aku akan tetap mencintaimu. Kabari aku jika kelak kamu menikah duluan,” kata Kedasih dengan nada tanpa beban.


Itulah saat pertama kali Pono mendengar pengakuan polos Kedasih. Kata-kata Kedasih itu meluncur begitu saja dari bibir indahnya, sampai-sampai Pono ragu, apakah Kedasih tahu makna sebuah cinta? Sebab keduanya masih sangat muda untuk mengetahui hakekat cinta sejati di antara lelaki dan wanita. Orang menyebut cinta antara anak baru gede hanyalah cinta monyet. Yakni cinta ketika orang belum  bisa membedakan batas antara cinta yang didorong oleh rasa kemanusiaan dengan  cinta yang didorong oleh nafsu. Saat usia muda, batas antara keduanya sangatlah tipis dan sulit dibedakan.


 Tapi saat itu Pono nekad  meraih wajah Kedasih, lalu dipeluk dan diciumnya. Ternyata Kedasih diam saja. Pasrah. Dan itulah ciuman pertama Pono dan Pono  pun menduga itu akan menjadi ciuman  terakhir Pono kepada Kedasih.


Tetapi hidup memang punya takdir sendiri-sendir. Pono pun berpisah dengan Kedasih. Pono sempat melihat mata Kedasih  basah oleh air mata, sebelum bus Sinar Jaya  di agen pemeberhentian di kota kecamatan yang tidak jauh dari desanya dan membawa Kedasih ke Jakarta. Beberapa kali Kedasih menghapusnya dengan sapu tangan kecil berwarna biru muda. Ketika bis yang membawa Kedasih akan  berangkat Pono minta kenang-kenangan sebuah sapu tangan biru  yang basah oleh air mata Kedasih. Dengan bibir menyungging senyum, Kedasih menyerahkan sapu tangan itu kepada Pono.


“Jaga sapu tangan ini Kang Pono. Sapu tangan itu berisi air mata bukti cintaku kepadamu. Air mata cintaku semoga  menjadi pengharum sapu tangan ini,” pesan Kedasih lirih. Matanya sudah kering. Kedasih sudah mampu mengendalikan emosinya. Senyum tipisnya menghiasi bibirnya. Bibir yang pada malam hari sebelum perpisahan itu, telah bertautan dengan bibir Pono. Pono pun berjanji akan membawa saputangan warna biru muda itu, kemana saja Pono pergi.


Hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun merantau, Kedasih sudah jadi orang kaya di desanya. Sementara itu Pono baru tamat SMA dan  orang tuanya bertambah miskin karena harus menjual sepetak sawah, agar Pono bisa menyelesaikan pendidikan D1 Politeknik Komputer di Purwokerto. Tetapi selesai D1 Politeknik, Pono tetap tinggal di  kampung halamannya dan diterima bekerja jadi karyawan agen motor Jepang di  sebuah bekas kota kawedanaan tidak jauh dari desanya. Sebenarnya Pono ingin merantau ke Jakarta. Tapi ayahnya melarangnya.


Cinta Kedasih pada Pono ternyata terus berlanjut. Setiap Kedasih pulang kampung, Pono diminta menemuinya. Sepatu baru, baju baru, kaos baru yang cukup mahal, dan dua slop rokok kesukaan Pono, selalalu saja diberikan kepada Pono sebagai oleh-oleh.


Pono terkadang merasa malu pada dirinya sendiri. Dia merasa masih terus melata di lantai kemiskinan, karena penghasilannya sebagai karyawan dealer motor, masih dibawah UMR. Sementara harta Kedasih semakin jauh meninggalkan Pono. Padahal Kedasih hanya tamatan SMP.


 “Aku bekerja di klub malam, main organ, menyanyi, kadang-kadang menari menemani pengunjung sampai larut malam,” kata  Kedasih  saat menjelaskan   tempatnya bekerja di Jakarta pada Pono.


Akhirnya Pono memilih mengundurkan diri dari niatnya menikahi Kedasih. Pono merasa tidak layak jadi suami Kedasih yang sekarang jauh lebih kaya dari dirinya. Kedasih menerima pemutusan hubungannya sebagai sepasang kekasih. Tetapi Kedasih ingin tetap menjaga persahabatan di antara keduanya. Dalam benak Pono, dia  merasa Kedasih sebenarnya diam-diam masih mencintai dirinya. Dia masih saja manja kepada Pono. Setiap akan kembali ke Jakarta, bila kebetulan Kedasih baru pulang kampung  selalu saja berbisik pada Pono.


 ”Kang Pono, cium aku, dong. Engkau kan kakakku. Kapan nikah nih ?” tanya Kedasih menggoda Pono. Pono tak menjawab, tapi Pono cium juga kening Kedasih. Pono tak berani lagi  mencium bibir Kedasih, sebab Kedasih   itu sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.


Lama-lama  keduanya benar-benar berpisah, sampai akhirnya Kedasih benar-benar jadi istri seorang lelaki kaya di Jakarta.


“Kang Pono, aku mau menikah. Datang ya ke Jakarta. Calon suamiku tidak mau menikah di Kalicupak. Inginnya di Jakarta.” Kedasih titip pesan pada Pono. Pono tak pernah mengenal siapa suami Kedasih. Sebab pesta perkawinanya di Jakarta. Ada undangang khusus untuk Pono, selain titip pesan lewat saudara Kedasih.


 Entah mengapa Pono malas hadir. Alasannya sederhana. Dia takut dirinya akan sakit hati bila melihat Kedasih bersanding di pelaminan dengan lelaki lain. Pono merasa tak akan tahan menanggung derita itu, sekalipun Pono sudah memutuskan hubungan percintaannya dengan Kedasih. Lagi pula Pono pun memang merasa tak perlu  mengenal siapa dan seperti apa suami Kedasih.


Beberapa waktu kemudian Pono mendengar Kedasih hamil, dan punya anak satu. Belakangan Pono tahu anak Kedasih  sudah diasuh neneknya. Sampai akhirnya pada malam itu Pono yang masih tetap membujang itu bertemu  kembali dengan Kedasih.


Tentu saja pertemuan malam itu menjadi pertemuan yang mengasyikkan. Setelah berbicara kian kemari, akhirnya Kedasih menjelaskan maksudnya malam itu mengundang Pono.


 “Kang Pono!“ ujar Kedasih tiba-tiba setelah diam beberapa saat. Kedasih  menatap Pono  dengan pandangan mata tajam yang berbinar-binar dari bola matanya yang indah.


 "Kang Pono! Aku sudah cerai dengan suamiku!” kata Kedasih,  dengan nada tegar. Kemudian kembali Kedasih menatap wajah Pono dengan tatapan  tajam. Pono, sekalipun sudah mendengar berita perceraian Kedasih dengan suaminya, dia  pura-pura terkejut.


“Cerai? Kasihan anakmu. Sekecil dia  sudah harus berpisah dengan Bapaknya?”  kata Pono dengan nada simpati..


“Ya, justru  itulah. Aku perlu bapak pengganti anakku! Bisa bantu?” kata Kedasih tanpa basa basi. .”Aku tak mau sakit hati jika terus-menerus jadi istri ke-empat. Aku hanya ingin jadi istri pertama. Dan itu hanya mungkin jika kamu mau menolongku,” kata Kedasih melanjutkan. Lingkungan pergaulannya  dengan budaya kota, menyebabkan cara bicara Kedasih sudah jauh berbeda dengan saat dia masih anak desa yang lugu dan malu-malu. Sekarang apa yang dia inginkan langsung diutarakannya tanpa basa-basi.

  
“Besok kita pergi ke KUA, nikahi aku! Mau tidak ?” kata Kedasih pula, meluncur bagaikan butiran peluru yang langsung ditembakkan kepada Pono.


“Aku siap melahirkan anak-anakku yang ke dua, ketiga, bahkan ke empat atau ke berapa saja asal itu anakmu. Aku ingin anak-anakku tidak jadi orang miskin seperti kita dulu. Aku ingin anak-anakku kelak  bisa menyelesaikan pendidikan sampai sarjana. Aku orangnya tak mau bertele-tele. Silahkan pertimbangkan. Kuberi waktu sepuluh menit untuk mengambil keputusan!” Setelah berkata demikian Kedasih berdiri, hendak meninggalkan  Pono agar  Pono dapat berpikir untuk mengambil keputusan.


Entah mengapa tiba-tiba  Pono merasa iba dan tak ingin lama-lama berpikir. Sebelum Kedasih beranjak menjauh, Pono sudah meraih tangan Kedasih. Ditariknya tangan Kedasih  ke arah Pono,  hingga keduanya jatuh bersama-sama di atas kursi panjang di ruang tamu itu. Pono cepat memeluk Kedasih. Diciumnya bibir dan pipi Kedasih. Pono membisikkan kata-kata lembut di telinga Kedasih.


 ”Kedasih, aku setuju! Apa pun keadaanmu,  aku ingin  kita  terus bersama, bukan?”


Kedasih tidak menjawab. Tetapi dia  mengaggukkan  wajah dengan perasaan riang dan senang. Malam itu Kedasih merasa sangat bahagia. Pono ternyata mau menerima dirinya dengan apa adanya. Api asmara yang sempat meredup dan hamper padam, ternyata mulai menyala kembali.


 Esok harinya keduanya segera mengurus surat-surat. Beberapa hari kemudian Kedasih dan Pono benar-benar melakukan pernikahan di KUA.  Sengaja semuanya dilakukan secara sederhana. Bagi Kedasih yang akan memulai hidup di kampung kembali, status menjadi janda cantik dan kaya sangat mengganggunya. Dapat dipastikan akan banyak pria yang ingin melamarnya. Apalagi Kedasih memang gadis yang cantik alami. Dengan sentuhan kosmetik kecantikan sedikit saja, sudah akan membuat dirinya tampak cantik,jelita dan anggun. Dengan cepat memilki suami kembali, Kedasih merasa punya seorang lelaki yang akan selalu menjaga dan melindungi dirinya.


“Soal pesta, bisa belakangan,saja,” kata Kedasih memutuskan. Dan Pono pun setuju.


Malamnya usai pernikahan, untuk pertama kalinya  Pono tidur berdua di kamar Kedasih yang disulap jadi kamar pengantin sederhana. Lamat-lamat Kedasih membisikkan sesuatu di teling Pono sambil minta supaya  Pono memeluknya.


”Kang Pono,besok daftar kuliah lagi saja. Lanjutkan kuliah sampai selesai S1. Di Purwokerto banyak Perguruan Tinggi yang membuka program klas karyawan, bukan? Jangan kalah dengan anak-anak kita kelak. Aku sudah siapkan dananya. ”


 Pono memang hanyalah jebolan D1 Komputer, yang terpuruk jadi pekerja dealer penjulan motor dengan gajih masih dibawah UMR. Tetapi Kedasih, istrinya sudah punya banyak sawah di kampungnya yang cukup untuk membangun rumah tangga yang sejahtera bersama Pono. Pono pun gembira punya istri cantik. Lagi pula masih bisa melanjutkan kuliah  sambil bekerja mengurus sawah istinya yang luas. Pekerjaannya sebagai operator computer di Perusahaan Dealer Motor, ditinggalkannya. Malam itu  Pono melewati malam yang indah bersama Kedasih, istri tercintanya.[]

Kalibagor,24 -12-2014.

                                         




Tidak ada komentar:

Posting Komentar