Sumber gambar : pernik.dunia.com
“Vera,
kita telah melebur menjadi satu nyawa dari dua jiwa, satu denyutan dari dua
detak jantung dan satu kasih sayang dari dua hati,” bisik lelaki itu kepada
istrinya.
“Tetapi anak-anak kita, bukan hanya butuh uang
dan materi.Mereka juga butuh kasih sayang dari kita. Kita telah melupakan
mereka. Mereka juga punya jiwa, punya detak jantung dan punya hati,” wanita itu
berkata dengan nada suara tersekat di tenggorokannya. Dia seperti sedang
menyesali keadaan yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun.
Lelaki
itu memeluknya sambil berbisik lembut,” Ya, kita akan kembali bermain-main
dengan mereka. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Ibu sedang menunggu kedatangan cucu
tercintanya dari tadi di depan rumah.
Anak-anak kita ponselnya dimatikan semua . Tetapi sudah kukirimi SMS.
Pasti sebentar lagi pulang.”
“Aku
lihat bintang-bintang di langit berubah
jadi kunang-kunang. Alangkah indahnya,” bisik wanita itu mengalihkan
pembicaraan.
Lelaki itu kembali
duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap istrinya yang tergolek
lemah. Istrinya minta agar korden jendela di kamar itu dibiarkan terbuka. Dari
tempat tidurnya, pandangan wanita itu bisa menerobos kaca jendela. Di langit
nampak bertaburan bintang yang berkelapkelip bagaikan kunang-kunang. Menurut
wanita itu, kerlipan bintang-bintang itu adalah kunang-kunang sorga.
Tengah
malam. Di luar sunyi sepi. Udara malam yang dingin mulai berembun, memburamkan kaca jendela.
Bintang yang berkelap-kelip di langit malam, tertutup oleh embun yang
memburamkan kaca. Semakin lama embun itu semakin tebal, semakin pucat, dan
semakin dingin.
“Aku
ingin pulang,” kata wanita itu lirih seperti berbisik pada dirinya sendiri.
“Engkau
tidak boleh mati, Vera,” kata lelaki itu sendu sambil tangannya memegangi jari
jemari istrinya. Wajahnya semakin cemas dan muram.
“Siapa
yang bilang aku akan mati? Aku hanya ingin pulang. Aku ingin bermain
kunang-kunang.”
“Besok
kita ke rumah sakit. Sudah dapat kamar,”
kata lelaki itu. Dia takut tangan istrinya akan menjadi semakin dingin.
“Aku
tidak ingin ke rumah sakit. Aku ingin pulang, aku ingin bermain dengan kunang-kunang. Aku rindu
kunang-kunang Sungai Logawa” istrinya berkata lagi. Bola matanya yang hitam
bundar, terkadang tertutup.Terkadang terbuka.
Suaminya
tersenyum campur terkejut. Tersenyum karena istrinya masih ingat Sungai Logawa
di Lembah Serayu sana. Padahal Sungai Logawa jauh dari desanya. Hanya karena
istrinya pernah baca cerpen berjudul,”Kunang-Kunang Logawa”, setiap pulang kampung dan lihat kunang-kunang
masuk rumah orang tuanya di desanya, selalu dikatakannya kepada anak-anaknya
bahwa itu adalah kunang-kunang Sungai Logawa.
“Pulang?
Ini rumah kita. Maksudmu pulang ke Banyumas? Dokter bilang operasi kanker rahim
tidak lama. Peluang sembuh masih besar.
Masih stadium awal. Engkau tidak boleh mati, Vera.”
“Siapa
yang bilang aku akan mati? Aku hanya ingin pulang, ingin bermain dengan
kunang-kunang logawa. Karena kuang-kunang logawa adalah kunang-kunang sorga,”
kata wanita itu kembali mengucapkan kalimat yang nyaris sama dan selalu
diulang-ulang.
“Jika
operasi berhasil dan sudah sembuh, kita liburan ke Baturaden dan lihat Sungai
Logawa,” kata lelaki itu.
“Aku
tidak ingin ke rumah sakit. Aku tidak ingin dipaksa. Aku ingin pulang.”
“Pulang?
Ke Banyumas maksudmu? Ibu ada di sini. Besok ikut mengantarkan kita ke
rumah sakit.”
“Aku
titip Si Sulung. Suruh cepat-cepat nikah saja.Kalau sekarang sedang melantai di
café, biarkan saja,”
“Ya,
kita akan segera melamarkannya, setelah operasi kamu berjalan lancar dan
sembuh. Kamu tidak boleh mati, Vera,”
kata lelaki itu dengan bibir bergetar.
“Aku
juga titip adiknya. Jangan boleh pacaran. Kalau pacarnya hamil, siapa yang
harus ngasih makan? Memangnya mau mengandalkan orang tua? Tetapi kalau sekarang
sedang di Pantai Ancol, biarkan saja,” kata wanita itu pula. Suaranya masih
jelas terdengar. Lelaki itu meraba dahinya. Suhunya naik.
“Aku
kompres? Suhu tubuhmu naik?” kata lelaki itu mulai panik. Istrinya menggeleng
lemah, lalu diam tidak bereaksi. Tetapi nafasnya nampak naik turun.
“Jangan
banyak pikiran. Nanti suhu akan terus meningkat,” kata lelaki itu sambil wajahnya didekatkan ke wajah istrinya. Lalu
pipi istrinya yang masih halus itu diciumnya dengan lembut. Wanita itu
memejamkan matanya ketika ciuman lembut lelaki itu singgah cukup lama di
pipinya.
“Aku
juga titip Si Bungsu. Masukkan pesantren saja. Kalau sekarang sedang main
kebut-kebutan di jalan, asal tidak ditangkap polisi, biarkan saja,” kata istrinya lagi-lagi meninggalkan pesan.
“Titip
lagi, titip lagi! Mau kemana? Si Bungsu
memang akhir semester ini sudah harus masuk pesantren. Kakaknya sudah aku
marahi habis-habisan,” kata lelaki itu. Tangannya kembali meraba dahi istrinya.
Suhu semakin tinggi yang membuat lelaki itu semakin berdebar-debar.
“Kamu
tidak boleh mati, Vera,” kata lelaki itu dengan nada suara hampir menangis. Dia
sudah sangat cemas dengan kondisi kesehatan istrinya.
***
Usia
istrinya, Vera Lestari, masih muda, sekitar empat puluh lima tahun. Istrinya
menikah dengan dirinya saat usia istrinya dua puluh tahun. Tentu saja wanita
itu, sekalipun gadis desa, dulu adalah gadis cantik ketika lelaki itu berhasil
menyuntingnya.
“Aku
memang hanya seorang guru yang baru diangkat jadi PNS.Tetapi aku bertekad untuk
membuatmu kelak hidup berkelimpahan dan bahagia,” kata lelaki itu berjanji.
“Aku
tidak terlalu mempersoalkan kekayaan. Asal kau setia kepadaku itu sudah lebih
dari cukup.” Lelaki itu masih ingat kata-kata istrinya yang membuatnya senang
itu.
“Tetapi,
untuk sementara aku tidak bisa mengajakmu. Tinggal dengan Ibumu dulu. Kelak jika gaji sudah kuterima, aku
akan cari rumah kontrakkan. Aku akan ajak kamu menyertaiku.”
Kesepakatan
pun tercapai. Usai menikah, lelaki itu ditempatkan sebagai guru PNS sebuah SMK
Negeri di kota di ujung barat pulau ini. Gajih guru masih kecil saat itu. Belum
kuat jika harus ngontrak rumah. Terpaksa dia numpang tidur di kantor sekolah.
Istrinya sesuai kesepakatan ditinggalnya
di rumah orang tuanya, di Lembah Serayu yang jauh itu. Tetapi lelaki itu
memang pekerja keras. Bisnis sampingan apa saja dilakoninya. Pekerjaan guru
dijadikan sambilan. Berangkat pagi pulang malam.
Seiring
dengan perjalanan waktu, anak-anak buah cintanya pun satu demi satu melengkapi
rumah tangganya yang semakin lama semakin mantap. Lalu istri dan anak-anaknya
diboyong. Mereka dikaruniai tiga anak, laki-laki semua. Yang sulung berusia dua puluh lima tahun, adiknya dua
puluh, adiknya lagi masih SMP.
Hasil kerja kerasnya berbuah manis. Rumah
mewah, mobil banyak, uang pun berlimpah. Istrinya yang tamatan SPG di desanya,
disuruhnya melanjutkan kuliah. Istrinya yang pintar itu sukses pula jadi guru PNS.. Walaupun istrinya berasal dari desa, tapi dalam waktu
singkat bisa menyesuaikan diri dengan irama kehidupan kota besar. Dia sama
sibuknya, mengejar karir dan jabatan. Dalam waktu singkat ijasah S2 berhasil
diraih istrinya. Menjadi dosen di Perguruan Tinggi bergengsi menjadi target
berikutnya.
Tetapi
anak-anaknya berkembang dalam pelukan
kasih sayang uang yang berlimpah dan materi yang berlebih. Hasilnya Si Sulung
drop out. Adiknya sering tidur di rumah pacarnya, Si Bungsu ditengarai mulai
berkenalan dengan narkoba.
Wanita
itu merasa letih. Hartanya yang berlimpah, ternyata tidak membuatnya puas dan
hidup bahagia. Ketiga anak-anaknya yang tumbuh jauh dari harapannya, membuat
dirinya kecewa berat. Lebih kecewa lagi karena dirinya dan suaminya sejatinya
adalah seorang guru. Ya, guru yang sukses dalam bisnis tapi gagal mendidik
anak-anaknya sendiri, keluhnya dalam hati. Kekecewaannya yang mendalam, akhirnya
membuatnya dia jatuh sakit. Dia divonis dokter terserang kanker rahim stadium
berat. Esok hari rencananya operasi. Tetapi wanita itu menolaknya.
“Kenapa
bintang di langit menghilang? Aku ingin pulang. Aku ingin melihat bintang
gemintang di sana,” kata wanita itu.
Pandangan
matanya mencoba menerabas kaca jendela, tetapi sia-sia karena embun
malam semakin tebal menutupi kaca jendela. Lelaki itu bangkit mendekati kaca
jendela. Dengan menggunakan kain kanebo
dibersihkannya kaca jendela agar istrinya dapat melihat langit yang merupakan
satu-satunya hiburan yang masih dapat dinikmatinya. Lelaki itu senang, ketika
kaca jendela menjadi bersih, pastilah istrinya akan kembali dengan mudah bisa
melihat kerlipan bintang yang selalu dikatakan oleh istrinya sebagai
kunang-kunang sorga.
Saat
kembali mendatangi istrinya, lelaki itu menjerit seketika. Dia tidak menyadari
kondisi kesehatan istrinya menurun cepat sekali. Mata istrinya sudah tertutup, nafasnya berhenti, tetapi bibirnya
menyungging senyum. Air mata lelaki itu berlelehan. Dia tahu istrinya telah
meninggalkan dia selama-lamanya.
“Engkau
tidak boleh mati, Vera,” bisik lelaki itu lemah
di telinga istrinya sambil berharap istrinya akan menjawabnya.
Tetapi suara jawaban yang aneh tak pernah lagi
didengarnya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Sesungguh, kami berasal dari sisi Allah. Dan akan kembali ke sisi Nya,” bibir lelaki itu bergetar dan menyerah pasrah pada kehendak takdir kehidupan.
Ketika
lelaki itu mencoba melihat bintang-bintang yang berkelap kelip di langit malam
yang kata istrinya adalah kunang-kunang sorga, ternyata bintang-bintang itu pun
sudah menghilang. Ketiga anak-anaknya yang tak peduli dengan kondisi Ibunya
yang sedang kritis, juga belum pulang. Tetapi wanita itu telah mendahului pulang
menghadap Sang Maha Pencipta.
Lelaki itu dengan lemah menyeret tubuhnya
mendekati tepi jendela sambil berharap agar ketiga anak-anaknya segera pulang.
Tetapi ketiga anaknya yang ditunggunya itu belum pulang juga.
Tiba-tiba
lelaki itu melihat seekor kunang-kunang melenggang sendiri melintas di depan
jendela, terbang hendak pulang melintasi pohon-pohon yang tumbuh di taman
halaman depan, lalu hilang entah kemana.
“Hem,
kunang-kunang surgakah itu?” bisik
laki-laki itu. Air matanya masih meleleh membasahi dinding pipinya yang sudah
tidak sehalus ketika dulu dia masih muda. Ketika dia masih gemar malang melintang di sepanjang Lembah Serayu
yang indah yang selalu dikenangnya dengan perasaan rindu.
Malam
itu dia hanya bisa berdoa semoga istri tercintanya diampuni dosa-dosanya,
diterima amal ibadahnya dan ditempatkan di sisi Nya. []
Kalibagor,
16-11-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar