Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 22 Juni 2016

Ceritera Lembah Serayu (06) : KETIKA BANJIR BANYUMAS 22-02-1861




Dokumen Foto Ilustrasi milik Sagiyo-Banjarnegara

Kakeku bernama Kramadiwirya bin Kramadimeja. Kramadimeja jelas adalah nama dari kakek ayahku. Pada suatu ketika ayahku  berceritera padaku tentang Banjir Sungai Serayu  yang melanda Banyumas dan sekitarnya  pada tanggal 22 Pebruari 1861. Tentu saja ayahku pada saat itu belum lahir. Ayahku mendengar cerita yang aku tulis lagi berikut ini dari kakek ayahku, Eyang Kramadimeja.


Kakek ayahku saat itu masih bocah remaja berusia dua puluhan tahun. Sayang aku tidak tahu, siapa nama kakek ayahku pada waktu muda. Yang aku tahu, setelah menikah dia mewarisi jabatan bapaknya, mandor ahli mesin bagian gilingan pabrik gula. Dia juga mewarisi tanah-tanah luas di sekitar kompleks bangunan pabrik gula. Tentu saja karena saat itu dia masih muda,  dia dapat merekam persitiwa banjir Serayu itu dengan jelas.


Alkisah beberapa hari sebelum sungai Serayu mengamuk dengan banjir yang dahsyat, hampir semua penduduk yang tinggal di sebelah utara Sungai Serayu, di kaki bukit Kendalisada mendapatkan mimpi  aneh. Mimpi itu membuat mereka setiap malam ingin bermimpi hal yang sama. Dalam mimpi itu, seakan-akan mereka pada suatu malam   sedang berada di tepi sungai yang ada dalam taman surgawi. Di kanan kiri sungai berdiri berjajar-jajar memanjang pohon-pohon besar yang rindang, sehingga nampak indah, menimbulkan suasana sejuk dan segar. Di bawahnya terhampar rumput  bak karpet hijau yang tergelar memanjang di tepian sungai. Bulan di langit bersinar sangat cemerlang, seperti  sinar matahari di pagi hari, membuat air sungai berpendar-pendar karena memantulkan cahaya bulan. Wajah bulan di langit, nampak bayangannya di dasar sungai yang bening itu.


Tiba-tiba dari arah hulu, nampak sebuah perahu melaju mendekati mereka yang sedang berdiri tertegun di tepi sungai. Perahu merapat dan berhenti di depan mereka. Si Pendayung dengan cekatan meloncat ke daratan menghampiri mereka. Tentu saja mereka sangat senang, karena pendayung itu adalah seorang gadis cantik yang perkasa, langsing, berkulit kuning, rambutnya yang ikal disanggul di atas kepalanya. Dagunya tipis menggantung indah di wajah cantiknya. Mengenakan baju ringkas, hingga ke dua buah dadanya nampak tertekan keras dan mantap dibalik balutan bajunya yang  berlengan pendek. Pahanya dibalut celana pendek di atas lulut, sepasang sepatu menghiasi  kedua ujung kakinya yang panjang, sehingga sepasang kaki yang indah itu nyaris  tampak sempurna.

Dengan cepat gadis cantik itu menyerahkan pot kecil berisi bibit pohon ke tangan mereka, memberikan ciuman tipis di pipi kiri mereka, kemudian gadis cantik itu cepat pergi meninggalkan mereka, menghilang entah kemana. Mereka mencoba menahannya tapi sia-sia, sampai tiba-tiba mereka terbangun. Betapa menyesalnya mereka karena mereka telah kehilangan kebahagiaan dalam mimpi. Sebab  mereka memang tak pernah memperoleh kebahagiaan, sekalipun hanya dalam mimpi. Bagi mereka tidur hanyalah sekedar melepaskan diri dari himpitan hidup keseharian yang mencengkeram  mereka.


“Kami  pun ingin hidup bahagia dan sejahtera sebagaimana layaknya manusia,” kata penduduk yang tinggal di desa sepanjang sisi utara sungai Serayu itu. Mereka tinggal  tidak jauh dari lereng perbukitan kecil Kendalisada.


Paginya mereka ramai-ramai mendatangi Pak Kiyai dan menanyakan apa makna mimpi tersebut. Pak Kiyai bilang, gadis cantik itu penjelmaan malaikat, lambang kasih sayang dan harapan. Pot bibit pohon, juga lambang harapan yang akan terus tumbuh. Penduduk diharapkan tidak pernah putus asa dalam menghadapi setiap musibah yang menimpanya.


 “Dibalik setiap musibah, pasti ada harapan yang akan tumbuh, sebagaimana halnya bibit pohon yang selalu punya harapan untuk tumbuh dan memberikan hasilnya kelak dikemudian hari kepada mereka yang selalu bersabar,” kata Pak Kiyai memberikan nasihat pada para penduduk yang menjumpainya  di langgar samping rumahnya pada pagi itu. Pak Kiyai baru saja selesai melaksanakan shalat Duha.


“Namun demikian yang dimaksud sabar bukan berarti membiarkan kemaksiatan merajalela disekeliling kita,” kata Pak Kiyai melanjutkan.

 Dijelaskannya bahwa sabar berarti juga tidak berhenti memberikan peringatan terhadap setiap perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi. Sekalipun setiap pemberi peringatan sering menghadapi tantangan yang kadang-kadang mengancam jiwanya, setiap pemberi peringatan harus tetap sabar, tabah dan tidak gampang menyerah dan putus asa. Penduduk desa itu memang sering marah, karena nama bukit Kendalisada tiba-tiba seakan-akan lenyap. Dan berganti nama jadi bukit Tunggangan. Entah siapa yang memulainya. Kenyataannya nama itulah yang kemudian  menjadi terkenal dan jadi buah bibir pembicaraan banyak orang. Bukan hanya jadi pembicaran orang-orang Belanda yang baru membangun gedung megah tempat mereka berkumpul di kota Banyumas. Tetapi juga menjadi pembicaraan Tuan Residen, Bupati, kaum ambtenar, priyayi, punggawa kabupaten, karyawan dan buruh pabrik gula serta orang-orang kebanyakan rakyat pribumi lainnya.Semua orang memang tahu, apa arti kata tunggangan dalam bahasa setempat! Bahkan anak-anak kecil pun tahu apa artinya. Dan mereka akan tertawa cekikan jika mereka membicarakannya sambil bisik-bisik dan sembunyi-sembunyi. Nama bukit Tunggangan semakin melejit sampai dikenal ke luar kota Banyumas. Bahkan sampai Batavia dan Istana Gubernur Jendral Hindia Belanda di Bogor.


 “Sesungguhnya kami tidak rela jika kumpulan orang Belanda di Banyumas itu jadi pelindung  pembangun banyak rumah bordil di sekitar bukit Tunggangan!”  kata salah seorang  penduduk yang jadi juru bicara mereka dengan nada geram.


“Kita harus melakukan aksi protes, berkumpul di alun-alun Banyumas biar protes kami di dengar Kanjeng Bupati,” kata mereka bersemangat. Mereka berniat melancarkan aksi protes menentang munculnya banyak rumah bordil di sekitar bukit Tunggangan yang dilindungi orang-orang Belanda.


“Syukur-syukur protes kami didengar Tuan Residen. Bahkan kalau sampai didengar Gusti Gubernur Jendral di Bogor, bisa-bisa orang-orang Belanda hidung belang itu akan ditindak!” kata lelaki itu berharap.


Memang mereka itu adalah sekelompok kecil penduduk yang masih berpikiran waras. Mereka tidak ingin anak perempuan mereka, istri-istri mereka atau saudara-saudara perempuan mereka terjerumus ke lembah prostitusi. Semiskin apa pun mereka. Sebagian penduduk yang protes itu adalah penduduk yang jatuh miskin karena mereka penduduk yang tidak punya sawah dan tanah kebun atau ladang. Mereka dikenai kewajiban kerja paksa di ladang-ladang tebu, karet dan proyek pembangunan lainnya selama 66 hari dalam setahun tanpa dibayar. Sudah barang tentu mereka jatuh miskin. Sebab bukan hanya tenaga mereka yang diperas selama 66 hari menurut ketentuan Kultur Stelsel.


“Keadaan ini tak bisa dibiarkan terus Pak Kiyai,” kata juru bicara penduduk itu dengan nada emosional dalam kesempatan berbincang-bincang dengan Pak Kiyai. Memang hanya kepada Pak Kiyai itu mereka dengan mudah bisa mengadu dan mengeluh.


“Kami  sering dipaksa harus kerja tanpa dibayar lebih dari 66 hari. Padahal Kanjeng Bupati pernah bilang, rakyat yang tak punya sawah, cukup menggantinya dengan kerja bakti selama 66 hari. Tapi prakteknya kami sering dipaksa harus kerja bakti selama 90 hari. Tentu saja selama itu pula kami tidak bisa memberi makan anak istri kami. Banyak istri-istri teman-teman kami terpaksa bekerja jadi  babu orang-orang kaya, hanya supaya dapat makan,” kata lelaki itu ketika mengadu pada Pak Kiyai.


“Lebih malang lagi ada istri-istri teman kami yang  masih muda, apalagi punya anak perempuan cantik. Mereka banyak yang memilih menjual diri mereka dan anak gadisnya ke pelukan lelaki hidung belang orang-orang Belanda. Sebab bayarannya bisa berlipat-lipat. Akhirnya dunia prostitusi  menjadi salah satu pilihan mereka. Sungguh aneh jika Kanjeng Bupati menutup mata terhadap masalah-masalah seperti ini. Dan bukit Tunggangan semakin ramai dengan munculnya rumah-rumah bordil baru!” kata lelaki itu pula.


“Memang menurut hematku, hanya Kanjeng Guberbur Jendral  di Bogor yang bisa menghentikan pembangunan rumah-rumah bordil di bukit Tunggangan yang semakin merajalela itu,” kata Pak Kiyai.


“Lalu apa langkah-langkah yang harus kita lakukan, Pak Kiyai?”


“Ya, langkah pertama tadi sudah betul. Kumpulkan sebanyak mungkin penduduk. Kita ramai-ramai kumpul di alun-alun, minta kesempatan bicara dengan Kanjeng Bupati. Biar aku jadi juru bicaranya.” Lelaki itu gembira, karena Pak Kiyai sanggup menjadi pemimpin aksi protes mereka.


Kebijakan Kultur Stelsel, memang telah mengakibatkan  pembangunan fisik di lembah Serayu meningkat dengan pesat. Tetapi tanpa dapat dikendalikan pembangunan jasa prostitusi ternyata ikut meningkat pula. Dan pusatnya di sekitar bukit Tunggangan itu. Mucikari dari luar kota berdatangan untuk ikut mengeruk keuntungan dari kemiskinan yang sedang berproses, mengiringi sukses-sukses pembangunan kota Banyumas yang semakin gemerlap. Termasuk hasil sampingan dari pembangunan, adalah munculnya rumah- rumah bordil  di sekitar bukit Tunggangan itu. Selain muncul rumah-rumah bordil, juga muncul sebuah grumbul baru. Entah mengapa penduduk segera mengenalnya dengan nama grumbul Sanggama. Grumbul baru ini letaknya tentu saja  tidak jauh dari bukit Tunggangan.  Dan grumbul itu cepat berkembang jadi grumbul pilihan bermukim kesukaan para mucikari, dukun beranak, dukun pijat, sampai dukun pelayanan jasa pemasangan susuk asmara. Gadis-gadis muda belia pendatang dari luar kota yang terjerembab ke dunia prostitusi, juga merasa nyaman tinggal di grumbul yang berada di arah timur laut bukit Tunggangan itu.


Ketika itu, Residen Bnyumas melaporkan perkembangan pelaksanakan Kultur Stelsel  yang telah berjalan tiga dasa warsa lebih kepada Gubernur Jendral Belanda di Batavia. “Rakyat lembah Serayu yang punya tanah telah diwajibkan menanam tebu di seperlima luas sawah atau ladangnya. Mereka taat dan patuh. Tidak ada gerakan pembangkangan,” tulis laporan Residen itu.


“Tanah-tanah milik desa dan bupati pun  dengan suka rela diserahkan jadi lahan tanaman tebu dengan luas ribuan hektar. Di lereng-lereng Pegunungan Serayu sekitar Kejawar, telah dirintis jadi perkebunan karet. Pabrik tebu telah dibangun di desa Kalibagor. Ladang-ladang tebu muncul di sisi kanan dan kiri Sungai Serayu yang subur itu. Tak terkecuali di kaki bukit Kendalisada yang memanjang dari timur ke barat di sisi utara sungai Serayu,” tulis laporan Residen Banyumas yang membuat senang Gubernur Jendral di Batavia.


Gubernur Jendral Hindia Belanda memang tahu dari berita koran yang terbit di negeri Belanda, bahwa dalam waktu singkat komoditas tebu dan karet telah menjadi produk primadona Lembah Serayu. Ribuan gulden mengisi pundi-pundi negeri Belanda yang membuat negeri kecil di tepi Laut Utara itu menjadi salah satu negara kaya raya di Eropa. Rakyat Lembah Serayu ikut menyumbang kemakmuran negeri Belanda. Hasil penjualan gula dan karet Lembah Serayu, di pasaran internasional mampu menggeser produk unggulan nila yang semula merupaka komoditas utama rakyat tanah Pasundan. Gubernur juga menerima laporan dari Residen Banyumas bahwa Kota Banyumas dengan desa dan kota satelit disekitarnya seperti Buntu,  Krumput, Kalibagor, Patikraja dan Sokaraja ikut menerima berkah dari keuntungan perkebunan tebu dan karet.


“Revolusi industri sedang menggeliat bukan hanya di negeri Belanda. Tetapi juga di lembah Serayu,” tulis laporan yang dibaca Gubernur Jendral. Gubernur Jendral tersenyum bangga. Dia meneruskan membaca laporan wilayah subur yang belum  seperempat abad menjadi wilayah yang langsung dikelola Pemerintah Hindia Belanda setelah meletus Perang Jawa (1825 -1830 M)  yang dipimpin Pangeran Diponegoro itu. Sebelumnya wilayah Lembah Serayu merupakan wilayah Kasunanan Surakarta.


 “Orang-orang Borjuis kaya dari Belanda dan Belgia banyak yang membenamkan modalnya di lembah Serayu untuk memperluas tanaman tebu dan karet. Investasi besar-besaran kaum borjuis kapitalis itu digunakan untuk membeli mesin-mesin baru, memperbesar bangunan pabrik gula, membangun kompleks perumahan di sekitar pabrik  dan membangun jaringan rel kereta tebu, kereta api tranportasi umum, jalan-jalan  dan jembatan,” tulis laporan yang masih dibaca Gubernur Jendral Hindia Belanda.


“Orang-orang kulit putih itu makin banyak saja yang berdatangan kelembah Serayu. Mereka menangani perluasan pembangunan pabrik gula, perluasan tanaman tebu, membuka hutan dilereng bukit Kejawar untuk persiapan tanaman karet, dan tentu saja membangun kota Banyumas dan proyek revolusi industri lainnya.


“Kota Banyumas dan sekitarnya terus menggeliat, berkembang menjadi kota yang makmur,” tulis kalimat penutup laporan dari Residen Banyumas.


Tentu saja Residen Banyumas hanya melaporkan hal-hal yang baik-baik saja kepada Gubernur Jendra, bos besarnya yang tinggal di istananya yang megah di kota Bogor. Tetapi bagi penduduk miskin pribumi bernasib malang yang terpinggirkan, kemakmuran yang sedang menggeliat di depan matanya itu, sama sekali tidak dirasakannya. Bagi mereka menjadi makmur dan sejahera hanyalah sebuah impian dan khayalan. Kenyataan yang dirasakan sehari-hari adalah beban berat kewajiban kerja paksa yang semakin hari semakin membebani punggungnya yang sudah menanggung beban berat sejak peraturan Kultur Stelsel atau Tanam Paksa diberlakukan di Lembah Serayu. Sampai suatu saat mereka  mimpi secara serentak. Mereka mimpi didatangi gadis cantik yang memberikan ciuman mesra dan lembut kepada mereka.Dan itulah mimpi indah yang tak pernah mereka lupakan.

***

Sore itu gumpalan–gumpalan awan  hitam bergulung-gulung   bergerak di atas kepala mereka. Mereka berdiri mendongak-dongak ke atas melihat gumpalan-gumpalan awan hitam yang terus bergerak dan membuat langit lebih cepat gelap dari hari-hari biasanya.


“Sebentar lagi akan datang hujan lebat, Pak Kiyai?”tanya mereka  serentak pada lelaki yang biasa mereka panggil Pak Kiyai itu. Mereka tidak pernah tahu dari mana asal Pak Kiyai itu  Dan mereka memang merasa tak perlu tahu.


 “Tidak! Tidak bakal hujan,” jawab Pak Kiyai mantap. Padahal dilangit awan gelap sudah bergelantungan.


“Kalau begitu Sungai Serayu tidak  akan meluap Pak Kyai? “ tanya mereka  pula.


Pak Kiyai hanya menjawab dengan sebuah senyum. Dan mereka pun tahu makna dari senyum itu. Senyum itu berarti mereka tidak harus cemas, karena banjir belum akan datang. Dan mereka pun tak perlu bersiap-siap untuk mengungsi, sekalipun awan tebal menggantung di atas mereka.


“Nanti malam kita bisa melihat bintang-bintang di langit,” kata Pak Kiyai.


“Bener, Pak Kiyai?”tanya mereka serempak.


“Ya, silahkan aja buktikan, kapan aku pernah bohong?”


Ramalan Pak Kiyai ternyata benar. Malam itu mereka benar-benar melihat bintang gemintang yang bertaburan dengan indahnya di langit di atas mereka. Mereka tidak pernah tahu kemana perginya awan hitam yang sejak siang hari menggantung di langit di atas Lembah Serayu.


“Kapan akan tiba saat ikan betik makan manggar, Pak Kiyai?”  tanya mereka pula.


“Menurut aku kalau Serayu sudah marah! Kalau  perzinaan semakin meraja lela. Kalau pesta pora minum arak dan mabok-mabokan dilakukan kalangan pejabat pemerintah. Kalau rakyat miskin dianiaya dan terus menerus ditindas. Kalau perilaku syirik dan musryik merebak. Kalau masyarakat lupa pada peringatan Tuhan. Ya, pokoknya kalau kerusakan di sekitar kita terus meraja lelala. Dan kalau kita sudah memberi peringatan. Tetapi peringatan itu tidak digubris dan diabaikan. Saat itulah Serayu akan marah.  Tuhan melaui alam semesta ciptaanNya, akan memperingatkan masyarakat dengan caraNya sendiri. Pada saat itu akan ada ikan betik   makan manggar!”  kata Pak Kiayi membuat ramalan.


Ikan betik adalah ikan rawa. Sedang manggar adalah bunga kelapa. Tidak ada ikan betik yang bisa memanjat pohon kelapa, seperti para penderes. Hanya kalau ada banjir besar yang bisa menenggelamkan pohon kelapa, baru akan ada ikan betik yang bisa pesta pora menyantap manggar pohon kelapa.


“Sebelum datang mala petaka dan musibah besar. Besok kita ramai-ramai mengajukan protes kepada Kanjeng Bupati! Siapa tahu bias mencegah bencana yang tidak kita inginkan,” kata Pak Kiyai. Usul Pak Kiyai langsung mendapat sambutan gegap gempita dari  penduduk yang hari itu berkumpul di halaman rumah Pak Kiyai yang berada di lereng sebelah barat bukit Kendalisada. Mereka pun ramai-ramai pulang untuk mempersiapkan gerakan protes pada esok harinya.


Benar saja, paginya alun-alun Kapupaten Banyumas di kepung ratusan penduduk buruh tani dan perkebunan yang dikenal sebagai kuli kenceng,  yang merasa tertindas dan diperlakukan tidak adil akibat kebijakan Kulturstelsel. Mereka semua memakai pakaian hitam-hitam, dengan ikat kepala wulung. Pak Kiayi berjalan paling depan, memimpin rakyat yang akan protes menyampaikan uneg-unegnya kepada Kanjeng Bupati. Tetapi sebelum tiba di alun-alun, polisi yang dikendalikan residen segera turun tangan, dengan senjata siap ditembakkan kepada para pemrotes. Moncong senapan  menghadang dan menghentikan massa penduduk itu. Akhirnya dilakukan perundingan antara Pak Kiyai dengan Kepala Polisi. Kepala Polisi mengijinkan Pak Kiyai dan dua perwakilan penduduk menghadap Bupati di Pendopo Kabupaten. Perundingan berlangsung singkat. Petisi telah disampaikan kepada Kanjeng Bupati. Kanjeng Bupati berjanji akan meneruskan petisi itu kepada Kanjeng Residen. Selesai menyampaikan petisi Pak Kiyai segera pamit untuk menemui ratusan pendukungnya yang menunggu di luar alun-alun.


“Allahhu Akbar! Mari kita pulang. Besok harap semuanya kembali bekerja seperti biasa lagi. Tugas kita menyampaiakan peringatan telak kita lakukan. Selanjutnya terserah kepada Kanjeng Bupati dan  Kanjeng Residen untuk menindak lanjuti usul-usul kita itu,” kata Pak Kiyai menyampaikan pidato singkat tapi  bersemangat dengan diselingi gema takbir  di hadapan ratusan pendukungnya. 

Mereka pun mematuhi perintah Pak Kiyai. Mereka segera bubar dan kembali ke rumahnya masing-masing. Tapi ternyata tindakan protes dan mogok kerja sehari penduduk kuli kenceng itu, telah membuat murka Kanjeng Residen. Pak Kiyai dituduh sebagai pimpinan perusuh pembuat onar, penggangu ketertiban masyarakat dan penyebar kebencian. Esok subuh dinihari, puluhan polisi dari Banyumas dikerahkan untuk menangkap Pak Kiyai di rumahnya. Tapi para pendukungnya mencium gelagat itu. Maka sejak malam hari mereka sudah menjaga rumah Pak Kiyai. Mereka mendengar Pak Kiyai akan digelandang aparat. Mereka pun segera bergerak untuk menyelamatkan Pak Kiyai, dengan membuat pagar betis di depan rumah Pak Kiyai.

 Pak Kiyai diselamatkan di dalam langgar yang ada di samping rumah. Lalu bentrokan pun tak terhindarkan lagi. Pendukung Pak Kiyai  terus  melawan tendangan, pukulan, hantaman aparat. Pada awalnya polisi agak kewalahan juga melawan mereka, walaupun jumlah aparat  terus ditambah. Pendukung Pak Kiyai menggunakan batu yang mereka lemparkan kepada polisi.. Akhirnya terdengar suara dor..dor..dor.  di tengah-tengah gema takbir yang bersaut-sautan dari para pendung Pak Kiyai yang berkumpul di samping langgar. Aparat  melepaskan tembakan ke atas dua kali dan satu kali diarahkan ke kaki Pak Kiyai yang langsung roboh seketika. Dalam keadaan darah meleleh dan kaki terluka Pak Kiyai diangkut ke kereta tahanan yang telah tersedia. Petugas pulisi yang mengangkutnya melemparkan Pak Kiyai begitu saja seperti barang ke bak belakang kereta tahanan. Sejumlah penduduk luka-luka kena tembakan. Untung tak  ada korban jiwa. Dalam waktu singkat penduduk yang membela Pak Kiyai berhasil dilumpuhkan dengan mudah . Tak ada satupun dari mereka yang ditangkap.


”Pemogokan dan protes di kota ini dilarang. Besok semuanya harus kembali bekerja di tempat masing-masing. Barang siapa yang melakukan pembangkangan. Akan mengalami nasib yang sama seperti Pak Kiyai,” pesan komandan polisi yang mengumpulkan penduduk guna memberikan peringatan sekaligus ancaman.


 Betapa sakit hati mereka, karena mereka dituduh sebagi perusuh dan sebagai pembangkang di desa mereka. Padahal mereka tidak berniat berontak. Mereka datang ke alun-alun Banyumas tidak membawa senjata. Mereka hanya mau protes dan menyampaikan peringatan.Itu saja. Tapi kenapa Pak Kiyai harus ditembak? Mereka semua menangis, sedih, geram dan marah campu aduk jadi satu. Tapi tangis mereka akhirnya tenggelam oleh hujan deras yang tiba-saja  turun dari langit, seolah-olah ikut menemani mereka menangis. Sampai malam hujan tidak berhenti. Bahkan hujan deras terjadi terus menerus selama tiga hari. Langit Lembah Serayu terus menerus gelap sepanjang tiga hari.


Tak lama kemudian Sungai Serayu benar-benar meluap. Banjir besar tak tertahankan lagi. .Airnya  meluap kemana-mana, menyapu habis bangunan penduduk  yang ada di sepanjang aliran sungai. Air sungai telah menenggelamkan ratusan bahkan ribuan bangunan rumah. Korban meninggal,hanyut dan hilang tidak terkira banyaknya. Nyawa manusia melayang dimana-mana. Tua, muda, laki-laki perempuan, semua menjadi korban.  Ribuan penduduk yang selamat pun menjadi pengungsi. Mereka menjadi pengungsi dalam keadaan miskin dan mereka tak pernah tahu kemana mereka harus kembali. Tapi anehnya, semua penduduk yang sempat bermimpi di cium gadis cantik dan diberi sebatang bibit pohon, selamat semuanya beserta seluruh keluarganya. Memang rumah mereka hanyut diterjang banjir. Dan harta bendanya yang tak banyak telah ludes. Tiap malam di tempat pengungsian mereka menatap langit, berharap melihat bintang gemintang di langit, berharap bisa bertemu gadis cantik yang muncul dari sungai dalam mimpi-mimpi mereka.


Gubernur Jendral Hindia Belanda terkejut ketika mendengar laporan Kota Banyumas dilanda banjir besar Sungai Serayu yang nyaris menenggelamkan kota Banyumas. Gubernur Jendral segera mengirimkan musibah nasional itu kepada Sri Ratu Kerajaan Belanda. “Kota yang indah di tepi Sungai Serayu itu, diamuk banjir tiga hari berturur-turut. Tanggal 21-22-23 Pebruari 1861. Puncak banjir terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1861 yang telah menenggelamkan semua arsip pemerintah Hindia Belanda di Banyumas, karena gedung  Karesidenan Banyumas, ikut ditenggelamkan banjir Sungai Serayu,” tulis laporan Gubernur Jendral Hindia Belanda kepada Sri Ratu.


Tentu saja Sri Ratu yang mengintruksikan agar  di wilayah seluruh Hindia Belanda itu berkabung, tidak pernah tahu pembangkangan dan protes petani kuli kenceng yang dipimping Kiyai Lana. Kiyai yang menjadi tokoh legendaris di sebelah barat perbukitan Kendalisada. Sebab Gubernur Jendral tak pernah membuat laporan. Residen Banyumas juga tidak pernah membuat laporan. Bagaimana mungkin Residen Banyumas akan membuat laporan, sebab Rseiden dan klub orang-orang Belanda di Banyumas, diam-diam di malam-malam yang sepi juga sering merayap ke Bukit Tunggangan?


“Untunglah Kanjeng Bupati baru diangkat menggantikan Bupati lama. Bupati baru Kanjeng Adipati Cakranegara II ( 1864 – 1879 M) yang dikenal rakyat sebagai Kanjeng Gendayakan, segera mengambil tindakan tegas. Seluruh rumah bordil di bukit Tunggangan di bongkar. Di grumbul Sanggama semua mucikari dan anak buahnya dikembalikan ke tempat asalnya masing-masing secara paksa. Dan di grumbul itu didirikan sebuah pesantren dan mushola. Nama grumbul Sanggama itu  pun oleh Kanjeng Gendayakan  yang ahli Babad Tanah Jawi dan Kesusastraan Jawa itu, dirubah namanya menjadi Grumbul Songgom. Sejak itu, Sungai Serayu tidak pernah banjir lagi sebesar banjir 22 Pebruari 1861. 

Tentu saja tindakan Adipati Cakranegara II yang berani menggusur rumag bordil di Bukit Tunggangan, membuat tidak senang Tuan Residen. Akibatnya Adipati Cakranegara II sering konflik dengan atasannya, Sang Residen. Untuk menghindari konflik yang terus menerus dengan atasannya, Sang Adipati Cakranegara II memilih meletakkan jabatannya (1879 M). Sejak meletakkan jabatannya, Adipati Cakranegara II, tinggal di dukuh Gendayakan. Sejak itulah Adipati yang banyak membela rakyat Pribumi yang tertindas itu, dikenal sebagai Kanjeng Gendayakan.[]


Kalibagor,020-01-2015.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar