“Seindah apakah sebenarnya cinta yang pernah kita rajut berdua, sehingga kita ingin selalu menghadirkan kenangan masa lalu yang indah itu sebagai sesuatu yang mengasyikkan?”
Pertanyaan itu selalu muncul setiap kali lelaki itu menginjakkan kakinya di kota Yogya. Dan selalu saja dia tak pernah mampu menjawabnya. Tetapi dia selalu merasakan sekeping keindahan masa lalu yang kadang-kadang masih dirindukannya itu. Kerinduan itu pasti muncul kembali setiap kali dia ada kesempatan bertugas ke kota itu. Dan biasanya jika tugas pokok sudah selesai, dia segera bergegas menyempatkan diri menyusuri trotoar jalan yang membentang dari selatan ke utara itu. Ya, dia senang sekali jika dapat napak tilas berjalan seorang diri di atas trotoar dari selatan ke utara, sambil mengenang masa lalunya.
Dulu, ketika dia masih menntut ilmu di kota itu setiap malam minggu dia menyusuri jalan yang membelah tengah kota itu dengan seorang gadis cantik, bibir tipis, murah senyum, hidung mancung, dan kulit kuning cemerlang. Sayang hubungannya kandas di tengah jalan, gara-gara lelaki itu ditantang untuk secepatnya melamar gadis itu. Lalu ditantang juga dia supaya cepat-cepat menikah.
"Mas, lamarlah aku, jika engkau memang cinta padaku," kata gadis itu yang membuat dia terkejut seketika. Ketika itu dia baru saja jalan bersama menyusuri jalan yang selalu penuh dengan kenangan itu. Dan saat itu dia dalam perjalanan pulang kembali ke rumah gadis yang berjalan di sampingnya.
"Melamar? Hem. Ingin sih. Tapi aku kan harus rasional,”
“Cinta itu, bukan soal logika matemarika atau logika fisika, Mas. Cinta itu soal kesediaan untuk saling berkorban,” kata gadis itu.
“Iya, sih,” jawabnya sambil mengerutkan keningnya. Sambil berjalan berdampingan jari-jemari kedua tangan mereka saling bertautan. “ Tapi, aku belum selesai kuliah, sayangku. Aku juga belum kerja,”
“Ya, itulah tadi kata aku, Mas. Cinta juga bukan soal logika ekonomi. Problem ekonomi, kata ayahku akan selesai dengan sendirinya bila kita cepat menikah. Mahasiswa bujangan terlambat menyelesaikan kuliah juga banyak. Tetapi mahasiswa yang menikah sambil kuliah, juga banyak. Mereka ternyata bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu,” kata gadis itu membujuk. Beberapa teman lelaki itu memang ada yang nekad nikah dengan gadis cantik di sekitar tempat kost. Sebab dengan nikah, dia bukan hanya dapat istri. Tapi juga bisa dapat makan dan kamar gratis sekaligus, karena tempat kostnya langsung boyong ke rumah mertua.
Tapi dia bukan jenis mahasiswa yang demikian. Ayahnyz jauh-jauh hari telah melarangnya.Lelaki itu pun selalu ingat pesan ayahnya.
“Ya, tetapi dikampungku sana ayahku bisa marah besar bila aku menikah sementara kuliahku belum selesai,” kata lelaki itu terpaksa berterus terang setelah lama bingung mencari-cari jawaban.
Memang lelaki itu selalu ingat pesan ayah dan ibunya di kampungnya di Lembah Serayu di barat kota itu. Ayahnya selalu berpesan, agar dia menyelesaikan kuliahnya lebih dulu, sehingga kuliahnya bisa selesai tepat waktu.
“Awas kalau sampai terganggu seorang gadis!. Bapakmu banting tulang memeras keringat, untuk membiayai kamu kuliah. Bukan untuk membiayai kamu pacaran!” pesan ayahnya setiap dia pulang ke kampung halamannya. Tentu saja lelaki itu tak berani membantah pesan ayah dan ibunya itu. Sebab, dia memang tidak ingin melukai harapan kedua orang tuanya. Ingatannya kepada pesan ayahnya itu, lenyap ketika gadis di sampingnya berkata:
"Tapi, Mas. Ayahku hanya memberi waktu sebulan. Jika Mas tidak melamarku, Ayahku sudah punya pilihan pria lain.” Lelaki itu pun merasa tepojok.
“Satu bulan?”
“Ya,”
Lelaki itu terdiam.Tapi akhirnya keluar juga kalimat-kalimat yang telah disusun dalam benaknya sedemikian rupa, agar gadis di sampingnya itu tidak gelisah.
“Beri aku kesempatan satu bulan untuk berpikir dan mengambil keputusan,” kata lelaki itu. Gadis itu diam. Tapi menyetujuinya. Maka malam itu dia masih sempat mencium bibir lembut gadis yang dicintainya itu.
Tapi realitas kehidupan ternyata berbicara lain. Perjalanan nasib cinta keduanya bergerak ke arah yang tidak sesuai dengan harapan indah yang selalu berbunga-bunga bagi keduanya. Mereka berpisah. Karena lelaki itu tidak sanggup berkorban dengan cara melukai harapan orang tuanya di kampung halamannya. Lelaki itu memilih berpisah baik baik dengan gadis yang dicintainya itu. Gadis itu pun tak lama kemudian memang melangsungkan perkawinannya dengan lelaki pilihan orang tuanya.
Sore itu udara kota Yogya amat cerah, langit tampak kelabu, senja sebentar lagi akan menghilang bertukar dengan malam. Lelaki itu ikut terbawa arus pejalan kaki yang menyusuri trotoar di depan pertokoan. Arus pejalan kaki, semakin lama semakin berjubel.Seperti biasa khayalan lelaki itu mengembara ke masa lalu yang mengasyikkan dan mampu memuaskan rasa rindunya. Akhirnya memang langkah-langkahnya sampai di sebuah tempat yang kini sudah berubah menjadi sebuah komplek pertokoan. Tentu saja dia masih mengenal tempat itu, meskipun sepuluh tahun sudah lelaki itu meninggalkan kota Yogya. Lama pula dia berdiri, melamun, mengkhayal sambil terus mengenang masa lalu yang indah di tempat itu. Dulu, jika malam minggu tiba dia sering lama duduk-duduk di tempat itu sampil menyaksikan orang yang lalu lalang di depannya. Tentu saja waktu itu tempat itu belum diubah menjadi sebuah mall. Tempat itu adalah halaman sebuah kantor kesehatan yang dinding pembatas di depannya berupa pagar tembok rendah dan pada malam hari sering dijadikan tempat nangkring pasangan yang sedang jatuh cinta.
Dilihatnya lampu-lampu di tepi jalan mulai berpendaran. Angin malam bertiup kencang, para pejalan kaki makin banyak bersliweran lewat di kanan kirinya. Tapi dia tetap saja berdiri mematung. Tentu saja mereka yang berseliweran itu kebanyakan adalah pasangan remaja yang sedang dimabuk cinta yang selalu menarik perhatiannya karena mengingatkan dirinya ketika dia dulu masih bersama gadis kekasihnya.
Tiba-tiba ketika dia sedang mengasyiki akan kenangan indah masa lalunya yang masih tersisa dalam benaknya, sekelebatan dia seperti melihat sosok aneh. Sosok seorang wanita bergaun hitam dikombinasikan dengan potongan blaster warna merah, tengah berdiri mematung di depan etalase sebuah toko. Entah mengapa, lelaki itu segera merasa wanita itu adalah gadis kekasihnya yang dulu.
“Ya, benar dia gadis yang dulu pernah aku rindukan siang malam. Gadis yang pernah kupeluk dan kucium di tempat ini,” kata lelaki itu dalam benaknya.
Dengan gemetar lelaki itu memberanikan diri untuk mendekatinya. Ketika wanita itu memutar tubuhnya, lelaki itu seperti terpana seketika. Ditatapnya wajah wanita itu dan wanita itu pun membalas menatapnya. Sejenak keduanya terdiam saling bersitatapan dan bersipandangan. Lelaki itu melihat sinar mata wanita di depannya berbinar-binar dan bibir tipisnya menyungging senyum. Ah, bola mata dan bibir lembut tipis yang pernah dikenalnya di masa lalu, ternyata tetap terekam menjadi kenangan indah dalam ingatannya. Tiba-tiba terdengar wanita itu berteriak memanggilnya.
”Mas!”.
Belum hilang rasa terkejutnya , lelaki itu dipeluk dan dicium wanita yang baru dijumpainya kembali setelah lama berpisah.
"Mas, aku merasa kita bakal bertemu di tempat ini," katanya gembira terbata-bata. Lelaki itu pun membalasnya dengan memeluk dan menciumnya.
Di Malioboro, senja itu baru saja hilang ditelan malam. Tetapi lelaki itu merasakan alangkah indahnya senja yang baru hilang itu. Rasa rindunya seakan mengalahkan segala malu. Diciumnya bibir lembut gadis itu, seperti dulu dia pernah mencium bibir itu. Ya, mereka tak peduli lagi pada orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Bintang gemintang di langit sana ikut tersenyum menyaksikan cara mereka merayakan rasa rindu yang telah lama mengendap di dalam lembah kenangan.
"Kenapa ada di sini ?" tanya lelaki itu setelah dia mencoba menenangkan gejolak perasaan yang merayap di sekujur tubuhnya.
"Bapak meninggal, tiga bulan lalu. Besok acara seratus hari wafatnya Bapak. Datang, ya, ke rumahku. Masih ingat kan ?" Lelaki itu mengangguk. Tentu saja lelaki itu masih ingat rumah wanita itu. Mereka berpisah belum satu abad. Baru sekitar sepuluh tahun
"Nginap dimana?" wanita itu bertanya.
"Di Ambarukmo, jalan Solo."
"Oh,"desis wanita yang tetap cantik itu, "Aku terburu-buru, harus segera pulang. Boleh tahu kamar nomor berapa? Boleh nanti malam aku ke sana ?" Lelaki itu melihat wanita mantan kekasihnya tersenyum saat lelaki itu mengangguk dan memberitahukan nomor kamar kepadanya. Sebuah senyum yang dulu selalu menggoda lelaki itu.
Tiba-tiba dengan cepat wanita itu menghentikan taksi yang tengah melintas. Saat pintu taksi terbuka, wanita itu segera meloncat ke dalam. Sebentar kemudian taksi itu menghilang begitu saja dari pandangan lelaki itu, meninggalkan dirinya yang masih dicekam rasa rindu. Perasaan, heran, menyesal, dan terkejut campur aduk jadi satu. Sungguh aneh, entah mengapa, didalam benaknya ada perasaan senang tetapi nakal yang tiba-tiba muncul menari-nari jauh di sudut relung hatinya yang paling dalam. Diam-diam lelaki itu berharap wanita itu benar-benar akan datang menemuinya malam nanti.
Malam semakin larut, karena waktu sudah menunjukkan angka 0.00. Dan lelaki itu sudah bersiap-siap hendak tidur, setelah berharap dengan sia-sia datangnya sebuah kejutan. Namun tiba-tiba dari balik pintu kamar hotel terdengar suara ketukan keras. Dia bergegas membuka pintu. Ketika pintu kubuka, wanita yang selalu dirindukannya itu, sudah berdiri dengan anggun di depan pintu.
"Mas, boleh aku masuk. Aku sendirian," katanya dengan senyumnya mengembang di bibir, tapi sinar matanya nampak sendu, sehingga menimbulkan rasa iba yang mendalam dalam diri lelaki itu.
Rambut wanita mantan kekasihnya itu tergerai rapih mengingatkan lelaki itu pada tokoh Bella Swan yang cantik dalam film Twilight Saga . Dalam pandangannya wanita mantan kekasihnya itu amat cantik. Potongan rambut yang dipilihnya serasi dengan tubuhnya yang sintal dibalut gaun malam berwarna hitam berbahan tule yang indah. Tanpa pikir panjang, diraihnya pinggang wanita itu dan diajaknya masuk. Pintu pun ditutup secepatnya.
Lelaki itu tak tahu lagi awal mulanya, karena dia merasa sedang terpesonan. Mula-mula wanita itu melepas syal yang melilit lehernya. Lalu dibukanya jaket merah yang menutupi punggung dan dadanya. Dia pun melemparkan semuanya begitu saja ke atas sofa yang ada di dalam kamar. Kemudian tahu-tahu mereka berdua sudah berguling-guling di atas ranjang dan saling berpelukan. Sesaat kemudian wanita mantan kekasihnya itu membalikkan tubuhnya dan memunggunginya sambil berkata:
"Hanya seorang laki-laki yang kucintai yang kuijinkan membuka gaun malamku. Mas buka restluiting di punggungku!"
Gairah asmara lelaki itu segera saja naik keubun-ubunnya. Dan jari jemarinya mulai tidak sabar hendak menarik restluiting pengunci gaum malam wanita yang ada dalam dekapannya. Tetapi tiba-tiba entah mengapa dia seperti diserang kantuk yang luar biasa. Akhirnya lelaki itu pun terlena dalam tidur yang berkepanjangan, seperti terkena daya gaib.Lelaki itu pun tertidur pulas tak ingat apa-apa, sebelum dia bisa berbuat apa-apa. Tahu-tahu dia terbangun ketika sayup-sayup didengar azan subuh. Dan bersamaan dengan berakhirnya suara azan, sebuah jari jemari yang lembut mengusap-usap pipinya.
"Mas, bangun. Antarkan aku ke depan. Aku sudah ditunggu taksi," terdengar oleh telinga laki-laki itu suara seorang wanita yang sudah berdiri di samping ranjangnya dengan pakaian dan rambut rapih seperti saat pertama kali datang.
Lelaki itu pun bergegas
mengantarkan wanita mantan kekasihnya ke teras halam depan hotel. Memang benar di depan
beranda hotel sudah menunggu taksi. Dengan cepat wanita itu mendaratkan ciuman
di pipi lelaki itu. Tapi lelaki itu tak sempat membalasnya, karena wanita yang
semalaman menemaninya di tempat tidur itu cepat-cepat lari masuk ke dalam
taksi.
"Mas, jangan lupa, kutunggu pukul sepuluh pagi di rumahku ya," berkata dia dari dalam taksi setelah jendelanya dibuka sedikit.
Taksi pun segera meluncur hilang ditelan tirai sisa-sisa kabut pagi menjelang subuh. Lelaki itu bergegas kembali ke kamar hotel untuk shalat subuh. Rasa heran lelaki itu tak kunjung hilang sampai pagi hari ketika sebuah taksi datang menjemputnya, setelah selesai sarapan pagi. Dengan menggunakan taksi, lelaki itu meluncur menuju sebuah lokasi di utara kota. Tepat pukul sembilan lelaki itu sudah berdiri di depan sebuah rumah yang sudah lama tidak lagi dikunjunginya. Ada banyak perubahan di sana-sini. Banyak pula yang lenyap dari ingatan. Tetapi sebuah pohon mangga masih diiingatnya. Nampak pohon manga itu sudah begitu tua. Dan masih tegak di halaman meped ke kanan dekat sebuah tembok pembatas. Ketika pintu terbuka, seorang lelaki muda muncul dari balik pintu dan segera saja dia mengenalinya sebagai adik wanita mantan kekasihnya. Keduanya saling berpandangan sejenak, kemudian lelaki tuan rumah itu memeluk tamunya erat-erat dan diajaknya tamunya itu masuk ke dalam rumah. Keduanyapun saling menanyakan kabar dan keadaan masing-masing. Dan lelaki itu agak heran karena di dalam rumah nampak sepi-sepi saja .
"Aku dengar Bapak wafat?" Tanya lelaki itu.
"Bapak? Iya sudah tiga tahun yang lalu. Mbak Rani tiga bulan yang lalu menyusulnya. Semalam pengajian seratus hari. Atas permintaan Mas Pram diselenggarakan di sini. Mas Pram dan putrinya baru tadi pagi kembali ke Malang," ujar adik mantan kekasihnya itu berceritera tanpa diminta.
Diceriterakannya kepada lelaki itu bahwa ternyata tiga bulan yang lalu, dalam perjalanan dari Yogya-Malang pakai travel, telah terjadi tabrakan maut di daerah Ngawi. Seluruh penumpang travel tewas seketika, termasuk wanita mantan kekasih lelaki itu. Tapi suaminya dan putrinya selamat karena tidak ikut ke Yogya. Mendengar penuturan itu, lelaki itu hanya tertegun-tegun bukan main.
"Siapa yang mengabari Bapak telah wafat, Mas?"
"Ah, aku hanya merasa tidak enak saja, entah mengapa tiba-tiba ingin ke sini," jawab lelaki itu berbohong tentu saja.
Pagi itu lelaki itu diantarkan ke sebuah pemakaman umum di luar kota. Dia pun berjongkok berdoa di sebuah gundukan tanah merah yang membujur dari utara ke selatan. Di atasnya terdapat sebuah batu nisan yang baru. Sebuah pohon kamboja yang tengah mekar menaungi makam itu. Lelaki itu berdoa di atasnya. Tak terasa air matanya luruh membasahi tanah merah yang belum memadat. Sekuntum bunga kamboja putih bersih tiba-tiba jatuh persis di depannya, mengiringi beberapa butir air matanya yang lebih dulu luruh. Ketika lelaki itu melihat angka jam pada arlojinya, ternate jarumjam tepat menunjukkan angka sepuluh.
Malam harinya kereta api Logawa Yogya – Purwokerto membawa lelaki itu meninggalkan kota Yogya. Entah mengapa tiba-tiba lelaki itu merasa ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya. Dia merasa rindu pada ayahnya, rindu pada ibunya, dan rindu pada teman-teman dari masa lalunya.[]
.Kalibagor, 02-01-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar