Gedung rumah tua bangunan Belanda itu sedang menempuh perjalanan
menuju titik tidak akan kembali. Hancur ditelah bumi. Tak ada satu
kekuatan pun yang bisa mencegahnya. Tetapi-wanita itu tetap cantik
setelah mengarungi hidupnya bersama sang waktu. Dia berkata pada dirinya
sendiri, dan terkejut saat menerima pesan singkat lewat ponsel dari
seseorang yang amat dikenalnya.
“Entah kapan, setiap saat
bangunan tua itu pasti akan lenyap. Tetapi apa sebab kenangan kepadamu
tetap lekat dalam ingatan? Apakah karena saat itu gerimis tiba?”
Hem, seindah apakah cinta pertama yang pernah dirasakan dirinya,
sehingga dia tak pernah melupakannya, meskipun hari demi hari telah
berlalu dalam hidupnya? Padahal ingatan lainnya hilang tenggelam ditelan
masa setelah sebelumnya berlabuh di pinggir samudra-kenangan.Segetir
apakah perasaan wanita itu, ketika hujan gerimis datang, membentuk
tirai bening,dan-ujung-gerimis-pecah-berkeping-keping?
Antara
kedua masa terbentang jarak membentuk jembatan kenangan,dan mendatangkan
rasa rindu masa yang telah lama berlalu. Dan kenangan masa lalu itu
mengusik masa lalunya ketika dia masih gadis remaja yang tinggal di
gedung itu. Wanita itu merasakan sesuatu yang indah untuk dikenang
setiap gerimis tiba.
Kembali dia menatap gerimis yang datang dari
ketinggian di langit yang berjarak entah. Gerimis yang menjemput wajah
bumi menjelang senja hari.
Suatu ketika di emperan sebuah teras
rumah yang kini telah jadi bangunan gedung tua, seorang gadis cantik
duduk berdampingan dengan seorang pemuda. Langit mendung dan hujan
gerimis akan segera turun membasahi bumi. Tetapi gadis cantik dengan
dagu tipis itu enggan beranjak meninggalkan tempat itu. Gadis itu
mengatakan pada pemuda yang duduk disampingnya, bahwa dia ingin melihat
saat-saat ujung gerimis membasahi jalur rel lori kereta tebu dan jalan
aspal yang-melintas-di-depan-rumahnya.
“Tunggulah. Alangkah
indahnya, ketika gerimis tiba membentuk tirai bagaikan batang-batang
anak panah yang meluncur tegak lurus ke bawah. Datang dari ketinggian
entah di mana. Lalu pergi dan hilang entah kemana,” bisik-gadis cantik
itu dengan-suara lirih. Kalimatnya terdengar puitis sarat makna. Apakah
karena pada saat itu-dia sedang jatuh cinta? Mata gadis itu
berkilat-kilat, seakan dia tidak sabar menunggu datangnya sesuatu yang
tak terucapkan. Sesuatu yang aneh. Sulit dipikirkan. Tetapi dapat
dirasakan. Dan gadis itu sedikit bimbang berdebar-debar
menunggu-datangnya-sesuatu-yang-ditunggu-tunggu.
“Engkau terlalu romantis. Apa indahnya sebuah gerimis?” pemuda itu bertanya.
Setelah-agak-lama-terdiam,gadis cantik itu tertawa. Dia senang karena
berhasil menahan pemuda itu agar tetap di situ. Bukan hanya gerimis sore
hari itu yang sedang ditunggunya. Bukan juga hanya kereta lori
pengangkut tebu yang setiap saat lewat di depan rumahnya. Dia sedang
menunggu sesuatu yang absurd, sesuatu yang sulit dikhayalkannnya. Tetapi
sangat diharapkannya. Dan ingin sekali mersakannya.
Tiba-tiba-dadanya-berdebar-penuh-harap.Suara bising kereta lori
pengangkut tebu yang berderak-derak mulai terdengar indah ditelinganya.
Kereta lori paenagkut-tebu-itu akan-melintas di depan rumahnya. Ketika
itu musim giling hampir berakhir. Dan itu berarti awal musim hujan.
Setiap musim memang ada awal dan ada akhirnya. Gadis dengan bola mata
indah berbinar-binar
bagaikan-bintang-kejora-itu,mencoba-bersabar-menunggu.
“Ceriterakanlah padaku, soal cinta,” kata gadis-itu tiba-tiba.Pemuda itu
agak-terkejut, tapi
senang.Sebab-dia-memang-gemar-berceritera-tentang-cinta.
“Cinta itu rumit. Setidak-tidaknya begitulah kata pujangga Inggris, Shakespeare.”
“Aku pernah baca Julius Caesar. Juga Antoni dan Cleopatra. Menurut aku,
cinta tidak rumit. Dia datang kepada seseorang kapan saja dia
suka,dengan cara yang tak terduga,” kata gadis itu.
“Kalau-tidak-rumit,lalu-bagaimana-menurutmu?”
“Cinta-itu-sebuah-misteri,rahasia-kehidupan.” .
“Ya, aku setuju. Setiap misteri itu rumit, karena sukar dinalar. Bukan?
Pernah dengar legenda
kisah-cinta-Tuan-Besar-Pabrik-Gula?”tanya-pemuda-itu.Gadis itu
menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya diletakan di atas
pangkuannya,dan gadis yang duduk di atas bangku panjang
itu-menggerak-gerakkan-kedua-kakinya-ke-depan-dan-kebelakang.
“Cinta Tuan Besar pada bini mudanya itu, sebuah misteri. Tentu saja
rumit. Batas antara cinta dan-nafsu-sangat-kabur,”-ujar-pemuda-itu.
“Ceriterakan-padaku,”kata-gadis-itu-ingin-tahu.
Gadis-cantik-itu- belum lama tinggal di rumah dinas pabrik gula dengan
corak bangunan arsitektur barok yang unik dan indah. Ayahnya belum genap
setahun dipindahkan ke pabrik gula di desa itu. Kisah orang
Belanda-yang jatuh cinta pada pribumi cantik bini mudanya, menjadi
legenda dikenal hampir setiap orang yang tinggal di sekitar komplek
pabrik gula. Dan legenda itu sudah ribuan kali diceriterakan orang.
Sekalipun begitu, gadis itu belum pernah mendengarnya.
“Seorang
gadis cantik anak seorang lurah, baru berusia belasan tahun ketika
menjadi bini Tuan Besar. Si gadis pingsan pada malam pertama, tetapi
orang tuanya bergembira karena mendapat
dua-hektar-sawah-dari-Tuan-Besar,”kata-pemuda-itu.
“Tuan besar meninggal pada malam pertama. Bini barunya itu selamat. Malah mengandung buah cinta-malam-pertamanya.”
“Apakah-Tuan-Besar-Pabrik-Gula-masih-jejaka?”tanya-gadis-itu.
“Di negeri Belanda sudah punya calon istri. Tapi-calon istrinya masih
belum mau dibawa ke daerah tropis. Memang pada jaman itu banyak orang
Belanda bernasib seperti. Tuan Besar. Untuk mengurus dirinya dan
kebutuhan wanita, orang-orang seperti Tuan Besar sering
mengambil-wanita-pribumi-dijadikan-bininya.”
“Aku tahu nama sebutan bini orang Belanda yang berasal dari wanita pribumi,” kata gadis itu.
“Coba-sebutkan!”.
“Gundik!”jawab-gadis-itu-sambil-tersenyum.
"Bukan.Nyai-Nyai"bantah-pemuda-itu.
"Ah, kamu. Gundik dan Nyai itu sama saja. Gundik itu istri tidak sah.
Sedang Nyai itu panggilan
untuk-seorang-Gundik.Misalnya,Nyai-Desima!"kata-gadis-itu-meluruskan.
"Eh,betul-juga-kamu.Suka-baca-novel,ya?"
"Ah, kebetulan saja.Aku pernah baca novel Nyai Desima,pinjam di perpustakaan sekolah.Karya-G.Francis,”jawab-gadis-cantik-itu.
“Sebenarnya-gundik adalah wanita yang dipelihara untuk melayani
majikannya di tempat tidur. Demikian pula seorang nyai. Kedua-duanya
merupakan istri tidak resmi. Hanya saja seorang nyai lebih terhormat,
karena majikannya tidak pernah menyembunyikan istri tidak resminya di
muka-umum,”kata-pemuda itu.
"Tapi-menurut-aku,wanita yang menjadi
gundik atau nyai itu adalah korban struktur masyarakat kolonial dan
feodal yang menganggap wanita hanyalah pelengkap penderita. Sekedar
obyek pemuas-nafsu-laki-laki,”kata-gadis-itu .
"Ya,itu aku
sependapat." Kata-pemuda-itu,membuat-gadis-yang-duduk-di-sampingnya-itu
senang. Ternyata-keduanya-memiliki pandangan yang sama. Empati pada
nasib wanita malang yang-terjerembab-menjadi-seorang-gundik.
“Tapi kisah gadis anak Lurah Kalipetung yang kamu ceriterakan itu aneh.
Kenapa bukan gadis perawan kencur itu yang tewas. Tapi malah Tuan
Besar?” gadis itu bertanya.
“O, itu gara-gara Tuan Besar terlalu
bernafsu. Minum obat penguat stamina pasak bumi over dosis. Akibatnya
malah fatal,” kata pemuda itu yang membuat gadis cantik yang duduk di
sampingnya-tertawa.
“Pasti wanita malang itu kembali ke rumah orang tuanya, benar bukan?” tanya gadis itu.
“Iya, benar. Lebih aneh lagi wakil Tuan Besar yang naik pangkat
menggantikannya, tak berani tidur di-kamar tidur utama bekas kamar tidur
Tuan Besar.”
”Takut?Apakah-Tuan-Besar-itu-masih-suka-datang-mengganggu?”
“Begitulah menurut ceritera penduduk. Konon, setiap malam bulan
purnama, Tuan Besar suka
mendatangi-kamar-itu.Karena-itu,kamar-bekas-Tuan-Besar-dibiarkan-tetap-kosong.”
“Untuk apa Tuan Besar yang sudah meninggal masih suka datang?” tanya gadis itu heran.
“Mungkin Tuan Besar di alam sana merasa-kesepian dan kedinginan.
Makanya sewaktu-waktu mendatangi tempatnya bermain cinta saat masih
hidup di dunia. Bisa jadi yang dicarinya sebenarnya bini mudanya yang
cantik itu,” jawab lelaki itu sambil tertawa.
“KenapaTuan Besar
tidak cari jalan yang gampang saja jika memang ingin bertemu dengan bini
kesayangannya? Misalnya,datangi-saja ke rumah orang tuanya?” tanya
gadis itu-heran.
“Ah,masalah yang begitu itu, jawaban yang pasti tidak akan pernah ada. Itu hanya-dugaan-saja.”
“Dugaan?Maksudnya?”
“Maksud, ya itu tadi. Semua hanya dugaan,susah dibuktikan. Tidak ada kepastian,” jawab pemuda-itu.
“Tapi-aku-perlu-kepastian.Bukan-hanya-dugaan,”kata-gadis-itu,yang-membuat-pemuda-itu-mengernyitkan-dahinya..
“Maksudmu, soal apa?” pemuda itu bertanya. Gadis itu tidak menjawab.
Hanya menggeser duduknya,hingga-lebih-merapat-ke-arah-pemuda-itu.
Ketika itulah gerimis benar-benar datang. Makin lama makin besar.
Serpihan air hujan datang mengenai keduanya. Rambut, wajah, baju,
tangan, dan bagian tubuh keduanya. Semakin-lama-
serpihan-air-hujan-semakin-banyak-berjatuhan-memasuki teras rumah tempat
keduanya duduk.
“Pindah-ke-dalam?”bisik-gadis-itu-lirih.Pemuda-itu-diam-tak-menjawab.
“Atau, tunggu sebentar sampai kereta lori yang membawa tebu lewat?”
tanya gadis itu lagi yang membuat pemuda itu merasa senang. Kali ini
pemuda itu mengangguk-setuju.
“Jika aku menciummu, apakah ada
yang akan marah?” akhirnya pemuda itu nekad mengeluarkan isi hatinya.
Tapi akibatnya dia jadi gelisah sendiri karena harus menunggu jawaban.
Gadis itu tidak segera menjawabnya. Seakan-akan tidak didengarnya
kata-kata yang dengan susah payah diucapkan pemuda itu. Suara serpian
air hujan yang turun dari atap dan berjatuhan dilantai, ikut mempercepat
lenyapnya bisikan itu. Perasaan pemuda itu semakin-galau,campur
aduk-antara-harapan-dan-keputusasaan.
“Dengar! Sebentar lagi
kereta lori akan lewat!” kata wanita itu girang. Terdengar bunyi peluit
lokomotip penarik rangkain lori sarat muatan tebu bergerak berjalan
perlahan-lahan akan-masuk ke dalam emplasemen pabrik. Hujan masih turun,
ketika rangkaian kereta lori lewat pelan-pelan, lalu berhenti hanya
beberapa meter dari tempat mereka berdua duduk. Memang kereta lori harus
berhenti sejenak menunggu tanda, kapan rangkaian kereta itu boleh masuk
ke dalam pabrik.
“Silahkan, jika kamu ingin menciumku,” tiba-tiba gadis itu berbisik lirih, membuat sebuah kejutan tak terduga.
Seketika pemuda itu melonjak kegirangan. Sebuah ciuman pertama dari
pemuda itu hinggap di-bibir lembut gadis cantik yang diam-diam
dicintainya. Jantung gadis itu berdegup semakin keras. Sebuah sensasi
indah dan aneh yang baru pertama kali dirasakannya. Akhirnya, keduanya
saling berciuman dan berpelukan. Sayang semuanya harus cepat berakhir,
karena kereta lori mulai berjalan kembali, bergerak-gerak
perlahan-lahan. Gerimis yang datang cepat sekali-berubah menjadi hujan.
Tapi hanya sebentar. Lalu reda. Tempat mereka berdua duduk yang semula
terlindung tirai hujan dan rangkaian kereta lori yang menutupinya dari
jalan aspal yang melintas di depan-rumahnya, menjadi terbuka
terlihat-dari jalan umum. Pemuda itu memutuskan segera pulang.
Sebab-seluruh tubuhnya basah kuyup diguyur serpihan air hujan. Gadis itu
pun-segera- lenyap ke dalam rumah yang kini sudah jadi bangunan gedung
tua.
Masa pun cepat berlalu. Semuanya kini tinggal sebagi ingatan
indah yang mengendap di lembah kenangan. Pabrik Gula yang dulu
memberinya kenangan indah-itu telah berhenti beroperasi. Mesin-mesinnya
sudah dilelang, lainya dijarah penduduk sekitar. Sejumlah bangunan
perumahan, bekas kantor, cerobong asap, dan kuburan Belanda,
ada-yang-masih berdiri, meskipun merana ditelan usia, termasuk
gedung-rumah-tua yang sempat ditinggali wanita itu. Gadis itu akhirnya
menikah dengan lelaki lain. Tetapi lelaki yang sempat menciumnya itu
sesekali masih suka menghubunginya. Bukankah-cinta sejati tidak harus
saling memiliki.
Memiliki-suami-atau-istri,bukan-halangan-untuk-menjalin-persahabatan-sejati.
“Dasar lelaki Platonis,” bisik wanita itu sambil tersenyum saat membaca
pesan singkat lelaki itu. Sebuah gambar pabrik gula yang mau runtuh dan
bekas rumah yang dulu ditinggalinya diterimanya. Tiba-tiba rasa getir
muncul, lebih-lebih setiap melihat gerimis akan turun. Air
matanya-basah-seketika.
“Mama ! Mikirkan Papa ya?” tegur-anak
gadisnya yang telah beranjak dewasa itu.Tahu- tahu sudah ada di
belakangnya. Buru-buru dipeluknya anaknya itu. Ayah anak itu sudah
bertahun-tahun-berada-dalam-pelukan-wanita-lain.
“Tidak, sayang,”
kata wanita itu sambil buru-buru mematikan ponselnya. Tetapi dia masih
ingat ujung kalimat yang ditulis di dalamnya membalas pesan singkat yang
diterima lelaki itu.
“Aku pun tahu setiap saat bangunan rumah
tua itu akan lenyap ditelan bumi. Tetapi ciuman pertamamu pada bibirku,
tetap lekat dalam kenangan. Apakah karena waktu itu gerimis tiba?” Dan
gerimis yang ditunggu-tunggu memang sore itu benar-benar tiba. Lalu
berubah jadi hujan yang mengguyur halaman rumahnya di sebuah komplek
perumahan di pinggir kota yang sejuk.[]
Kalibagor,05-05-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar