“Aku siap
melahirkan anak-anakku yang ke dua, ketiga, bahkan ke empat atau ke berapa saja
asal itu anakmu. Aku ingin anak-anakku tidak jadi orang miskin seperti kita
dulu.”
Ya, seperti juga kelahiran, kemiskinan, kekayaan,
jodoh dan kematian, sesungguhnya semua itu merupakan misteri kehidupan. Manusia
tidak pernah tahu, seperti juga lelaki itu tidak pernah tahu, mengapa dulu dia
sering cemburu kepada seorang gadis teman sekolah di desanya yang
dicintainya? Bisa jadi karena itu,
kerinduannya kepada gadis itu selalu
berulang kali muncul dalam khayalnya?
Malam itu dia menemui mantan kekasihnya yang baru
pulang dari Jakarta setelah lima tahun merantau. Mantan kekasihnya itu sudah
jadi orang kaya di desanya. Setelah berjalan menembus kegelapan malam,
sampailah lelaki itu didepan sebuah rumah yang cukup bagus yang tentu saja
telah dikenalnya.
Lelaki itu
berdiri sebentar di depan rumah itu. Dia melihat ke sekelilingnya.
Setelah merasa puas barulah lelaki itu mendorong pintu pagar yang menimbulkan
suara berderit. Lalu lelaki itu
melangkah masuk melewati pintu pagar halaman rumah.
Kini lelaki
itu berdiri di depan pintu. Tetapi ketika dia akan mengetuk daun pintu,
tiba-tiba pintu terbuka. Rupanya penghuni rumah mendengar suaru pintu pagar
yang terbuka, sehingga penghuni rumah buru-buru membukakan pintu, karena ingin
menyambut tamunya.
Seorang wanita cantik berkulit kuning, dalam balutan
baju berwarna hitam, dengan selendang berwarna merah yang dijadikan syal
meliliti lehernya, menyembul dari balik pintu. Keduanya bukan hanya bersalaman.
Tetapi saling berpelukan.
“Kopi atau teh, Kang Pono ?” tanya Kedasih, setelah
lelaki itu masuk dan duduk di atas kursi
di ruang tamu rumah wanita itu. Kedasih lalu menghilang sejenak di balik pintu
ruang tengah. Dengan cekatan, sebuah baki berisi segelas kopi sudah tersaji di
depan Pono, lelaki yang sedang bertamu itu..
“Sendirian saja ?” tanya Pono. Kedasih hanya menjawab dengan senyum.
”Engkau masih
suka merokok?” tanya Pono.
“Kadang-kadang,” jawab Kedasih, sambil duduk di
samping Pono. Lima tahun berpisah tentu menjadikan masing-masing kaya dengan
pengalamannya sendiri-sendiri. Lima tahun berpisah juga telah merubah posisi
social ekonomi hasil dari perjuangan masing-masing di dalam mengatasi tantangan
alam dan jaman. Alam pedesaan. Tentu berbeda dengan alam ibu kota yang
merupakan kota metropolitan.
Ingatan lelaki itu terbang menjemput masa lalu. Dan
lelaki itu selalu ingat kata-kata yang dulu pernah diucapkan kepada gadis yang
dicintainya itu.
“Jika aku kaya, engkau seharusnya memang sudah jadi
istriku,” kata Pono. Mendengar kata-kata Pono,
gadis itu hanya tertawa. Sebab andaikata Pono kaya, toh pada waktu itu
baru tamat SMP. Mana ada anak tamatan SMP dinikahkan oleh orang tuanya,
sekalipun dia anak orang kaya? Sekalipun
begitu, gadis itu merasa senang karena kata-kata yang seolah-olah hanya omong
kosong itu, merupakan bukti cinta Pono kepadanya.
Kedasih gadis teman sekolah Pono di desanya. Kapan Pono mulai jatuh cinta pada Kedasih, Pono
sudah lupa. Pono hanya ingat
ketika tiba-tiba saja muncul perasaan aneh dalam dirinya. Pono selalu merasa gelisah bila sehari saja tidak bertemu
Kedasih. Lalu wajah Pono sering
kali menjadi pucat, jika melihat Kedasih
berbincang-bincang dengan lelaki lain. Itukah yang namanya cemburu?
Keduanya sama-sama anak petani miskin di desa
mereka. Mungkin karena sama-sama miskin, Pono berani mencintai Kedasih. Tamat
SMP, Pono memaksakan diri melanjutkan sekolah ke SMA..
Kedasih begitu tamat SMP milih cari
kerja di Jakarta, karena kebetulan ada tetangganya yang mengajaknya cari duit
di Jakarta.
”Kang Pono, aku akan mengadu nasib ke Jakarta. Aku
akan tetap mencintaimu. Kabari aku jika kelak kamu menikah duluan,” kata
Kedasih dengan nada tanpa beban.
Itulah saat pertama kali Pono mendengar pengakuan
polos Kedasih. Kata-kata Kedasih itu meluncur begitu saja dari bibir indahnya,
sampai-sampai Pono ragu, apakah Kedasih tahu makna sebuah cinta? Sebab keduanya
masih sangat muda untuk mengetahui hakekat cinta sejati di antara lelaki dan
wanita. Orang menyebut cinta antara anak baru gede hanyalah cinta monyet. Yakni
cinta ketika orang belum bisa membedakan
batas antara cinta yang didorong oleh rasa kemanusiaan dengan cinta yang didorong oleh nafsu. Saat usia
muda, batas antara keduanya sangatlah tipis dan sulit dibedakan.
Tapi saat itu
Pono nekad meraih wajah Kedasih, lalu
dipeluk dan diciumnya. Ternyata Kedasih diam saja. Pasrah. Dan itulah ciuman
pertama Pono dan Pono pun menduga itu
akan menjadi ciuman terakhir Pono kepada
Kedasih.
Tetapi hidup memang punya takdir sendiri-sendir. Pono
pun berpisah dengan Kedasih. Pono sempat melihat mata Kedasih basah oleh air mata, sebelum bus Sinar Jaya di agen pemeberhentian di kota kecamatan yang tidak jauh dari
desanya dan membawa Kedasih ke Jakarta.
Beberapa kali Kedasih menghapusnya dengan sapu tangan kecil berwarna biru muda.
Ketika bis yang membawa Kedasih akan
berangkat Pono minta kenang-kenangan sebuah sapu tangan biru yang basah oleh air mata Kedasih. Dengan
bibir menyungging senyum, Kedasih menyerahkan sapu tangan itu kepada Pono.
“Jaga sapu tangan ini Kang Pono. Sapu tangan itu
berisi air mata bukti cintaku kepadamu. Air mata cintaku semoga menjadi pengharum sapu tangan ini,” pesan
Kedasih lirih. Matanya sudah kering. Kedasih sudah mampu mengendalikan
emosinya. Senyum tipisnya menghiasi bibirnya. Bibir yang pada malam hari
sebelum perpisahan itu, telah bertautan dengan bibir Pono. Pono pun berjanji
akan membawa saputangan warna biru muda itu, kemana saja Pono pergi.
Hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun merantau,
Kedasih sudah jadi orang kaya di desanya. Sementara itu Pono baru tamat SMA
dan orang tuanya bertambah miskin karena
harus menjual sepetak sawah, agar Pono bisa menyelesaikan pendidikan D1
Politeknik Komputer di Purwokerto. Tetapi selesai D1 Politeknik, Pono tetap tinggal
di kampung halamannya dan diterima
bekerja jadi karyawan agen motor Jepang di
sebuah bekas kota kawedanaan tidak jauh dari desanya. Sebenarnya Pono
ingin merantau ke Jakarta. Tapi ayahnya melarangnya.
Cinta Kedasih pada Pono ternyata terus berlanjut.
Setiap Kedasih pulang kampung, Pono diminta menemuinya. Sepatu baru, baju baru,
kaos baru yang cukup mahal, dan dua slop rokok kesukaan Pono, selalalu saja
diberikan kepada Pono sebagai oleh-oleh.
Pono terkadang merasa malu pada dirinya sendiri. Dia
merasa masih terus melata di lantai kemiskinan, karena penghasilannya sebagai
karyawan dealer motor, masih dibawah UMR. Sementara harta Kedasih semakin jauh
meninggalkan Pono. Padahal Kedasih hanya tamatan SMP.
“Aku bekerja
di klub malam, main organ, menyanyi, kadang-kadang menari menemani pengunjung
sampai larut malam,” kata Kedasih saat menjelaskan tempatnya bekerja di Jakarta pada Pono.
Akhirnya Pono memilih mengundurkan diri dari niatnya
menikahi Kedasih. Pono merasa tidak layak jadi suami Kedasih yang sekarang jauh
lebih kaya dari dirinya. Kedasih menerima pemutusan hubungannya sebagai
sepasang kekasih. Tetapi Kedasih ingin tetap menjaga persahabatan di antara
keduanya. Dalam benak Pono, dia merasa
Kedasih sebenarnya diam-diam masih mencintai dirinya. Dia masih saja manja
kepada Pono. Setiap akan kembali ke Jakarta, bila kebetulan Kedasih baru pulang
kampung selalu saja berbisik pada Pono.
”Kang Pono,
cium aku, dong. Engkau kan kakakku. Kapan nikah nih ?” tanya Kedasih menggoda
Pono. Pono tak menjawab, tapi Pono cium juga kening Kedasih. Pono tak berani
lagi mencium bibir Kedasih, sebab
Kedasih itu sudah dianggap sebagai adiknya
sendiri.
Lama-lama
keduanya benar-benar berpisah, sampai akhirnya Kedasih benar-benar jadi
istri seorang lelaki kaya di Jakarta.
“Kang Pono, aku mau menikah. Datang ya ke Jakarta.
Calon suamiku tidak mau menikah di Kalicupak. Inginnya di Jakarta.” Kedasih
titip pesan pada Pono. Pono tak pernah mengenal siapa suami Kedasih. Sebab
pesta perkawinanya di Jakarta. Ada undangang khusus untuk Pono, selain titip
pesan lewat saudara Kedasih.
Entah mengapa
Pono malas hadir. Alasannya sederhana. Dia takut dirinya akan sakit hati bila
melihat Kedasih bersanding di pelaminan dengan lelaki lain. Pono merasa tak
akan tahan menanggung derita itu, sekalipun Pono sudah memutuskan hubungan
percintaannya dengan Kedasih. Lagi pula Pono pun memang merasa tak perlu mengenal siapa dan seperti apa suami Kedasih.
Beberapa waktu kemudian Pono mendengar Kedasih
hamil, dan punya anak satu. Belakangan Pono tahu anak Kedasih sudah diasuh neneknya. Sampai akhirnya pada
malam itu Pono yang masih tetap membujang itu bertemu kembali dengan Kedasih.
Tentu saja pertemuan malam itu menjadi pertemuan
yang mengasyikkan. Setelah berbicara kian kemari, akhirnya Kedasih menjelaskan
maksudnya malam itu mengundang Pono.
“Kang Pono!“
ujar Kedasih tiba-tiba setelah diam beberapa saat. Kedasih menatap Pono
dengan pandangan mata tajam yang berbinar-binar dari bola matanya yang
indah.
"Kang Pono! Aku sudah cerai dengan suamiku!” kata
Kedasih, dengan nada tegar. Kemudian
kembali Kedasih menatap wajah Pono dengan tatapan tajam. Pono, sekalipun sudah mendengar berita
perceraian Kedasih dengan suaminya, dia pura-pura terkejut.
“Cerai? Kasihan anakmu. Sekecil dia sudah harus berpisah dengan Bapaknya?” kata Pono dengan nada simpati..
“Ya, justru
itulah. Aku perlu bapak pengganti anakku! Bisa bantu?” kata Kedasih
tanpa basa basi. .”Aku tak mau sakit hati jika terus-menerus jadi istri
ke-empat. Aku hanya ingin jadi istri pertama. Dan itu hanya mungkin jika kamu
mau menolongku,” kata Kedasih melanjutkan. Lingkungan pergaulannya dengan budaya kota, menyebabkan cara bicara
Kedasih sudah jauh berbeda dengan saat dia masih anak desa yang lugu dan
malu-malu. Sekarang apa yang dia inginkan langsung diutarakannya tanpa
basa-basi.
“Besok kita
pergi ke KUA, nikahi aku! Mau tidak ?” kata Kedasih pula, meluncur bagaikan
butiran peluru yang langsung ditembakkan kepada Pono.
“Aku siap melahirkan anak-anakku yang ke dua,
ketiga, bahkan ke empat atau ke berapa saja asal itu anakmu. Aku ingin
anak-anakku tidak jadi orang miskin seperti kita dulu. Aku ingin anak-anakku
kelak bisa menyelesaikan pendidikan
sampai sarjana. Aku orangnya tak mau bertele-tele. Silahkan pertimbangkan.
Kuberi waktu sepuluh menit untuk mengambil keputusan!” Setelah berkata demikian
Kedasih berdiri, hendak meninggalkan
Pono agar Pono dapat berpikir
untuk mengambil keputusan.
Entah mengapa tiba-tiba Pono merasa iba dan tak ingin lama-lama
berpikir. Sebelum Kedasih beranjak menjauh, Pono sudah meraih tangan Kedasih.
Ditariknya tangan Kedasih ke arah
Pono, hingga keduanya jatuh bersama-sama
di atas kursi panjang di ruang tamu itu. Pono cepat memeluk Kedasih. Diciumnya
bibir dan pipi Kedasih. Pono membisikkan kata-kata lembut di telinga Kedasih.
”Kedasih, aku
setuju! Apa pun keadaanmu, aku
ingin kita terus bersama, bukan?”
Kedasih tidak menjawab. Tetapi dia mengaggukkan
wajah dengan perasaan riang dan senang. Malam itu Kedasih merasa sangat
bahagia. Pono ternyata mau menerima dirinya dengan apa adanya. Api asmara yang
sempat meredup dan hamper padam, ternyata mulai menyala kembali.
Esok harinya
keduanya segera mengurus surat-surat. Beberapa hari kemudian Kedasih dan Pono
benar-benar melakukan pernikahan di KUA.
Sengaja semuanya dilakukan secara sederhana. Bagi Kedasih yang akan
memulai hidup di kampung kembali, status menjadi janda cantik dan kaya sangat
mengganggunya. Dapat dipastikan akan banyak pria yang ingin melamarnya. Apalagi
Kedasih memang gadis yang cantik alami. Dengan sentuhan kosmetik kecantikan
sedikit saja, sudah akan membuat dirinya tampak cantik,jelita dan anggun.
Dengan cepat memilki suami kembali, Kedasih merasa punya seorang lelaki yang
akan selalu menjaga dan melindungi dirinya.
“Soal pesta, bisa belakangan,saja,” kata Kedasih
memutuskan. Dan Pono pun setuju.
Malamnya usai pernikahan, untuk pertama kalinya Pono tidur berdua di kamar Kedasih yang
disulap jadi kamar pengantin sederhana. Lamat-lamat Kedasih membisikkan sesuatu
di teling Pono sambil minta supaya Pono
memeluknya.
”Kang Pono,besok daftar kuliah lagi saja. Lanjutkan kuliah
sampai selesai S1. Di Purwokerto banyak Perguruan Tinggi yang membuka program
klas karyawan, bukan? Jangan kalah dengan anak-anak kita kelak. Aku sudah
siapkan dananya. ”
Pono memang
hanyalah jebolan D1 Komputer, yang terpuruk jadi pekerja dealer penjulan motor
dengan gajih masih dibawah UMR. Tetapi Kedasih, istrinya sudah punya banyak
sawah di kampungnya yang cukup untuk membangun rumah tangga yang sejahtera
bersama Pono. Pono pun gembira punya istri cantik. Lagi pula masih bisa
melanjutkan kuliah sambil bekerja
mengurus sawah istinya yang luas. Pekerjaannya sebagai operator computer di
Perusahaan Dealer Motor, ditinggalkannya. Malam itu Pono melewati malam yang indah bersama
Kedasih, istri tercintanya.[]
Kalibagor,24 -12-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar