Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 21 Juni 2016

Cerpen Lembah Serayu (02) : KETIKA GERIMIS TIBA DI RUMAH TUA

 

Gedung rumah tua bangunan Belanda itu sedang menempuh perjalanan menuju titik tidak akan kembali. Hancur ditelah bumi. Tak ada satu kekuatan pun yang bisa mencegahnya. Tetapi-wanita itu tetap cantik setelah mengarungi hidupnya bersama sang waktu. Dia berkata pada dirinya sendiri, dan terkejut saat menerima pesan singkat lewat ponsel dari seseorang yang amat dikenalnya.

“Entah kapan, setiap saat bangunan tua itu pasti akan lenyap. Tetapi apa sebab kenangan kepadamu tetap lekat dalam ingatan? Apakah karena saat itu gerimis tiba?”

Hem, seindah apakah cinta pertama yang pernah dirasakan dirinya, sehingga dia tak pernah melupakannya, meskipun hari demi hari telah berlalu dalam hidupnya? Padahal ingatan lainnya hilang tenggelam ditelan masa setelah sebelumnya berlabuh di pinggir samudra-kenangan.Segetir apakah perasaan wanita itu, ketika hujan gerimis datang, membentuk tirai bening,dan-ujung-gerimis-pecah-berkeping-keping?

Antara kedua masa terbentang jarak membentuk jembatan kenangan,dan mendatangkan rasa rindu masa yang telah lama berlalu. Dan kenangan masa lalu itu mengusik masa lalunya ketika dia masih gadis remaja yang tinggal di gedung itu. Wanita itu merasakan sesuatu yang indah untuk dikenang setiap gerimis tiba. 

Kembali dia menatap gerimis yang datang dari ketinggian di langit yang berjarak entah. Gerimis yang menjemput wajah bumi menjelang senja hari.

Suatu ketika di emperan sebuah teras rumah yang kini telah jadi bangunan gedung tua, seorang gadis cantik duduk berdampingan dengan seorang pemuda. Langit mendung dan hujan gerimis akan segera turun membasahi bumi. Tetapi gadis cantik dengan dagu tipis itu enggan beranjak meninggalkan tempat itu. Gadis itu mengatakan pada pemuda yang duduk disampingnya, bahwa dia ingin melihat saat-saat ujung gerimis membasahi jalur rel lori kereta tebu dan jalan aspal yang-melintas-di-depan-rumahnya.

“Tunggulah. Alangkah indahnya, ketika gerimis tiba membentuk tirai bagaikan batang-batang anak panah yang meluncur tegak lurus ke bawah. Datang dari ketinggian entah di mana. Lalu pergi dan hilang entah kemana,” bisik-gadis cantik itu dengan-suara lirih. Kalimatnya terdengar puitis sarat makna. Apakah karena pada saat itu-dia sedang jatuh cinta? Mata gadis itu berkilat-kilat, seakan dia tidak sabar menunggu datangnya sesuatu yang tak terucapkan. Sesuatu yang aneh. Sulit dipikirkan. Tetapi dapat dirasakan. Dan gadis itu sedikit bimbang berdebar-debar menunggu-datangnya-sesuatu-yang-ditunggu-tunggu.

“Engkau terlalu romantis. Apa indahnya sebuah gerimis?” pemuda itu bertanya.
Setelah-agak-lama-terdiam,gadis cantik itu tertawa. Dia senang karena berhasil menahan pemuda itu agar tetap di situ. Bukan hanya gerimis sore hari itu yang sedang ditunggunya. Bukan juga hanya kereta lori pengangkut tebu yang setiap saat lewat di depan rumahnya. Dia sedang menunggu sesuatu yang absurd, sesuatu yang sulit dikhayalkannnya. Tetapi sangat diharapkannya. Dan ingin sekali mersakannya.

Tiba-tiba-dadanya-berdebar-penuh-harap.Suara bising kereta lori pengangkut tebu yang berderak-derak mulai terdengar indah ditelinganya. Kereta lori paenagkut-tebu-itu akan-melintas di depan rumahnya. Ketika itu musim giling hampir berakhir. Dan itu berarti awal musim hujan. Setiap musim memang ada awal dan ada akhirnya. Gadis dengan bola mata indah berbinar-binar bagaikan-bintang-kejora-itu,mencoba-bersabar-menunggu.

“Ceriterakanlah padaku, soal cinta,” kata gadis-itu tiba-tiba.Pemuda itu agak-terkejut, tapi senang.Sebab-dia-memang-gemar-berceritera-tentang-cinta.

“Cinta itu rumit. Setidak-tidaknya begitulah kata pujangga Inggris, Shakespeare.”

“Aku pernah baca Julius Caesar. Juga Antoni dan Cleopatra. Menurut aku, cinta tidak rumit. Dia datang kepada seseorang kapan saja dia suka,dengan cara yang tak terduga,” kata gadis itu.

“Kalau-tidak-rumit,lalu-bagaimana-menurutmu?”

“Cinta-itu-sebuah-misteri,rahasia-kehidupan.” .

“Ya, aku setuju. Setiap misteri itu rumit, karena sukar dinalar. Bukan? Pernah dengar legenda kisah-cinta-Tuan-Besar-Pabrik-Gula?”tanya-pemuda-itu.Gadis itu menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya diletakan di atas pangkuannya,dan gadis yang duduk di atas bangku panjang itu-menggerak-gerakkan-kedua-kakinya-ke-depan-dan-kebelakang.

“Cinta Tuan Besar pada bini mudanya itu, sebuah misteri. Tentu saja rumit. Batas antara cinta dan-nafsu-sangat-kabur,”-ujar-pemuda-itu.

“Ceriterakan-padaku,”kata-gadis-itu-ingin-tahu.
Gadis-cantik-itu- belum lama tinggal di rumah dinas pabrik gula dengan corak bangunan arsitektur barok yang unik dan indah. Ayahnya belum genap setahun dipindahkan ke pabrik gula di desa itu. Kisah orang Belanda-yang jatuh cinta pada pribumi cantik bini mudanya, menjadi legenda dikenal hampir setiap orang yang tinggal di sekitar komplek pabrik gula. Dan legenda itu sudah ribuan kali diceriterakan orang. Sekalipun begitu, gadis itu belum pernah mendengarnya.

“Seorang gadis cantik anak seorang lurah, baru berusia belasan tahun ketika menjadi bini Tuan Besar. Si gadis pingsan pada malam pertama, tetapi orang tuanya bergembira karena mendapat dua-hektar-sawah-dari-Tuan-Besar,”kata-pemuda-itu.

“Tuan besar meninggal pada malam pertama. Bini barunya itu selamat. Malah mengandung buah cinta-malam-pertamanya.”

“Apakah-Tuan-Besar-Pabrik-Gula-masih-jejaka?”tanya-gadis-itu.

“Di negeri Belanda sudah punya calon istri. Tapi-calon istrinya masih belum mau dibawa ke daerah tropis. Memang pada jaman itu banyak orang Belanda bernasib seperti. Tuan Besar. Untuk mengurus dirinya dan kebutuhan wanita, orang-orang seperti Tuan Besar sering mengambil-wanita-pribumi-dijadikan-bininya.”

“Aku tahu nama sebutan bini orang Belanda yang berasal dari wanita pribumi,” kata gadis itu.

“Coba-sebutkan!”.

“Gundik!”jawab-gadis-itu-sambil-tersenyum.

"Bukan.Nyai-Nyai"bantah-pemuda-itu.

"Ah, kamu. Gundik dan Nyai itu sama saja. Gundik itu istri tidak sah. Sedang Nyai itu panggilan untuk-seorang-Gundik.Misalnya,Nyai-Desima!"kata-gadis-itu-meluruskan.

"Eh,betul-juga-kamu.Suka-baca-novel,ya?"

"Ah, kebetulan saja.Aku pernah baca novel Nyai Desima,pinjam di perpustakaan sekolah.Karya-G.Francis,”jawab-gadis-cantik-itu.

“Sebenarnya-gundik adalah wanita yang dipelihara untuk melayani majikannya di tempat tidur. Demikian pula seorang nyai. Kedua-duanya merupakan istri tidak resmi. Hanya saja seorang nyai lebih terhormat, karena majikannya tidak pernah menyembunyikan istri tidak resminya di muka-umum,”kata-pemuda itu.

"Tapi-menurut-aku,wanita yang menjadi gundik atau nyai itu adalah korban struktur masyarakat kolonial dan feodal yang menganggap wanita hanyalah pelengkap penderita. Sekedar obyek pemuas-nafsu-laki-laki,”kata-gadis-itu .

"Ya,itu aku sependapat." Kata-pemuda-itu,membuat-gadis-yang-duduk-di-sampingnya-itu senang. Ternyata-keduanya-memiliki pandangan yang sama. Empati pada nasib wanita malang yang-terjerembab-menjadi-seorang-gundik.

“Tapi kisah gadis anak Lurah Kalipetung yang kamu ceriterakan itu aneh. Kenapa bukan gadis perawan kencur itu yang tewas. Tapi malah Tuan Besar?” gadis itu bertanya.

“O, itu gara-gara Tuan Besar terlalu bernafsu. Minum obat penguat stamina pasak bumi over dosis. Akibatnya malah fatal,” kata pemuda itu yang membuat gadis cantik yang duduk di sampingnya-tertawa.

“Pasti wanita malang itu kembali ke rumah orang tuanya, benar bukan?” tanya gadis itu.

“Iya, benar. Lebih aneh lagi wakil Tuan Besar yang naik pangkat menggantikannya, tak berani tidur di-kamar tidur utama bekas kamar tidur Tuan Besar.”

”Takut?Apakah-Tuan-Besar-itu-masih-suka-datang-mengganggu?”

“Begitulah menurut ceritera penduduk. Konon, setiap malam bulan purnama, Tuan Besar suka mendatangi-kamar-itu.Karena-itu,kamar-bekas-Tuan-Besar-dibiarkan-tetap-kosong.”

“Untuk apa Tuan Besar yang sudah meninggal masih suka datang?” tanya gadis itu heran.

“Mungkin Tuan Besar di alam sana merasa-kesepian dan kedinginan. Makanya sewaktu-waktu mendatangi tempatnya bermain cinta saat masih hidup di dunia. Bisa jadi yang dicarinya sebenarnya bini mudanya yang cantik itu,” jawab lelaki itu sambil tertawa.

“KenapaTuan Besar tidak cari jalan yang gampang saja jika memang ingin bertemu dengan bini kesayangannya? Misalnya,datangi-saja ke rumah orang tuanya?” tanya gadis itu-heran.

“Ah,masalah yang begitu itu, jawaban yang pasti tidak akan pernah ada. Itu hanya-dugaan-saja.”

“Dugaan?Maksudnya?”

“Maksud, ya itu tadi. Semua hanya dugaan,susah dibuktikan. Tidak ada kepastian,” jawab pemuda-itu.

“Tapi-aku-perlu-kepastian.Bukan-hanya-dugaan,”kata-gadis-itu,yang-membuat-pemuda-itu-mengernyitkan-dahinya..

“Maksudmu, soal apa?” pemuda itu bertanya. Gadis itu tidak menjawab. Hanya menggeser duduknya,hingga-lebih-merapat-ke-arah-pemuda-itu.

Ketika itulah gerimis benar-benar datang. Makin lama makin besar. Serpihan air hujan datang mengenai keduanya. Rambut, wajah, baju, tangan, dan bagian tubuh keduanya. Semakin-lama- serpihan-air-hujan-semakin-banyak-berjatuhan-memasuki teras rumah tempat keduanya duduk.

“Pindah-ke-dalam?”bisik-gadis-itu-lirih.Pemuda-itu-diam-tak-menjawab.

“Atau, tunggu sebentar sampai kereta lori yang membawa tebu lewat?” tanya gadis itu lagi yang membuat pemuda itu merasa senang. Kali ini pemuda itu mengangguk-setuju.

“Jika aku menciummu, apakah ada yang akan marah?” akhirnya pemuda itu nekad mengeluarkan isi hatinya. Tapi akibatnya dia jadi gelisah sendiri karena harus menunggu jawaban.
Gadis itu tidak segera menjawabnya. Seakan-akan tidak didengarnya kata-kata yang dengan susah payah diucapkan pemuda itu. Suara serpian air hujan yang turun dari atap dan berjatuhan dilantai, ikut mempercepat lenyapnya bisikan itu. Perasaan pemuda itu semakin-galau,campur aduk-antara-harapan-dan-keputusasaan.

“Dengar! Sebentar lagi kereta lori akan lewat!” kata wanita itu girang. Terdengar bunyi peluit lokomotip penarik rangkain lori sarat muatan tebu bergerak berjalan perlahan-lahan akan-masuk ke dalam emplasemen pabrik. Hujan masih turun, ketika rangkaian kereta lori lewat pelan-pelan, lalu berhenti hanya beberapa meter dari tempat mereka berdua duduk. Memang kereta lori harus berhenti sejenak menunggu tanda, kapan rangkaian kereta itu boleh masuk ke dalam pabrik.

“Silahkan, jika kamu ingin menciumku,” tiba-tiba gadis itu berbisik lirih, membuat sebuah kejutan tak terduga.

Seketika pemuda itu melonjak kegirangan. Sebuah ciuman pertama dari pemuda itu hinggap di-bibir lembut gadis cantik yang diam-diam dicintainya. Jantung gadis itu berdegup semakin keras. Sebuah sensasi indah dan aneh yang baru pertama kali dirasakannya. Akhirnya, keduanya saling berciuman dan berpelukan. Sayang semuanya harus cepat berakhir, karena kereta lori mulai berjalan kembali, bergerak-gerak perlahan-lahan. Gerimis yang datang cepat sekali-berubah menjadi hujan. Tapi hanya sebentar. Lalu reda. Tempat mereka berdua duduk yang semula terlindung tirai hujan dan rangkaian kereta lori yang menutupinya dari jalan aspal yang melintas di depan-rumahnya, menjadi terbuka terlihat-dari jalan umum. Pemuda itu memutuskan segera pulang. Sebab-seluruh tubuhnya basah kuyup diguyur serpihan air hujan. Gadis itu pun-segera- lenyap ke dalam rumah yang kini sudah jadi bangunan gedung tua.

Masa pun cepat berlalu. Semuanya kini tinggal sebagi ingatan indah yang mengendap di lembah kenangan. Pabrik Gula yang dulu memberinya kenangan indah-itu telah berhenti beroperasi. Mesin-mesinnya sudah dilelang, lainya dijarah penduduk sekitar. Sejumlah bangunan perumahan, bekas kantor, cerobong asap, dan kuburan Belanda, ada-yang-masih berdiri, meskipun merana ditelan usia, termasuk gedung-rumah-tua yang sempat ditinggali wanita itu. Gadis itu akhirnya menikah dengan lelaki lain. Tetapi lelaki yang sempat menciumnya itu sesekali masih suka menghubunginya. Bukankah-cinta sejati tidak harus saling memiliki. Memiliki-suami-atau-istri,bukan-halangan-untuk-menjalin-persahabatan-sejati.

“Dasar lelaki Platonis,” bisik wanita itu sambil tersenyum saat membaca pesan singkat lelaki itu. Sebuah gambar pabrik gula yang mau runtuh dan bekas rumah yang dulu ditinggalinya diterimanya. Tiba-tiba rasa getir muncul, lebih-lebih setiap melihat gerimis akan turun. Air matanya-basah-seketika.

“Mama ! Mikirkan Papa ya?” tegur-anak gadisnya yang telah beranjak dewasa itu.Tahu- tahu sudah ada di belakangnya. Buru-buru dipeluknya anaknya itu. Ayah anak itu sudah bertahun-tahun-berada-dalam-pelukan-wanita-lain.

“Tidak, sayang,” kata wanita itu sambil buru-buru mematikan ponselnya. Tetapi dia masih ingat ujung kalimat yang ditulis di dalamnya membalas pesan singkat yang diterima lelaki itu.

“Aku pun tahu setiap saat bangunan rumah tua itu akan lenyap ditelan bumi. Tetapi ciuman pertamamu pada bibirku, tetap lekat dalam kenangan. Apakah karena waktu itu gerimis tiba?” Dan gerimis yang ditunggu-tunggu memang sore itu benar-benar tiba. Lalu berubah jadi hujan yang mengguyur halaman rumahnya di sebuah komplek perumahan di pinggir kota yang sejuk.[]

Kalibagor,05-05-2017





Tidak ada komentar:

Posting Komentar