1.Asal-Usul Toponim Banyumas Dari Sudut Tradisi Jawa.
Tibalah saatnya kita bicarakan asal usul toponim Banyumas. Kisah petualangan Senna yang telah dikemukakan di atas, bisa memperkaya wawasan kita dan mempermudah menemukan asal muasal toponim Banyumas, bukan hanya dari sudut pandang tradisi Jawa dan Banyumas saja. Tetapi juga dari sudut pandang tradisi Sunda Galuh Kawali. Dari manakah sebenarnya asal muasal topinim Banyumas?
Asal nama kota Banyumas sudah banyak diungkapkan baik dalam tradisi lisan maupun tulisan. Nama toponim Banyumas sebagian besar dikaitkan dengan sosok Sang Pendiri Kabupaten Banyumas, Adipati Mrapat Jaka Kahiman. Versi yang paling populer adalah mengaitkan nama Sungai Banyumas dengan nama Kota Banyumas. Sejumlah versi asal usul toponim Banyumas adalah sebagai berikut:
1.1.Kisah Kayu Mas. Kisah ini menceriterakan bahwa ketika Sang Adipati Mrapat sedang membangun kota Banyumas, tiba-tiba ada pohon kayu mas yang terbawa aliran sungai Serayu dan berhenti tidak jauh dari tempat pembangunan kota Banyumas. Sang Adipati yang diberitahu, sangat gembira dan memerintahkan agar batang kayu mas itu diangkat ke darat. Batang kayu mas tadi dijadikan salah satu tiang pendopo rumah kabupaten. Dari asal kayu mas yang hanyut terbawa air itu, Sang Adipati memberi nama kota yang sudah selesai dibangunnya itu, Kota Banyumas. Banyumas disini diartikan sebagai berasal dari kayu mas yang terbawa air atau banyu. Jadilah toponim Banyumas.
1.2.Kisah Kota Selarong. Kisah ini, sudah dikemukakan di depan, berkaitan dengan musim kemarau yang panjang. Ketika hujan tiba-tiba turun, penduduknya menyambutnya dengan saling berteriak bersahut-sahutan mengucapkan kata,”banyu!”, dan kata “mas!” Maka terbentuklah toponim Banyumas.
1.3.Kisah Sungai Banyumas. Toponim Banyumas dikaitkan dengan nama sebuah sungai yang merupakan anak sungai Pasinggangan. Sungai itu diberi namasungai Banyumas, karena di kanan kirinya tumbuh pohon tembaga yang disebut juga pohon kayu mas. Dari banyaknya pohon kayu mas itulah, anak sungai Pasinggangan itu, diberi nama sungai Banyumas. Ketika Sang Adipati Mrapat memberi nama kabupaten yang didirikannya, dipilihlah nama Sungai Banyumas sebagai nama kabupaten yang baru didirikan, sehingga terbentuklah toponim Kota Banyumas.
1.4.Kisah Sumur Mas. Kisah Sumur Mas merupakan kisah yang dikemukakan oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum, peneliti berbagai versi Babad Banyumas. Beliau mengatakan dalam tulisannya, bahwa Sungai Banyumas berasal dari mata airnya yang bernama Sumur Mas. Dari Sumur Mas itulah mengalir sungai yang kemudian diberi nama Sungai Banyumas. Jadi makna banyumas adalah banyu yang mengalir dari Sumur Mas. Jadilah Sungai Banyumas. Adapun nama Sumur Mas berasal dari ajaran kejawen yang menjelaskan bahwa kata Sumur Mas, merupakan ungkapan dari Sumur Sirahing Banyumas, yang kemudian menjelma menjadi Sumur Mas. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa nama Banyumas-Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, berasal dari konsep Selarong yang merupakan konsep kebudayaan Jawa yang berhubungan dengan tata letak yaitu sangsang bawana balik atau kawula katubing kala. (Sugeng Priyadi, SIP Publishing Banyumas, 2015).
Tidak ada penjelasan apa arti sangsang bawana balik dan kawula katubing kala, kecuali penjelasan singkat bahwa orang yang tinggal di situ merupakan orang yang disegani. Mungkin yang dimaksud dengan sangsang bawana balik adalah sungsang buwana balik, sebuah konsep ajaran kebatinan yang bersumber dari ajaran Islam Kejawen, Manunggaling kawula-gusti.
Demikian pula konsep Selarong dan kawula katubing kala, merupakan konsep mistik ketuhanan manunggaling kawula-gusti yang diartikulasikan dalam bentuk simbol-simbol yang memang menjadi ciri khas para penganut mistik kebatinan dan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tentu semua versi yang menjelaskan asal muasal toponim Banyumas itu, harus kita hargai sebagai kekayaan folklore atau adat istiadat dan ceritera rakyat yang merupakan bagian dari local wisdom dan bagian dari kekayaan rohani rakyat Banyumas. Tidak ada alasan untuk meragukan semua tradisi lisan dan tradisi tulis yang berusaha menjelaskan topinim asal muasal kota Banyumas. Sebab semua versi itu bersifat hipotetis atau dugaan yang bersifat sementara.
Lagi pula, semua versi berasal dari kepingan-kepingan kisah yang terpencar-pencar, kemudian sejalan dengan perjalanan waktu, tenggelam ke dalam memori publik. Ketika orang berusaha mengingat kembali memori publik yang telah lama tertinggal di masa yang sudah amat jauh dari sang juru kisah itu, terbentuklah berbagai macam versi dengan aneka macam variasinya. Hasilnya bisa sesuai fakta sejarah, bisa juga tidak. Tetapi sebagai folklore tetap harus dihargai dan dihormati.
Dengan aneka macam kisah tadi, kita juga bisa dengan mudah melacak periode sejarah munculnya berbagai macam versi dari kisah asal muasal toponim Banyumas itu. Hampir dapat dipastikan semua versi itu muncul setelah kota Banyumas resmi berdiri sebagai pusat institusi pemerintahan Kabupaten Banyumas, lengkap dengan perangkat birokrasi pendukungnya. Dengan demikian semua versi yang menceriterakan asal muasal toponim Banyumas itu berasal dari abad ke -17 M – 19 M atau jaman setelah wilayah Kejawar jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Islam Demak dan kerajaan-kerajaan penerusnya, yakni Pajang, Mataram, Kartusura, Surokarto sampai akhir abad ke -19 M, ketika daerah Banyumas jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa Banyumas ada di bawah Pemerintah Hindia Belanda, tradisi sastra tulis Banyumas justru mulai menggeliat yang dimotori para Pujangga Banyumas, mulai dari Tumenggung Cokrokusumo, Patih. R.Arya Wiriaatmaja, Patih Purwosuprojo, RM.Brotodirejo, Ngatijo Darmosuwondo, Adisawarno dan para penulis Babad Banyumas lainnya. Termasuk Kanjeng Bupati Cakaranegara II ( 1864 – 1879 M), yang setelah pensiun tinggal di grumbul Gendayakan, sehingga dikenal sebagai Kanjeng Bendoro Gendayakan. Bisa jadi Kanjeng Bendoro Gendayakan inilah penulis kitab Naskah Kalibening yang salinannya ditemukan di tangan juru kunci makam Kalibening oleh Prof. Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum.
Kisah Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, sebagai asal nama Sungai Banyumas dan kota Banyumas yang dikaitkan dengan mitos Selarong dari sudut pandangan ajaran Kejawen, seperti telah dikemukakan oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum, menunjukkan bahwa kisah itu baru muncul antara awal abad ke -19 M sampai akhir abad ke-19 M.Konsep Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, Selarong, dunia sungsang buwana balik dan kawula katubing kala, bisa kita temukan dalam kitab Bimasuci, karya Yasasipura I, Pujangga Kraton Surakarta, yang selesai ditulis pada tahun 1803 M. Memang buku itu ditulis dalam bentuk tembang sehingga menurut para penganut kebatinan dianggap lebih sakral dari pada bentuk prosa.
Kitab Bimasuci ditulis dengan doa dalam bahasa Jawa Kuno, Awighnam astu namas siddhi, yang artinya, Semoga tiada rintangan, segala puji telah sempurna dipanjatkan. Terbitnya kitab Bimasuci yang di kalangan peminat sastra pedalangan lebih populer dengan sebutan Kitab Dewaruci, menandai tonggak sejarah bangkitnya sastra mistik atau sastra suluk Islam Kejawen sekaligus juga bangkitnya sastra dan kebudayaan Jawa pada abad ke -19 M.
Pengaruh kebangkitan sastra dan kebudayaan Jawa, ikut melanda Banyumas baru pada akhir abad ke -19 M, yang ditandai dengan lahirnya sastra babad Banyumas yang dipelopori para Pujangga Banyumas seperti telah disebut di atas.
Dengan demikian ketika Sang Adipati Mrapat mendirikan kota Banyumas menjelang akhir abad ke-16 M,ajaran Islam kejawen belum dikenalnya. Sebab Yasadipura I, penulis kitab Bimasuci yang berisi konsep ajaran manunggaling kawula gusti dalam visi ajaran Islam, pun belum lahir. Saat itu proses transisi dari masyarakat Hindu-Budha ke arah masyarakat Islam baru berproses memasuki tahap-tahap awal. Negosiasi, adaptasi, akulturasi, asosiasi sampai sinkretisasi masih sedang berlangsung secara damai dan alami, sampai masing-masing pihak memperoleh keunggulan atau harus menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru yang terpaksa harus diterima masing-masing pihak, jika pilihan lain tidak tersedia.
Tibalah saatnya kita bicarakan asal usul toponim Banyumas. Kisah petualangan Senna yang telah dikemukakan di atas, bisa memperkaya wawasan kita dan mempermudah menemukan asal muasal toponim Banyumas, bukan hanya dari sudut pandang tradisi Jawa dan Banyumas saja. Tetapi juga dari sudut pandang tradisi Sunda Galuh Kawali. Dari manakah sebenarnya asal muasal topinim Banyumas?
Asal nama kota Banyumas sudah banyak diungkapkan baik dalam tradisi lisan maupun tulisan. Nama toponim Banyumas sebagian besar dikaitkan dengan sosok Sang Pendiri Kabupaten Banyumas, Adipati Mrapat Jaka Kahiman. Versi yang paling populer adalah mengaitkan nama Sungai Banyumas dengan nama Kota Banyumas. Sejumlah versi asal usul toponim Banyumas adalah sebagai berikut:
1.1.Kisah Kayu Mas. Kisah ini menceriterakan bahwa ketika Sang Adipati Mrapat sedang membangun kota Banyumas, tiba-tiba ada pohon kayu mas yang terbawa aliran sungai Serayu dan berhenti tidak jauh dari tempat pembangunan kota Banyumas. Sang Adipati yang diberitahu, sangat gembira dan memerintahkan agar batang kayu mas itu diangkat ke darat. Batang kayu mas tadi dijadikan salah satu tiang pendopo rumah kabupaten. Dari asal kayu mas yang hanyut terbawa air itu, Sang Adipati memberi nama kota yang sudah selesai dibangunnya itu, Kota Banyumas. Banyumas disini diartikan sebagai berasal dari kayu mas yang terbawa air atau banyu. Jadilah toponim Banyumas.
1.2.Kisah Kota Selarong. Kisah ini, sudah dikemukakan di depan, berkaitan dengan musim kemarau yang panjang. Ketika hujan tiba-tiba turun, penduduknya menyambutnya dengan saling berteriak bersahut-sahutan mengucapkan kata,”banyu!”, dan kata “mas!” Maka terbentuklah toponim Banyumas.
1.3.Kisah Sungai Banyumas. Toponim Banyumas dikaitkan dengan nama sebuah sungai yang merupakan anak sungai Pasinggangan. Sungai itu diberi namasungai Banyumas, karena di kanan kirinya tumbuh pohon tembaga yang disebut juga pohon kayu mas. Dari banyaknya pohon kayu mas itulah, anak sungai Pasinggangan itu, diberi nama sungai Banyumas. Ketika Sang Adipati Mrapat memberi nama kabupaten yang didirikannya, dipilihlah nama Sungai Banyumas sebagai nama kabupaten yang baru didirikan, sehingga terbentuklah toponim Kota Banyumas.
1.4.Kisah Sumur Mas. Kisah Sumur Mas merupakan kisah yang dikemukakan oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum, peneliti berbagai versi Babad Banyumas. Beliau mengatakan dalam tulisannya, bahwa Sungai Banyumas berasal dari mata airnya yang bernama Sumur Mas. Dari Sumur Mas itulah mengalir sungai yang kemudian diberi nama Sungai Banyumas. Jadi makna banyumas adalah banyu yang mengalir dari Sumur Mas. Jadilah Sungai Banyumas. Adapun nama Sumur Mas berasal dari ajaran kejawen yang menjelaskan bahwa kata Sumur Mas, merupakan ungkapan dari Sumur Sirahing Banyumas, yang kemudian menjelma menjadi Sumur Mas. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa nama Banyumas-Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, berasal dari konsep Selarong yang merupakan konsep kebudayaan Jawa yang berhubungan dengan tata letak yaitu sangsang bawana balik atau kawula katubing kala. (Sugeng Priyadi, SIP Publishing Banyumas, 2015).
Tidak ada penjelasan apa arti sangsang bawana balik dan kawula katubing kala, kecuali penjelasan singkat bahwa orang yang tinggal di situ merupakan orang yang disegani. Mungkin yang dimaksud dengan sangsang bawana balik adalah sungsang buwana balik, sebuah konsep ajaran kebatinan yang bersumber dari ajaran Islam Kejawen, Manunggaling kawula-gusti.
Demikian pula konsep Selarong dan kawula katubing kala, merupakan konsep mistik ketuhanan manunggaling kawula-gusti yang diartikulasikan dalam bentuk simbol-simbol yang memang menjadi ciri khas para penganut mistik kebatinan dan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tentu semua versi yang menjelaskan asal muasal toponim Banyumas itu, harus kita hargai sebagai kekayaan folklore atau adat istiadat dan ceritera rakyat yang merupakan bagian dari local wisdom dan bagian dari kekayaan rohani rakyat Banyumas. Tidak ada alasan untuk meragukan semua tradisi lisan dan tradisi tulis yang berusaha menjelaskan topinim asal muasal kota Banyumas. Sebab semua versi itu bersifat hipotetis atau dugaan yang bersifat sementara.
Lagi pula, semua versi berasal dari kepingan-kepingan kisah yang terpencar-pencar, kemudian sejalan dengan perjalanan waktu, tenggelam ke dalam memori publik. Ketika orang berusaha mengingat kembali memori publik yang telah lama tertinggal di masa yang sudah amat jauh dari sang juru kisah itu, terbentuklah berbagai macam versi dengan aneka macam variasinya. Hasilnya bisa sesuai fakta sejarah, bisa juga tidak. Tetapi sebagai folklore tetap harus dihargai dan dihormati.
Dengan aneka macam kisah tadi, kita juga bisa dengan mudah melacak periode sejarah munculnya berbagai macam versi dari kisah asal muasal toponim Banyumas itu. Hampir dapat dipastikan semua versi itu muncul setelah kota Banyumas resmi berdiri sebagai pusat institusi pemerintahan Kabupaten Banyumas, lengkap dengan perangkat birokrasi pendukungnya. Dengan demikian semua versi yang menceriterakan asal muasal toponim Banyumas itu berasal dari abad ke -17 M – 19 M atau jaman setelah wilayah Kejawar jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Islam Demak dan kerajaan-kerajaan penerusnya, yakni Pajang, Mataram, Kartusura, Surokarto sampai akhir abad ke -19 M, ketika daerah Banyumas jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa Banyumas ada di bawah Pemerintah Hindia Belanda, tradisi sastra tulis Banyumas justru mulai menggeliat yang dimotori para Pujangga Banyumas, mulai dari Tumenggung Cokrokusumo, Patih. R.Arya Wiriaatmaja, Patih Purwosuprojo, RM.Brotodirejo, Ngatijo Darmosuwondo, Adisawarno dan para penulis Babad Banyumas lainnya. Termasuk Kanjeng Bupati Cakaranegara II ( 1864 – 1879 M), yang setelah pensiun tinggal di grumbul Gendayakan, sehingga dikenal sebagai Kanjeng Bendoro Gendayakan. Bisa jadi Kanjeng Bendoro Gendayakan inilah penulis kitab Naskah Kalibening yang salinannya ditemukan di tangan juru kunci makam Kalibening oleh Prof. Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum.
Kisah Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, sebagai asal nama Sungai Banyumas dan kota Banyumas yang dikaitkan dengan mitos Selarong dari sudut pandangan ajaran Kejawen, seperti telah dikemukakan oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum, menunjukkan bahwa kisah itu baru muncul antara awal abad ke -19 M sampai akhir abad ke-19 M.Konsep Sumur Mas, Sumur Sirahing Banyumas, Selarong, dunia sungsang buwana balik dan kawula katubing kala, bisa kita temukan dalam kitab Bimasuci, karya Yasasipura I, Pujangga Kraton Surakarta, yang selesai ditulis pada tahun 1803 M. Memang buku itu ditulis dalam bentuk tembang sehingga menurut para penganut kebatinan dianggap lebih sakral dari pada bentuk prosa.
Kitab Bimasuci ditulis dengan doa dalam bahasa Jawa Kuno, Awighnam astu namas siddhi, yang artinya, Semoga tiada rintangan, segala puji telah sempurna dipanjatkan. Terbitnya kitab Bimasuci yang di kalangan peminat sastra pedalangan lebih populer dengan sebutan Kitab Dewaruci, menandai tonggak sejarah bangkitnya sastra mistik atau sastra suluk Islam Kejawen sekaligus juga bangkitnya sastra dan kebudayaan Jawa pada abad ke -19 M.
Pengaruh kebangkitan sastra dan kebudayaan Jawa, ikut melanda Banyumas baru pada akhir abad ke -19 M, yang ditandai dengan lahirnya sastra babad Banyumas yang dipelopori para Pujangga Banyumas seperti telah disebut di atas.
Dengan demikian ketika Sang Adipati Mrapat mendirikan kota Banyumas menjelang akhir abad ke-16 M,ajaran Islam kejawen belum dikenalnya. Sebab Yasadipura I, penulis kitab Bimasuci yang berisi konsep ajaran manunggaling kawula gusti dalam visi ajaran Islam, pun belum lahir. Saat itu proses transisi dari masyarakat Hindu-Budha ke arah masyarakat Islam baru berproses memasuki tahap-tahap awal. Negosiasi, adaptasi, akulturasi, asosiasi sampai sinkretisasi masih sedang berlangsung secara damai dan alami, sampai masing-masing pihak memperoleh keunggulan atau harus menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru yang terpaksa harus diterima masing-masing pihak, jika pilihan lain tidak tersedia.
Dari berbagai versi tradisi Jawa dan Banyumas yang mencoba menjelaskana asal-usul toponim Banyumas di atas, sama sekali tidak pernah dikemukakan apa nama anak Sungai Pasinggangan itu, sebelum diberi nama dengan kosa kata Jawa, Sungai Banyumas.
Dugaan sementara orang bahwa sebelum diberi
nama Sungai Banyumas, anak sungai Pasinggangan itu belum punya nama, jelas
merupakan dugaan yang bukan hanya keliru. Tetapi juga bertentangan dengan
tradisi leluhur Bangsa Galuh yang menggap sungai adalah sesuatu yang suci,
sehingga jika orang menemukan sungai dan tidak memberinya nama, bisa dianggap
tidak menaruh hormat pada sungai yang dianggap suci itu. Lain halnya jika
sungai itu hanya sungai kecil berupa selokan atau wawangunan pembuangan air.
Kosa
kata banyumas, jelas merupakan alih bahasa dari bahasa Sunda menjadi bahasa
Jawa Karena itu menemukan kosa kata banyumas dalam bahasa Sunda, tinggal
mengalih bahasakan kata banyumas kembali
ke dalam bahasa Sunda. Kata banyu
dalam bahasa Jawa, disebut cai jika dialih bahasakan ke dalam bahasa Sunda.
Sedang mas dalam bahasa Jawa, ada beberapa pilihan jika akan dialihbahasakan ke
dalam bahasa Sunda, yakni emas dan sindai. Kata lain dari cai yang juga dikenal
dalam bahasa Sunda dan Jawa adalah tirta yang berasal dari bahasa Sansekerta
dan sering dipakai untuk nama orang. Demikian pula kata kancana yang berarti
emas, dikenal dalam bahasa Sunda maupun bahasa Jawa. Kata kancana sama dengan
tirta umumnya dipakai untuk nama orang.
Misalnya Dewi Tirtakancana, Rahyang Wastukancana dan lainnya lagi.
Sindai yang berarti emas, menurut Van der Meulen
merupakan bahasa Sunda lama yang kini sudah menghilang dari kamu bahasa Sunda
yang beredar di pasaran. Namun pada abad ke-8 M, ketika Senna mendirikan
perkemahan di timur pertemuan Sungai Pasinggangan dan anak sungainya, kosa kata sindai masih layak untuk dipertimbangan
sebagai nama anak sungai Pasinggangan itu.
Dengan demikian, kosa kata banyumas, jika
dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda Galuh Kawali adab ke- 8 M, akan terbentuk
kosa kata Cisindai, dari kata cai dan sindai atau banyu
dan mas. Bisa saja hasil alih bahasa kosa
kata banyumas ke dalam bahasa Sunda menjadi ciomas. Tetapi kosa kata emas untuk
nama orang atau sungai sebagai sesuatu yang sakral, sangat jarang dijumpai dalam
tradisi orang Sunda. Kecuali memang wilayah itu benar-benar mengandung tambang
emas, seperti Ciomas di Banten Selatan.
Kosa kata lain untuk menyebut emas sebagai
makna simbolik adalah kata kancana atau sindai. Jika kancana digunakan untuk
nama orang, maka sindai sangat cocok untuk nama sesuatu yang dianggap sakral
atau suci. Demikanlah, nama anak Sungai Pasinggangan sebelum berubah menjadi
Sungai Banyumas adalah Sungai Cisindai. Bisa jadi Sang Senna yang memberi nama
Cisindai, anak Sungai Pasinggangan itu. Di sisi timur pertemuan antara Sungai
Cisindai dan Sungai Pasinggangan itulah Senna berusaha mewujudkan
mimpi-mimpinya dengan membangun perkemahannya, bersamadhi dan membayangkan dirinya sebagai Sang Bima Sena yang sedang berguru kepada Dahyang
Drona dari Padepokan Sokalima.
Nama Sungai Ciserayu, Pasinggangan dan
Cisindai, memiliki nilai simbolik dan historis yang erat kaitannya dengan
perjuangan Senna merebut kembali tahta kerajaannya yang hilang. Ternyata perjuangan
Senna berhasil, Kerajaan Galuh yang sempat lepas berhasil dikuasai kembali
lewat putranya, Rake Sanjaya. Bahkan putra Senna itu sebelumnya telah berhasil
mendirikan kerajaan baru, yakni Kerajaan Mataram Hindu.
Sebagai
tokoh yang leluhurnya bukan hanya dari Majapahit, tetapi juga dari
Galuh-Pajajaran nistaya Adipati Mrapat Jaka Kahiman, pernah mendengar kisah
Senna dan Sanjaya yang biasa dikisahkan lewat sastra lisan oleh para juru
pantun, sebelum diabadikan dalam bentuk sastra tulis dalam kitab Carita
Parahiyangan. Siapakah sosok yang bertindak sebagai juru pantun bagi Bagus Semangun
Jaka Kahiman saat masih anak-anak?
Siapa lagi kalau bukan Ibu angkatnya, Nyi Demang
Mranggi Semu Demang Kejawar, putri Arya Baribin yang Ibunya adalah Dyah Ayu
Ratna Pamekas, Putri Kerajaan Pajajaran yang tentu saja tidak asing dengan
tradisi sastra pantun sebagai sarana mendidik jiwa para ksatria Kerajaan Galuh
dan Pajajaran.
Ketika
Sang Adipati Mrapat hendak membangun rumah kadipaten di tempat itu, riwayat
Senna menjadi salah satu dasar pertimbangannya. Tentu Sang Adipati Mrapat sadar
sepenuhnya, bahwa kadipaten yang akan didirikannya itu adalah bagian kerajaan
Jawa, yakni Kerajaan Pajang. Karena itu nama
Sungai Cisindai segera diganti dengan nama Jawa, Sungai Banyumas. Nama Banyumas
kemudian dipilih sebagai nama kadipaten yang baru didirikannya. Pemilihan nama Cisindai
yang kemudian diubah jadi Banyumas, tentunya dimaksudkan sebagai bagian dari
usaha mengenang perjuangan Senna, Rake Sanjaya dan Kerajaan Mataram Hindu yang
pernah didirikan leluhurnya itu.[Tamat,29-06-2016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar