Model Koleksi Bapak Sunarto Harjo Suwarno-Yogyakarta
“Setega apakah sebenarnya perasaan seorang ibu,
kepada bayi yang merupakan darah dagingnya sendiri, yang dengan susah payah
telah dilahirkannya ketika bayi yang belum lama menghirup udara dunia, lalu
ditinggalkannya begitu saja di alam
terbuka ?”
Bertahun-tahun pertanyaan itu menggoda dirinya.
Terutama sejak lelaki itu tahu siapa dirinya. Ternyata tidak mudah untuk
mengetahui, siapakah dirinya sendiri sebenarnya?
Di sebuah tikungan jalan yang sempit yang melewati
sebuah sekolah dasar, ada tempat
pembuangan sampah dari penduduk yang menumpuk, karena truk kuning pengangkut
sampah beberapa hari ini sering datang terlambat. Akibatnya sampah yang
ada makin lama makin tinggi, hingga
membentuk gunungan sampah yang siap tumpah melimpah ke jalan.
Pagi itu para pemulung sudah berkerumun berbaris siap menyerbu tumpukan sampah yang
membukit. Sementara itu tidak jauh dari situ siswa-siswa SD yang berseragam
putih-merah tua, juga tengah berbaris dalam upacara bendera, karena kebetulan
hari itu hari Senin.Terdengar baris terakhir Lagu Indonesia Raya dinyanyikan
anak-anak dengan suara lebih dikeraskan, ”Hiduplah Indonesia Raya!!!”
Lagu baris terakhir itu terdengar jauh sampai ke
jalan, bahkan sampai ke tempat pembuangan sampah yang berlokasi tidak jauh dari
SD itu. Tak lama kemudian upacara
selesai, siswa-siswa SD itu berlarian masuk klasnya masing-masing. Bersamaan
dengan itu, para pemulung yang dari tadi juga berbaris di depan tempat
pembungan sampah, ikut-ikutan berhamburan langsung beramai-ramai menyerbu
gundukan sampah.
Mereka saling berebut, membongkar, menarik, membolak
balik, untuk mencari botol plastik, gelas plastik, potongan besi, paku dan benda-benda lainnya
yang menurut para pemulung itu masih
dapat dimanfaatkan. Karena diaduk-aduk gunungan sampah langsung ambruk,
melimpah ke jalan, membuat jalan menikung yang sudah sempit itu menjadi semakin
sempit, akibatnya jalan macet.
Tak lama kemudian bau sampah dengan aroma campur
aduk tidak karuan itu, mulai dari asam, anyir, amis, busuk, beterbangan
kemana-mana, membumbung ke udara menunggu disebarkan angin kemana saja akan
bertiup.
Sebuah sedan mercy sudah menunggu sejak tadi,
terpaksa berhenti di depan gedung SD. Di belakang kemudi duduk seorang lelaki
tampan didampingi seorang gadis cantik. Lelaki itu sedih juga menyaksikan para pemulung yang
sedang mengaduk-aduk tumpukan sampah. Tentu saja bau sampah yang tak sedap itu
singgah juga ke hidungnya. Memang setiap dia melewati tempat itu, bau sampah itu akan terhirup, lalu muncul
pertanyaan dalam benaknya yang tak pernah mampu dijawabnya itu. Andaikata
dirinya dulu dibuang ke tempat sempah, mungkin dia juga akan jadi anak
pemulung. Untunglah dulu dirinya saat
masih bayi, tidak dibuang ke tempat sampah. Siapakah sebenarnya orang tua
dirinya ?
Biasanya pertanyaan itu lenyap dengan sendirinya,
jika mobil yang dikemudikannya itu semakin menjauhi tikungan sempit yang hampir
setiap hari dilewatinya. Tapi kali ini tidak. Pertanyaan itu tetap menggantung
di pikirannya. Maka dia menghimpun segala daya dan kekuatan. Membulatkan
tekadnya untuk menguak misteri yang selama ini menyelimuti dirinya. Akhirnya
lelaki itu punya keberanian juga untuk berkata jujur dan apa adanya pada gadis
cantik yang duduk di sampingnya:
“Dahulu ketika aku baru dilahirkan, aku ditemukan di
alam terbuka oleh sepasang suami istri yang
kemudian aku anggap sebagai Ayah
dan Ibuku. Engkau boleh percaya boleh tidak, tapi aku ingin jujur kepadamu.”
“Siapakah yang telah membuang kamu?” tanya gadis
cantik yang duduk di sampingnya itu.
“Bisa ibu kandungku. Bisa ayahku. Bisa siapa saja
yang tidak menghendaki aku lahir ke dunia ini,” jawab lelaki itu tenang.
“Jika ada orang yang tidak menghendaki kelahiranmu.
Tentunya kamu sudah mati sejak dulu. Apa sih susahnya membunuh seorang bayi?
Ibumu atau ayahmu bukannya tidak menghendaki kelahiranmu. Mereka hanya tidak
mau merawat kamu. Tentu banyak alasan dibalik sikap yang demikian itu. Mereka
berharap kamu ditemukan orang yang mau berkorban untuk merawatmu,” kata gadis
itu.
“Benar juga, kata-katamu.”
Gadis itu tersenyum. Dia memuji keberanian
laki-laki itu untuk jujur
kepadanya. Dan dia malah senang
mendengar pengakuan yang polos, jujur dan apa adanya dari lelaki itu. Mata
gadis itu menatap lurus ke arah sampah-sampah di depannya yang sudah mulai
diangkut ke dalam truk kuning pembuang sampah.
”Kamu tidak keberatan menceriterakan riwayat kelahiranmu kepadaku?” tanya gadis
itu.
“Kenapa aku harus keberatan jika kamu yang minta?”
jawab laki-laki itu.
“Ceriterakanlah padaku!” gadis itu memintanya agar
laki-laki itu mau menceriterakan masa lalunya.
“Siapa sebenarnya orang tuaku, aku tidak pernah
tahu,” kata lelaki itu mulai menceriterakan masa lalunya tanpa beban
sedikitpun.
“Menurut orang tua asuhku, aku ditemukan pada suatu
pagi sebagai seorang bayi yang baru berumur dua atau tiga hari, di bawah pohon
waru di tepi sebuah sungai.”
“Di tepi sungai?
Tidak di tempat pembuangan sampah?” tanya gadis itu. Lelaki itu
menggeleng.
”Justru itulah aku bersyukur. Coba kalau dulu aku
dibuang ke tempat sampah. Mungkin aku juga akan jadi pemulung seperti mereka
itu,” kata lelaki itu sambil menunjuk para pemulung yang masih memperebutkan
barang-barang bekas yang bisa mereka temukan di tempat pembuangan sampah itu.
“Mungkin saja orang tuaku masih berpikiran waras.
Aku bukanlah sampah masyarakat. Makanya aku tidak dibuang ketempat sampah. Aku
ditaruh di bawah pohon waru di suatu desa di Lembah Serayu sana. Tentu
maksudnya agar aku ditemukan orang yang akan menyeberangi sungai. Dan orang
yang menemukan aku diharapkan mau mengasuh aku.”
“Sungai apa? Sungai Serayukah?”
“Bukan Sungai Serayu. Tetapi Sungai Klawing, anak
Sungai Serayu.”
“Siapa orang yang akhirnya beruntung karena
menemukan kamu?”
“Aku ditemukan oleh seorang mandor tebu Pabrik Gula yang
kebetulan rumahnya tidak jauh dari pohon waru besar itu yang tumbuh tidak jauh dari tepi sungai. Dia itulah yang kemudian
menjadi orang tua asuhku.”
“Punya anak orang tua asuhmu?”
“Punya. Dua orang perempuan. Karena tak punya anak
laki-laki, mereka senang sekali menemukan aku. Konon waktu bayi tubuhku kuat, sehat, bersih, montok pula. Hal
itu menunjukkan ibuku dan ayahku sebenarnya bukan orang miskin. Bersama diriku disertakan juga amplop bersisi
uang dan gelang emas 25 gram. Mungkin dimaksudkan sebagai bonus kepada orang
yang mau mengasuhku,” kata lelaki itu.
“Riwayatmu semakin menarik saja,” kata gadis itu.
“Apakah kamu
dendam pada Ibu yang melahirkanmu?” gadis itu bertanya lagi.
“Aku tidak mungkin dendam padanya. Paling banter
hanya menyesalkan saja. Tapi, yah sudahlah. Aku yakin, dia pun sudah terhukum
sendiri oleh perasaan bersalah yang pasti akan selalu menghantuinya. Aku sudah
memaafkannya. Pastilah ada sesuatu alasan dibalik tindakannya itu. Jadi buat
apa dendam?”
“Tentu Ibu yang melahirkanmu akan bangga bila dia
tahu putra yang dibuangnya saat bayi, ternyata bisa menjadi lulusan terbaik
Fakultas Kedokteran dari Universitas kita. Pernah ada usaha mencari ibu yang
melahirkanmu?” gadis itu bertanya lagi yang dijawab oleh lelaki itu dengan
menggeleng pelan. Lelaki itu memang lulusan terbaik Fakultas
Kedokteran Negeri di Kota itu. Gadis cantik yang duduk disampingnya seorang Sarjana Hukum,
bekerja di kantor notaris. Kini sedang menyelesaikan S2 Notaris. Keduanya
bertemu karena sama-sama aktivis LSM yang peduli pada masalah-masalah lingkungan hidup.
“Ayah angkatku, menduga ibuku tinggal di Bandung.
Makanya menyuruh aku sekolah di Bandung saja. Harapannya, siapa tahu Tuhan
kelak akan mempertemukan aku dengan ibuku.”
“Dari mana orang tua asuhmu tahu kalau ibumu tinggal
di Bandung?”
“Gelang emas yang disertakan ketika aku ditemukan,
dilengkapi faktur pembelian. Sebuah toko emas di Kiaracondong,” jawab lelaki
itu.
“Pernah menghubungi toko emas itu?”
“Pernah. Sayang toko emas tidak punya data nama
pembeli, karena sudah sangat lama. Aku sekarang 25 tahun. Toko emas penjual
tidak menyimpan duplikatnya. Padahal kalau menyimpan duplikat fakturnya, bisa
dilacak siapa pembelinya. Memang sangat aku sesalkan. Undang-undang arsip kan
menentukan batas waktu lama penyimpanan dokumen 30 tahun. Tapi sudahlah.
Takdirku mungkin harus demikian,” kata lelaki itu pasrah.
“Aku yakin ibumu atau ayahmu bukan orang biasa saja.
Dia pastilah berasal dari golongan klas menengah ke atas. Aku dapat pastikan
Ibumu atau ayahmu pasti orang-orang yang cerdas. Kamu mewarisi bakat kecerdasan
dari mereka. Kalau tidak ibumu, ya bapakmu. Yang menimbulkan tanda Tanya
sebenarnya motif dan kejadian luar biasa apakah yang menyebabkan ayahmu atau
ibumu sampai hati membuang kamu di tempat yang begitu jauh. Berapa kilo meter
jaraknya dari sini?”
“Semuanya memang serba membingungkan. Sebuah misteri
dan penuh teka teki. Jarak Bandung sampai Purwokerto sekitar 300 kilometer.”
“Kalau pakai kendaraan umu, kendaraan apa yang bisa
sampai ke desa masa kecilmu?”
“Kalau pakai bis umum atau kereta api ganti dua atau
tiga kali. Tapi kalau pakai travel seperti Pamitran, bisa langsung ke rumahku.”
“Aku ingin suatu saat kamu mengajak aku mengenalkan
dengan orang tua asuhmu. Tapi jangan pakai kendaraan pribadi,” kata gadis itu.
“Pakai bus? Apa mau pakai kereta api?”
‘Inginya pakai travel saja.Apa tadi nama travelnya?”
“Ya banyak sih. Tapi langganan yang biasa aku pakai
travel Pamitran.”
“Kapan?”
“Serius nih?” tantang laki-laki itu.
“Sabtu dan Minggu aku libur!”
“Okey, kalau begitu kita berangkat Jum’at malam, ya.
Hari ini aku pesankan dua tiket. Satu Taman Rafflesia. Satunya lagi Palem
Permai” kata lelaki itu.
Sesungguhnya
di dalam relung hatinya, semula lelaki itu takut kehilangan gadis yang
dicintainya. Dia menduga gadis cantik yang duduk disampingnya itu akan segera
meninggalkannya setelah gadis itu tahu masa lalunya.Ternyata dugaannya meleset.
“Kenapa
engkau tak punyai keberanian menciumku?” tanya gadis itu tiba-tiba, membuat
lelaki itu kebingungan.
“Terus terang
aku takut engkau tak suka pada masa laluku
yang serba tidak jelas,“ kata lelaki itu. Gadis yang ada di sampingnya
itu kembali tersenyum. Dia bisa memahami alasan lelaki itu.
Secepat kilat dokter muda yang tampan itu memeluk
gadis yang sedang duduk disampingnya. Kemudian
bibirnya mendarat di pipi, di dahi, akhirnya kedua bibir itu bertautan
beberapa saat.
Itulah ciuman pertama mereka berdua yang membuat
nafas keduanya saling berkejaran. Juga ciuman pertama setelah berhubungan serius hampir satu tahun.
Ketika keduanya masih terkejut dengan sensasi aneh yang merayapi sekujur
tubuhnya itu, lelaki itu mendengar gadis cantik itu berbisik lembut:
“Masa lalu, biarlah berlalu. Yang lebih penting
adalah masa depan yang harus bisa kita jadikan milik kita bersama yang paling
indah.” Suara bisikan
gadis cantik dan cerdas itu membuat dokter muda itu bangga dan terharu.Tapi
tiba-tiba ponsel lelaki itu berbunyi. Terdengar suara dari seberang sana.
“Kita ditunggu Bapak Walikota. Proposal dari
LSM kita untuk mengatasi masalah sampah
di kota ini di setujui Dewan. Yuk kita cepat kesana!!!” ujar dokter muda itu
sambil bergegas menghidupkan mesin mobil mercynya. Mobil pun segera bergerak
meninggalkan tikungan sempit itu.
Dalam proposal kedua pasangan aktivis itu menulis
antara lain sebagai berikut, ”Kota ini bukanlah kota sampah, karenanya tak layak
jika sampai sampah-sampah kota berserakan di sudut-sudut kota, terlalu lama
menunggu di tempat-tempat pembuangan sampah. Karena, bukan hanya sampah, bahkan
bayi yang baru lahir yang bernasib malang karena tak dikehendaki orang tuanya, bisa saja
dibuang di tempat pembuangan sampah. Tempat-tempat itu harus segera diubah jadi
taman-taman bunga yang indah yang menjadi penghias sudut-sudut kota kita
tercinta. Sampah bisa di kelola secara daur ulang. Lakukan edukasi warga, dan
ikut sertakan para pemulung dalam proses daur ulang sampah ”[]
Kalibagor,23-12-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar