Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 21 Juni 2016

Cerpen Lembah Serayu (01) : KUNANG-KUNANG LOGAWA

Sumber gambar : pernik.dunia.com

“Vera, kita telah melebur menjadi satu nyawa dari dua jiwa, satu denyutan dari dua detak jantung dan satu kasih sayang dari dua hati,” bisik lelaki itu kepada istrinya.


 “Tetapi anak-anak kita, bukan hanya butuh uang dan materi.Mereka juga butuh kasih sayang dari kita. Kita telah melupakan mereka. Mereka juga punya jiwa, punya detak jantung dan punya hati,” wanita itu berkata dengan nada suara tersekat di tenggorokannya. Dia seperti sedang menyesali keadaan yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun.


Lelaki itu memeluknya sambil berbisik lembut,” Ya, kita akan kembali bermain-main dengan mereka. Sebentar lagi mereka pasti  pulang. Ibu sedang menunggu kedatangan cucu tercintanya dari tadi di depan rumah.  Anak-anak kita ponselnya dimatikan semua . Tetapi sudah kukirimi SMS. Pasti sebentar lagi pulang.”


“Aku lihat bintang-bintang di langit  berubah jadi kunang-kunang. Alangkah indahnya,” bisik wanita itu mengalihkan pembicaraan.


Lelaki  itu kembali  duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap istrinya yang tergolek lemah. Istrinya minta agar korden jendela di kamar itu dibiarkan terbuka. Dari tempat tidurnya, pandangan wanita itu bisa menerobos kaca jendela. Di langit nampak bertaburan bintang yang berkelapkelip bagaikan kunang-kunang. Menurut wanita itu, kerlipan bintang-bintang itu adalah kunang-kunang sorga.


Tengah malam. Di luar sunyi sepi. Udara malam yang dingin  mulai berembun, memburamkan kaca jendela. Bintang yang berkelap-kelip di langit malam, tertutup oleh embun yang memburamkan kaca. Semakin lama embun itu semakin tebal, semakin pucat, dan semakin dingin.


“Aku ingin pulang,” kata wanita itu lirih seperti berbisik pada dirinya sendiri.


“Engkau tidak boleh mati, Vera,” kata lelaki itu sendu sambil tangannya memegangi jari jemari istrinya. Wajahnya semakin cemas dan muram.


“Siapa yang bilang aku akan mati? Aku hanya ingin pulang. Aku ingin bermain kunang-kunang.”


“Besok kita ke rumah sakit. Sudah dapat kamar,”  kata lelaki itu. Dia takut tangan istrinya akan menjadi semakin dingin.


“Aku tidak ingin ke rumah sakit. Aku ingin pulang, aku  ingin bermain dengan kunang-kunang. Aku rindu kunang-kunang Sungai Logawa” istrinya berkata lagi. Bola matanya yang hitam bundar, terkadang tertutup.Terkadang terbuka.


Suaminya tersenyum campur terkejut. Tersenyum karena istrinya masih ingat Sungai Logawa di Lembah Serayu sana. Padahal Sungai Logawa jauh dari desanya. Hanya karena istrinya pernah baca cerpen berjudul,”Kunang-Kunang Logawa”,  setiap pulang kampung dan lihat kunang-kunang masuk rumah orang tuanya di desanya, selalu dikatakannya kepada anak-anaknya bahwa itu adalah kunang-kunang Sungai Logawa.


“Pulang? Ini rumah kita. Maksudmu pulang ke Banyumas? Dokter bilang operasi kanker rahim tidak lama. Peluang sembuh  masih besar. Masih stadium awal. Engkau tidak boleh mati, Vera.”


“Siapa yang bilang aku akan mati? Aku hanya ingin pulang, ingin bermain dengan kunang-kunang logawa. Karena kuang-kunang logawa adalah kunang-kunang sorga,” kata wanita itu kembali mengucapkan kalimat yang nyaris sama dan selalu diulang-ulang.


“Jika operasi berhasil dan sudah sembuh, kita liburan ke Baturaden dan lihat Sungai Logawa,”  kata lelaki itu.


“Aku tidak ingin ke rumah sakit. Aku tidak ingin dipaksa. Aku ingin pulang.”


“Pulang? Ke Banyumas   maksudmu? Ibu  ada di sini. Besok ikut mengantarkan kita ke rumah sakit.”


“Aku titip Si Sulung. Suruh cepat-cepat nikah saja.Kalau sekarang sedang melantai di café, biarkan saja,”


“Ya, kita akan segera melamarkannya, setelah operasi kamu berjalan lancar dan sembuh. Kamu  tidak boleh mati, Vera,” kata lelaki itu dengan bibir bergetar.


“Aku juga titip adiknya. Jangan boleh pacaran. Kalau pacarnya hamil, siapa yang harus ngasih makan? Memangnya mau mengandalkan orang tua? Tetapi kalau sekarang sedang di Pantai Ancol, biarkan saja,” kata wanita itu pula. Suaranya masih jelas terdengar. Lelaki itu meraba dahinya. Suhunya naik.


“Aku kompres? Suhu tubuhmu naik?” kata lelaki itu mulai panik. Istrinya menggeleng lemah, lalu diam tidak bereaksi. Tetapi nafasnya nampak naik turun.


“Jangan banyak pikiran. Nanti suhu akan terus meningkat,” kata lelaki itu sambil  wajahnya didekatkan ke wajah istrinya. Lalu pipi istrinya yang masih halus itu diciumnya dengan lembut. Wanita itu memejamkan matanya ketika ciuman lembut lelaki itu singgah cukup lama di pipinya.


“Aku juga titip Si Bungsu. Masukkan pesantren saja. Kalau sekarang sedang main kebut-kebutan di jalan, asal tidak ditangkap polisi, biarkan saja,”  kata istrinya lagi-lagi meninggalkan pesan.


“Titip lagi, titip lagi! Mau kemana?  Si Bungsu memang akhir semester ini sudah harus masuk pesantren. Kakaknya sudah aku marahi habis-habisan,” kata lelaki itu. Tangannya kembali meraba dahi istrinya. Suhu semakin tinggi yang membuat lelaki itu semakin berdebar-debar.


“Kamu tidak boleh mati, Vera,” kata lelaki itu dengan nada suara hampir menangis. Dia sudah sangat cemas dengan kondisi kesehatan istrinya.


***


Usia istrinya, Vera Lestari, masih muda, sekitar empat puluh lima tahun. Istrinya menikah dengan dirinya saat usia istrinya dua puluh tahun. Tentu saja wanita itu, sekalipun gadis desa, dulu adalah gadis cantik ketika lelaki itu berhasil menyuntingnya.


“Aku memang hanya seorang guru yang baru diangkat jadi PNS.Tetapi aku bertekad untuk membuatmu kelak hidup berkelimpahan dan bahagia,”  kata lelaki itu berjanji.


“Aku tidak terlalu mempersoalkan kekayaan. Asal kau setia kepadaku itu sudah lebih dari cukup.” Lelaki itu masih ingat kata-kata istrinya yang membuatnya senang itu.


“Tetapi, untuk sementara aku tidak bisa mengajakmu. Tinggal dengan Ibumu  dulu. Kelak jika gaji sudah kuterima, aku akan cari rumah kontrakkan. Aku akan ajak kamu menyertaiku.”


Kesepakatan pun tercapai. Usai menikah, lelaki itu ditempatkan sebagai guru PNS sebuah SMK Negeri di kota di ujung barat pulau ini. Gajih guru masih kecil saat itu. Belum kuat jika harus ngontrak rumah. Terpaksa dia numpang tidur di kantor sekolah. Istrinya sesuai kesepakatan ditinggalnya  di rumah orang tuanya, di Lembah Serayu yang jauh itu. Tetapi lelaki itu memang pekerja keras. Bisnis sampingan apa saja dilakoninya. Pekerjaan guru dijadikan sambilan. Berangkat pagi pulang malam.


Seiring dengan perjalanan waktu, anak-anak buah cintanya pun satu demi satu melengkapi rumah tangganya yang semakin lama semakin mantap. Lalu istri dan anak-anaknya diboyong. Mereka dikaruniai tiga anak, laki-laki semua. Yang sulung  berusia dua puluh lima tahun, adiknya dua puluh, adiknya lagi  masih SMP.


 Hasil kerja kerasnya berbuah manis. Rumah mewah, mobil banyak, uang pun berlimpah. Istrinya yang tamatan SPG di desanya, disuruhnya melanjutkan kuliah. Istrinya yang pintar itu  sukses pula jadi guru PNS.. Walaupun  istrinya berasal dari desa, tapi dalam waktu singkat bisa menyesuaikan diri dengan irama kehidupan kota besar. Dia sama sibuknya, mengejar karir dan jabatan. Dalam waktu singkat ijasah S2 berhasil diraih istrinya. Menjadi dosen di Perguruan Tinggi bergengsi menjadi target berikutnya.


Tetapi anak-anaknya  berkembang dalam pelukan kasih sayang uang yang berlimpah dan materi yang berlebih. Hasilnya Si Sulung drop out. Adiknya sering tidur di rumah pacarnya, Si Bungsu ditengarai mulai berkenalan dengan narkoba.


Wanita itu merasa letih. Hartanya yang berlimpah, ternyata tidak membuatnya puas dan hidup bahagia. Ketiga anak-anaknya yang tumbuh jauh dari harapannya, membuat dirinya kecewa berat. Lebih kecewa lagi karena dirinya dan suaminya sejatinya adalah seorang guru. Ya, guru yang sukses dalam bisnis tapi gagal mendidik anak-anaknya sendiri, keluhnya dalam hati. Kekecewaannya yang mendalam, akhirnya membuatnya dia jatuh sakit. Dia divonis dokter terserang kanker rahim stadium berat. Esok hari rencananya operasi. Tetapi wanita itu menolaknya.


“Kenapa bintang di langit menghilang? Aku ingin pulang. Aku ingin melihat bintang gemintang di sana,” kata wanita itu.


 Pandangan  matanya mencoba menerabas kaca jendela, tetapi sia-sia karena embun malam semakin tebal menutupi kaca jendela. Lelaki itu bangkit mendekati kaca jendela. Dengan menggunakan  kain kanebo dibersihkannya kaca jendela agar istrinya dapat melihat langit yang merupakan satu-satunya hiburan yang masih dapat dinikmatinya. Lelaki itu senang, ketika kaca jendela menjadi bersih, pastilah istrinya akan kembali dengan mudah bisa melihat kerlipan bintang yang selalu dikatakan oleh istrinya sebagai kunang-kunang sorga.


Saat kembali mendatangi istrinya, lelaki itu menjerit seketika. Dia tidak menyadari kondisi kesehatan istrinya menurun cepat sekali. Mata istrinya sudah  tertutup, nafasnya berhenti, tetapi bibirnya menyungging senyum. Air mata lelaki itu berlelehan. Dia tahu istrinya telah meninggalkan dia selama-lamanya. 


“Engkau tidak boleh mati, Vera,” bisik lelaki itu lemah  di telinga istrinya sambil berharap istrinya akan menjawabnya.


 Tetapi suara jawaban yang aneh tak pernah lagi didengarnya.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Sesungguh, kami berasal dari sisi Allah. Dan akan kembali ke sisi Nya,” bibir lelaki itu bergetar  dan menyerah pasrah pada kehendak takdir kehidupan.


Ketika lelaki itu mencoba melihat bintang-bintang yang berkelap kelip di langit malam yang kata istrinya adalah kunang-kunang sorga, ternyata bintang-bintang itu pun sudah menghilang. Ketiga anak-anaknya yang tak peduli dengan kondisi Ibunya yang sedang kritis, juga belum pulang. Tetapi wanita itu telah mendahului pulang menghadap Sang Maha Pencipta.


 Lelaki itu dengan lemah menyeret tubuhnya mendekati tepi jendela sambil berharap agar ketiga anak-anaknya segera pulang. Tetapi ketiga anaknya yang ditunggunya itu belum pulang juga.


Tiba-tiba lelaki itu melihat seekor kunang-kunang melenggang sendiri melintas di depan jendela, terbang hendak pulang melintasi pohon-pohon yang tumbuh di taman halaman depan, lalu hilang entah kemana.


“Hem, kunang-kunang surgakah  itu?” bisik laki-laki itu. Air matanya masih meleleh membasahi dinding pipinya yang sudah tidak sehalus ketika dulu dia masih muda. Ketika dia masih gemar  malang melintang di sepanjang Lembah Serayu yang indah yang selalu dikenangnya dengan perasaan rindu.


Malam itu dia hanya bisa berdoa semoga istri tercintanya diampuni dosa-dosanya, diterima amal ibadahnya dan ditempatkan di sisi Nya. []



Kalibagor, 16-11-2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar